Pemerintahan Ilahi (1)
Ust. Husein Al-Kaff

Tulisan yang Anda baca ini tidak bermaksud secara langsung menawarkan sebuah sistem pemerintahan, yang kini mulai hangat dibicarakan oleh banyak kalangan menyusul turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Masalah yang dihadapi oleh pemerintahan Indonesia, sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan pelaku-pelaku politik (politisi) yang mengidap penyakit KKN saja, tetapi lebih dari itu, menyangkut sistem pemerintahan yang berlaku sejak Orde Lama. Kita amat sangat bangga menganut ideologi Pancasila, yang bukan demokrasi ala kapitalis-liberalis dan bukan sosialis-komunis. Kita beranggapan bahwa Pancasila adalah satu-satunya penyelamat bangsa ini dari kemelut perpecahan, penyimpangan dan disintegrasi. Sehingga kita tutup mata terhadap kemungkinan adanya sistem dan ideologi lain yang lebih baik dan sempurna.
Tulisan ini mencoba memberikan gambaran secara global dan ringkas tentang sistem pemerintahan dalam pandangan Islam. Saya kira gambaran ini penting mengingat mayoritas dari rakyat Indonesia adalah Muslim sehingga mereka mengetahui bahwa Islam tidak buta terhadap masalah pemerintahan.
 
 
Manusia Makhluk Bersosial
Hidup bermasyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Sejak dahulu kala sampai saat ini dan seterusnya umat manusia selalu hidup bersama dan bergotong royong, karena kebutuhan-kebutuhan manusia tidak akan tercapai secara penuh kecuali dengan hidup bermasyarakat dan bergotong royong. Kemudian, kehidupan bermasyarakat tidak akan damai, aman dan harmonis tanpa adanya seperangkat peraturan atau undang-undang yang menjelaskan dan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, baik yang menyangkut urusan personal maupun komunal. Karena tanpa undang-undang akan terjadi kehidupan yang anarkhis, kacau balau, dan akan muncul hukum rimba.
Manusia sebagai individu - demi me-langsungkan hidupnya dan agar tetap survive - membutuhkan makan, minum dan hubungan seks; dan manusia sebagai elemen komunitasnya membutuhkan undang-undang kemasyarakatan agar hidup damai, aman dan harmonis sehingga kelangsungan hidupnya terjaga. Hal ini disebabkan setiap manusia mempunyai kepentingan, kecenderungan, dan kemauan yang beragam serta berbeda-beda sehingga tidak jarang terjadi benturan kepentingan, kecenderungan, dan kemauan. Jadi, kebutuhan manusia kepada makan, minum dan seks serta kebutuhannya kepada undang-undang kemasyarakatan mutlak adanya.
Oleh karena itu, pemerintahan sebagai pengatur atau pembuat undang-undang (legislatif) dan sekaligus sebagai pengontrol pelaksanaan undang-undang (yudikatif) menjadi kebutuhan umat manusia yang berikutnya. Imam ‘Ali a.s. berkata, "Penguasa (pemerintahan) yang zalim lebih baik dari anarkhi yang berlaku " (Al-Ghurar wa Al-Durar 6/236). Ungkapan ini tidak bermaksud bahwa pemerintahan yang zalim itu bagus, tetapi bermaksud bahwa bagaimanapun juga masyarakat yang terpimpin, meski zalim, lebih bagus dari masyarakat yang tidak terpimpin.
Selain presiden di atas tadi, Islam sebagai agama yang komprehensif, tentu tidak tinggal diam dan pasti mempunyai solusi tentang pemerintahan, karena Islam menjanjikan kebahagian bagi umat manusia di dunia maupun di akhirat. Kebahagian di dunia tidak mungkin tercapai tanpa adanya seperangkat undang-undang kemasyarakatan yang rapih dan baik. Dan de facto ayat-ayat Alquran sarat dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, pidana, perdata, perang, perdagangan dan lainnya yang jauh lebih banyak dari ajaran-ajaran yang berkenaan dengan masalah ritual-individual.
Demikian pula kitab-kitab hadis, hanya tiga atau empat bab darinya yang membahas persoalan ibadah kepada Allah dan akhlak. Adapun selebihnya berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, hak-hak manusia, managemen, dan politik (Lihat Al-Hukumah Al-Islamiyyah 9).
Meskipun secara langsung tidak didapati dalam teks-teks Islam (Alquran dan Hadis) sebuah perintah mendirikan pemerintahan Islam, tetapi sesuai dengan preseden kedua, maka ajaran-ajaran Islam tidak mungkin dapat dijalankan secara utuh tanpa pemerintahan. Imam Khomeini r.a., bapak Revolusi Islam, menjelaskan, "Adalah Rasulullah Saww. yang mengetahui seluruh instansi eksekutif dalam mengatur masyarakat Islam. Beliau di samping bertabligh dan menjelaskan hukum-hukum Islam, juga beliau memperhatikan pelaksanaannya sehingga beliau menciptakan pemerintahan Islam…"
Kemudian beliau menyebutkan beberapa alasan perlunya didirikan pemerintahan Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam mengan-dung berbagai undang-undang kemasyarakatan secara lengkap. Mengatur seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia dari masalah pribadi, keluarga, pernikahan, tetangga, perang, politik, ekonomi, hubungan bilateral, pidana, perdata, industri, pertanian dan lainnya. Kedua, kalau kita perhatikan dengan saksama tentang esensi hukum-hukum syariat, maka akan kita dapatkan bahwa hukum-hukum tersebut tidak bisa dijalankan kecuali melalui kekuatan atau pemerintahan. Sebagai contoh masalah-masalah keuangan (seperti khumus, ghanimah, jizyah, kharaj) yang ditetapkan dalam Islam harus digunakan demi kepentingan negara dan masyarakat, atau masalah difa’ dan jihad (mempertahankan diri, harta dan tanah air), atau masalah-masalah pidana, diyat dan qishash (Al-Hukumah Al-Islamiyah 23 dan 27-33).
 
Filosofi dan Model Pemerintahan Ilahi
Ditegaskan oleh Islam bahwa tujuan dari kehidupan manusia adalah beribadah kepada Allah dan menurut Islam, manusia di dunia yang fana ini bergerak menuju Allah (kesempurnaan yang mutlak). Islam sebuah paket terpadu yang dikemas sedemikian rupa untuk membantu manusia agar dengan benar dan mudah sampai kepada Allah. Sehingga manusia sampai kepada Al-Haqq (Allah) dengan Al-Haqq (ajaran Allah). Oleh karena itu, pemerintahan tidak lebih dari fasilitas yang sangat berperan besar membantu manusia menuju tujuan tersebut.
Dalam pandangan Islam kedaulatan dan kekuasaan secara mutlak hanya milik Allah Swt. Selain sebagai Al-Khalik (Pencipta), Allah adalah Al Rabb (Pemelihara) dan Al-Hakim (Penguasa) atas seluruh alam raya. Allah sebagai sumber wujud segala sesuatu dan kepada-Nya segala sesuatu harus tunduk dan pasrah. Hal itu merupakan keyakinan yang paling prinsipil dalam Islam dan menjadi sebuah pandangan hidup kaum Muslimin (pandangan dunia Tau-hid). Prinsip ini biasa disebut dengan Tauhid (monoteis).
Doktrin tauhid dalam Islam tidak sekedar meyakini Kemahatunggalan dan Kemahaesaan Wujud Allah saja, tetapi Kemahatunggalan dan Kemahaesaan-Nya meliputi Ketuhanan-Nya (Ilahiyyah), ubudiyyah-Nya (Dzat yang berhak disembah dengan sendiri-Nya), fi’liyyah-Nya (perbuatan-Nya), shifatiyyah (sifat-Nya), dan tasyri’iyyah (yang mempunyai otoritas secara mutlak untuk membuat undang-undang, memerintah dan melarang).
Jadi pemerintahan Islam tidak sama dengan sistem pemerintahan yang kita kenal selama ini. Imam Khomeini ra. dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah berkata, "Pemerintah-an Islam tidak sama dengan sistem-sistem pemerintahan yang ada sekarang ini. Sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem pemerin-tahan absolut yang mana presiden bertindak sesuai dengan pendapatnya dan berbuat semaunya atas harta dan nyawa manusia." Kemudian beliau melanjutkan, "Sistem pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional dengan pengertian para pemimpinnya terikat dengan undang-undang dan hukum yang termaktub dalam Alquran dan Sunnah. Oleh karena itu, pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional Ilahi (teokrasi)" (Al-Hukumah Al-Islamiyah 41-42).
Menarik bahwa dalam Alquran disebutkan salah satu asma’ Allah adalah Mawla’ atau Wali, yang diambil dari kata wilayah. Maksudnya adalah Allah yang memimpin dan mengatur segala urusan manusia baik di dunia ataupun di akhirat (Lihat Allamah Thabathaba’i Al-Mizan 6 hal. 13). Kekuasaan Allah tidak hanya berkaitan dengan alam raya (wilayah takwiniyyah) saja, tetapi meliputi kekuasaan atas hukum dan undang-undang yang mengatur urusan-urusan manusia (wilayah tasyri’iyyah).
Oleh karena kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak ada pada Allah Swt., maka manusia sebagai ciptaan-Nya tidak mempunyai wewenang untuk berkuasa kecuali mendapatkan mandat dari-Nya dan dalam sistem pemerintahan Ilahi, Allah adalah pemimipin dan penguasa yang mutlak. Dia yang membuat undang-undang (legislatif ) dan yang memberikan keputusan (yudikatif). Sistem pemerintahan Islam lebih cenderung kepada sistem teokrasi. Islam tidak mengenal apa yang biasa disebut dengan kedaulatan rakyat, karena kedaulatan rakyat tidak selalu mencerminkan kebenaran. Kebenaran yang mutlak hanya ada pada Allah Swt. "Hukum hanya milik Allah. Ia memerintahkan agar kalian tidak menyembah kecuali kepada-Nya." (QS Yusuf, 12 : 40).
Untuk sementara orang, pemerintahan Islam itu kejam dan menakutkan sehingga kalangan non-Muslim akan tertekan dan mendapatkan sikap yang diskriminatif dari pemerintahan Islam. Jelas anggapan ini tidak berdasar karena kalau kita amati bahwa Penguasa dan Pembuat undang-undang dalam pemerintahan Islam adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Allah sendiri berfirman, "Tuhanmu telah menetapkan (mengharuskan) atas diri-Nya berbelas kasih " (QS Al-An’am, 6: 54) dan sejarah juga membuktikan bagaimana sikap Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam menghargai dan menghormati kaum non-Muslim.
 
Nabi Sebagai Mandataris Allah Swt
Dalam trilogi pandangan dunia tauhid (Islam), urutan kedua setelah kekuasaan dan kepemimpinan Allah adalah kepemimpinan para nabi as. Para nabi diangkat oleh Allah untuk memimpin umat manusia dan menegakkan keadilan. Mereka diberi oleh Allah otoritas untuk menentukan hukum dan undang-undang dan mereka juga harus ditaati. Pengangkatan nabi sebagai pemimpin semata-mata karena kehendak Allah, tanpa campur tangan kehendak selain-Nya, atau dengan kata lain, pengangkatannya tanpa musyawarah dengan siapapun.
Allah memandang ketaatan kepada Nabi sama dengan ketaatan kepada-Nya dan melanggar perintahnya berarti melanggar perintah-Nya. Berikut ini ayat-ayat yang menegaskan kewajiban mentaati Nabi Saww.:
"Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya" (QS Ali Imran, 3 : 32); "Dan tidaklah Kami utus seorang rasul melainkan agar ditaati dengan izin Allah " (QS An-Nisa’, 4 : 64); "Apa yang dibawakan oleh Rasul maka ambillah dan apa yang dilarang olehnya maka hentikanlah " (QS Al-Hasyr, 59 : 7); "Tidaklah pantas bagi seorang mukmin maupun mukminah, jika Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah urusan, untuk memilih (keputusan yang lain) dari urusan-urusan mereka " (QS Al-Ahzab, 33 : 36) dan ayat-ayat lainnya.
Dalam bukunya, Imamat wa Rahbary, dengan sangat menarik Syahid Murtadha Muthahhari ra. menjelaskan tentang tugas-tugas Nabi Saww. sebagai mandataris Allah Swt. Pertama, Nabi bertugas menyampaikan hukum dan undang-undang Allah sebagaimana yang tersurat dalam surat al Hasyr ayat 7. Kedua, Nabi bertugas sebagai pemberi keputusan (qadhi atau hakim). Maksudnya ketika terjadi suatu masalah di tengah kaum Muslimin, maka beliau yang mempunyai otoritas untuk memutuskannya. Allah berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim atas persengketaan yang terjadi di antara mereka dan mereka pun tidak merasa keberatan atas apa yang telah kamu putuskan serta mereka menyerahkannya (kepada kamu) " (QS An-Nisa’, 4 : 65). Ketiga, Nabi sebagai pemimpin dan penguasa masyarakat Muslim (QS An-Nisa’, 4 : 59) (Imamat wa Rahbari 47-48).
Dengan keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam sistem pemerintahan Ilahi pemimpin tertinggi adalah Allah Swt. Sedangkan Nabi Saww. merupakan seorang yang dipercayai oleh Allah untuk memimpin umat manusia sehingga dengan demikian Nabi adalah pemimpin dan penguasa kedua setelah Allah. Sehubungan dengan ini, Imam Khomeini ra. berkata, "Pemerintahan dalam Islam berarti mengikuti undang-undang Islam. Sedangkan kekuasaan yang ada pada Nabi dan para pemimpin setelahnya merupakan kepanjangan dari Allah, karena Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Nabi dan para pemimpin setelahnya. Maka tidak ada tempat bagi pendapat dan kemauan individu. Semuanya mengikuti undang-undang Allah Swt " (Al-Hukumah Al-Islamiyyah 43).
Nabi Muhammad Saww. selaku pemimpin pemerintahan Islam dalam mengatur urusan-urusan kenegaraan, internal maupun eksternal, tidak menanganinya secara langsung sendirian, tetapi beliau mengangkat beberapa sahabat yang dapat membantu beliau. Misalnya, beliau mengangkat sejumlah sahabat untuk dijadikan sebagai juru tulis yang beliau suruh untuk menulis surat kepada para raja dan para tokoh yang ada di sekitar jazirah Arab, beliau juga mempunyai seorang yang dipercayai untuk menjaga rahasia-rahasia beliau, beliau juga terkadang mengangkat seseorang untuk memimpin pasukan perang dan lain sebagainya.
Namun perlu diketahui bahwa urusan-urusan administrasi negara waktu itu masih sangat sederhana karena wilayah kekuasaan Islam masih kecil dan jumlah masyarakat Islam masih sedikit sekali. Buku sejarah Islam telah banyak menceritakan tentang keadministrasian dan aktivitas-aktivitas pemerintahan Islam pada zaman Nabi maupun zaman para khalifah (untuk lebih jelas lagi, baca Al-Ahkam Al- Sulthaniyyah karya Syeikh Al-Mawardi atau Wilayah Al-Faqih karya Syeikh Al-Muntazhiri ).