ANTARA TA'ASHUB, GHUROBA DAN KHILAFIYAH

 

 

From: Abu Al Fatih <abu-fatih@muslimfamily.com>

To: is-lam@isnet.org

Subject: [is-lam] Antara Ta'ashub, Ghuroba dan Khilafiyah

Date: Thursday, September 24, 1998 2:39 PM

Assalamu 'alaikum wr.wb.

Dalam sebuah forum diskusi,

Pernah dilontarkan sebuah kritik tentang perilaku exclusive beberapa aktifis Islam. Indikator exclusivitas itu antara lain tampak pada fenomena "pembatasan lingkungan interaksi" dan "klaim kebenaran kelompok yang diiringi kecenderungan menolak setiap pemikiran dari luar kelompoknya". Konsekuensi lanjut dari fenomena tersebut adalah lahirnya friksi dan benturan antar kelompok da'wah Islam yang menguras cukup banyak energi yang cenderung bersifat kontra produktif.

Fenomena exclusivitas itu kemudian dialamatkan kepada kelompok Islam yang dilabelkan sebagai Islam / Muslim Fundamentalis. Sementara di sisi lain terdapat kelompok yang (meng-klaim dirinya) berperilaku inclusive (dengan atribut dan fenonema yang berkebalikan dari yang tsb. di atas) yang kemudian melabelkan diri sebagai kelompok Islam / Muslim Moderat.

Atas lontaran kritik tersebut, saya sempat memberikan tanggapan, a.l. :

Pertama,

Hendaknya kita meninggalkan kebiasaan memberikan label-label kepada saudara-saudara kita sesama muslim dengan label-label (sebutan / panggilan dsj.) yang buruk / tidak disukai. Allah menyebutkan dalam Al Qur'an Surat Al Hujurat ayat 11 :

"… Wa laa tanaabazuu bil-alqaab …"

"… Janganlah kamu saling memanggil dengan panggilan yang buruk. …"

Bagaimanapun, kebiasaan memberikan label yang buruk itu akan sangat mem-pengaruhi suasana psikis di antara kaum muslimin, yang akan mengarah pada menajamnya friksi dan bahkan membuka peluang terjadinya "perang saudara". Sementara di sisi lain orang-orang yang tidak senang dengan Islam dan Kaum Muslimin dengan penuh sukacita mengembangkan berbagai peristilahan yang mengkotak-kotakkan ummat Islam yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor penghambat terwujudnya ukhuwwah di antara kaum muslimin.

Kedua,

Dalam terminologi Islam, fenomena exclusivitas itu setidaknya terbagi dua ; exclusivitas yang satu dilarang oleh Islam, sementara exclusivitas yang lain diperbolehkan (bahkan secara tidak langsung dianjurkan untuk exclusive).

Exclusivitas yang dilarang adalah yang dilandasi oleh sikap Ta'ashub / 'Ashobiyah, sebagaimana tersebut dalam hadits : "Laisa minnaa man daa'a ilaa 'ashobiyah, wa laisa minnaa man maata 'ashobiyah"

Artinya : "Bukanlah dari golongan kami orang-orang yang menyeru pada 'ashobiyah dan bukanlah dari golongan kami orang-orang yang mati (karena memperjuangkan sikap) 'ashobiyah".

Adapun exclusive yang diperbolehkan adalah yang dilandasi oleh pengertian kata Ghuroba, sebagaimana disebutkan dalam hadits : "Bada'al Islaamu Ghariiban, wa saya'uudu Ghariiban kamaa bada'a. Fatuuba lil Ghuroba … Alladziina yuhyuuna maa amaatan-naas min sunnatii … Au … Alladziina yushlihuuna 'inda fasadinnas".

Artinya : "Telah datang suatu masa ketika Islam dipandang Gharib (aneh / asing / berbeda dengan lingkungan kebanyakan saat itu), dan kelak akan tiba suatu masa dimana (Islam) akan dipandang Gharib sebagaimana dahulu. Maka beruntunglah orang-orang yang Ghuroba … Yakni orang-orang yang menghidupkan sunnah ku ketika (kebanyakan) manusia mengabaikannya … atau (dalam riwayat lain dikatakan) … Yakni orang-orang yang berbuat ishlah (perbaikan) di tengah manusia yang berbuat fasad (kerusakan).

Dalam prakteknya,

Kedua bentuk exclusivitas ini bisa beririsan bahkan terkadang nyaris identik. Artinya, tampak di permukaan bisa hampir sama. Yang kemudian membedakannya adalah pada motif pelakunya dan pada "konsep rujukan" nya.

Pelaku exclusif tipe ta'ashub menyandarkan "konsep rujukan" nya pada kelompok dan berhenti pada kelompok. Dia tidak menerima koreksi dari luar kelompoknya, hatta itu baik dan benar (dan ukuran / tolok ukur "baik dan benar" yang disepakati adalah segala sesuatu yang termaktub di dalam nash Kitabullah dan As-Sunnah dan hal-hal lain / Sunnah Kauniyah, yang sejalan dan tidak bertentangan dengan nash tersebut).

Adapun pelaku exclusif tipe Ghuroba senantiasa menyandarkan "konsep rujukan" nya pada nash Kitabullah dan As Sunnah, yang sebagai konsekuensinya dia siap mengoreksi pendapat pribadi / kelompoknya jika telah jelas bahwa nash (dan interpretasinya) berkata lain. Sebagaimana ungkapan Imam Syafi'i ; "Idzaa shohhal hadiits fa huwa madzhabii" , (Jika telah datang keterangan / nash yang shohih - maka itulah madzhabku. Artinya, tinggalkan apa pun pendapatku - bila sudah jelas nash yang shohih berkata lain dari pendapatku).

Persoalan baru muncul,

Ketika masing-masing pihak menyatakan telah menjadikan nash Kitabullah dan As Sunnah sebagai konsep rujukannya (dan siap meninggalkan pendapat pribadi / kelompoknya bila ada nash yang berkata lain), dan toh masih tetap berbeda pendapat juga.

Untuk ini masuk kepada bab berikutnya yakni bab "Khilafiah atas konsep rujukan yang sama".

Ketiga,

Dalam mensikapi potensi khilafiah / perbedaan pendapat di tingkat ini (perbedaan interpretasi atas konsep rujukan yang sama), maka saya sepakat dengan para ulama yang menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga pilihan sikap yang dapat ditempuh dalam mensikapi perbedaan ini :

  1. Tarjih : melakukan proses tarjih ; mencari pendapat yang lebih kuat landasan hujjah nya, baik dari segi maraji' maupun kaidah istimbath nya.
  2. Tajammu' : mencari titik persamaan / sintesa dari pendapat-pendapat yang ada
  3. Tasamuh : masing-masing tetap pada pendapatnya, yang diiringi sikap tolerans pada pilihan sikap / pendapat orang lain yang berbeda dengannya

Untuk mencapai formulasi berbeda pendapat seperti dalam ketiga alternatif di atas, tentunya dibutuhkan berbagai pra syarat moral / akhlaq, i'tiqad baik dll., yang hal ini niscaya tidak mustahil terjadi di antara orang-orang yang beriman pada Allah dan Rosul-Nya (QS. 49:7-8).

Dan apabila formulasi tersebut dapat terealisir, maka akan datanglah perbedaan pendapat yang membawa rahmat Allah itu, yakni perbedaan yang melahirkan kekayaan khazanah pemikiran dan alternatif beramal Islam, dan bukannya perbedaan yang cenderung mengarah pada perpecahan.

(sebagai catatan, sebagian kaum muslimin / jama'ah Islam ada yang cenderung mengedepankan "pola tarjih" dalam mensikapi perbedaan pendapat. Dan ini jelas suatu kebaikan. Sementara yang lain ada yang cenderung pada "pola tajammu' wa tasamuh", sebagaimana ungkapannya ; "Hendaknya kita bekerjasama pada hal-hal yang disepakati dan kita tolerans pada hal-hal yang tidak disepakati". Insya Allah kesemuanya memiliki kebaikan).

Akhirul kalam,

Semua yang saya uraikan di atas, dalam kenyataannya memang tidaklah sesederhana itu . Ada bagian-bagian yang tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan kognitif / pemikiran saja, karena keterkaitannya dengan aspek-aspek psikis, emosional, kultur dll, di samping - tentu saja - faktor hidayah dan interaksi ruhiyah seseorang dengan Allah Al Kholiq wa Al Muqollibal Qulub.

(belum lagi ketika sebagian orang berupaya memasuki wilayah-wilayah khilafiah dengan konsep rujukan yang berbeda. Betapa sulitnya mencapai kalimatun sawa / platform bersama bila konsep rujukannya tidak disepakati)

Wallahu a'lam bish-showwab.

 

Back to "Bincang2 Soal Beda Madzhab"