ISLAM DAN RASIONALISME

ISLAM DAN RASIONALISME

 

Dr. Yusuf Al Qordhowi

 

(disalin dari buku "Liqaat wa Muhawarat haula Qadhaya al Islam wa al 'Ashr", edisi Indonesia "Masalah-Masalah Islam Kontemporer", Penerbit Najah Press, tahun 1994)

 

 

Di antara masalah-masalah yang sering diperdebatkan ialah hubungan Islam dengan akal, sehingga muncul aliran pemikiran yang mengangkat panji rasionalisme, membelanya dan menjadikan akal sebagai hakim yang tidak bisa dibantah. Pembawa panji ini lalu berpecah menjadi dua kelompok pada agama-agama umumnya dan pada Islam khususnya.

 

Kelompok Pertama : Menolak sama sekali agama dan menuduh pemikiran agamis sebagai pemikiran dermagogi yang menyampingkan akal dan berdiri di atas khurafat.

 

Kelompok Kedua : Bergaul dengan agama, tetapi dengan ketetapan bahwa akal adalah hukum yang menentukan dalam perkara-perkara agama, dan jika ada kontradiksi di antara nash dengan akal, maka nash tersebut harus ditundukkan kepada akal, meskipun nash tersebut qat'i dilalah wa tsubut pasti petunjuk dan wujudnya.

 

Ketika membuka lembaran agama mingguan ini, kita harus meletakkan masalah ini pada pendahuluan masalah pemikiran Islam yang insya Allah akan kita bahas.

 

Kita mempunyai beberapa pertanyaan sekitar rasionalisme yang akan kita ajukan kepada tetamu kita.

 

Kita menanyakan kepada mereka tentang hubungan Islam dengan akal rasionalisme. Dengan alasan apakah kita mengesahkan sikap para pembela rasionalisme terhadap agama. Juga tentang bidang yang tidak boleh dilampaui oleh akal supaya tidak hancur, dan bagaimana mengkombinasikan kecenderungan akal dan hikmat syara'.

 

Masalah-masalah di atas telah kita paparkan kepada Dr. Yusuf Qardhawi yang bersedia menerangkan beberapa dimensinya dan menjelaskan segala aspeknya, beliau berkata :

 

Kata-kata ini tidak boleh dibiarkan melekat, hanyut dan beredar tanpa kepastian arti, dipergunakan oleh tiap-tiap kelompok untuk memperkuat pandangan, pendirian dan falsafahnya dalam kehidupan masing-masing, maka di sini harus ditetapkan maksudnya.

 

Akal dan pecahan katanya adalah suatu kata yang disukai oleh manusia, tetapi terkadang sebagian orang memberikan penafsiran yang tak dapat diterima.

 

Lalu ap akah maksud 'aqlaniyah (rasionalisme) ?

 

'Aqlaniyah adalah mashdar shina'i dalam bahasa Arab yang ditambahkan padanya alif dan nun seperti 'Alamaniyah. Ia adalah pecahan dari kata 'aqlun. Kita kaum Muslim sangat memuliakan akal dan segala cabangnya serta apa yang bersumber kepada akal itu, jika akal dipergunakan pada bidangnya dan dengan ketentuan serta batasnya.

 

 

DUA PERKARA PENTING

 

Bahkan para ulama peneliti kita mengatakan, bahwa akal itu bagi kita adalah asas naql (nash). Artinya bahwa kita mendirikan nash itu atas dasar akal, karena akal-lah yang menetapkan bagi kita dua perkara terpenting dalam agama.

 

Perkara Pertama : Masalah wujud Ta'ala. Masalah ini tidak mungkin dibuktikan dengan wahyu naql. Jika ada materialis atau komunis yang menentang wujud Allah, saya tidak akan mengatakan: "Allah berfirman demikian dan Rasulullah bersabda demikian", karena ia tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana saya berhujjah kepadanya dengan sabda Rasulullah sedang ia tidak percaya kepada Yang mengutus itu sendiri. Maka saya harus membahas masalah ini bersamanya dari akar-akarnya dengan pembahasan yang rasional, maka saya harus mengajukan bukti atas wujudnya Allah dengan akal. Hal ini justru ditegaskan oleh Al-Qur'an sendiri, karena Al-Qur'an menyebutkan bukti-bukti akal semata-mata atas kewujudan Allah Ta'ala dalam debatnya dengan kaum musyrikin dan orang-orang yang ingkar, seperti firman Allah Ta'ala :

 

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) ? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu ? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)" (QS. Ath-Thur:35-36)

 

Dr. Yusuf Qardhawi menambahkan :

"Dengan demikian penetapan wujud Ilahi adalah masalah akal … benar ia merupakan masalah fitrah juga … jadi ia adalah instink fitrah dan urgensi akal … kita tidak bisa menafsirkan alam dan isinya, seperti kehidupan dan penciptaan serta keteraturan, jika kita tidak berpendapat bahwa terdapat wujud Tuhan Maha Pencipta dan pengatur di belakang makhluk-makhluk ini. Hukum sebab-musabab adalah hukum fitrah yang membuat kita berpendapat bahwa di balik penciptaan ada penciptanya, di balik keteraturan ada yang mengatur dan di balik gerakan ada yang menggerakkan, sebagaimana diungkapkan oleh orang Arab Badui ketika berkata : "Kotoran unta menunjukkan unta dan jejak kaki menunjukkan orang berjalan. Bagaimana dengan langit yang menjulang tinggi, bumi yang dalam dan laut yang berombak, tidakkah ini menunjukkkan Yang Maha Tinggi lagi Maha Berkuasa?". Oleh karen itu kita mengatakan bahwa wujud Allah Ta'ala dalilnya adalah akal.

 

Perkara Kedua : Menetapkan Kenabian.

 

Kemudian ada masalah lain, setelah kita menetapkan bahwa ada Tuhan yang mempunyai sifat-sifat sempurna. Tuhan yang Maha Agung lagi Tinggi ini dengan sebab hikmah dan rahmat-Nya tidak membiarkan makhluk-Nya kebingungan dan tidak meninggalkan mereka terlantar serta tidak menciptakan mereka sia-sia, tetapi Dia mengutus kepada mereka Rasul-Rasul-Nya sebagai pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan supaya manusia tidak lagi berhujjah kepada Allah setelah diutusnya Rasul-Rasul tersebut. Lalu bagaimana menetapkan kemungkinan wahyu, terjadinya wahyu, wujudnya Rasul-Rasul dan bahwa si Fulan adalah seorang Rasul yang diutus oleh Allah Ta'ala … ini adalah masalah akal, karena tidak bisa menetapkan wahyu dengan wahyu itu sendiri, karena hal ini akan terus berputar dan menjadikannya batil. Jadi, kita harus menegakkan bukti adanya wahyu dengan akal. Demikian pula adanya kenabian, risalah dari seorang Rasul tertentu. Bagaimana menetapkannya ? Bagaimana menetapkan kenabian Muhammad saw ? Kita menetapkannya dengan akal.

 

Allah menampakkan tanda-tanda dan bukti-bukti yang memastikan bahwa Dia tidak berbicara dengan diri-Nya sendiri dan tidak mencerminkan irodah-Nya tetapi mencerminkan irodah Ilahiyah … itulah mukjizat.

 

Oleh karena itu para ulama kita berkata: "Petunjuk mukjizat atas kebenaran Rasul adalah petunjuk akal. Petunjuk Al-Qur'an atas kebenaran Muhammad saw adalah petunjuk akal."

 

Dengan demikian dua masalah pokok; yaitu masalah wujud Allah dan masalah penetapan kenabian adalah dua masalah akal. Oleh karena itu para ulama berkata "Akal adalah dasar naql".

 

Pada minggu yang akan datang insya Allah kita akan sambung semua pembicaraan kita dengan Dr. Yusuf Qardhawi.

 

 

AL-QUR'AN MEMULIAKAN AKAL

 

Dr. Yusuf Qardhawi melanjutkan :

"Jadi kita, kaum Muslimin tidak takut kepada akal, bahkan sebaliknyakita menyambut akal, dan di dunia ini tidak ada kitab suci yang memuji dan memuliakan akal sebagaimana Al-Qur'an Al-Karim.

 

Tidak ada kitab suci yang memuliakan para cendekiawan sebagaimana Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an ada 16 ayat yang membicarakan tentang para cendekiawan. Ada hadits-hadits mengenai para ilmuwan yang mencegah kemunkaran. Kata-kata 'aqola - ya'qilu - ya'qiluun banyak terdapat di dalam Al-Qur'an, kemudian pembicaraan mengenai hujjah, penguasa dan bukti-bukti, juga banyak terdapat di dalam al-Qur'an. Al-Qur'an banyak memuat hal-hal semacam ini. Al-Qur'an lah kitab yang mengatakan kepada manusia :

 

"Katakanlah : Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar" (QS Al-Baqarah:111)

 

Ayat ini menunjukkkan bahwa sembarang masalah tidak akan dapat diterima melainkan dengan bukti. Oleh karena itu kita mendapati al-Qur'an mengembangkan rasionalisme ilmiah dan memerangi rasionalisme khurafat yang membenarkan sembarang dakwaan. Rasionalisme ilmiah menolak kejumudan terhadap apa saja yang dilakukan oleh nenek moyang, yaitu rasionalisme taqlid sebagaimana firman Allah :

 

"Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka" (QS Az-Zukhruf:23).

 

Rasionalisme taqlid ini ditolak oleh Al-Qur'an, baik taqlid kepada nenek moyang atau taqlid kepada para pembesar dan penguasa sebagaimana firman Allah.

 

"Sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) (QS Al-Ahzab:67).

 

Islam juga menolak taqlid kepada orang awam. Rasulullah saw bersabda :

 

"Janganlah salah seorang dari kamu menjadi orang yang imma'ah (mem-beo, tidak punya pendirian) dan berkata: Aku bersama orang-orang, jika mereka baik maka aku pun baik dan jika mereka jahat maka aku pun ikut jahat"

 

Islam menghendaki agar seseorang berpikir dan mempergunakan akalnya, bukan mempergunakan akal orang lain … Hendaknya ia berpikir bersama kawannya atau berpikir sendiri … memikirkan secara mendalam terhadap apa yang dinamakan "pengaruh akal kelompok". Inilah yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an dalam firman-Nya :

 

"Katakanlah: Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlash) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad). Tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu" (QS Saba:46)

 

Yakni satu perkata saja ; hendaknya kamu menghadap Allah dengan ikhlash dalam mencari kebenaran … berdua-dua dengan orang lain … atau sendiri-sendiri … kemduian berpikirlah tentang masalah kenabian Muhammad saw. … tidak ada penyakit gila pada kawanmu itu. Tidak mungkin orang yang mempunyai akhlak yang sangat mulia ini gila.

 

Berpikirlah, sesungguhnya Islam mengajak berpikir itu sebagai suatu ibadah.

 

Di dalam Al-Qur'an banyak ayat yang berbunyi :

 

"Tidakkah kamu berpikir ?" (QS Al-An'am:5)

 

"Bagi orang-orang yang berpikir" (QS Yunus:24)

 

Dan ayat-ayat lain yang semacamnya. Banyak seruan untuk berpikir … untuk melihat kerajaan langit dan bumi serta segala ciptaan Allah.

 

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah" (QS Al-A'raf:185)

 

"Katakanlah : Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi" (QS Yunus:101)

 

Proses memperhatikan dan berpikir … seruan untuk memperhatikan dan berpikir … pengumuman perang terhadap taqlid dengan segala bentuknya, dan jumud dengan segala macamnya, serta ajakan untuk menegakkan bukti … semuanya itu adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan panca indera. Allah berfirman :

 

"Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat?" (QS Az-Zukhruf:19).

 

Maksudnya, sesuatu yang tidak Anda saksikan, tidak akan bisa Nada tentukan hukumnya. Dan masalah-masalah akal harus ada bukti-bukti akal, sedang masalah-masalah naqliyah dan sejarah harus ada bukti-bukti naqli.

 

"Bawalah kepada-Ku Kitab sebelum (al-Quran) ini atau peninggalan dari pengetahuan (orang-orang dahulu), jika kamu adalah oran-orang yang benar. (QS al-Ahaf : 4).

Inilah rasionalisme ilmiah …… rasionalisme yang menolak prasangka pada tempat kepastian".

 

 

KEYAKINAN, BUKAN PRASANGKA

 

Dr. Yusuf Qardhawi melanjutkan pembicaraannya. Beliau berkata : " Dalam hal penanaman aqidah dan nilai-nilai luhur, harus dengan keyakinan bukan dengan prasangka, oleh karena itu kita mendapat al-Qur'an menghinakan kaum Musyrikin sebagai berikut :

 

"Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran" (QS Yunus : 36).

 

Dan menghinakan orang-orang Kristen dalam aqidah mereka sekitar Isa al_masih dan penyalibannya sebagai berikut :

 

"Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka" (QS an-Nisa : 157).

 

Persangkaan itu tidak sedikit pun berguba untuk mencapai kebenaran. Al-Quran juga menolak mengikuti persangkaan pada tmpat yang seharusnya mengikuti keyakinan, karena ini berarti mengikuti hawa nafsu dan perasaan. Allah berfirman :

 

"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini hawa nafsu mereka". (QS an-Najm : 23).

 

"Dan siapakah yang lebih sesat adripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun" (QS al-Qashash : 50).

 

Demikianlah rasionalisme ilmiyah. Dan jika 'aqlaniyah (rasionalisme) itu berarti demikian, bukan saja diterima oleh Islam, tetapi lebih dari itu, makna demikian sangat disambut baik oleh Islam dan diserukan-Nya dan bahkan Islam menganggapkan sebagai ibadah. Islam menghendaki agar setia manusia Muslim mempunyai rasionalismen ilmiah, rasionalisme yang menolak khurafat, kepalsuan dan segala sesuatu tanpa dalil dari Allah Subhanahu wa Ta'ala ... Rasionalime ini sangat perlu, dan oleh karenanya kita tidak mempunyai hal-hal yang dipunyai oleh para pengikut agama-agama lain seperti kata-kata "Percayalah sedang kamu dalam keadaan buta" atau "Pejamkan matamu lalu ikutilah aku" atau "Pilihlah; bodoh atau taat". Kita tidak mempunyai ajaran-ajaran semacam ini, bahkan bagi kita iman itu harus dengan bukti dan da'wah itu harus dengan hujjah yang nyata sebagaimana firman Allah :

 

"Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti nyata (al-Quran) dari tuhannya" QS Huud : 17).

"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata" (QS Yusuf: 108)

 

"Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?" (QS Az-Zumar : 22)

 

Kita menghendaki seorang Muslim yang hidup di atas kejelasan, bukan yang hidup di dalam kegelapan taqlid tanpa mengetahui sesuatu pun di sekitarnya, dicekoki sesuatu tanpa mengetahui sumbernya … Ini bukan ajaran Islam.

 

 

KITA ADALAH PENYERU RASIONALISME, TETAPI …

 

Pada minggu yang lalu dalam wawancara kami sekitar Islam dan Rasionalisme, Ustadz Dr. Yusuf Qardhawi telah menerangkan, bahwa dua masalah aqidah yang terpenting, yaitu wujud Allah dan pengutusan Rasul,harus dibuktikan dengan akal, karena akal adalah dasar naql (nash) sebagaimana kata para ulama … dan beliau menegaskan bahwa kaum Muslimin lebih banyak memuliakan akal jika ia dipergunakan pada bidangnya. Pada hari ini kita mengikuti kembali pembicaraan Dr. Yusuf Qardhawi. Beliau berkata :

 

Kita adalah penyeru rasionalisme … Kita, kaum Muslimin adalah mengajak kepada rasionalisme. Kita menolak khurafat dan kepalsuan. Melalui rasionalisme dan dibawah naungannyalah peradaban Islam berdiri megah dengan memadukan ilmu dan iman, antara akal dan naql."

 

Dalam hal akal dan naql, adakah kontradiksi di antara keduanya ? Dan bagaimanakah menghindari kontradiksi ini ?

Para ulama sama sekali berpendapat adanya kontradiksi atau pertentangan atau perlawanan di antara riwayat yang shahih dan logika yang terang. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah mengarang satu buku dalam 10 bagian yang berjudul Penolakan Kontradiksi di antara Akal dan Naql, karena memang tidak mungkin akal yang terang itu bertentangan dengan naql yang shahih. Jika anda melihat kontradiksi, maka yang anda sangka naql itu pasti tidak shahih atau yang anda sangka akal itu pasti tidak terang.

 

Kontradiksi tidak mungkin terjadi, karena akal adalah salah satu rahmat dan anugerah Allah terhadap manusia, sedang naql adalah wahyu Allah untuk manusia juga. Maka bagaimana mungkin keduanya saling bertentangan ?

 

Tidak mungkin terjadi pertentangan kecuali dari segi lahiriyah dan bentuk. Tetapi ketika dipikirkan secara lebih mendalam, akan terbuktilah bahwa tidak ada pertentangan, dan bahwa apa yang disangka bertentangan itu pasti dapat dipadukan atau salah satu di antara keduanya pasti ada yang tidak shahih.

 

Oleh karena itu kita tidak mempunyai masalah agama dan ilmu, yaitu yang mereka namakan kontradiksi di antara agama dan ilmu atau di antara akal dan naql. Kita sama sekali tidak mempunyai masalah semacam ini. Agama bagi kita adalah ilmu dan ilmu adalah agama. Agama bagi kita berdiri di atas ilmu, dan ayat pertama yang turun di dalam kitab kita adalah :

 

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya" (QS Al-'Alaq : 1-5)

 

Yang pertama kali turun ke dalam hati Muhammad saw adalah kata-kata ; membaca, ilmu, belajar dan kalam. Oleh karena itu agama bagi kita adalah ilmu, dan ilmu adalah agama. Mencari ilmu adalah kewajiban baik ilmu agama atau ilmu dunia. Bahkan belajar ilmu-ilmu dunia dianggap fardhu kifayah jika diperlukan oleh kaum Muslimin.

 

Kapankah akal mengasingkan dirinya ?

 

Dr. Yusuf Qardhawi menambahkan:

 

Kita kaum Muslimin tidak mengalami problema yang dialami oleh Kristen dalam masyarakat Barat, yaitu masalah kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan agama, sehingga oleh karenanya berdirilah mahkamah pemeriksa, pembakaran para ulama / cendekiawan dan terjadilah apa yang terjadi … Kita sama sekali tidak mengalami tragedi ini.

 

Jika rasionalisme itu, maka sebagaimana saya katakan, kita adalah penyeru rasionalisme. Tetapi jika rasionalisme itu berarti menolak wahyu Allah Ta'ala, atau mengutamakan akal atas naql secara terus menerus meskipun nash-nya qath'iyuts-tsubut dan qath'iyud-dilalah (pasti wujud dan petunjuknya), maka ini sama sekali bukan rasionalisme. Karena sebagaimana kata Imam Al-Ghozali : Jika telah terbukti wujud Allah dengan akal, dan kita telah membuktikan serta telah menetapkan kenabian Muhammad saw dengan akal, dan bahwa beliau tidak berbicara dengan hawa nafsu, dan bahwa Al Qur'an adalah Kitab dari sisi Allah … Jika semua perkara itu telah terbukti dengan akal Imam Ghozali berkata ; maka pada waktu itu akal mengasingkan dirinya dan menerima petunjuk dari wahyu.

 

 

HAI AKAL … BERHENTILAH DI SINI !

 

Dalam konteks ini, apakah ada kawasan-kawasan yang tidak boleh dilanggar oleh akal, dalam arti harus bersikap sebagai penerima ?

 

Kita telah menetapkan bahwa agama kita terkadang membawa hal-hal yang dianggap aneh / jauh oleh akal, tetapi ia sama sekali tidak membawa hal-hal yang mustahil. Apa yang dibawa oleh agama dalam hal-hal ghaib yang berkaitan dengan alam yang tidak terlihat, seperti yang berkaitan dengan malaikat, jin, setan, al-'arsy, al-kursi, al-lauh, al-kalam dan keadaan dalam alam barzakh, seperti ; alam kubur dan kenikmatan serta siksaannya, atau keadaan akhirat dan isinya seperti ; kebangkitan, perhimpunan, penghisaban, pertanyaan, penimbangan, shuhuf, shirat, sorga dan neraka … perkara-perkara ini harus diterima oleh akal selama wahyu membawanya.

 

Kewajiban akal di sini adalah menerima perkara-perkara ini jika ia menghormati dirinya. Tetapi jika akal tidak mau menerimanya, maka ia telah mendustakan dirinya dalam hal membenarkan wahyu, ini yang pertama kemudian ada beberapa hal yang harus diterima oleh akal, yaitu yang sudah pasti dari segi tsubut (wujud) dan dari segi dilalah (petunjuk).

 

Apa yang sudah qath'iyuts-tsubut dan dilalah (pasti wujud dan petunjuknya) harus diterima oleh akal, akal tidak boleh berkata : "Mengapa kita shalat lima kali sehari?", "Mengapa tidak tiga atau empat kali saja?", "Kenapa sebagian sholat itu dua raka'at dan sebagian yang lain ada yang tiga dan empat raka'at?", "Kenapa ruku' itu sekali saja sedang sujud dua kali ?". Perkara-perkara semacam ini tidak dapat dicampuri oleh akal. Dan Imam Al-Ghazali telah mengumpamakannya dengan obat-obatanyang diterangkan oleh seorang dokter kepada pasiennya. Pasien tersebut tidak bisa memahami, kenapa dokter tersebut menyuruh makan obat ini sebelum makan, dan yang lainnya setelah makan, yang ini satu tablet saja dan yang lain dua tablet … Keterangan semacam ini untuk semua pasien di luar batas pengetahuannya. Ibadat-ibadat itu semacam obat-obatan ruhaniah bagi manusia, maka jika manusia percaya kepada pengetahuan dan pengalaman dokter, ia wajib berkata : "Ini pasti tidak kosong dari hikmah" yang barangkali sebagian lainnya tidak diketahui.

 

Ada beberapa perkara yang harus kita terima dalam hal-hal ghaib dan bidang-bidang ibadah. Sampai dalam hukum-hukum syariat pun ada yang demikian pula, karena ada hukum-hukum qath'iyah (pasti) sehingga manusia tidak boleh menggunakan akalnya dengan mendakwa bahwa mereka lebih mengetahui mashlahat mereka … tidak … mereka lebih mengetahui mashlahat mereka, tetapi mereka itdak lebih tahu dari Allah atas hamba-hamba-Nya.

 

Allah berfirman :

"Katakanlah : Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah? "

 

Seringkali akal manusia jatuh terjerumus ke dalam kebinasaan yang beraneka ragam. Sebagian orang pada suatu masa dengan rasio mereka berkata : "Mengapa kita menghalalkan pelacuran … daripada kita membiarkan orang-orang berzinah tanpa pengawasan negara". Dan banyak lagi orang-orang yang ingin menghalalkan khamar meskipun akal manusia mendapati bahaya khamar terhadap individu, masyarakat dan ekonomi serta bahayanya bagi akal dan akhlak, tetapi meskipun demikian akal kalah di hadapan hawa nafsu.

 

 

AKAL PERLU BANTUAN

 

Orang-orang yang ingin menundukkan nash-nash kepada akal manusia adalah salah, karena akal tidak boleh dibiarkan sendiri, akal memerlukan bantuan sebagaimana dijelaskan Imam Muhammad Abduh dalam Risalah Tauhid. Beliau dalam Risalah ini mengisyaratkan bahwa akal memerlukan bantuan, karena terkadang ia diliputi oleh hal-hal yang menyebabkannya samar-samar dalam menghukum perkara-perkara.

 

Dalam masalah ini ada satu lagi masalah penting yaitu ; Jika kita mengatakan akal, maka akal siapa yang dimaksud ? Akal orang-orang tertentu atau akal orang-orang awam ? Kita telah melihat para filsuf saling berbeda pendapat sehingga sampai kepada kontradiksi, yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, yang satu membangun dan yang lain merubuhkan. Siapakah yang benar di antara mereka ; para filsuf idealis atau realis ? Materialis atau yang bersifat ketuhanan ? Ataukah para filsuf ?

 

Ini telah kita lihat … akal itu saling berbeda pendapat … dan kita telah melihat akal orang-orang Arab sebelum Islam, membenarkan penguburan anak perempuan hidup-hidup … manusia mengubur anak perempuan hidup-hidup, akal apakah ini ?

 

Oleh karena itu kita mengatakan : Sesungguhnya akal manusia saja tidak bisa dijamin jika dibiarkan sendiri, tetapi ia harus dibantu dan dijaga dengan wahyu Allah Ta'ala, untuk meluruskan langkahnya dan menjaganya dari kesalahan, sehingga ia melanjutkan perjalanannya di jalan yang lurus. Akal tanpa wahyu bisa ditimpa kesalahan, kelemahan dan bahaya sebagaimana yang kita saksikan terhadap orang-orang yang berjalan di belakang akalnya saja, jauh dari petunjuk Allah Ta'ala. Inilah yang harus dipahami dalam masalah besar ini, masalah rasionalisme tanpa melampaui batas.

 Back to List of Articles" Page