Sola Scriptura Indonesian Fellowship

Kebebasan, Agama, Budaya

Kebebasan, Agama, Budaya
Gift of Love
Suffering Servant
Misi Allah Bagi Dunia
Yesus satu-satunya Juruselamat Dunia
We are the Salt and Light
Hikmat Tuhan
Visi dan Misi
Hot News
Christmas : Spirit of Incarnation
Terorism, Violence & Father's World
Suffering World
The Uniqueness of Christ in History
Stephen Tong links
Contact Us
Photo Gallery
Kebebasan Sejati

KEBEBASAN – AGAMA - BUDAYA

Aksi protes kaum muslim terhadap Danish newspaper Jyllands-Posten semakin gencar meneriakkan statement teologis mereka “ Allahu Akbar – God is Greater “ maupun statement para demonstran “ Muslims must speak out for justice and truth “. Kemarahan kaum Muslim semakin menjalar dari Middle East, Europe dan Afrika menuntut pertanggungjawaban pihak Jyllands-Posten dalam penerbitan 12 gambar karikatur Mohamed yang controversial tersebut sampai upaya penyerangan kaum muslim terhadap duta besar maupun kerusuhan tidak dapat dihindari. Beberapa kasus yang terjadi ,Di Jakarta ada 400 demonstran muslim yang menamakan dirinya “ Indonesian Islamic Defenders Front ( FPI )” melakukan protest karikatur Mohamed dan menyerang kedutaan Amerika Serikat dengan melempari batu dan kayu karena mereka memiliki konsep bahwa Amerika Serikat adalah traitor. Mereka membakar bendera Amerika Serikat dan gambar Mr. President Bush sambil meneriakkan “ we are ready to attack the enemies of the Prophet “. Sikap dislike terhadap dunia Barat yang mayoritas kristen semakin jelas dalam ekspresi ‘berdarah’ para demonstran muslim, buktinya para demonstran di Nigeria melakukan “ riots “ di northern Nigeria dan membunuh 16 orang kristen, beberapa orang terbunuh di dalam gereja serta menghancurkan gereja, toko. Apakah “ riots “ dapat menyelesaikan konflik antar beragama ? Dari poin like dislike membawa nyawa manusia melayang maka paling tidak kita bisa belajar bagaimana like dislike bukan satu gejala yang biasa-biasa saja, ini penyakit etika dan spiritual seseorang yaitu dosa. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat kenapa Kain bisa membunuh Habel ? Like & Dislike juga. Dari gejala ini Kain akhirnya punya keinginan untuk menghancurkan sesamanya ( Habel ) yaitu kematiannya. Apakah semangat like dislike harus diadopsi oleh pecinta kebenaran ? Tidak ! Dalam Matius 5:22, Yesus menyatakan pengajaran-Nya dengan ketat “ Setiap orang yang marah kepada saudaranya haruslah dihakimi … jika ia berkata kepada saudaranya jahil! Haruslah diserahkan kepada neraka yang menyala-yala. Dilematisnya, para penganut agama manapun yang katanya mengadopsi cinta kasih masih membiarkan like dislike berkeliaran dalam “ dunianya “ yang sempit dan merenggut harta dan nyawa orang beragama lainnya padahal para kartunis Denmark tersebut adalah non-believers. Biarlah Kasih dan Keadilan Tuhan menjamah mereka untuk kembali kepada pengertian yang otentik dalam jalan-Nya.

Akhirnya, Editor dari Jyllands-Posten, Fleeming Rose memberikan tanggapan terhadap respon kaum Muslim yang “ kebakaran jenggot “ kepada The Washington Post dan memaparkan alasan dirinya mem-published those cartoons. Mr. Rose banyak memberikan pembelaan diri bahwa Jyllands-Posten tetap percaya bahwa publikasi image Mohamed tersebut adalah sesuatu yang konsisten dengan standard dari kebebasan dalam menerbitkan karikatur di secular western societies. Dari posting sebelumnya, saya sempat memiliki pertanyaan pribadi terhadap Rose yaitu “ apakah 2 kartunis tersebut sengaja membawa pesan negatif tersebut untuk memprovokasi dunia Barat dan dunia islam tuk membentangkan jurang kebencian yang jauh ? atau mereka cukup “ innocence “ tidak tahu menahu side effect dari kinerja mereka ?”. Rupanya Fleeming Rose tahu segala effect dari kinerja mereka dan Mr. Rose sendiri menyetujui bahwa the freedom to publish things doesn’t mean you publish everthing “ tetapi ia tetap menyatakan bahwa melalui kolom cerita kartun itu berbeda karena Mr. Rose hendak menggambarkan respon dunia Europe terhadap segala “ violence “ yang terjadi baik dalam ketakutan maupun pergumulan Europe memiliki relasi dengan dunia islam dan Mr. Rose percaya melalui kartun tersebut ia hendak mengajak islam moderat untuk berbicara mengenai setiap “ violence “ yang terjadi. Oh ya ? Apakah karikatur adalah satu-satunya cara legal untuk mengajak islam moderat berbicara mengenai “ violence “ yang menimpa Europe? Kenapa argumentasi yang sedemikian “ positif “ harus diantar dalam bentuk karikatur yang “ negative “ ? apakah kata-kata atau statement sudah tidak memiliki kuasa lagi untuk bicara mengenai Kebenaran sehingga karikatur dinilai lebih berkuasa dari kata-kata ? tentu saja, karikatur memuat kelimpahan makna dalam interpretasi sehingga orang bisa membaca karikatur dari versi berbeda-beda baik positif maupun negative sedangkan kata-kata mampu mengikat kita dengan apa yang kita katakan. Sebenarnya ide positif Mr. Rose bisa disalurkan melalui kata-kata tetapi problem dimana ? ketidakmauan mengikat diri dalam kata-kata. Menurut J.I Packer, inilah benih moral yang menghancurkan integritas seseorang.

Melalui karikatur, para kartunis mengajak orang Islam untuk mengerti bahwa mereka memperlakukan islam sama seperti mereka memperlakukan Kristen, Budha, Hindu dan agama lainnya, mereka mengatakan kepada orang Muslim di Denmark “ We are integrating you into the Danish tradition of satire because you’re part of our society, not strangers.” Pertanyaan saya adalah apakah pluralisme menjadi goal mereka ? Jika memang demikian maka para kartunis sedang berusaha men-setup believers dengan pemikiran “ postmodern “ kaum non-believers, karena Kebenaran sudah tidak dianggap penting lagi karena Komunitas satu sama lain saling berintegrasi maka yang penting adalah loyalitas kita kepada sesama kita, melenyapkan titik transenden kebenaran. Jika dugaan ini benar, Richard Rorty akan bertepuk tangan gembira karena Mr. Rose, salah satu pelaku teorinya. Disinilah problem of Expression muncul. Expression without Truth, just Loyality in Danish Tradition ! 

Karikatur Mohamed dengan bom pada turban putihnya menjadi salah satu gambar yang menyulut api kemarahan kaum muslim dan “ angry voices “ mengklaim bahwa Mr. Rose sudah menjudge bahwa Mohamed adalah terrorist maka Semua orang Islam dituduh sebagai teroris juga. Mr. Rose justru membacanya dalam pandangan yang berbeda yaitu seseorang telah memperalat agama islam dan berkomitmen menjadi teroris di dalam nama Allah. Bagi Mr. Rose, itulah gambaran Mohamed bagi teroris dan ia memberikan penjelasan bahwa bom itu berasal dari luar bukan dari diri Mohamed. Kenapa bisa terjadi simpang siur dalam interpretasi ? Disinilah problem interpretation terjadi. Bagi John Caputo, seseorang postmodernis yang sangat “ Derridaesm “ justru itu lumrah karena manusia bersifat perspektif. Semua pandangan orang mengenai Tuhan, diri dan dunia dipengaruhi oleh waktu dan tempat hidupnya masing-masing sehingga interpretasi yang sebenarnya dicari orang bukanlah pengetahuan maka hargailah interpretasi satu orang dengan orang lainnya karena tak seorangpun berada dalam mendominasi atau mengakhiri percakapan ini. Kita kembali, Kenapa terjadi simpang siur dalam interpretasi ? Meskipun saya tidak setuju 100 % kepada John Caputo apalagi Mr. Rose yang “ bunglon” tetapi Kaum Muslim terlalu gegabah memberikan “ interpretasi “ emosional yang kurang sinkron dengan maksud pencipta karikatur sampai terbuka kebenaran bahwa Mr. Rose menyatakan katanya mau membangunkan kaum Muslim moderat tuk bersama-sama pikirkan bersama menanggulangi terorisme yang telah memboncengi agama islam sebagai motivasi “ kudus “ mereka. Dari hal ini,  poin positif saya dapat mempelajari bahwa perlunya ada sinkronisasi pembaca – pencipta. Oleh karena itu saya tergugah untuk melihat bagaimana kita membaca Alkitab yang kita percayai diwahyukan oleh Tuhan secara khusus kepada orang kristen untuk dapat memperoleh hikmat dan kehendak Tuhan yang memang adalah kehendak Tuhan dan bukanlah kehendak diri, Dalam tradisi Reformed, St. Bernard de Clairvaux maupun John Calvin mengingatkan setiap orang kristen akan nature bahwa Allah adalah Creator dan Manusia adalah Created. Saat manusia membaca Alkitab yang diwahyukan oleh Creator melalui manusia yang created by God maka pembaca perlu menyadari nature diri saat mereka memberikan penilaian maupun berusaha untuk menginterpretasi dengan takut akan Allah dan memohon Roh Kudus memberikan iluminasi kepada pembaca tuk menemukan hikmat-Nya karena manusia terlalu lemah dalam memberikan interpretasi bagi Kebenaran.     

Dalam edisi sebelumnya, Mr. Rose mengakui pernah mempublished gambar Tuhan Yesus disalib, matanya diberi tanda “ $ “ dan tanda “ Star of David “ yang juga digambarkan dengan bom. Jika demikian, Problem apa lagi yang terjadi disini ? Problem of Imagination. Imaginasi mengenai Agama tidak bisa lepas dari membayangkan Allah. Kenapa manusia problem dalam membayangkan Allah ? karena dosa ( Kejadian 3:5 ). Bagaimana kita melihat kisah dalam Perjanjian Lama saat bangsa Israelberada di dekat Gunung Sinai dan menunggu Musa naik ke gunung bertemu Tuhan ? Bangsa Israelmenyembah allah melalui imaginasi anak lembu emas. Dalam hal ini saat mereka mengambarkan Yesus disalib dengan tanda “ $ “ maka itu menunjukkan kualitas imaginasi kartunis ya hanya “ $ “ aja, berbeda dengan imaginasi dari J.R.R Tolkien dalam The Lord of Rings maupun C.S Lewis dalam The Chronicles of Narnia yang bermutu dan membangun. Bagaimana dengan gambar Mohamed ? itulah imaginasi berdosa manusia.

Menurut saudara, Apakah Jyllands Posten tidak respek terhadap dunia Islam ? Mr. Rose sebagai non believer mengakui respek terhadap dunia islam tetapi tidak taboo terhadap public karena dirinya berada dalam demokrasi sekuler. Ia mengutip statement dari Karl Poper bahwa “ one should not be tolerant with intolerant “ dan mengatakan banyak negara beragama juga memiliki freedom of expression sebagai hak yang fundamental. Ia mengambarkan satu contoh : Jika kita berada di Saudi Arabia, kita bisa ditangkap karena memakai kalung salib atau menemukan Alkitab dalam tas kita disaat kaum Muslim di Denmark yang sekuler dapat kebebasan memiliki fasilitas sendiri. Disini Mr. Rose menekankan setiap kebudayaan memiliki freedom of expression, mohon dihargai. Jika kita melihat dalam perkembangan sejarah filsafat, G.W.F. Hegel mewakili filsafat idealis melihat sejarah kebudayaan manusia sebagai pertumbuhan progressive dari zeitgeist ( Roh Zaman ) menuju kepada kebenaran yang absolute. Ia menginterpretasikan bahwa satu-satunya cara untuk memandang budaya adalah dengan mata pikiran dan perspektif yang diambil tidak dapat diambil dari luar budaya untuk mengamati budaya. Berbeda dengan Herman Dooyeweerd, akar kebudayaan selalu religius dan semua kebudayaan dihidupkan oleh motif dasar religius ( kunci hermeneutika untuk memahami dan menginterpretasi pola dan periode sejarah dan kebudayaan ) dan Dooyeweerd membaca “ Zeitgeist “ bukanlah mata pikiran ( versi Hegel ) tetapi religious spirit yaitu semangat menerima atau menolak Ketuhanan Allah atas ciptaan dan kebudayaan dan motif dasarnya adalah CREATION – FALL – REDEMPTION. Bagi Dooyeweerd, kebudayaan modern justru kebudayaan yang menolak aspek religius dalam hidup dan pikiran, termasuk interpretation. Mengenai Mr. Rose , saya percaya Dooyeweerd akan memasukkan dia ke dalam area kebudayaan yang menolak aspek religius baik hidup, pikiran maupun interpretation meskipun ia mengakui respek terhadap agama. Bagaimana dalam era postmodern ? Peter Berger, seorang teolog skeptis membaca bahwa dunia interpretation bersikap pluralisme maka tidak heran sikap media yang mewakili kebudayaan lebih mengarah kepada sayap “ kiri “. Apakah ini berlaku dalam Jylland-Posten ?

Atas nama Jyllands-Posten, Mr Rose memberikan permintaan maaf kepada setiap mereka yang “ sakit hati “ tetapi Mr. Rose juga tidak mau minta maaf atas hak mereka untuk mempublish materi-materi newspaper mereka dan mereka memberikan penjelasan bahwa mereka tidak anti muslim. Demokrasi Sekuler menjadi “ malaikat pelindung “ mereka dan sekali lagi freedom of speech ditekankan oleh Mr. Rose dalam pembelaan institusinya. Itulah freedom of speech yang “ verwoestte “ alias liar. Bagaimana dengan orang kristen ? Orang kristen harus mengagungkan freedom of speech yang religious seperti apa yang ditekankan oleh Dooyeweerd, karena tanpa kehadiran Allah dalam freedom of speech, freedom of imagination, freedom of interpretation, freedom of religion, tetap semuanya tidak takut kepada Allah dan semuanya “ verwoestte “. Maka seperti kata Dostoyevski, jika tidak ada Allah maka segala sesuatu diperbolehkan. Mengerikan sekali ! Kiranya hikmat bijaksana Allah terus mengingatkan kita betapa lemahnya manusia dan perlu kembali belajar meneladani satu-satunya Allah yang pernah datang ke dunia menghidupi “ The True Freedom of Speech, Religion, Interpretation, Imagination, Expression “ dan menyelamatkan manusia dari lumpur dosa, Yesus Kristus namanya. Solus Christus !

Soli Deo Gloria

Ev. Daniel Santoso