CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 1. Dusun Kedungdang

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

   Dusun Kedungdang pekat malam itu. Pohon-pohon gayam yang menyelimutinya menampakkan bayang-bayang kelam, juga pohon kepel, juga trembesi dan asem. Hanya suara kelelawar menggoyang-goyang buah sawo di pohonnya yang juga gelap. Mungkin akan hujan, mungkin juga tidak, Kedungdang selalu memberikan ketidakpastian, jika hujan hendak turun tiba-tiba mendung pergi seketika, jatuh di tempat lain. Orang selalu bilang orang-orang tua di dusun Kedungdang adalah orang-orang sakti yang setengah dewa, bisa menjadi dukun penolak bala, apalagi hanya hujan, badai dan banjirpun bisa ditolak oleh para sakti di Kedungdang. Juga bisa didatangkan malapetaka itu jika mereka merasa perlu dalam sebuah perlawanan, tidak bisa disebut pawang hujan, karena merekapun juga pandai berperang, bertani dan menjadi pemuja dewa yang patuh.

 

     Tak ada yang tahu, bahwa ada sekelebat bayangan melintas. Cepat seperti burung srikatan. Tak jelas wujudnya,  tapi kilauan matanya seperti kilauan mata babi hutan tertimpa sinar bulan di musim kemarau. Tapi dengusnya adalah nafas manusia. Kemudian terdengar suara berderak. Ada pintu rumah terdobrak. beberapa keributan dan teriakan. Dan juga lengkingan. Dan kelebat bayangan dengan sangat cepat melesat pergi dari tempat itu. Dan sunyi kembali.

 

       Pagi harinya, ketika matari belum penuh keluar dari timur. Ada teriakan, teriakan seorang warga dusun. Seketika tempat itu jadi hiruk. Warga dusun berdatangan melihat apa yang terjadi.

 

     "Kenapa kamu, Wuryan?" tergopoh Sangate menjumpai Wuryan yang teriak. Tapi mulut Wuryan seperti terkunci, tubuhnya menggigil, hanya tangannya yang menunjuk-nunjuk ke dalam rumah. Warga dusun buru-buru menuju ke dalam rumah. Dan teriakan terkejut memenuhi ruang dalam rumah itu.

 

Kaki Sangate menginjak darah dan matanya melihat tiga tubuh tanpa kepala tergeletak.

 

     "Hahh, Sagotri! Ini tubuh Sagotri!" teriak Sangate.

     "Yah, ini tentu istri dan anaknya! kata yang lain.

     "Tapi dimana kepalanya?!"     

 

     Tak ada yang menjawab, sesaat mereka terlolong-lolong melihat pemandangan itu. Tak pernah terbayangkan pada benak mereka bahwa hal ini bisa terjadi di dusunnya yang tersohor penuh orang sakti itu.

 

    Dusun Kedungdang menjadi senyap, seakan kehilangan kepercayaan dirinya. Sangate berusaha menenangkan dirinya sendiri, sekaget apapun dia harus segera bertindak, sebagai kepala dusun dia harus bisa menahan diri, supaya warganya juga tetap dalam kendali. Pelan hampir berbisik doanya menyusup ke dalam dinginnya pagi, melayang menuju langit mungkin menembus awan-awan kemerahan di timur karena sang surya terbiaskan di sana.

 

     "Ohh...Sang Hyang Whisnu, petaka apa yang ada ini, apakah Kalana berhasil menembus tumbal dusun ini, kami tak pernah lihat tanda-tanda Ekal Purusalingga menampakkan diri. Kami juga tak melihat firasat Galempang dalam mimpi kami. Apakah laku Wirangi para Kala sudah demikian tinggi? Ohh...Sang Hyang Pemelihara Alam....berapa dupa saat Candhikala harus kami saji, untuk menebus kelalaian ini?"

 

     Sangate membuka mata dari samadi doanya, kemudian dia pimpin warganya untuk ngeruwat tubuh-tubuh tanpa kepala itu. Sagotri adalah salah satu pande mumpuni di dusun itu, pamor keris ciptaannya tak bakal kuat ditatap oleh orang sembarangan. Kematian Sagotri serta istri dan anaknya bukan sekedar kehilangan bagi mereka. Tapi juga penghinaan dan tantangan. Warga dusun itu dalam diamnya mulai merawat jasat Sagotri, istri dan anaknya. Dalam pikiran mereka masing-masing tumbuh keyakinan bahwa ini adalah awal dari sebuah pertentangan yang sebenarnya lebih besar, nun jauh di luar sana, jauh dari dusun ini, di kota praja Bhumi Mataram.

 

Tahun ke 850 Masehi

 

     Tanah Jawa redup dan remang. Anginnya tergope-gope menampar hutan-hutan di lereng-lereng gunung Merapi, gunung Merbabu, pegunungan Serayu, Sindoro, Prau, Sumbing, Lawu, Ungaran bahkan sampai pegunungan Sewu di Gunung Kidul yang tandus. Inilah Bhumi Mataram, dalam kelangutannya tanah ini menjadi bukti bahwa Rakai Mataram Sang Maharaja Ratu Sanjaya telah mendirikan sebuah dinasti. Sebuah impian besar untuk menyatukan Jawa di bagian tengah ini  menjadi satu kekuatan besar.  Tapi setelah Maharaja Rakai Sanjaya mangkat dan digantikan Sri Maharaja Rakai Panankaran, awan kelabu mulai menggelayut di atas hamparan hijau tanah ini. Apalagi setelah Rakai Panunggalan, Rakai Warak dan Rakai Garung berturut-turut semakin surut kilau kerajaan Bhumi Mataram. Di sana di seberang bukit-bukit itu mulai merasuk pengaruh Kalana Sihwa, orang-orang Syailendra yang dirajai Balaputradewa itu semakin merangsek, merebut sedikit-demi sedikit daerah dan pengaruhnya. Orang-orang Mataram mulai bertanya-tanya inikah kebenaran kata-kata Sang Hyang Naradha saat membeberkan enam agama bahwa Kalana akan punya pengaruh di wilayah-wilayah yang menyembah Siwah.

 

     "Ini tanda-tanda bahwa lelaku mesti dilakukan, Kedungdang yang kita banggakan sudah tersobek oleh tingkah polah orang-orang Kalana, Sang Hyang Bhrahma tidak akan membiarkannya, sekalipun Sang Hyang Whisnu diam saja," kata Buyut Bashutara kepada Sangate yang menghadap dengan kepala tertunduk dalam, di belakangnya ada Wuryan yang bersimpuh dengan pandangan menatap tajam ke tikar di lantai.

 

(BERSAMBUNG KE No. 2 GUGURNYA PANDE-PANDE)

BACK