CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 2. Gugurnya Pande-Pande

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

         

      "Buyut, apakah ini pasti perbuatan orang-orang Kalana? Bukankah orang-orang Kalana itu dulunya juga masih ada hubungan darah dengan penguasa Bhumi Mataram ini, Buyut? Dan bukankah kakak perempuan Balaputradewa sudah menjadi permaisuri Sri Maharaja Rakai Pikatan, sesembahan kita, junjungan kita. Buyut?" Sangate memberanikan diri bertanya. Buyut Bashutara menarik nafas dalam, jambangnya yang putih beberapa kali tampak membiaskan sinar lampu senthir minyak kelapa di cagak tengah pendopo tua rumahnya itu. Sejenak laki-laki tua itu tampak merenung, beberapa kali tampak berdoa tak terucap.

 

     "Semua kita ini bersaudara, dari asal keturunan umat manusia yang sama. Tapi waktu bisa merubah segalanya Sangate. Kita ingat peristiwa Bharatayuda. Mereka juga bersaudara, Sangate. Pandawa dan Kuhrawa itu satu wangsa, satu kakek. Kepentingan menjebak mereka dalam perseturuan. Kepentingan Kuhrawa adalah melestarikan kekuasaan, kepentingan Pandawa adalah melaksanakan Dharma. Saat ini, peristiwa itu akan terulang kembali. Tugas kita adalah membantu pihak yang melaksanakan Dharma."

 

     "Lalu siapa yang melaksanakan Dharma, Buyut?" tanya Sangate ingin lebih tahu.

 

   "Dharma lahir dari kepasrahan Sangate, bukan dari kehendak. Marilah kita lihat perkembangannya. Karena kita lahir di Kedungdang, dan Kedungdang berada di wilayah Bhumi Mataram, maka selagi raja kita masih dalam rengkuhan penataan Sang Hyang Whisnu, maka kita wajib mendukungnya, Sangate."

 

     "Tapi kenapa yang dibunuh Sagotri, Buyut?" tanya Wuryan tiba-tiba.

 

     "Karena Sagotri adalah seorang pande, Wuryan. Saya juga mendengar kabar bahwa pande Mantrani di dusun Plasajenar juga mati dengan kepala hilang, beberapa pembuat senjata lain di daerah Sela di antara Gunung Merapi dan Merbabu juga tiba-tiba hilang tak tentu rimbanya. Ada kemungkinan mereka dibunuh juga. Dengan membunuh pande, berarti negeri ini kehilangan orang-orang yang mampu membuat senjata, sehingga negeri ini menjadi lemah, Wuryan."

 

     "Bukankah Buyut Bashutara dan buyut-buyut lain di dusun Kedungdang ini dan juga dahnyang-dahnyang di seantero negeri Mataram ini bisa menggunakan palpralampita untuk menghimpun kekuatan alam membinasakan mereka orang-orang Kalana yang keji itu, Buyut?!" sergah Wuryan yang tampak gemas.

 

     "Palpralampita hanya digunakan jika seluruh lawan kita adalah musuh, Wuryan. Palpralampita juga tidak digunakan saat perang bharatayuda, karena di dalam Kuhrawa banyak juga orang-orang yang baik, resi, swami, parayogi dan pandhita, juga rakyat yang tak tau menau. Karena di dalam kelompok yang disebut lawan itu terdapat banyak orang yang sebenarnya tidak bersalah, balatentara yang hanya melaksanakan tugas. Palpralampita akan membunuh semuanya, takterkecuali, sebenarnya kekuatan itu adalah kekuatan Sang Hyang Wenang, dia bisa melakukan kesewang-wenangannya untuk menghapus segalanya. Sedang di pihak Balaputradewa belum jelas mana yang salah dan mana yang benar, Wuryan. Tidak mungkin palpralampita digunakan pada saat seperti ini"

 

     Wuryan tampak mengangguk-angguk. Sangate juga memperlihatkan kerut wajah setuju. Terdengar pintu dalam rumah berderit dan terbuka. Seorang gadis, Jatuawitri salah seorang cucu Buyut Bashutara keluar membawa nampan, menyajikan wedang jahe dan wajik ketan. Seorang anak gadis yang sedang tumbuh menjadi prawan, keningnya bersih dan rambut yang tersanggul indah. Wuryan tak berani menatap gadis itu walau hatinya ingin.

 

     "Silahkan, Paman Sangate, Kakang Wuryan, diminum dan dicicipi wajik hitam ini." kata gadis itu sambil tetap menunduk setelah selesai menyajikannya di atas bangku bundar di depan mereka.

 

     "Terimakasih, ajeng, terimakasih." jawab Sangate.

 

Tapi sebelum mereka yang ada di situ menikmati wedang jahe dan wajik ketan hitam dari Jatuawitri, tiba-tiba terdengar suara kentongan sebuah gendhong titir. Sangate mendongakkan kepalanya airmukanya berkerut, Buyut Bashutara memandang keluar pendopo. Beberapa pemuda dusun Kedongdang tiba-tiba muncul dan merangsek masuk menghadap ke Buyut Bashutara.

 

     "Ada apa, danang? Kalian terlihat tergesa?" tanya Sangate.

 

     "Kami ingin melapor ke Buyut, Ki" kata salah seorang danang.

 

     "Ya, ada apa?" tanya Buyut Bashutara.

 

   "Binatang-binatang pada keluar lari tunggang langgang dari hutan Sabawana, tampak ketakutan  menerjang pedhukuhan di sekitar hutan, menggasak tanah pertanian dan masuk ke dusun-dusun. membuat gerah warga desa, Buyut?"

 

     "Hewan-hewan hutan?" tanya Sangate tak percaya.

 

     "Iya, Ki!"

 

     "Kamu sudah lihat sendiri?" selidik Wuryan.

 

     "Tidak hanya lihat, Wur. Perutku terluka tertabrak celeng hutan." kata salah satu danang sambil membuka bajunya memperlihatkan bekas luka tertabrak celeng hutan. Jatuawitri yang masih di situ tampak ngeri melihat darah yang membasahi baju dan luka di perut pemuda dusun itu.

 

     "Eyang, ada apa ini Eyang?" Jatuawitri memegang tangan kakeknya karena takut mulai menggerayangi hatinya.

 

     "Sangate dan Wuryan, cepatlah kalian lihat ke sana. Siapa yang membuat onar. Secepatnya laporkan kepadaku lewat pameling?" perintah Buyut Bashutara.

 

     "Baik, Buyut. Kami segera pergi."

 

     "Cepatlah!"

 

     Sangate dan Wuryan segera keluar dari pendopo, diikuti para pemuda yang melapor. Tak lama kemudian terdengar  kuda-kuda mereka sudah berlari. Sangate dan Wuryan menerjang malam yang mulai menggelayut di Kedungdang. Beberapa gonggong anjing liar terpotong-potong menyedak-nyedak. Mungkin menyambut hewan-hewan hutan yang gedandapan salang tunjang menyerbu dusun. Di langit ada beberapa bintang. Dan bulannya sabit.

 

     "Masuklah!" perintah Buyut Bashutara kepada Jatuawitri. Gadis itu menurut, meninggalkan eyangnya yang sendirian di tengah pendopo. Terdengar suaranya lirih menggeresula, "Kakamas Bandung....", Buyut Bashutara pura-pura tak mendengar kata-kata cucunya itu. Nafasnya ditariknya panjang-panjang.

 

(BERSAMBUNG KE No. 3. Bintang Hutan)

BACK