CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1.  DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 4. Sampai Pagi Menyingsing

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

  

    Di dusun Kedungdang sendiri, Ki Jagabaya sebagai penanggungjawab keamanan dusun mengerahkan perangkatnya untuk melindungi rakyatnya, semua warga yang dinding rumahnya terbuat dari getepe segera disuruhnya mengungsi di tempat warga lain yang rumahnya berdinding kayu jati atau batu kali. Sehingga hewan-hewan liar yang menerjang dusun Kedungdang tidak bisa masuk kedalam rumah dan mengganggu penghuninya. Selama ini semua berjalan baik, tak ada kabar tentang warga dusun yang di mangsa hewan-hewan liar itu. Ki Jagabaya dan perangkatnya bisa merasa tenang untuk sementara sambil menunggu malam itu bergulir menjadi pagi, sehingga bisa melihat lebih jelas kerusakan yang terjadi.

 

     Sementara itu Sangate dan Wuryan setelah melewati kawasan perdu dan melintasi gumuk kecil sampailah mereka pada dataran penuh ilalang sebelum sampai ke hutan Sabawana. Hanya rumput teki, ilalang dan pohon-pohon bunga soka serta elamander berkelompok-kelompok membentuk komposisinya masing-masing. Kalau di siang hari banyak kumbang-kumbang di situ, beberapa landak wangi serta macan  yang keluar dari hutan Sabawana untuk menangkap kelinci atau tikus marmut. Jarang manusia sampai ke kawasan ini, kecuali mereka yang berburu kancil untuk tumbal acara dwipawangsi, sebuah acara sesembahan kepada dewa supaya anak yang disedekahi menjadi anak yang pintar, cerdik dan lancar rejekinya saat dewasanya nanti.

 

     Tapi malam itu tak terdengar suara apapun di kawasan itu, mungkin hewan-hewannya sudah pergi semuanya. Sangate memandang tajam ke depan, berjarak kira-kira seribu laksa, geremang hitam memanjang terhampar, tak bergerak, itulah hamparan hutan Sabawana. Tak terlihat ada yang aneh di hutan itu, hanya sepi dan senyapnya yang menakutkan. Beberapa kali terdengar hutan itu memantulkan suara kentongan daramuluk dari dusun Kedungdang. Ngelangut terasa. Sangate mengeraskan kemauannya, dan dihentakkannya tali kekang kudanya, tindakan itu diikuti oleh Wuryan. Kuda-kuda mereka seakan terlompat akibat sentakan tali kekangnya, kemudian berlari semakin kencang. Tapi tak terlalu lama, kuda-kuda itu tiba-tiba meringkik keras. Dan berputar-putar saja, semakin tali kekang disentak semakin keras ringkikannya. Dan jalannya tak mau maju lagi, hanya berputar-putar di sekitar itu. Sangate merasakan adanya hal yang ganjil pada kuda-kuda mereka.

 

     "Ayo gagakitem, jangan pengecut, antar aku ke hutan itu!" katanya pada kudanya. Dan sentakannya semakin kuat, juga dilecutnya kudanya itu keras di lehernya. Kuda itu meloncat tinggi, tapi kemudian meringkik liar, meloncat-loncat di tempat, dan saat Sangate memukulnya lebih keras lagi, justru Sangate yang jatuh terlempar. Karena kuda itu tiba-tiba meringkik keras sekali dan lompatannya meliuk, melontarkan tubuh Sangate yang berada di punggungnya. Sangate cepat berdiri dari jatuhnya. Tapi kudanya telah lari pergi ke arah kembali ke dusun Kedungdang, tampak ketakutan. Larinya kuda Sangate membuat kuda Wuryan juga ikut lari kembali ke Kedungdang, Wuryan berusaha menghentikannya. Tapi percuma, kuda itu tetap saja lari mengikuti kuda Sangate. Maka Wuryan memutuskan untuk melompat turun dari punggung kudanya. Dan kembali menemui Sangate yang berdiri dengan wajah tak mengerti.

 

     "Kuda-kuda kitapun takut dengan hutan Sabawana, Wur." katanya.

     "Hewan mempunyai ketajaman lebih daripada manusia, Paman Sangate."

     "Kita terpaksa berjalan, Wuryan. Hutan tinggal sebentar lagi!"

     "Ya, tapi kita sampai saat ini belum tahu apa yang terjadi, Paman!"

     "Ya, hutan itu tampak tenang saja, lihatlah, tak ada asap yang membubung, tak juga ada tanda-tanda api."

 

 

          

 

(BERSAMBUNG KE Seri 1. No. 5. Perjalanan Setapak

BACK