MEMBANGUN ETIKA GLOBAL

Oleh : Pristiwa E

 

 

From diskusi-sara@mbe.ece.wisc.edu Thu Oct 1 18:22:40 1998

 

Date: Thu, 1 Oct 1998 20:14:07 -0500

Reply-To: diskusi-sara@mbe.ece.wisc.edu

From: pristiwa@melsa.net.id (Pristiwa E.)

To: Multiple recipients of list <diskusi-sara@mbe.ece.wisc.edu>

Subject: JHDK [7]: Membangun Etika Global (1/2)

 

 

JALAN HIKMAT DAN KASIH - tayangan 7

 

pengantar:

 

Tulisan ini sebenarnya merupakan tanggapan saya atas tulisan Budhy Munawar Rachman yang berjudul "FILSAFAT PERENIAL SEBAGAI AGENDA ETIKA GLOBAL" (Kompas, 24 September 1998) yang dipostingkan melalui milis lain. Filsafat perenial sendiri saat ini sering dianggap sebagai alternatif untuk memandang perjumpaan agama-agama. Ini terlihat dari mulai banyaknya tulisan-tulisan dan buku yang membahas filsafat perenial.

--------------------------------------------------------

 

 

Membangun Etika Global

======================

 

Dalam dunia yang serba global dan pluralistik seperti sekarang ini setiap agama mau tidak mau akan mengalami perjumpaan yang intens dengan agama lainnya. Jika perjumpaan itu selalu dapat disikapi secara positif tentu tidak akan menjadi masalah. Namun dalam sejarahnya sejak dulu hingga sekarang, perjumpaan ini tidak jarang menimbulkan konflik yang negatif. Karena itu setiap agama saat ini perlu secara serius memikirkan kembali secara bersama-sama jalan keselamatan yang ditawarkannya agar dapat memberikan kontribusi yang positif pada sejarah kemanusiaan. Karena itu ide untuk mencari, atau lebih tepatnya membangun, suatu etika bersama yang dapat digunakan sebagai acuan nilai-nilai setiap penganut agama manapun dalam menapaki jalan keselamatannya harus mendapat dukungan yang serius. Kenyataan bahwa semua agama setidaknya mengajarkan hal-hal yang baik membuktikan bahwa dibalik segala perbedaan terdapat juga suatu kesamaan nilai diantara agama-agama. Ini dapat menjadi landasan yang baik untuk memulai pembentukan etika global yang dapat digunakan bersama. Tetapi masalahnya dimanakah kita dapat mulai mencari kesamaan nilai tersebut?

 

Usulan filsafat perenial

------------------------

Filsafat perenial tampaknya merupakan salah satu usaha positif yang kini sedang dikembangkan dalam upaya mencari kesamaan-kesamaan pandang ('common vision', Huston Smith) yang bisa dipergunakan sebagai landasan etika global. Istilah filsafat perenial kemungkinan digunakan pertama kali oleh Augustinus Steuchus (1497 - 1548) dalam karyanya yang berjudul De Perenni Philosophia. Tetapi sesungguhnya esensi filsafat perenial telah lama direnungkan oleh para mistik dalam berbagai agama. Mereka berusaha mencari makna terdalam dari transendensi dan eksistensi manusia. Dalam perkembangannya sekarang, filsafat perenial juga berusaha mencari makna terdalam dari transendensi dalam berbagai tradisi agama yang diyakini memiliki kesamaan esensi. Huston Smith misalnya, berusaha mencari suatu common vision yang mendasari kebenaran setiap agama. Ia melihat bahwa agama-agama hanya berbeda pada tingkat eksoterik seperti ritual penyembahan, tatacara liturgis, simbol-simbol, dsb. Sedangkan pada tingkat esoterik dimana pengetahuan agama dipahami secara metafisik, agama-agama tersebut memiliki kesamaan esensi. Frithjof Schuon mengatakan bahwa "Setiap agama pada dasarnya memiliki satu bentuk dan satu substansi", ia percaya bahwa setiap agama memiliki kebenaran metafisik abadi yang sama. Demikian juga Bhagavan Das mengatakan bahwa semua agama akhirnya bertemu pada road of life yang sama. Mereka pada umumnya percaya bahwa ada suatu kesamaan di tingkat transendensi metafisik yang memungkinkan semua agama bertemu pada titik yang sama.

 

Kesalahan asumsi dalam filsafat perenial

----------------------------------------

Kemungkinan-kemungkinan adanya suatu common vision dalam filsafat perenial saat ini terus menerus menjadi bahan perbincangan yang hangat. Tetapi tidak semua orang optimis. Misalnya saja Robert C. Zaehner (seorang ahli masalah hinduisme) malah mengatakan sebaliknya, perbedaanlah yang semakin tampak dalam agama-agama. Kalau kita mau mengamati secara obyektif memang usaha pencarian titik temu ini tidak mudah. Apalagi dengan anggapan bahwa kesatuan yang ada terdapat pada inti transendensi (esoterik). Ketika kita mencari kesamaan dari tiap-tiap agama seringkali 'subset' yang kita dapatkan ternyata bukan merupakan inti ajaran suatu agama sehingga 'common vision' yang didapatkan justru malah tidak mengandung inti kebenaran iman. Misalnya saja bagi umat Katolik keilahian Yesus dengan penebusan salib-Nya merupakan inti kebenaran iman, namun karena tidak dipahami oleh ajaran lain maka kebenaran iman tersebut tidak termasuk dalam 'common vision'. Demikian juga halnya dengan inti-inti kebenaran iman agama yang lain. Kalau inti kebenaran iman agama-agama ingin dimasukkan agar semua agama dapat berpartisipasi maka inti kebenaran iman biasanya ditafsirkan sedemikian rupa sampai-sampai artinya malah berlainan sama sekali dengan yang dimaksud pengikutnya. Ini tentu menyulitkan.

 

Ketika kita melihat bahwa pengikut agama lainpun ternyata dapat melakukan kebaikan-kebaikan sebagaimana yang dituntut oleh agama kita, hal itu membuktikan bahwa memang benar ada suatu wilayah nilai-nilai bersama dari agama-agama. Tetapi harus diakui bahwa wilayah kebenaran bersama itu bukan terletak pada inti kebenaran esoterik tiap agama. 'Common vision' dari agama-agama akhirnya hanyalah kepercayaan adanya Yang Transenden dan kearifan moral. Agama-agama tidak pernah mencapai kata sepakat untuk hal-hal yang lebih mendalam dari itu. Wilayah bersama yang masih demikian luas itu tentu tidak dapat disebut sebagai inti kebenaran esoterik. Akibatnya klaim filsafat perenial bahwa pencarian agama-agama akan berakhir pada titik inti transenden yang sama, menjadi lemah.

 

Kelemahan filsafat perenial akan makin nyata kalau kita mengikutsertakan semua jalan hidup entah itu yang atheistik maupun yang mengakui adanya Tuhan dalam mencari 'common vision' sebagai dasar pembentukan etika global. Hal ini bukan tanpa alasan, ada banyak jalan hidup atheistik yang memiliki nilai-nilai moral yang baik juga. Tidak adil rasanya kalau kita mengecualikan mereka karena merekapun merupakan bagian dari masyarakat dunia juga. Jika pandangan atheistik diikutsertakan, bagaimanakah filsafat perenial memandang posisi mereka? Jika kita menempatkan atheisme pada posisi yang sama maka 'common vision' dari berbagai way-of-life sudah pasti bukan terletak pada transendensi tetapi semata-mata pada nilai kearifan moral saja. Jika kita menempatkan atheisme pada posisi kadar kebenaran yang lebih rendah dari agama maka filsafat perenial juga harus menerima kenyataan bahwa kadar kebenaran antara agama-agama sebenarnya juga tidak sama, ada yang lebih baik dari yang lain. Ini tampak semakin jelas kalau kita memasukkan semua sekte-sekte sebagai agama juga. Kenyataan ini jelas bertentangan dengan ide filsafat perenial yang melihat semua agama (way of life) pada dasarnya memiliki kadar kebenaran puncak yang sama.

 

Kelemahan filsafat perenial kemungkinan besar terletak pada model cara berpikir yang dipakai. Dalam memandang kebenaran agama-agama, filsafat perenial melihatnya dalam model beberapa orang buta yang melihat gajah. Diasumsikan selama orang buta tersebut belum membuka matanya mereka akan berdebat tanpa akhir mengenai gajah, tetapi kalau mereka sama-sama 'sembuh' dan terbuka matanya maka mereka melihat bahwa selama ini mereka memperdebatkan hal yang sama. Kesulitan yang dialami oleh filsafat perenial menunjukkan bahwa model ini salah kaprah dan tidak berpijak pada kenyataan. Kita butuh model dan pendekatan yang lain.

 

(bersambung)

 

 

 

Date: Thu, 1 Oct 1998 20:17:17 -0500

Reply-To: diskusi-sara@mbe.ece.wisc.edu

From: pristiwa@melsa.net.id (Pristiwa E.)

To: Multiple recipients of list <diskusi-sara@mbe.ece.wisc.edu>

Subject: JHDK [7]: Membangun Etika Global (2/2)

 

(lanjutan....)

 

Pendekatan dari bawah ke atas

-----------------------------

Sebagai alternatif saya mengusulkan pendekatan dari dasar, yakni dari nilai-nilai yang secara bersama dapat diterima oleh semua way-of-life (termasuk atheisme). Tentu saja nilai-nilai ini tidak harus yang secara eksklusif bersifat transenden, tetapi suatu nilai yang paling mendasar dan sederhana yaitu relasi antar manusia itu sendiri. Dari sinilah kita meletakkan pijakan kita sebagai titik awal untuk membangun suatu etika global. Nilai-nilai ini saya sebut sebagai 'kebenaran dasar'. Berbeda dengan 'common vision' di filsafat perenial yang hanya dilihat dari kacamata agama-agama, 'kebenaran dasar' dapat diakomodasi oleh semua way-of-life termasuk atheisme. Upaya ini sebenarnya sering juga dilakukan di Indonesia ketika agama-agama duduk satu meja memperbincangkan persoalan bersama yang dihadapi masyarakat.

 

Namun usaha kita tidak berhenti pada 'kebenaran dasar' itu saja melainkan terus mengembangkan etika global tersebut secara progresif dengan memanfaatkan nilai-nilai yang baik yang tersedia di berbagai way-of-life. Inilah yang tampaknya belum mau dilakukan selama ini. Harus diakui pengembangan etika global ini pada setiap tahap mungkin tidak akan dapat diikuti lagi oleh way-of-life tertentu. Misalnya saja ketika pembicaraan etika global itu sudah mulai membahas transendensi maka atheisme tentu tidak dapat lagi mengikutinya. Ini harus diterima dengan lapang dada dan legowo oleh para pengikut atheisme. Jika mereka ingin tetap mengikuti perkembangan etika global tentu mereka harus meninggalkan paham atheisme mereka, tidak ada jalan lain. Demikian juga ketika perkembangan etika global menjelajahi wilayah transendensi, pada tingkat yang makin lama makin mendalam tentu ada agama-agama yang secara mendasar tidak mampu lagi mengikutinya. Ini harus diterima juga dengan lapang dada dan legowo, persis sama seperti atheisme harus menerima keterbatasan mereka. Seperti anak desa yang ingin melanjutkan pendidikannya, ia tidak bisa tetap tinggal di desanya dan harus pindah ke kota lain yang menyediakan fasilitas pendidikan yang lebih baik. Dalam hal pengikut agamapun demikian juga, jika agamanya tidak mampu lagi menyediakan kebenaran yang lebih dalam maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengikuti agama lain yang menyedia-kannya. Kenyataan ini memang suatu pukulan berat terhadap filsafat perenial, pluralisme, dan ekumenisme. Tetapi inilah kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada dan legowo, tidak ada jalan lain.

 

Mencari Kebenaran Dasar

-----------------------

Manusia menyadari bahwa ia tidak hidup sendiri di dunia ini. Di tingkat ini semua way-of-life, terlepas dari cara dan interpretasinya yang berbeda-beda, memiliki keinginan untuk menjelaskan dan mengatur relasi manusia dengan manusia lainnya. Ketika kita berbicara relasi antar manusia maka pencarian kita akan sampai pada suatu kesimpulan dimana relasi puncak antara manusia adalah relasi cinta kasih. Tidak ada relasi yang lebih baik, lebih luhur, lebih indah, dan lebih mendalam dari relasi cinta kasih. Semua way-of-life, entah itu yang atheis, setengah atheis atau yang percaya sepenuhnya pada transendensi akan dapat mengakomodasi kebenaran ini (cinta kasih pada sesama) dalam ajarannya. Panggilan untuk mencinta merupakan kerinduan jiwa yang paling dasar dari semua manusia. Seorang ibu yang mencintai anak yang telah dilahirkannya tanpa ada orang yang mengajarkannya membuktikan bahwa panggilan untuk mencinta itu sudah ada di dalam hati setiap orang sejak eksistensinya di dunia.

 

Namun pembentukan etika global tidak dapat berhenti pada cinta manusiawi saja. Karena kalau demikian maka unsur transendensi tidak akan dapat masuk dalam etika global yang akan kita bangun bersama. Dalam proses ini kesadaran akan adanya transendensi bukannya ditolak tetapi justru dipergunakan untuk memperkaya kebenaran dasar guna menghasilkan bangunan etika global yang lebih baik. Kesadaran akan adanya transendensi juga menuntut manusia untuk menjelaskan dan mengatur, melalui way-of-life yang diikutinya, relasi antara dirinya dengan Yang Transenden. Dari berbagai ajaran agama yang ada, entah diakui atau tidak, kita dapat melihat adanya tingkatan yang berbeda dari relasi antara manusia dengan Yang Transenden ini. Sama dengan relasi antara manusia, relasi antara manusia dengan Yang Transenden (atau Tuhan) akan berpuncak juga pada suatu relasi cinta kasih. Tidak ada yang lebih baik, lebih luhur, lebih indah, lebih mendalam dari pada relasi cinta kasih dengan Tuhan.

 

Kesimpulan

----------

Etika global pada akhirnya memang sangat mungkin dibangun atas dasar suatu kebenaran yang universal. Etika global dapat kita bangun dengan berlandaskan pada satu kebenaran dasar, yaitu cinta kasih. Melalui dasar cinta kasih inilah manusia dapat membangun relasinya dengan sesama dan dengan Tuhan. Setiap way-of-life, entah itu atheis maupun yang bertuhan, memiliki tugas untuk bersama-sama membawa umat manusia pada cinta kasih yang sejati. Dengan kata lain dalam setiap ajaran memang terdapat 'jalan kebenaran'. Tetapi masing-masing way-of-life harus menyadari adanya keterbatasan di dalam dirinya karena 'jalan kebenaran' di dalam tiap way-of- life memang tidak sama panjang. Ajaran atheistik misalnya memiliki keterbatasan karena tidak mampu membawa orang pada kesadaran adanya Tuhan sehingga harus diterima bahwa 'jalan kebenaran' atheisme tidak sepanjang 'jalan kebenaran' agama pada umumnya. Demikian juga dalam ajaran agama-agama harus diakui terdapat keterbatasan juga. Tidak semua ajaran agama mampu membawa umatnya pada cinta akan Tuhan dengan kedalaman yang sama. Bahkan harus diakui memang ada ajaran agama yang karena keterbatasannya tidak mampu membawa umatnya pada relasi cinta dengan Tuhan. Butuh kebesaran jiwa untuk mengakui kenyataan ini. Tanpa kebesaran jiwa maka etika global tidak mungkin dapat kita bangun dengan landasan yang benar, dan landasan yang paling benar memang tidak ada lain kecuali 'cinta kasih'.

 

Kembali ke masalah model, maka model pencarian yang saya usulkan adalah

sebagai berikut:

 

Kebenaran sejati itu seperti puncak gunung yang ingin dicapai oleh beberapa jalan. Tidak semua jalan sampai ke sana, ada jalan yang hanya sampai lembah, ada jalan yang mencapai ketinggian tertentu, tetapi ada juga jalan yang dapat membawa orang ke puncaknya. Setiap orang yang mengarahkan pandangan dan langkahnya menuju ke puncak gunung adalah orang-orang yang benar terlepas apakah ia menggunakan jalan yang hanya sampai di lembah atau jalan yang sampai ke puncak. Tetapi untuk sampai ke puncak gunung tidak ada jalan lain setiap orang harus menggunakan jalan yang memang dapat membawanya ke puncak. Kalau ia berkeras menggunakan jalannya yang lama maka ia hanya akan sampai pada batas akhir jalannya tanpa pernah mencapai puncak gunung, ia hanya bisa merindukan puncak gunung itu sambil terus memandanginya dari ujung jalan.

 

Bandung 1 Oktober, 1998

 

Pristiwa E.

----------

 

 

Back to Bincang2 Soal Perennial"