CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 5. Perjalanan Setapak

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

    "Apakah ini merupakan sebuah jebakan, Paman? Orang-orang Kalana telah berada di dalam hutan itu membubarkan binatang-binatang, supaya kita orang-orang Kedungdang datang ke hutan itu dan mereka menyergap kita?"

    

     "Aku rasa tidak, Wuryan. Kita lebih tahu hutan itu daripada orang-orang Kalana. Sebelum sampai ke hutan itu, warga dusun Tlagaluwih di seberang hutan akan mengirimkan pesan ke kita tentang kedatangan orang-orang Kalana. Kalaupun orang Kalana yang masuk ke hutan itu, jumlahnya takkan banyak, mungkin mereka menyusup melewati kali kecil yang membelah hutan itu, tetapi apakah mungkin sekelompok orang yang jumlahnya sedikit bisa membuat seluruh binatang di hutan itu lari ketakutan keluar hutan? Jika iya, ilmu apa yang dipakai?" kata Sangate seakan bertanya pada dirinya sendiri.

    

     "Atau mungkinkah, ini ulah Nagaraja, naga besar masuk ke dalam hutan Sabawana untuk memangsa binatang-binatang di sana?" tanya Wuryan.

 

     Sangate tertawa kecil mendengar pertanyaan Wuryan, mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak menuju geremang hutan pekat di malam hari itu.

 

     "Ha..ha..Wuryan, Nagaraja itu tak pernah ada, itu hanya sebuah cerita, nenek moyang dulu mengira kalau bumi disangga oleh seekor naga besar. Jika ada lindu, gempa bumi, orang dulu mengira bahwa naga yang menyangga bumi sedikit bergerak. Tapi setelah agama hindu masuk ke tlatah jawa ini, cerita itu hilang begitu saja. Hanya kadang saja terdengar, sebagai dongeng masa lalu. Sebab bumi dan alam semesta ini jelas sekali diceritakan keberadaannya dalam bhagavatgita. Di dalamnya tak ada yang bernama Nagaraja. Nagaraja muncul di cerita lain dalam  mahabarata-nya jawa, sebagai kakek dari Antareja, anak Bima. Atau sebagai guru dari prabu Anglingdharma, tetapi semua itu hanyalah cerita. Sampai saat ini belum ada yang  bertemu dengan naga, ular bisa besar sekali, tetapi tetap ular ujudnya, bukan naga. Atau  boleh jadi naga adalah sebutan lain dari binatang purba yang hidup sebelum adanya manusia, dan sekarang sudah punah tentunya" kata Sangate, semua pertanyaan Wuryan dirasakan oleh Sangate sebagai perasaan takut yang mulai merayap di dada Wuryan.

 

     "Kamu jangan takut, Wuryan! Tak kan terjadi apa-apa dengan kita."

 

    "Iya, Paman!" jawab Wuryan pelan, bagaimanapun ada rasa was-was di hati pemuda tampan itu, sekuat apapun dia mencoba menekan perasaannya itu. Tapi ketika ingatannya kembali ke kembang Kedungdang si Jatuawitri, dirinya menjadi malu, bagaimana mungkin dia mampu memimpikan cucu Buyut Bashutara itu jika dalam keadaan seperti ini saja dirinya masih merasakan takut. Maka ditegakkannya dadanya untuk memaksa keberaniannya pulih. Jalannya menjadi lebih bersemangat. Mereka menyeruak ilalang kering, kadang menyusup di bawah cabang-cabang pandan yang melintangi jalan.

 

      Di ujung jalan setapak itu, Sangate tak lagi mampu melihat jalan, karena bayang-bayang pohon-pohon   tinggi di pinggir hutan itu  menghapus sinar bintang di langit yang kebetulan juga hanya sedikit. Tatapan matanya membentur pada gelap pekat semacam tabir hitam yang sangat dalam. Sangate berhenti sejenak, di belakangnya berdiri Wuryan yang juga termangu, hanya dengus nafasnya terdengar lebih cepat berpacu.

 

     "Ambil upet di sakumu Wuryan, kita harus menyalakan oncor!"

  

    "Baik Paman." jawab Wuryan. Tangannya mengambil upet di surjannya, sementara itu Sangate menarik oncor yang dia cangklongkan di punggungnya.

 

    Tak lama kemudian Wuryan membuat api dengan upetnya, percikan mulai terlihat, semakin lama semakin besar, dan Sangate menyodorkan ujung oncornya ke api yang dibuat Wuryan. Dan seketika tempat itu menjadi lebih terang, walau jangkauan sinarnya tak lebih dari sepuluh jepaplangan tangan, tapi cukuplah sinar itu membantu perjalanan mereka.

 

 

 

(BERSAMBUNG KE No.6. Memasuki Hutan)

BACK