CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 7. Laki-laki Berjambang Tebal

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 Dan bayangan laki-laki setengah baya berjambang tebal, berkulit hitam bermata cerung dengan langkah tegap dan tampak bukan orang pribumi jawa itu selalu menghantuinya. Walaupun memakai kain tenun bikinan orang Mataram, dan iket, kain yang diikatkan di kepala berwarna wulung seperti yang biasa dipakai orang di tlatah ini, tetapi tetap tak bisa menyembunyikan wajahnya yang asing. Saat itu Jatuawitri sedang pulang dari kebun memetik daun so, daun melinjo muda untuk membuat sayur. Laki-laki itu datang berkuda dengan beberapa laki-laki lain yang berwajah jawa. Ketika melihat Jatuawitri, cerung matanya tampak semakin dalam, tapi alisnya berkerut bola matanya menajam, seperti wajah seorang perantau lapar yang sudah sebulan tak melihat nasi. Laki-laki itu meloncat turun dari kudanya, membenarkan bajunya dan meraba jambangnya yang tebal.

 

    "Nduk, apakah ini rumahnya Buyut Bashutara?" tanyanya pada Jatuawitri.

    "Benar, bapa." jawab Jatuawitri.

    "Apakah Buyut ada? Aku ingin bertemu." katanya, tapi pandangan matanya tak lepas dari wajah perawan terayu di Kedungdang itu. Beberapa orang yang mengikutinyapun sudah turun dari kuda-kuda mereka.

     "Eyang Buyut sedang berada di cepuri, bapa. Eyang tidak bisa diganggu jika sedang berada di cepuri." jawab Jatuawitri. Laki-laki itu tampak terkejut dengan jawaban gadis itu, rupanya dia tidak terbiasa mendapat jawaban bernada penolakan seperti itu.

    "Katakan aku Rahaden Kocapa alias Holaram alias Syah RaeKai, kakekmu pasti tahu aku. Aku ingin bertemu, ada urusan penting!" sergah laki-laki itu. Jatuawitri buru-buru lari ke arah bangunan cepuri, ditinggalkannya laki-laki itu  menunggu di depan rumahnya.

 

    Bangunan cepuri berada di samping rumah Buyut Bashutara, di kelilingi oleh pohon asem dan sawo sebagai perindang. Dindingnya terbuat dari batu kali seperti candi, terdiri dari empat tludakan, setiap tlundakan batunya ditatah dengan cerita sesuai kasta, di pintu masuknya ada dua arca ganesya. Atapnya menyerupai mahkota dewa Bhrahma dan pintunya terbuat dari kayu jati utuh tebalnya selebar telapak tangan manusia. Cepuri itu dulunya didirikan atas titah Sri Maharaja Rakai Pikatan sendiri sebagai ungkapan teriamakasih atas bantuan Buyut Bashutara dan warga dusun Kedungdang ketika seluruh tanah persawahan di Bhumi Mataram terkena kekeringan. Dan Buyut Bashutara dan tetua dusun Kedungdanglah yang berhasil menurunkan hujan, setelah melakukan sesaji dan doa-doa. Bangunan itu terdiri dari dua tingkat, tingkat kedua merupakan bilik, tepat berada di bagian yang berbentuk mahkota dewa Bhrahma, di situlah biasanya Buyut Bashutara dan Raden Bandung bersamadi sehabis menghayati Wedha.

 

   Jatuawitri setengah berlari menghampiri cepuri itu, menaiki tludakan dan mengetuk pintu pelan, takut kakeknya marah karena diganggu. Tapi tak ada jawaban dari dalam, keempat pintunya tertutup, biasanya kalau pintu ditutup rapat Buyut Bashutara sedang melakukan samadi. Gadis itu mencoba mengetuk lagi, agak lebih keras, tapi tetap tak ada jawaban.

 

     "Eyang, mohon Eyang menghentikan samadi, Eyang. Ada tamu, rupanya mereka dari jauh, mungkin dari Kutapraja Mataram, terlihat dari pakaiannya. Eyang, mohon membuka pintu." pinta Jatuawitri. Tapi tak ada tanda-tanda pintu itu dibuka. Jatuawitri tak berani mengetuk lebih keras lagi atau berteriak-teriak meminta kakeknya keluar, karena hal itu bukan adat di negeri itu, seorang Buyut adalah seorang Bhrahmana, kastanya lebih tinggi dari kasta ksatria. Raja Bhumi Mataram sendiripun akan menundukkan kepala jika berhadapan dengan seorang Buyut seperti Bashutara itu. Apalagi Buyut sedang melakukan sembahyang, melakukan sembah kepada Sang Hyang Widi.

 

     Tak ada jalan lain bagi Jatuawitri kecuali memanggil ibunya yang sedang di pategalan, supaya menemui tamu asing itu, sementara menunggu Buyut Bashutara menyelesaikan samadinya. Maka Jatuawitri memutuskan menemui ibunya di pategalan. Gadis itu turun dari tlundakan dan segera berlari menuju pategalan. Tapi belum jauh dari tempat itu terdengar suara laki-laki berjambang tebal berjalan melangkah ke arah bangunan cepuri. Tiba-tiba perasaan takut muncul di dalam hatinya, dia merasa laki-laki itu bukan orang yang baik, kalau dia berjalan terus maka laki-laki berjambang tebal itu akan melihatnya dan tentu akan menanyainya. Akal pikirannya membimbingnya berbelok ke kiri, mengendap di antara perdu-perdu soka, dan merayap mengikuti selokan pembungan air dan menuju ke lumbung padi di samping rumahnya. Untunglah laki-laki berjambang tebal itu tak melihat kemana Jatuawitri pergi. Perawan kecil itu membuka pintu lumbung, kemudian mendaki bukit padi yang ada di  dalam lumbung itu, dari puncak tumpukan padi itu Jatuawitri masuk di atas pyan dari papan yang terbuat dari kayu glugu, di atasnya tergelar tikar, biasa digunakan pekathik, pembantu yang bertugas mencari rumput untuk makanan kuda itu tidur dan sekaligus menjaga lumbung padi. Sebenarnya cara naiknya adalah dari depan lumbung dengan tangga yang sudah tersedia. Di tempat itu Jatuawitri merasa aman, dari tempat itu pula Jatuawitri bisa mengintip keluar dimana laki-laki berjambang tebal itu berada. tetapi di dadanya penuh dengan debar-debar.

 

    

 

(BERSAMBUNG KE No. 8. Marahnya Si Mata Cerung)

BACK