KEBEBASAN – AGAMA - BUDAYA
Aksi protes kaum muslim terhadap Danish newspaper Jyllands-Posten semakin gencar meneriakkan statement
teologis mereka “ Allahu Akbar – God is Greater “ maupun statement para demonstran “ Muslims must
speak out for justice and truth “. Kemarahan kaum Muslim semakin menjalar dari Middle East, Europe dan Afrika menuntut
pertanggungjawaban pihak Jyllands-Posten dalam penerbitan 12 gambar karikatur Mohamed yang controversial tersebut sampai upaya
penyerangan kaum muslim terhadap duta besar maupun kerusuhan tidak dapat dihindari. Beberapa kasus yang terjadi ,Di Jakarta
ada 400 demonstran muslim yang menamakan dirinya “ Indonesian Islamic Defenders Front ( FPI )” melakukan protest
karikatur Mohamed dan menyerang kedutaan Amerika Serikat dengan melempari batu dan kayu karena mereka memiliki konsep bahwa
Amerika Serikat adalah traitor. Mereka membakar bendera Amerika Serikat dan gambar Mr. President Bush sambil meneriakkan “
we are ready to attack the enemies of the Prophet “. Sikap dislike terhadap dunia Barat yang mayoritas kristen semakin
jelas dalam ekspresi ‘berdarah’ para demonstran muslim, buktinya para demonstran di Nigeria melakukan “
riots “ di northern Nigeria dan membunuh 16 orang kristen, beberapa orang terbunuh di dalam gereja serta menghancurkan
gereja, toko. Apakah “ riots “ dapat menyelesaikan konflik antar beragama ? Dari poin like dislike membawa nyawa
manusia melayang maka paling tidak kita bisa belajar bagaimana like dislike bukan satu gejala yang biasa-biasa saja, ini penyakit
etika dan spiritual seseorang yaitu dosa. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat kenapa Kain bisa membunuh Habel ? Like &
Dislike juga. Dari gejala ini Kain akhirnya punya keinginan untuk menghancurkan sesamanya ( Habel ) yaitu kematiannya. Apakah
semangat like dislike harus diadopsi oleh pecinta kebenaran ? Tidak ! Dalam Matius 5:22, Yesus menyatakan pengajaran-Nya dengan
ketat “ Setiap orang yang marah kepada saudaranya haruslah dihakimi … jika ia berkata kepada saudaranya jahil!
Haruslah diserahkan kepada neraka yang menyala-yala. Dilematisnya, para penganut agama manapun yang katanya mengadopsi cinta
kasih masih membiarkan like dislike berkeliaran dalam “ dunianya “ yang sempit dan merenggut harta dan nyawa orang
beragama lainnya padahal para kartunis Denmark tersebut adalah non-believers. Biarlah Kasih dan Keadilan Tuhan menjamah mereka
untuk kembali kepada pengertian yang otentik dalam jalan-Nya.
Akhirnya, Editor dari Jyllands-Posten, Fleeming Rose memberikan tanggapan terhadap respon kaum
Muslim yang “ kebakaran jenggot “ kepada The Washington Post dan memaparkan alasan dirinya mem-published those
cartoons. Mr. Rose banyak memberikan pembelaan diri bahwa Jyllands-Posten tetap percaya bahwa publikasi image Mohamed tersebut
adalah sesuatu yang konsisten dengan standard dari kebebasan dalam menerbitkan karikatur di secular western societies. Dari
posting sebelumnya, saya sempat memiliki pertanyaan pribadi terhadap Rose yaitu “ apakah 2 kartunis tersebut sengaja
membawa pesan negatif tersebut untuk memprovokasi dunia Barat dan dunia islam tuk membentangkan jurang kebencian yang jauh
? atau mereka cukup “ innocence “ tidak tahu menahu side effect dari kinerja mereka ?”. Rupanya Fleeming
Rose tahu segala effect dari kinerja mereka dan Mr. Rose sendiri menyetujui bahwa the freedom to publish things doesn’t
mean you publish everthing “ tetapi ia tetap menyatakan bahwa melalui kolom cerita kartun itu berbeda karena Mr. Rose
hendak menggambarkan respon dunia Europe terhadap segala “ violence “ yang terjadi baik dalam ketakutan maupun
pergumulan Europe memiliki relasi dengan dunia islam dan Mr. Rose percaya melalui kartun tersebut ia hendak mengajak islam
moderat untuk berbicara mengenai setiap “ violence “ yang terjadi. Oh ya ? Apakah karikatur adalah satu-satunya
cara legal untuk mengajak islam moderat berbicara mengenai “ violence “ yang menimpa Europe? Kenapa argumentasi
yang sedemikian “ positif “ harus diantar dalam bentuk karikatur yang “ negative “ ? apakah kata-kata
atau statement sudah tidak memiliki kuasa lagi untuk bicara mengenai Kebenaran sehingga karikatur dinilai lebih berkuasa dari
kata-kata ? tentu saja, karikatur memuat kelimpahan makna dalam interpretasi sehingga orang bisa membaca karikatur dari versi
berbeda-beda baik positif maupun negative sedangkan kata-kata mampu mengikat kita dengan apa yang kita katakan. Sebenarnya
ide positif Mr. Rose bisa disalurkan melalui kata-kata tetapi problem dimana ? ketidakmauan mengikat diri dalam kata-kata.
Menurut J.I Packer, inilah benih moral yang menghancurkan integritas seseorang.
Melalui karikatur, para kartunis mengajak orang Islam untuk mengerti bahwa mereka memperlakukan
islam sama seperti mereka memperlakukan Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya, mereka mengatakan kepada orang Muslim di
Denmark “ We are integrating you into the Danish tradition of satire because you’re part of our society, not strangers.”
Pertanyaan saya adalah apakah pluralisme menjadi goal mereka ? Jika memang demikian maka para kartunis sedang berusaha men-setup
believers dengan pemikiran “ postmodern “ kaum non-believers, karena Kebenaran sudah tidak dianggap penting lagi
karena Komunitas satu sama lain saling berintegrasi maka yang penting adalah loyalitas kita kepada sesama kita, melenyapkan
titik transenden kebenaran. Jika dugaan ini benar, Richard Rorty akan bertepuk tangan gembira karena Mr. Rose, salah satu
pelaku teorinya. Disinilah problem of Expression muncul. Expression without Truth, just Loyality in Danish Tradition !
Karikatur Mohamed dengan bom pada turban putihnya menjadi salah satu gambar yang menyulut api
kemarahan kaum muslim dan “ angry voices “ mengklaim bahwa Mr. Rose sudah menjudge bahwa Mohamed adalah terrorist
maka Semua orang Islam dituduh sebagai teroris juga. Mr. Rose justru membacanya dalam pandangan yang berbeda yaitu seseorang
telah memperalat agama islam dan berkomitmen menjadi teroris di dalam nama Allah. Bagi Mr. Rose, itulah gambaran Mohamed bagi
teroris dan ia memberikan penjelasan bahwa bom itu berasal dari luar bukan dari diri Mohamed. Kenapa bisa terjadi simpang
siur dalam interpretasi ? Disinilah problem interpretation terjadi. Bagi John Caputo, seseorang postmodernis yang sangat “
Derridaesm “ justru itu lumrah karena manusia bersifat perspektif. Semua pandangan orang mengenai Tuhan, diri dan dunia
dipengaruhi oleh waktu dan tempat hidupnya masing-masing sehingga interpretasi yang sebenarnya dicari orang bukanlah pengetahuan
maka hargailah interpretasi satu orang dengan orang lainnya karena tak seorangpun berada dalam mendominasi atau mengakhiri
percakapan ini. Kita kembali, Kenapa terjadi simpang siur dalam interpretasi ? Meskipun saya tidak setuju 100 % kepada John
Caputo apalagi Mr. Rose yang “ bunglon” tetapi Kaum Muslim terlalu gegabah memberikan “ interpretasi “
emosional yang kurang sinkron dengan maksud pencipta karikatur sampai terbuka kebenaran bahwa Mr. Rose menyatakan katanya
mau membangunkan kaum Muslim moderat tuk bersama-sama pikirkan bersama menanggulangi terorisme yang telah memboncengi agama
islam sebagai motivasi “ kudus “ mereka. Dari hal ini, poin positif
saya dapat mempelajari bahwa perlunya ada sinkronisasi pembaca – pencipta. Oleh karena itu saya tergugah untuk melihat
bagaimana kita membaca Alkitab yang kita percayai diwahyukan oleh Tuhan secara khusus kepada orang kristen untuk dapat memperoleh
hikmat dan kehendak Tuhan yang memang adalah kehendak Tuhan dan bukanlah kehendak diri, Dalam tradisi Reformed, St. Bernard
de Clairvaux maupun John Calvin mengingatkan setiap orang kristen akan nature bahwa Allah adalah Creator dan Manusia adalah
Created. Saat manusia membaca Alkitab yang diwahyukan oleh Creator melalui manusia yang created by God maka pembaca perlu
menyadari nature diri saat mereka memberikan penilaian maupun berusaha untuk menginterpretasi dengan takut akan Allah dan
memohon Roh Kudus memberikan iluminasi kepada pembaca tuk menemukan hikmat-Nya karena manusia terlalu lemah dalam memberikan
interpretasi bagi Kebenaran.
Dalam edisi sebelumnya, Mr. Rose mengakui pernah mempublished gambar Tuhan Yesus disalib, matanya
diberi tanda “ $ “ dan tanda “ Star of David “ yang juga digambarkan dengan bom. Jika demikian, Problem
apa lagi yang terjadi disini ? Problem of Imagination. Imaginasi mengenai Agama tidak bisa lepas dari membayangkan Allah.
Kenapa manusia problem dalam membayangkan Allah ? karena dosa ( Kejadian 3:5 ). Bagaimana kita melihat kisah dalam Perjanjian
Lama saat bangsa Israelberada di dekat Gunung Sinai dan menunggu Musa naik ke gunung bertemu Tuhan ? Bangsa Israelmenyembah allah melalui imaginasi anak lembu emas. Dalam hal ini saat mereka mengambarkan Yesus disalib dengan tanda
“ $ “ maka itu menunjukkan kualitas imaginasi kartunis ya hanya “ $ “ aja, berbeda dengan imaginasi
dari J.R.R Tolkien dalam The Lord of Rings maupun C.S Lewis dalam The Chronicles of Narnia yang bermutu dan membangun. Bagaimana
dengan gambar Mohamed ? itulah imaginasi berdosa manusia.
Menurut saudara, Apakah Jyllands Posten tidak respek terhadap dunia Islam ? Mr. Rose sebagai non
believer mengakui respek terhadap dunia islam tetapi tidak taboo terhadap public karena dirinya berada dalam demokrasi sekuler.
Ia mengutip statement dari Karl Poper bahwa “ one should not be tolerant with intolerant “ dan mengatakan banyak
negara beragama juga memiliki freedom of expression sebagai hak yang fundamental. Ia mengambarkan satu contoh : Jika kita
berada di Saudi Arabia, kita bisa ditangkap karena memakai kalung salib atau menemukan Alkitab dalam tas kita disaat kaum
Muslim di Denmark yang sekuler dapat kebebasan memiliki fasilitas sendiri. Disini Mr. Rose menekankan setiap kebudayaan memiliki
freedom of expression, mohon dihargai. Jika kita melihat dalam perkembangan sejarah filsafat, G.W.F. Hegel mewakili filsafat
idealis melihat sejarah kebudayaan manusia sebagai pertumbuhan progressive dari zeitgeist ( Roh Zaman ) menuju kepada kebenaran
yang absolute. Ia menginterpretasikan bahwa satu-satunya cara untuk memandang budaya adalah dengan mata pikiran dan perspektif
yang diambil tidak dapat diambil dari luar budaya untuk mengamati budaya. Berbeda dengan Herman Dooyeweerd, akar kebudayaan
selalu religius dan semua kebudayaan dihidupkan oleh motif dasar religius ( kunci hermeneutika untuk memahami dan menginterpretasi
pola dan periode sejarah dan kebudayaan ) dan Dooyeweerd membaca “ Zeitgeist “ bukanlah mata pikiran ( versi Hegel
) tetapi religious spirit yaitu semangat menerima atau menolak Ketuhanan Allah atas ciptaan dan kebudayaan dan motif dasarnya
adalah CREATION – FALL – REDEMPTION. Bagi Dooyeweerd, kebudayaan modern justru kebudayaan yang menolak aspek religius
dalam hidup dan pikiran, termasuk interpretation. Mengenai Mr. Rose , saya percaya Dooyeweerd akan memasukkan dia ke dalam
area kebudayaan yang menolak aspek religius baik hidup, pikiran maupun interpretation meskipun ia mengakui respek terhadap
agama. Bagaimana dalam era postmodern ? Peter Berger, seorang teolog skeptis membaca bahwa dunia interpretation bersikap pluralisme
maka tidak heran sikap media yang mewakili kebudayaan lebih mengarah kepada sayap “ kiri “. Apakah ini berlaku
dalam Jylland-Posten ?
Atas nama Jyllands-Posten, Mr Rose memberikan permintaan maaf kepada setiap mereka yang “
sakit hati “ tetapi Mr. Rose juga tidak mau minta maaf atas hak mereka untuk mempublish materi-materi newspaper mereka
dan mereka memberikan penjelasan bahwa mereka tidak anti muslim. Demokrasi Sekuler menjadi “ malaikat pelindung “
mereka dan sekali lagi freedom of speech ditekankan oleh Mr. Rose dalam pembelaan institusinya. Itulah freedom of speech yang
“ verwoestte “ alias liar. Bagaimana dengan orang kristen ? Orang kristen harus mengagungkan freedom of speech
yang religious seperti apa yang ditekankan oleh Dooyeweerd, karena tanpa kehadiran Allah dalam freedom of speech, freedom
of imagination, freedom of interpretation, freedom of religion, tetap semuanya tidak takut kepada Allah dan semuanya “
verwoestte “. Maka seperti kata Dostoyevski, jika tidak ada Allah maka segala sesuatu diperbolehkan. Mengerikan sekali
! Kiranya hikmat bijaksana Allah terus mengingatkan kita betapa lemahnya manusia dan perlu kembali belajar meneladani satu-satunya
Allah yang pernah datang ke dunia menghidupi “ The True Freedom of Speech, Religion, Interpretation, Imagination, Expression
“ dan menyelamatkan manusia dari lumpur dosa, Yesus Kristus namanya. Solus Christus !
Soli Deo Gloria
Ev. Daniel Santoso