--------------------------------------------------------------------------------

Sabtu, 4 April 1998

--------------------------------------------------------------------------------

Ny Makhrufah Rela Anaknya Diadili

KABAR "hilangnya" sejumlah aktivis belakangan ini menarik perhatian masyarakat. Anggota keluarga yang kehilangan saudaranya, datang dari daerah ke Jakarta untuk mencari informasi keberadaan anggota keluarganya yang "hilang". Misalnya, Ny Hj Makhrufah orangtua Faisal Riza (mahasiswa Fakultas Filsafat UGM), datang ke Jakarta untuk mengetahui informasi soal putranya.

Setelah menerima berita hilangnya Riza via telepon dari staf Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Senin (30/3) siang, Ny Makhrufah yang membuka toko kain di pasar Probolinggo, Jawa Timur, mengaku seperti disambar geledek di siang bolong. "Saya sampai teriak-teriak, menjerit-jerit. Bapaknya Riza yang waktu itu sedang ada di halaman langsung lari masuk ke dalam rumah. Dikiranya saya kesetrum listrik. Soalnya, di rumah yang paling sering kesetrum itu saya," ujarnya.

Faisal Riza, putra kedua dari lima bersaudara pasangan Ma'ruf dan Ny Makhrufah ini, tidak diketahui keberadaannya sejak 12 Maret 1998, seusai Riza dan kawan-kawannya menggelar acara jumpa pers. Kawan-kawan Riza akhirnya melapor ke YLBHI dan pihak YLBHI telah mencek ke Polda Metro Jaya.

Selama Januari hingga Maret 1998 ini, YLBHI mencatat ada sembilan orang yang disinyalir "hilang". Mereka yang dilaporkan "hilang" adalah Pius Lustrilanang (Ketua Aldera/Sekjen Siaga), Desmond Mahesa (Direktur LBH Nusantara Jakarta), Haryanto Taslam (fungsionaris DPP PDI Megawati), Herman Hendrawan (mahasiswa Fisip Unair), Faisal Riza (mahasiswa Fakultas Filsafat UGM), Rahardjo Waluyo Djati, Nezar Patria (keduanya mahasiswa Fakultas Sastra UGM), Mugianto (mahasiswa) dan Andi Arief (mahasiswa Fakultas Filsafat UGM).

***

BERITA "hilangnya" Riza, diakui Ny. Makhrufah memaksa dirinya untuk mencari anaknya tersebut. Ditemani Zainul Kamal, kakak sulung Riza, Ny Makhrufah akhirnya berangkat ke Jakarta dan langsung menghubungi YLBHI.

Riza yang lahir di Jember, Jawa Timur, 1 Januari 1973 ini, menurut ibunya, termasuk anak pendiam. Sifat pendiamnya mewarisi sifat Ma'ruf, ayahnya yang berprofesi sebagai petani di Probolinggo. Karena sifatnya itu, Riza selama ini tak pernah banyak cerita mengenai aktivitasnya. Yang diketahui Ny Makhrufah, Riza tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM angkatan 1993. Sebelumnya, pada tahun 1992, Riza sempat kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Ny Makhrufah telah mengontak seluruh saudara yang ada di Jakarta. Ternyata, para famili yang telah dihubungi itu pun tidak mengetahui di mana Riza berada. "Yang saya khawatirkan, saya takut kalau anak saya disiksa orang, nggak dikasih makan, padahal Riza itu 'kan orangnya cepet lemes. Kalau memang anak saya punya kekeliruan pada orang lain, saya rela anak saya disidangkan ke meja hijau, diajukan ke pengadilan. Kalau hilang seperti ini, umpet-umpetan, 'kan jadi nggak jelas," kata Ny Makhrufah.

***

LAIN lagi cerita dari Bandung. Menurut informasi yang dikumpulkan Kompas, sebelum Desmon J Mahesa dinyatakan "hilang", Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Bandung yang dipimpinnya sudah bubar. LBHN memang tidak begitu aktif lagi menyusul pergantian pimpinannya dari Efendi Saman ke Desmon tahun 1996. Kantor LBHN yang berlokasi di Jalan Sukanegara-Antapani telah kosong sejak 6-7 bulan lalu.

Keterangan tersebut dibenarkan Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar (Kapolwitabes) Bandung Kolonel (Pol) Erwin Mappaseng setelah mencek data-data intelijen di Satuan Intelpampol. Mengenai kabar hilangnya Desmon J Mahesa, Kapolwiltabes menyatakan sependapat dengan pakar hukum Yusril Ihza Mahendra, hendaknya jangan apriori sebelum dibuktikan terlebih dulu.

"Bisa jadi memang ia menghilang, tetapi bukan karena dihilangkan. Bisa saja ia bersembunyi untuk tujuan politik tertentu. Mengingat, LSM yang dipimpinnya memang lebih banyak mengarah ke hal-hal yang bersifat politis," kata Mappaseng.

Kantor LBHN berlokasi di tengah-tengah Kompleks Perumahan Antapani yang di depannya ramai dilewati armada angkutan kota. Para tukang ojek yang biasa mangkal di sekitar jalan raya itu, mengaku tidak pernah lagi melihat aktivitas LBHN sejak pertengahn 1997. "Pintu kantor itu hampir tiap hari tertutup," tutur seorang tukang ojek.

Para mantan staf LBHN tampaknya cukup sulit dilacak alamatnya. Sebab, mereka rata-rata tidak menetap di Bandung. Desmon, misalnya, bukan asli Bandung dan lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta. Bekas ketua yang digantikannya, Efendi Saman pun, kini tak lagi menetap di Bandung. Nomor telepon seluler yang dititipkannya ke Kompas, juga sudah tak pernah dapat dihubungi.

Sebelum kepemimpinan LBHN beralih ke Desmon, LSM yang berdiri tahun 1993 tersebut cukup banyak mengurusi kasus yang berbau politik, ketimbang kasus menyangkut perkara pidana dan perdata. Beberapa bulan sebelum Pemilu 1997, misalnya lembaga ini termasuk pelopor pembentukan Komite Pemantauan Hasil Pemilu dan hasilnya dijumpaperskan.

Aparat pemerintah pun sebanarnya tak tinggal diam. Misalnya, Jaksa Agung Soedjono Ch Atmonegoro menugaskan intel kejaksaan untuk mencari mereka. "Sekarang ini soalnya adalah hilang atau menghilang. Pihak Intelijen Kejagung sudah jalan. Kita tunggu saja hasil kerja intel Kejagung itu," katanya.

Jaksa Agung menolak mengatakan hasil dari kerja intelijen dalam melacak keberadaan orang-orang yang "hilang" itu. "Kalau intel melangkah tidak usah diberitahu. Kita lihat saja hasilnya itu nanti," katanya singkat. Masyarakat pun menanti klarifikasi mereka yang disebut-sebut "hilang" tersebut. (nar/ff/bw)