CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 6. Memasuki Hutan

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     Sangate mengangkat oncornya lebih tinggi dari dari kepalanya, Wuryan mematikan api yang membakar upet. Jalan setapak yang tadinya gelap tertutup bayang-bayang pohon kini terlihat lagi.

 

     "Kita akan masuk hutan ini lewat jalan setapak itu Wuryan."

     "Ya Paman,  jalan itu biasa dipakai pencari kayu dan penulup" jawab Wuryan.

     "Dulu sewaktu muda aku sering lewat jalan ini untuk berburu menjangan." kata Sangate.

     "Saya juga pernah beberapa kali diajak oleh Raden Bandung masuk hutan ini, juga lewat jalan ini, Paman."

     "Raden Bandung suka masuk hutan?"

     "Ya, kami berburu macan!"

     "Berburu macan?!" tanya Sangate tak percaya.

   "Ya, Raden Bandung pandai menangkap macan. Kalau saya tak sekalipun bisa menangkapnya."

     "Untuk apa Raden Bandung menangkap macan?"

    "Untuk dilepaskan lagi." jawab Wuryan polos.

    "Untuk dilepaskan lagi?" tanya Sangate tak mengerti.

    "Ya, kata Raden Bandung, janganlah suka membunuh binatang, karena jiwa binatang bisa menentramkan hutan, jika tidak ada binatang di hutan, jiwa hutan akan merana, dan tak ada keseimbangan."

     "Lalu untuk apa Raden Bandung menangkap macan?" kejar Sangate.

    "Saya juga tak mengerti, Paman. Mungkin hanya untuk bermain-main."

     "Kenapa kamu tak bertanya?"

   "Saya juga bertanya, Paman. Tapi Raden Bandung hanya menjawab bahwa bocah-bocah kecilpun di sore hari suka menangkap kupu-kupu."

 

     Sangate tercenung dengan jawaban Wuryan. Mereka sudah berjalan memasuki hutan itu, langit tak terlihat lagi karena tertutup oleh dedaunan. Dan udara terasa lembab.  Gesekan batang bambu karena digoyang-goyang oleh angin mengeluarkan bunyi menyayat. Dan semakin jauh mereka berjalan, Wuryan semakin merasa sedang ditelan oleh raksasa hitam yang tak terukur besarnya. Berbeda saat bersama dengan Raden Bandung ketika memasuki hutan ini, waktu itu siang hari dan tak ada masalah dengan hutan ini, sedang saat ini binatang penghuni tempat inipun pergi menjauh dari sini.

 

 

*****

 

     Kala itu juga, di lain tempat, di dusun Kedungdang, di sebuah bilik di rumah Buyut Bashutara tergolek seorang gadis di atas amben. Jatuawitri belum juga merasakan kantuk di malam selarut itu. Setelah membantu ibunya dan saudara-saudaranya menyajikan suguhan dan menggelar tikar di pendopo bagi tetangga-tetangga yang mengungsi, ibunya menyuruhnya masuk ke biliknya, karena malam mulai larut dan besok pagi tentu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Mungkin menyiapkan makanan untuk orang-orang yang prayakan memperbaiki kerusakan-kerusakan akibat terjangan hewan-hewan hutan yang melewati dusun itu. Di awan-awan pikirannya melayang-layang peristiwa-peristiwa yang terjadi, peristiwa itu membentur-bentur perasaannya dan mencabutnya dari dirinya sendiri, sehingga hatinya tak mampu menguasai dirinya lagi. Memaksa matanya untuk tidak tertutup dan tertidur. Bukan perkara keluarnya binatang-binatang hutan Sabawana, karena baginya itu adalah urusan para lelaki di dusun Kedungdang.

 

     "Eyang, kenapa Eyang, diam saja? Cucumu ini dalam kesulitan, Eyang!" rintih gadis itu dalam hatinya. Bulir-bulir airmata berlinangan, diusapnya tiap kali jatuh. Dia ingin kakeknya, Buyut Bashutara membantu melepaskan dirinya dari kesulitan. Masih terbayang jelas, seorang berjambang tebal datang di suatu siang, di kala eyangnya sedang takjub membaca Wedha bersama Raden Bandung di cepuri.

 

(BERSAMBUNG KE No. 7. Lelaki Berjambang Tebal)

BACK