Pembahasan mengenai Arianisme
oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.
1) Mengapa muncul perdebatan tentang
Allah Tritunggal?
Albert H. Freundt Jr.: “Trinitarian
Controversies. The early Christian held exalted view of Jesus Christ. They
called him Messiah, Lord, Wisdom of God, Son of God. ... First century
Christians, however, concentrated on proclaiming rather than explaining the
person and work of Christ. In succeeding centuries widely divergent views
appeared. Christians desired to avoid ditheism or tritheism, yet they wanted to
assign a unique place to Christ. Divine attributes had been attributed to Jesus
by the earliest generation of Christians, the New Testament writers, and from
the beginning Christ was worshipped as God. But if this is the case, are there
not two Gods - God the Father and God the Son? The necessity of maintaining the
belief in one God and the need to define the relationship of Christ to God gave
rise to many Trinitarian controversies and to the rejection of several
heresies. Rejected early was the concept that survived in some Jewish-Christian
and other obscure sects, that Jesus was a mere man” (= Perdebatan tentang Tritunggal. Orang-orang kristen
mula-mula mempunyai pandangan yang tinggi tentang Yesus Kristus. Mereka
menyebutNya Mesias, Tuhan, Hikmat Allah, Anak Allah. ... Tetapi orang-orang
kristen abad pertama, berkonsentrasi pada pemberitaan dan bukannya pada
penjelasan tentang diri / pribadi dan pekerjaan Kristus. Dalam abad-abad
selanjutnya muncul pandangan-pandangan yang sangat berbeda. Orang-orang kristen
ingin untuk menghindari ditheisme dan tritheisme, tetapi mereka ingin
memberikan tempat yang unik bagi Kristus. Sifat-sifat Ilahi telah dianggap
sebagai milik Kristus oleh generasi orang kristen yang paling awal,
penulis-penulis Perjanjian Baru, dan dari semula Kristus disembah sebagai
Allah. Tetapi jika ini kasusnya, bukankah ada dua Allah - Allah Bapa dan Anak
Allah? Perlunya mempertahankan kepercayaan kepada satu Allah dan perlunya
mendefinisikan hubungan dari Kristus dengan Allah, memunculkan banyak perdebatan
tentang Tritunggal dan penolakan terhadap beberapa bidat. Yang mula-mula
ditolak adalah konsep yang bertahan hidup dalam kalangan sebagian orang kristen
Yahudi dan sekte-sekte lain yang tidak terlalu dikenal, bahwa Yesus adalah semata-mata
seorang manusia) -
‘Early Christianity’, hal 47.
2) Ajaran-ajaran sesat tentang Allah
Tritunggal.
Albert H. Freundt Jr.: “Monarchianism.
The third century is one in which many anti-trinitarian theories were developed
as an attempt to preserve belief in one God along with belief in Christ as the
Son of God. (Monarchianism comes from two Greek words meaning a single ruler.)
The Monarchians believed that the doctrine of the Trinity, developed by the
Apologists and the old Catholic theologians put in jeopardy the unity of God” [= Monarchianisme. Abad ketiga adalah abad dimana banyak
teori anti Tritunggal berkembang sebagai suatu usaha untuk mempertahankan
kepercayaan terhadap satu Allah bersama-sama dengan kepercayaan kepada Kristus
sebagai Anak Allah. (Monarchianisme berasal dari dua kata Yunani yang berarti
seorang penguasa / pemerintah tunggal.) Monarchianisme percaya bahwa doktrin
Tritunggal, yang dikembangkan oleh para Apologist dan ahli-ahli theologia
Katolik kuno membahayakan kesatuan dari Allah] - ‘Early Christianity’, hal 47.
Catatan: Monarchianism = MONO (= alone) +
ARKHEIN (= to rule).
Ada 2 jenis Monarchianism:
a) Dynamic
Monarchianism.
Albert H. Freundt Jr.: “Christ
was a mere man who received divine power and was raised by degrees to divine
rank or honor. The divine power came upon him at his baptism or at his
resurrection, at which time God recognized or deified him in some sense. This
view is also known as Adoptionism, for it held that in whatever sense Christ
was divine, he progressed from mere humanity to some kind of lesser deity” (= Kristus adalah semata-mata seorang manusia yang
menerima kuasa ilahi dan diangkat secara bertahap kepada tingkat atau
kehormatan ilahi. Kuasa ilahi datang kepadaNya pada saat baptisanNya atau pada
saat kebangkitanNya, pada saat mana Allah mengakui atau menjadikanNya sebagai
‘Allah’ dalam arti tertentu. Pandangan ini juga dikenal sebagai Adoptionisme,
karena pandangan ini mempercayai bahwa dalam arti apapun Kristus itu ilahi, Ia
maju / berkembang dari semata-mata manusia menjadi semacam / sejenis allah yang
lebih rendah) - ‘Early
Christianity’, hal 47.
b) Modalistic
Monarchianism.
Albert H. Freundt Jr.: “Modalistic
Monarchianism endangered the true humanity of Christ and obliterated the
distinctions within the Godhead. The aim was to make sure that in Christ we
meet with no secondary or derived being, but with God himself. It was believed
that in Christ the Father himself became incarnate as the Son and suffered.
Hence the name ‘Patripassianism’ was given to this view. There are no eternal
distinctions within the Godhead. God revealed himself in creation as the Faith,
in redemption and the Son, and in sanctification as the Spirit. There is a
trinity of manifestation rather than of persons. ... The best known exponent of
this view was Sabellius, and Sabellianism is another name for Modalistic
Monarchianism. It is essentially the view that God is one person who
successively reveals himself as Father, Son, and Spirit. When he became Son, he
ceased being Father; and so forth. Each was a temporary mode or manifestation
of the one true God” [=
Modalistic Monarchianisme membahayakan kemanusiaan yang sejati dari Kristus dan
menghapuskan perbedaan-perbedaan dalam diri Allah. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa dalam Kristus kita bertemu bukan dengan makhluk yang sekunder
atau yang diturunkan / mempunyai asal usul, tetapi dengan Allah sendiri.
Dipercaya bahwa Kristus adalah Bapa sendiri yang berinkarnasi sebagai Anak dan
menderita. Karena itu nama ‘Patripassianisme’ (= Bapa yang menderita) diberikan kepada pandangan
ini. Tidak ada perbedaan-perbedaan kekal dalam diri Allah. Allah menyatakan
diriNya sendiri dalam penciptaan sebagai Bapa, dalam penebusan sebagai Anak,
dan dalam pengudusan sebagai Roh. Ada ketritunggalan manifestasi / perwujudan
dan bukannya pribadi. ... Tokoh yang paling terkenal dari pandangan ini adalah
Sabellius, dan Sabellianisme adalah nama lain untuk Modalistic Monarchianisme.
Pada hakekatnya ini adalah pandangan bahwa Allah adalah satu pribadi yang
secara berturut-turut menyatakan diriNya sendiri sebagai Bapa, Anak, dan Roh.
Pada waktu Ia menjadi Anak, Ia berhenti menjadi Bapa, dan seterusnya.
Masing-masing adalah perwujudan sementara dari satu Allah yang benar] - ‘Early Christianity’, hal
47-48.
3) Munculnya Arius / Arianisme dan
pertentangannya dengan Alexander / Athanasius.
Albert H. Freundt Jr.: “Arianism
was concerned with defining the precise relationship of the Son to the Father.
... Arianism arose around 320 in Alexandria, in Egypt. ... Arius was a popular
presbyter in the city of Alexandria. He began the controversy by attacking the
views of his bishop, Alexander, who held that Jesus was of the same essential
being with the Father and that there was never a time in which he did not
exist. Arius began to teach that the Son had a beginning, through a creative
act of God, that Christ was not of the same substance as the Father; he was a
secondary deity, and subordinate to the Father” (= Arianisme prihatin dengan pendefinisian dari hubungan
yang tepat dari Anak dengan Bapa.
... Arianisme muncul pada sekitar tahun 320 di Alexandria, di Mesir. ... Arius
adalah seorang penatua yang populer di kota Alexandria. Ia memulai perdebatan
dengan menyerang pandangan dari uskupnya, Alexander, yang mempunyai pandangan
bahwa Yesus adalah dari keberadaan hakiki yang sama dengan Bapa dan bahwa tidak
pernah ada saat dimana Ia tidak ada. Arius mulai mengajar bahwa Anak mempunyai
permulaan, melalui suatu tindakan penciptaan dari Allah, bahwa Kristus bukan
dari zat yang sama dengan Bapa; Ia adalah allah sekunder, dan lebih rendah dari
Bapa) - ‘Early
Christianity’, hal 48.
a) Pandangan
Arius / Arianisme.
Philip Schaff: “Arius,
... taught that Christ, while he was indeed the creator of the world, was
himself a creature of God, therefore not truly divine” (= Arius, ... mengajar bahwa Kristus, sementara Ia
memang adalah pencipta dari alam semesta, Ia sendiri adalah suatu ciptaan dari
Allah, dan karena itu tidak betul-betul ilahi) - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 620.
Philip Schaff: “Arianism
... substituted for a truly divine Redeemer, a created demigod, an elevated
Hercules” (= Arianisme ...
menggantikan Penebus yang betul-betul ilahi dengan seorang setengah allah yang
diciptakan, seorang Herkules yang ditinggikan) - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 642,643.
Philip Schaff: “The
doctrine of the Arians, ... is in substance as follows: The Father alone is
God; therefore he alone is unbegotten, eternal, wise, good, and unchangeable,
and he is separated by an infinite chasm from the world. He cannot create the
world directly, but only through an agent, the Logos. The Son of God is
pre-existent, before all creatures, and above all creatures, a middle being
between God and the world, the creator of the world, the perfect image of the
Father, and the executor of his thoughts, and thus capable of being called in a
metaphorical sense God, and Logos, and Wisdom. But on the other hand, he
himself is a creature, that is to say, the first creation of God, through whom
the Father called other creatures into existence; he was created out of nothing
(not out of the essence of God) by the will of the Father before all
conceivable time; he is therefore not eternal, but had a beginning, and there
was a time when he was not” [=
Doktrin dari Arianisme, ... pada pokoknya adalah sebagai berikut: Bapa saja
yang adalah Allah; karena itu hanya Ia yang tidak dilahirkan, kekal, bijaksana,
baik, dan tidak bisa berubah, dan Ia dipisahkan oleh suatu jurang yang tak
terhingga dari alam semesta. Ia tidak bisa menciptakan alam semesta secara
langsung, tetapi hanya melalui seorang agen, sang Logos. Anak Allah mempunyai
keberadaan sebelumnya, sebelum semua ciptaan, dan di atas semua ciptaan,
seorang makhluk antara di antara Allah dan alam semesta, pencipta dari alam
semesta, gambar yang sempurna dari Bapa, pelaksana dari pemikiranNya, dan
karena itu bisa disebut dalam arti kiasan sebagai Allah, dan Logos, dan Hikmat.
Tetapi pada sisi lain, Ia sendiri adalah ciptaan, artinya, ciptaan pertama dari
Allah, melalui siapa Bapa menciptakan ciptaan-ciptaan yang lain; Ia diciptakan
dari tidak ada (bukan dari hakekat Allah) oleh kehendak Bapa sebelum semua
waktu yang bisa dibayangkan; karena itu Ia tidak kekal, tetapi mempunyai
permulaan, dan ada saat dimana Ia tidak / belum ada] - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 644-645.
Philip Schaff: “The
Arians made the Holy Ghost the first creature of the Son, and as subordinate to
the Son as the Son to the Father”
(= Para pengikut Arianisme membuat Roh Kudus sebagai ciptaan pertama dari Anak,
dan merupakan bawahan dari Anak, seperti Anak merupakan bawahan dari Bapa) - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 663.
Di sini Arianisme berbeda dengan Saksi
Yehuwa.
Sama seperti Saksi Yehuwa Arianism
menggunakan Amsal 8:22-25 Kol 1:15
untuk mendukung pandangannya [Philip Schaff, ‘History of the Christian
Church’, vol II, hal 646-647 (footnote)]
Tentang Kol 1:15 Philip Schaff
memberikan komentar sebagai berikut:
“But prwtotokoj is
not equivalent to prwtoktistoj or
prwtoplastoj: ... The meaning of the expression, therefore, is: born
before every creature, i.e. before anything was made. The text indicates the
distinction between the eternal generation of the Son from the essence of the
Father, and the temporal creation of the world out of nothing by the Son. Yet
there is a difference between monogenhj
and prwtotokoj, which Athanasius himself makes: the former referring to
the relation of the Son to the Father, the latter, to his relation to the
world” [= Tetapi prwtotokoj (PROTOTOKOS
/ first born / dilahirkan pertama)
tidak sama artinya dengan prwtoktistoj (PROTOKTISTOS / first-created /
diciptakan pertama) atau prwtoplastoj (PROTOPLASTOS
/ first-formed / dibentuk pertama):
... Karena itu, arti dari ungkapan itu adalah: dilahirkan sebelum setiap
ciptaan, yaitu sebelum apapun dibuat. Text ini menunjukkan perbedaan antara
tindakan kekal memperanakkan Anak dari hakekat Bapa, dan penciptaan alam
semesta dari tidak ada menjadi ada, oleh Anak, dalam waktu. Tetapi ada suatu
perbedaan antara monogenhj (MONOGENES
/ only begotten / satu-satunya yang diperanakkan) and prwtotokoj (PROTOTOKOS / first-born /
dilahirkan pertama), yang dibuat oleh
Athanasius sendiri: yang pertama menunjuk pada hubungan Anak dengan Bapa, yang
terakhir menunjuk pada hubunganNya dengan alam semesta] - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 647 (footnote).
b) Pandangan
Athanasius.
Philip Schaff: “From
this point of view Athanasius apprehended this gist of the controversy, always
finally summing up all his objections to the Arian doctrine with the chief
argument, that the whole substance of Christianity, all reality of redemption,
everything which makes Christianity the perfect salvation, would be utterly
null and meaningless, if he who is supposed to unite man with God in real unity
of being, were not himself absolute God, or of one substance with the absolute
God, but only a creature among creatures. The infinite chasm which separates
creature from Creator, remains unfilled; there is nothing really mediatory
between God and man, if between the two there be nothing more than some created
and finite thing, or such a mediator and redeemer as the Arians conceive the
Son of God in his essential distinction from God: not begotten from the essence
of God and coeternal, but created out of nothing and arising in time” (= Dari sudut pandang ini Athanasius melihat / memahami
intisari dari perdebatan, selalu pada akhirnya menyimpulkan semua keberatannya
terhadap ajaran Arianisme dengan argumentasi utama, bahwa seluruh hakekat /
pokok dari kekristenan, semua kenyataan penebusan, segala sesuatu yang membuat
kekristenan keselamatan yang sempurna, akan menjadi tidak ada dan tak berarti
sama sekali, seandainya Ia yang dianggap mempersatukan manusia dengan Allah dalam
kesatuan keberadaan yang nyata, bukanlah Allah yang mutlak, atau dari satu zat
dengan Allah yang mutlak, tetapi hanya merupakan suatu ciptaan di antara
ciptaan-ciptaan. Jurang yang tak terhingga yang memisahkan ciptaan dari
Pencipta, tetap tidak terisi; tidak ada apapun yang betul-betul menjadi
pengantara antara Allah dan manusia, jika di antara keduanya tidak ada yang
lebih dari suatu hal yang diciptakan dan bersifat terbatas, atau seorang
pengantara dan penebus sedemikian rupa, seperti yang dimengerti oleh para
pengikut Arianisme tentang Anak Allah dalam perbedaan hakikiNya dari Allah:
bukan dilahirkan dari hakekat Allah dan sama-sama kekal, tetapi diciptakan dari
tidak ada dan muncul dalam waktu) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 642.
Philip Schaff: “Athanasius
makes no distinction at all between the various shades of Arians and
Semi-Arians, but throws them all into the same category of enemies of the
catholic faith” (= Athanasius
tidak membedakan sama sekali antara bermacam-macam bayangan dari Arianisme dan
Semi-Arianisme, tetapi membuang mereka semua ke dalam kategori yang sama dari
musuh-musuh dari iman katolik / universal) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal
644.
Philip Schaff: “The
Son, as man, is produced; as God, he is unproduced or uncreated; he is begotten
from eternity of the unbegotten Father. To this Athanasius refers the passage
concerning the Only-begotten who is in the bosom of the Father” [= Anak, sebagai manusia, dihasilkan / diciptakan;
sebagai Allah, Ia tidak dihasilkan atau tidak diciptakan; Ia diperanakkan dari
kekekalan dari Bapa yang tidak diperanakkan. Untuk ini Athanasius menunjuk pada
text tentang Satu-satunya yang diperanakkan, yang ada di dada Bapa (Yoh 1:18)]
- ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 658.
Philip Schaff: “In
human generation, ... the father is older than the son; but in the divine
generation, which takes place not in time, but is eternal, there can be no such
thing as priority or posteriority of one or the other hypostasis” (= Dalam kelahiran manusia, ... bapanya lebih tua dari
anaknya; tetapi dalam kelahiran ilahi, yang terjadi bukan dalam waktu, tetapi
mereka sesuatu yang kekal, tidak ada ‘sebelum’ atau ‘sesudah’ dari satu pribadi
atau pribadi yang lain)
- ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 659.
Philip Schaff: “As
there is no Son without the Father, no more is there Father without Son. An
unfruitful Father were like a dark light, or a dry fountain, a
self-contradiction” (= Sama
seperti tidak ada Anak tanpa Bapa, demikian juga tidak ada Bapa tanpa Anak.
Seorang Bapa yang tidak berbuah / beranak, seperti terang yang gelap, atau
sumber air yang kering, suatu kontradiksi) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal
661.
4) Kedua pihak mengutip Origen.
Albert H. Freundt Jr.: “Origen
was quoted on both sides. On one hand he spoke of the eternal generation of the
Son; as God the Father had always existed, he could never have existed as
Father without the Son. He spoke also of the Son as subordinate, or a secondary
God” (= Origen dikutip oleh kedua
pihak. Pada satu sisi, ia berbicara tentang kelahiran kekal dari Anak;
sebagaimana Bapa itu selalu ada, Ia tidak pernah bisa ada sebagai Bapa tanpa
Anak. Ia juga berbicara tentang Anak sebagai seorang bawahan / lebih rendah,
atau seorang Allah sekunder) - ‘Early Christianity’, hal 48.
5) Pengutukan dan pemecatan terhadap
Arius.
Albert H. Freundt Jr.: “Alexander
convened a local synod which condemned and deposed Arius and his followers.
Arius then sought refuge with his friend, Bishop Eusebius of Nicomedia, and the
controversy continued and spread far beyond Alexandria. It was accompanied with
violence and threatened to engulf the whole East” (= Alexander memanggil sinode / sidang gereja lokal
untuk mengadakan sidang / rapat, yang mengecam / mengutuk dan memecat Arius dan
para pengikutnya. Arius lalu mencari perlindungan pada temannya, Uskup Eusebius
dari Nicomedia, dan perdebatan / pertentangan berlanjut dan menyebar jauh di
luar Alexandria. Pertentangan itu disertai kekerasan dan mengancam untuk
melanda seluruh wilayah Timur) - ‘Early Christianity’, hal 48.
6) Terjadinya Sidang Gereja Nicea yang
melahirkan Pengakuan Iman Nicea.
Albert H. Freundt Jr.: “The
Council of Nicea. Constantine, desiring unity for political purposes, became
involved in the conflict. When letters to the major parties still did not
produce peace, he called a council of the entire Church, the first ecumenical
council, which met at Nicea in the year 325 and was attended by 318 bishops and
many lesser clergy and laymen” [=
Sidang Gereja Nicea. Konstantine, yang menginginkan kesatuan untuk tujuan
politik, ikut terlibat dalam konflik itu. Pada waktu surat-surat kepada
pihak-pihak utama (dalam
pertikaian itu) tetap tidak menghasilkan
damai, ia mengadakan suatu sidang dari seluruh Gereja, Sidang Gereja yang
pertama, yang bertemu di Nicea pada tahun 325, dan dihadiri oleh 318 uskup dan
banyak pendeta yang lebih rendah dan orang-orang awam] - ‘Early Christianity’, hal 48.
Albert H. Freundt Jr.: “The
Arians stated their position at the council and it aroused strong opposition.
There were few strongly committed Arians there besides Arius and his friend
Eusebius of Nicomedia. However, the latter exercised much influence over
Constantine. Those who opposed the Arians were led by Alexander and by
Athanasius, his secretary or aide, who would become the chief opponent of
Arianism in the days to come” (=
Para penganut Arianisme menyatakan posisi / pandangan mereka dalam sidang dan
itu membangkitkan oposisi / perlawanan yang kuat. Di sana hanya ada sedikit
orang-orang Arianisme yang sungguh-sungguh kecuali Arius dan temannya, Eusebius
dari Nicomedia. Tetapi, yang terakhir ini mempunyai pengaruh besar terhadap
Konstantine. Mereka yang menentang Arianisme dipimpin oleh Alexander dan
Athanasius, sekretaris atau pembantunya, yang akan menjadi lawan utama dari
Arianisme di masa yang akan datang) - ‘Early Christianity’, hal 49.
Albert H. Freundt Jr.: “During
the deliberations, Eusebius of Caesarea proposed that the creed of his church
be adopted by the council. ... The only problem was that his creed simply did
not touch adequately on the points at issue. The council made two additions to
it, affirming that the Son was co-eternal and consubstantial with the Father” (= Dalam sepanjang pertimbangan yang mendalam itu,
Eusebius dari Kaisarea mengusulkan supaya kredo dari gerejanya diadopsi oleh
sidang. ... Satu-satunya problem adalah bahwa kredonya tidak menyinggung pokok
persoalannya secara cukup. Sidang itu membuat dua tambahan kepada credo itu,
yang menegaskan bahwa Anak sama kekalnya dan sama hakekatnya dengan Bapa) - ‘Early Christianity’, hal 49.
Albert H. Freundt Jr.: “The main features of this statement have been preserved
in what we call the Nicene Creed. Eusebius of Nicomedia signed the creed, Arius
was banished, and Constantine decreed the death penalty for those who would not
conform”
(= Ciri-ciri utama dari pernyataan ini telah dipelihara / diawetkan dalam apa
yang kita sebut Pengakuan Iman Nicea. Eusebius dari Nicomedia menanda-tangani
Pengakuan Iman itu, Arius dibuang, dan Konstantine mengeluarkan dekrit hukuman
mati untuk mereka yang tidak mau menyesuaikan diri) - ‘Early Christianity’, hal 49.
Philip Schaff: “The
books of Arius were burned and his followers branded as enemies of
Christianity” (= Buku-buku dari
Arius dibakar dan para pengikutnya dicap sebagai musuh-musuh dari kekristenan) - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 629-630.
Philip Schaff: “This
is the first example of the civil punishment of heresy; and it is the beginning
of a long succession of civil persecutions for all departures from the Catholic
faith. Before the union of church and state ecclesiastical excommunication was
the extreme penalty. Now banishment and afterwards even death was added,
because all offences against the church were regarded as at the same time
crimes against the state and civil society” (= Ini adalah contoh pertama dari penghukuman pemerintah
terhadap bidat; dan itu merupakan permulaan dari rangkaian yang panjang dari penganiayaan
pemerintah untuk semua penyimpangan dari iman Katolik / Universal. Sebelum
persatuan gereja dan negara, pengucilan gerejani merupakan hukuman yang
tertinggi. Sekarang pembuangan dan setelah itu bahkan ditambahkan kematian,
karena semua pelanggaran terhadap gereja pada saat yang sama dianggap sebagai
kejahatan terhadap negara dan masyarakat sipil) - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 630.
Philip Schaff: “Thus
ended the council of Nicæa. It is the first and most venerable of the ecumenical
synods, and next to the apostolic council at Jerusalem the most important and
the most illustrious of all the councils of Christendom. Athanasius calls it ‘a
true monument and token of victory against every heresy;’ ... The council of
Nicæa is the most important event of the fourth century, ... Upon the bed of
lava grows the sweet fruit of the vine. The wild passions and the weaknesses of
men, which encompassed the Nicene council, are extinguished, but the faith in
the eternal deity of Christ has remained, and so long as this faith lives, the
council of Nicæa will be named with reverence and with gratitude” (= Maka berakhirlah Sidang Gereja Nicea. Itu merupakan
Sidang Gereja yang pertama dan yang paling patut dimuliakan, dan setelah Sidang
Gereja rasuli di Yerusalem, ini merupakan Sidang Gereja yang paling penting dan
paling termasyhur dari kekristenan / umat kristen. Athanasius menyebutnya
‘suatu monumen sejati dan dan tanda kemenangan terhadap setiap bidat’; ...
Sidang Gereja Nicea adalah peristiwa yang paling penting pada abad keempat, ...
Di atas dasar lahar tumbuh buah yang manis dari pokok anggur. Semangat /
kemarahan yang liar dan kelemahan-kelemahan manusia, yang meliputi Sidang
Gereja Nicea, dipadamkan, tetapi iman kepada keilahian yang kekal dari Kristus
tetap tinggal, dan selama iman ini hidup, Sidang Gereja Nicea akan disebut
dengan hormat dan dengan rasa syukur) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal
630,631,632.
7) Pengakuan Iman Nicea mempunyai 3
bentuk.
a) Bentuk
pertama (orisinil).
Pengakuan Iman Nicea (325 M.):
“We believe in one God, the Father Almighty, Maker of all
things visible and invisible. And in one Lord Jesus Christ, the Son of God,
begotten of the Father, the only begotten; that is, of the essence of the
Father, God of God, Light of Light, very God of very God, begotten, not made,
being of one substance (o[moousion)
with the Father; by whom all things were made, both in heaven and on earth; who
for us men, and for our salvation, came down and was incarnate, and was made
man; he suffered, and the third day he rose again, ascending into heaven; from
thence he shall come to judge the quick and the dead. And in the Holy Ghost.
But those who say: ‘There was a time when he was not;’ and ‘He was not before
he was made;’ and, ‘He was made out of nothing,’ or, ‘He is of another
substance’ or ‘essence,’ or, ‘The Son of God is created’ or ‘changeable,’ or
‘alterable’ - they are condemned by the holy catholic and apostolic Church” [= Kami percaya kepada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa,
Pencipta dari segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Dan
kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, diperanakkan dari Bapa,
satu-satunya yang diperanakkan, tidak dicipta, ada dalam satu zat (o[moousion) dengan Bapa; oleh siapa sesuatu diciptakan, baik di
surga dan di bumi; yang bagi kita manusia, dan untuk keselamatan kita, turun
dan berinkarnasi, dan dibuat menjadi manusia; Ia menderita, dan pada hari
ketiga Ia bangkit kembali, naik ke surga; dari sana Ia akan datang untuk menghakimi
orang yang hidup dan yang mati. Dan kepada Roh Kudus. Tetapi mereka yang
berkata: ‘Ada saat dimana Ia tidak ada’; dan ‘Ia tidak ada sebelum Ia dicipta’;
dan ‘Ia diciptakan dari tidak ada’, atau ‘Ia dari zat atau hakekat yang lain’,
atau, ‘Anak Allah diciptakan’ atau ‘bisa berubah’ - mereka dikecam / dikutuk
oleh Gereja Universal yang kudus dan rasuli] - A. A. Hodge, ‘Outlines of Theology’, hal
115-116.
b) Pengakuan
Iman Nicea-Konstantinople.
“This consist of the Nicene Creed, above given, slightly
changed in the first article, and with the clause defining the Person and the
work of the Holy Ghost added, and the Anathema omitted. This new form of the
Creed has been generally attributed to the Council of Constantinople, convened
by the Emperor Theodosius, A. D. 381, to condemn the doctrine of the
Macedonians, who denied the divinity of the Holy Ghost. These changes in the
Nicene Creed were unquestionably made about that date, and the several
‘clauses’ added existed previously in formularies proposed by individual
theologians. But there is no evidence that the changes were made by the Council
of Constantinople. They were, however, recognized by the Council of Chalcedon,
A. D. 451. It is in this latter form that the Creed of Nice is now used in the
Greek Church” (= Ini terdiri dari
Pengakuan Iman Nicea, yang diberikan di atas, diubah sedikit pada pasal
pertama, dan ditambahi dengan anak kalimat yang mendefinisikan Pribadi dan
pekerjaan Roh Kudus, dan penghapusan Kutukan / Kecaman. Bentuk yang baru dari
Pengakuan Iman ini pada umumnya telah dihubungkan dengan Sidang Gereja
Konstantinople, yang diadakan oleh Kaisar Theodosius, pada tahun 381 M., untuk
mengecam / mengutuk ajaran dari orang-orang Makedonia, yang menyangkal
keilhaian dari Roh Kudus. Perubahan-perubahan dalam Pengakuan Iman Nicea ini
tidak diragukan lagi dibuat pada sekitar tanggal itu, dan beberapa anak kalimat
yang ditambahkan, sebelumnya sudah ada dalam formula-formula yang diusulkan
oleh ahli-ahli theologia individuil. Tetapi tidak ada bukti bahwa
perubahan-perubahan ini dibuat oleh Sidang Gereja Konstantinople. Tetapi
tambahan-tambahan itu diakui oleh Sidang Gereja Chalcedon, tahun 451 M. Dalam
bentuk yang baru inilah Pengakuan Iman Nicea sekarang digunakan di Gereja
Yunani) - A. A. Hodge,
‘Outlines of Theology’, hal 116.
c) Bentuk
ketiga.
“The third or Latin form of this creed, in which it is
used in the Roman, Episcopal, and Lutheran Churches, differs from the second
form above mentioned only in (a.) restoring the clause (‘Deus de Deo’) ‘God of
God,’ to the first clause; it belonged to the original Creed of Nice, but had
been dropped out of the Greek Nicæno-Constantinopolitan form. (b.) The famous
‘Filioque’ term was added to the clause affirming the procession of the Spirit
from the Father. This was added by the provincial Council of Toledo, Spain, A.
D. 589, and gradually accepted by the whole Western Church, and thence by all
Protestants, without any æcumenical ratification. That phrase is rejected by
the Greek Church” [= Bentuk yang
ketiga atau bentuk Latin dari Pengakuan Iman ini, yang digunakan dalam
Gereja-gereja Roma, Episcopal, dan Lutheran, berbeda dengan bentuk yang kedua,
yang disebutkan di atas, hanya dalam (a.) pengembalian anak kalimat (‘Deus de
Deo’) ‘Allah dari Allah’, sebagai anak kalimat pertama; itu termasuk pada
Pengakuan Iman Nicea yang orisinil, tetapi telah dikeluarkan dari bentuk
Nicea-Konstantinople Yunani. (b.) Istilah yang termasyhur ‘Filioque’
ditambahkan kepada anak kalimat yang menegaskan keluarnya Roh dari Bapa. Ini
ditambahkan oleh Sidang Gereja daerah di Toledo, Spanyol, pada tahun 589 M.,
dan secara bertahap diterima oleh seluruh Gereja Barat, dan dari sana oleh
semua orang-orang Protestant, tanpa pengesahan gerejani apapun. Ungkapan itu
ditolak oleh Gereja Yunani] - A. A. Hodge, ‘Outlines of Theology’, hal 116.
Pengakuan Iman
Nicea-Konstantinople-Toledo:
“I believe
in one God the Father Almighty, maker of heaven and earth, and of all things
visible and invisible; and in one Lord Jesus Christ, the only begotten Son of
God, begotten of his Father before all worlds; God of God, Light of Light, very
God of very God, begotten not made, being of one substance with the Father; by
whom all things were made; Who for us men and for our salvation came down from
heaven, and was incarnate by the Holy Ghost of the Virgin Mary, and was made
man; He was crucified, also for us, under Pontius Pilate. He suffered and was
buried; and the third day he rose again according to the Scriptures; and
ascended into heaven, and sitteth on the right hand of the Father. And he shall
come again with glory to judge both the quick and the dead; whose kingdom shall
have no end. And I believe in the Holy Ghost, the Lord and Giver of life, who
proceedeth from the Father and the Son (this phrase ‘filioque’ was
added to the creed of Constantinople by the council of the western church held
at Toledo, A. D. 589), who, with the Father and the Son together is worshipped
and glorified, who spake by the prophets. And I believe one Catholic and
Apostolic Church, I acknowledge one baptism for the remission of sins; and I
look for the resurrection of the dead, and the life of the world to come” (= Aku percaya kepada satu Allah Bapa yang
mahakuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan. dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, satu-satunya Anak Allah yang
diperanakkan, diperanakkan dari Bapa sebelum alam semesta, Allah dari Allah,
terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan,
bukan dicipta, sehakekat dengan sang Bapa, oleh siapa segala sesuatu dicipta;
yang untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita telah turun dari sorga, dan
diinkarnasikan oleh Roh Kudus dari anak dara Maria, dan dijadikan manusia; Ia
telah disalibkan, juga bagi kita, di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Ia
menderita dan dikuburkan; dan pada hari ketiga Ia bangkit kembali, sesuai
dengan Kitab Suci, dan naik ke sorga; dan duduk di sebelah kanan Bapa. dan Ia
akan datang kembali dengan kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang
mati; yang kerajaanNya takkan berakhir. Dan aku percaya kepada Roh Kudus, Tuhan
dan pemberi kehidupan, yang keluar dari Bapa dan Anak (ungkapan ‘filioque’ ini
ditambahkan kepada Pengakuan Iman Konstantinople oleh sidang gereja barat yang
dilakukan di Toledo, 589 M.), yang bersama-sama dengan Bapa dan Anak disembah dan
dimuliakan, yang telah berfirman dengan perantaraan para nabi. Dan aku percaya
satu gereja yang am dan rasuli, aku mengakui satu baptisan untuk pengampunan
dosa, dan aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang
akan datang) - A. A.
Hodge, ‘Outlines of Theology’, hal 116-117.
8) Pengakuan Iman Nicea hanya
mempedulikan keilahian Kristus, dan karena itu tidak terlalu mempersoalkan Roh
Kudus.
Philip Schaff: “It
is somewhat abrupt; the council not caring to do more than meet the immediate
exigency. The direct concern was only to establish the doctrine of the true
deity of the Son. The deity of the Holy Spirit, though inevitably involved, did
not come up as a subject of special discussion, and therefore the synod
contented itself on this point with the sentence: ‘And (we believe) in the Holy
Ghost.’” [= Itu agak kasar;
Sidang Gereja itu tidak berusaha untuk melakukan lebih dari menangani keadaan
darurat pada saat itu. Perhatian yang langsung hanyalah meneguhkan doktrin
tentang keilahian yang benar dari Anak. Keilahian dari Roh Kudus, sekalipun
secara tak terhindarkan ikut terlibat, tidak muncul sebagai suatu pokok
pembicaraan khusus, dan karena itu dalam persoalan ini Sidang Gereja itu puas
dengan kalimat: ‘Dan (aku percaya) kepada Roh Kudus’.] - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 629.
9) Pertentangan dalam persoalan ini
belum selesai.
Ternyata Sidang Gereja Nicea tidak /
belum menyelesaikan pertentangan / perdebatan itu. Karena pengaruh dari
Eusebius dari Nicomedia, Arius dikembalikan dari pembuangan, dan mengajukan
suatu Pengakuan Iman yang kelihatannya merupakan penarikan kembali dari
Pengakuan Imannya yang sebelumnya, tetapi sebetulnya tidak demikian. Kaisar
memerintahkan supaya Arius diterima kembali, tetapi Athanasius menolak,
sehingga sekarang Athanasiuslah yang dibuang.
Albert H. Freundt Jr.: “The
controversy was far from over. Soon Eusebius of Nicomedia was influencing the
emperor again. Arius was permitted to return; he presented Constantine with a
creed that looked like a retraction, but was not. In the meantime, Athanasius
had succeeded Alexander as Bishop in 328, and the antagonism of the Arians was
directed against him. Athanasius was ordered to reinstate Arius at Alexandria,
but he would not. Athanasius was exiled from his city - the first of five
banishments - but each time he was permitted to return. His firmness was due in
part to his belief that the Gospel was at stake in this issue, and in part to
his conviction that the state should not be allowed to dictate to the Church” [= Pertentangan / perdebatan itu jauh dari selesai.
Segera Eusebius dari Nicomedia mempengaruhi sang kaisar lagi. Arius diijinkan
untuk kembali; ia menyajikan / memberikan kepada Konstantine suatu kredo yang
kelihatannya merupakan suatu penarikan kembali pernyataannya yang terdahulu,
tetapi sebetulnya tidaklah demikian. Sementara itu, Athanasius telah
menggantikan Alexander sebagai Uskup pada tahun 328, dan permusuhan dari para
pendukung Arius diarahkan kepadanya. Athanasius diperintahkan untuk menerima
Arius kembali di Alexandria, tetapi ia tidak mau. Athanasius dibuang dari
kotanya - pembuangan yang pertama dari lima pembuangan - tetapi setiap kali ia
diijinkan untuk kembali. Keteguhannya disebabkan sebagian oleh kepercayaannya
bahwa Injil sedang dipertaruhkan dalam persoalan ini, dan sebagian oleh
keyakinannya bahwa negara tidak boleh diijinkan untuk mendikte gereja] - ‘Early Christianity’, hal 49.
10) Kematian
dari Arius.
Philip Schaff: “Athanasius,
... was condemned and deposed for false accusations by two Arian councils, ...
and banished by the emperor to Treves in Gaul in 336, as a disturber of the
peace of the church. Soon after this Arius, having been formally acquitted of
the charge of heresy by a council at Jerusalem (A. D. 335), was to have been
solemnly received back into the fellowship of the church at Constantinople. But
on the evening before the intended procession from the imperial palace to the
church of the Apostles, he suddenly died (A. D. 336), at the age of over eighty
years, of an attack like cholera, while attending to a call of nature.
This death was regarded by many as a divine judgment; by others, it was
attributed to poisoning by enemies; by others, to the excessive joy of Arius in
his triumph” [= Athanasius, ...
dikecam / dikutuk dan dipecat karena dua tuduhan palsu oleh dua Sidang Gereja
Arianisme, ... dan dibuang oleh kaisar ke Treves di Gaul pada tahun 336,
sebagai seorang pengacau kedamaian gereja. Segera setelah ini, Arius, yang
secara resmi telah dibebaskan dari tuduhan bidat / penyesatan oleh suatu Sidang
Gereja di Yerusalem (335 M.), akan diterima kembali dengan khidmat ke dalam
persekutuan gereja di Konstantinople. Tetapi pada malam sebelum ia diharapkan
keluar dari istana kekaisaran menuju gereja dari rasul-rasul, ia mendadak mati
(336 M.), pada usia lebih dari 80 tahun, karena serangan semacam kolera,
sementara ia mengikuti panggilan alam. Kematian ini dianggap oleh banyak
orang sebagai penghakiman ilahi; dan oleh orang-orang lain itu dihubungkan
dengan peracunan oleh musuh-musuh; dan orang-orang yang lain lagi menganggap
bahwa hal itu disebabkan karena kegembiraan yang berlebihan dari Arius dalam
kemenangannya] - ‘History
of the Christian Church’, vol III, hal 633.
Catatan: ‘a call of nature’ (= panggilan
alam), seperti makan, buang air, dan sebagainya.
11) Kematian dari Konstantine, dan pengaruhnya terhadap
pertentangan ini.
Philip Schaff: “On
the death of Constantine (337), ... Athanasius was recalled from his banishment
(338) by Constantine II (+ 340), and received by his people with great
enthusiasm; ‘more joyously than ever (even?) an emperor.’” [= Pada kematian Konstantine (337), ... Athanasius
dipanggil kembali dari pembuangannya (338) oleh Konstantine II (+ 340), dan
disambut oleh para pendukungnya dengan semangat yang besar: ‘dengan lebih
sukacita bahkan dari seorang kaisar’] - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 633.
12) Arianisme berkuasa
di wilayah Timur, sedangkan pengikut Nicea berkuasa di wilayah Barat dari
kekaisaran Romawi.
Albert H. Freundt Jr.: “Eusebius
of Nicomedia was in control and baptized Constantine just before Constantine’s
death in 337. Constantine was succeeded by his three sons. When Constantine II
died shortly, this left Constans in the West and Constantius in the East. The
Western emperor was sympathetic with the Nicene doctrine; the Eastern emperor
was Arian in sympathy. Eusebius of Nicomedia was made bishop of Constantinople,
and Athanasius was banished again. Athanasius went to Rome and was welcomed by
Bishop Julius, who called a local conference which upheld him in his views.
Eastern bishops came, but when they saw that they were outnumbered they would
not participate. Thus it was not a general council, although it declared in
favor of Athanasius” (= Eusebius
dari Nicomedia memegang kendali / berkuasa, dan membaptis Konstantine persis
sebelum kematiannya pada tahun 337. Konstantine digantikan oleh 3 anak
laki-lakinya. Pada waktu Konstantine II mati sesaat setelah itu, maka yang
tinggal adalah Konstans di Barat dan Konstantius di Timur. Kaisar Barat
bersimpati dengan doktrin Nicea; kaisar Timur bersimpati dengan Arianisme.
Eusebius dari Nicomedia dijadikan uskup dari Konstantinople, dan Athanasius dibuang
lagi. Athanasius pergi ke Roma dan disambut oleh Uskup Julius, yang memanggil
suatu sidang lokal yang membenarkan / menguatkan dia dalam pandangannya.
Uskup-uskup Timur datang, tetapi ketika mereka melihat bahwa mereka kalah
banyak dalam jumlah, mereka tidak mau berpartisipasi. Karena itu, itu bukanlah
Sidang Gereja umum, sekalipun Sidang Gereja itu memutuskan untuk mendukung
Athanasius) - ‘Early
Christianity’, hal 49-50.
Philip Schaff: “In
the East Arianism prevailed. Constantius, second son of Constantine the Great,
and ruler in the East, together with his whole court, was attached to it with
fanatical intolerance. ... Athanasius was for a second time deposed, and took
refuge with the bishop Julius of Rome (339 or 340)” (= Di Timur Arianisme menang. Konstantius, anak kedua
dari Konstantine yang Agung, dan penguasa di Timur, bersama dengan seluruh
istananya, melekat padanya dengan sikap tidak bertoleransi yang fanatik. ...
Athanasius dibuang untuk keduakalinya, dan mencari perlindungan dari uskup Julius
di Roma) - ‘History
of the Christian Church’, vol III, hal 634.
Philip Schaff: “Constantius
was compelled, indeed, by his brother to restore Athanasius to his office in
346; but after the death of Constans, A. D. 350, he summoned three successive
synods in favor of a moderate Arianism; ... he forced the decrees of these
councils on the Western church, deposed and banished bishops, like Liberius of
Rome, Hosius of Cordova, Hilary of Poictiers, Lucifer of Calaris, who resisted
them, and drove Athanasius from the cathedral of Alexandria during divine
service with five thousand armed soldiers, and supplied his place with an
uneducated and avaricious Arian, George of Cappadocia (356). ... Even in their
exile the faithful adherents of the Nicene faith were subjected to all manner
of abuse and vexation. ... Thus Arianism gained the ascendency in the whole
Roman empire, though not in its original rigorous form, but in the milder form
of homoi-ousianism or the doctrine of similarity of essence, as opposed on the one
hand to the Nicene homo-ousianism (sameness of essence), and on the other hand
to the Arius hetero-ousianism (difference of essence)” [= Konstantius dipaksa oleh saudaranya untuk
mengembalikan Athanasius kepada jabatannya pada tahun 346; tetapi setelah kematian
dari Konstans, tahun 350 M., ia memanggil 3 Sidang Gereja berturut-turut yang
mendukung Arianisme yang moderat / Semi-Arianisme; ... ia memaksakan
ketetapan-ketetapan dari ketiga Sidang Gereja ini pada gereja Barat, memecat
dan membuang uskup-uskup, seperti Liberius dari Rome, Hosius dari Cordova,
Hilary dari Poictiers, Lucifer dari Calaris, yang menentangnya, dan mengusir
Athanasius dari katedral Alexandria pada saat kebaktian dengan 5.000 tentara
bersenjata, dan menggantikan tempatnya dengan seseorang Arian yang tidak
terpelajar dan tamak, George dari Kapadokia (356). ... Bahkan dalam pembuangan
para pengikut dari iman Nicea menjadi sasaran dari segala cara penyiksaan dan
hal-hal yang menyakitkan hati. ... Demikianlah Arianisme mendapatkan kekuasaan
/ pengaruh di seluruh kekaisaran Romawi, sekalipun tidak dalam bentuk
orisinilnya yang yang keras, tetapi dalam bentuk yang lebih lunak dari
homoi-ousion atau ajaran tentang kemiripan hakekat, bertentangan dengan pada
satu sisi dengan ajaran Nicea tentang homo-ousion (kesamaan hekakat), dan pada
sisi lain dengan ajaran Arius hetero-ousion (perbedaan hakekat)] - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 635.
13) Semi-Arianisme.
Philip Schaff: “The
Semi-Arians, ... wavered in theory and conduct between the Nicene orthodoxy and
the Arian heresy. ... The signal term of Semi-Arianism is HOMOI-OUSION, in
distinction from HOMO-OUSION and HETERO-OUSION. ... Hence it satisfied neither
of the opposite parties, and was charged by both with logical incoherence.
Athanasius and his friends held, against the Semi-Arians, that like attributes
and relations might be spoken of, but not like essences or substances; these
are either identical or different. ... The Arians argued: There is no middle
being between created and uncreated being; if God the Father alone is
uncreated, everything out of him, including the Son, is created, and
consequently of different essence, and unlike him” [= Semi-Arianisme, ... terombang-ambing dalam teori dan
tindakan di antara golongan orthodox Nicea dan bidat Arian. ... Istilah yang
menandakan Semi-Arianisme adalah HOMOI-OUSION, berbeda dengan HOMO-OUSION dan
HETERO-OUSION. ... Karena itu, ia tidak memuaskan yang manapun dari pihak-pihak
yang bertentangan, dan dituduh oleh keduanya dengan ketidak-logisan. Athanasius
dan teman-temannya mempertahankan terhadap Semi-Arianisme bahwa kemiripan sifat
dan hubungan bisa dibicarakan, tetapi tidak kemiripan hakekat atau zat; yang
ini atau identik atau berbeda. ... Para pengikut Arianisme berargumentasi:
Tidak ada makhluk perantara di antara makhluk ciptaan dan yang tidak dicipta;
jika Allah Bapa saja yang tidak dicipta, sesuatu di luar Dia, termasuk Anak,
dicipta, dan akibatnya, mempunyai hakekat yang berbeda, dan tidak seperti /
mirip Dia] - ‘History
of the Christian Church’, vol III, hal 649-650.
14) Makin berkuasanya pendukung Nicea.
Albert H. Freundt Jr.: “The
controversy continued. At the death of his brother, Constantius was in 353 made
the sole emperor and ruler of the empire. An effort failed to bring the two
parties together through adoption of the term homoiousion (of similar
substance), and Athanasius was banished again. After the death of Constantius,
there were two short reigns, then the empire was divided again between
Valentinian I in the West and Valens in the East. Again the Western ruler was
Nicene in sympathy, and the Eastern, Arian. Athanasius died in office in 373,
but by this time the Nicene position was beginning to be broadly accepted. The
facts are that there were few radical Arians, the moderate Arians began to
support the Nicene decision, and the Nicene doctrine was developed and
expounded by the great and influential Cappadocian fathers” [= Perdebatan berlanjut. Pada saat kematian dari
saudaranya, pada tahun 353 Konstantius dijadikan satu-satunya kaisar dan
penguasa dari kekaisaran. Suatu usaha untuk menyatukan kedua pihak melalui
penerimaan istilah homoi-ousion (dari zat yang mirip), gagal, dan Athanasius
dibuang lagi. Setelah kematian dari Konstantius, ada 2 pemerintahan singkat,
lalu kekaisaran itu terpecah lagi antara Valentinian I di Barat dan Valens di
Timur. Lagi-lagi penguasa Barat bersimpati dengan Pengakuan Iman Nicea, dan
penguasa Timur dengan Arianisme. Athanasius mati dalam jabatannya pada tahun
373, tetapi pada saat ini posisi dari Pengakuan Iman Nicea mulai diterima
secara luas. Faktanya adalah bahwa ada sedikit pengikut Arianisme yang radikal,
dan para pengikut Arianisme yang moderat / Semi-Arianisme mulai mendukung
keputusan Nicea, dan doktrin Nicea dikembangkan dan diuraikan secara terperinci
oleh bapa-bapa Kapadokia yang besar dan berpengaruh] - ‘Early Christianity’, hal 50.
Albert H. Freundt Jr.: “The
great Cappadocians were Gregory of Nazianzus, Basil of Caesarea, and Gregory of
Nyssa. ... All three were bishops, and they called attention to the distinction
between ousia (the Greek
equivalent of ‘substantia’) and hypostasis
(translated into Latin as ‘persona’). They held that in God there was only one
OUSIA, which is shared by the three HYPOSTASIS of Father, Son, and Spirit” [= Bapa-bapa Kapadokia yang besar itu adalah Gregory
dari Nazianzus, Basil dari Kaisarea, and Gregory dari Nyssa. ... Ketiganya
adalah uskup, dan mereka meminta perhatian pada perbedaan antara OUSIA (padan
kata Yunani dari ‘substantia’ / ‘zat’) dan HYPOSTASIS (diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin sebagai ‘persona’ / ‘pribadi’). Mereka percaya bahwa dalam Allah
hanya ada satu OUSIA / zat / hakekat, yang dimiliki bersama-sama oleh ketiga
HYPOSTASIS / pribadi dari Bapa, Anak, dan Roh] - ‘Early Christianity’, hal 50.
Albert H. Freundt Jr.: “In
addition, Theodosius, the emperor born in Spain was vigorously anti-Arian. He
called the second ecumenical Council, which met in Constantinople in 381 and
approved an enlarged form of the Nicene Creed” (= Sebagai tambahan, Theodosius, kaisar yang lahir si
Spanyol adalah anti Arianisme yang sangat keras. Ia memanggil Sidang Gereja
kedua, yang bertemu di Konstantinople pada tahun 381 dan menyetujui suatu
bentuk yang diperluas dari Pengakuan Iman Nicea) - ‘Early Christianity’, hal 50.
15) Musnahnya Arianisme.
Albert H. Freundt Jr.: “Arianism
persisted for several centuries, but chiefly among Germanic peoples who had
been won to Christianity by missionaries from Eastern Christianity, when that
form of the faith was prominent in the empire. It is ironic that the barbarians
who invaded the empire in the West were already Christians, Arians Christians.
In the course of time the Germanic peoples conformed to the orthodox position” (= Arianisme bertahan untuk beberapa abad, tetapi
terutama di antara orang-orang Jerman yang telah dimenangkan kepada kekristenan
oleh misionaris-misionaris dari kekristenan Timur, ketika bentuk iman itu
menonjol dalam kekaisaran. Merupakan sesuatu yang ironis bahwa orang-orang
barbar yang menginvasi kekaisaran di Barat adalah orang-orang yang sudah
Kristen, orang-orang kristen Arian. Dengan berlalunya waktu, orang-orang Jerman
menyesuaikan diri dengan posisi orthodox) - ‘Early Christianity’, hal 50.
Menurut Philip Schaff ini berlangsung
selama sekitar 200 tahun.
16) Perbedaan tipis tetapi besar!
Arianisme menggunakan istilah
HETERO-OUSIOS (= dari zat yang berbeda).
Athanasius / Pengakuan Iman Nicea
menggunakan istilah HOMO-OUSIOS (= dari zat yang sama)
Semi-Arianisme menggunakan istilah
HOMOI-OUSIOS (= dari zat yang mirip / serupa).
Philip Schaff: “To
the superficial and rationalistic eye this great struggle seems a metaphysical
subtilty and a fruitless logomachy revolving about a Greek iota” (= Bagi mata yang dangkal dan rasionalis, pergumulan
yang besar ini kelihatannya merupakan suatu perbedaan halus yang bersifat
metafisik, dan suatu perdebatan tentang kata-kata yang tidak berbuah, yang
berkisar tentang suatu iota dalam bahasa Yunani) - ‘History of the Christian Church’,
vol III, hal 641.
William Hendriksen (tentang Kol 2:9): “o[moousioj, as the Nicene Creed declared, means ‘of the same
substance or essence’, the Son being consubstantial with the Father, while the
weaker o[moiousioj, preferred by the Arians, means similar in substance or
essence. Though the difference seems trivial - only one letter! - it is
actually nothing less than that between declaring that Jesus is God and saying
that he is man, a very divine man, to be sure, but man nevertheless. Was not
the slogan of these heretics, ‘There was a time when he was not’?” [= o[moousioj (HOMOOUSIOS), seperti dinyatakan oleh Pengakuan Iman Nicea, berarti
‘dari zat atau hakekat yang sama’, Anak mempunyai hakekat yang sama dengan
Bapa, sementara kata yang lebih lemah o[moiousioj (HOMOIOUSIOS), lebih dipilih oleh para pengikut Arianisme, berarti
mirip dalam zat atau hakekat. Sekalipun perbedaannya kelihatannya remeh - hanya
satu huruf! - itu sebetulnya tidak kurang dari perbedaan antara menyatakan
bahwa Yesus adalah Allah dan mengatakan bahwa Ia adalah manusia, jelas seorang
manusia yang baik / sangat agung / seperti allah, tetapi bagaimanapun adalah
manusia. Bukankah slogan dari bidat itu adalah ‘Ada saat dimana Ia tidak ada’?) - hal 111 (footnote).
Philip Schaff: “The
term o[moousioj, consubstantial, ... formed a bulwark against Arians and
Semi-Arians, ... the homoousion became a positive test-word of orthodoxy,
designating, in the sense of the Nicene council, clearly and unequivocally, the
veritable and essential deity of Christ, in opposition to all sorts of apparent
or half divinity, or mere similarity to God” (= Istilah o[moousioj, zat yang
sama, ... membentuk suatu benteng terhadap Arianisme dan Semi-Arianisme, ...
homoousion menjadi suatu kata ujian yang positif tentang keorthodoxan, menunjuk,
dalam arti dari Sidang Gereja Nicea, secara jelas dan tidak ragu-ragu,
keilahian Kristus yang sungguh-sungguh dan hakiki, bertentangan dengan semua
jenis dari keilahian yang hanya kelihatannya atau setengah ilahi, atau
semata-mata kemiripan dengan Allah) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal
654,655,656.
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com