CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 8. Marahnya Si Mata Cerung

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

     

     Terlihat laki-laki berjambang lebar yang menyebutkan namanya Rahaden Kocapa itu berjalan mendekati cepuri. Roman mukanya menunjukkan sedikit keheranannya, di suatu desa yang jauh dari kota praja ada sebuah bangunan cepuri yang tak kalah megah dengan yang ada di samping istana Maharaja Rakai Pikatan sendiri. Para pengikutnya membuntutinya seperti sekawanan anak-anak angsa yang mengekor pada induknya.

 

    "Si Bashutara ini rupanya kaya juga." gerutu Rahaden Kocapa alias Holaram alias Syah Rai Kae itu. "Coba lihat, dari mana dia dapatkan uang untuk membangun cepuri sebagus ini!?"

 

Para pengikutnya berpura-pura ikut heran, muka mereka dibuat segumun mungkin, mulutnya berdecak-decak, kepalanya bergeleng-geleng. Supaya tuannya merasa senang dengan keikutsertaannya.

 

    "Dimana pula gadis manis tadi, coba kalian cari di seputar cepuri ini!" perintah Rahaden Kocapa. Para pengikutnya menyebar mengitari bangunan cepuri. Tapi mereka tak menemui siapapun di sana.

 

     Jatuawitri merasakan dadanya semakin berdebar-debar ketika mendengar perintah Rahaden Kocapa kepada para pengikutnya. Kalau sampai di antara mereka mendekati lumbung dan menaiki tangga dia merasa nasibnya terancam. Tapi gadis itu berpikir, selagi para pengikut Rahaden Kocapa itu mendekati lumbung dia bisa turun melewati tumpukan padi dan lari keluar melewati belakang rumah dan menghilang di antara rumpun bambu gading dan akan menelusuri jalan kecil menuju ke pategalan dimana ibunya berada. Namun rupanya para pengikut Rahaden Kocapa tidak menyangka gadis itu berada di bawah atap lumbung padi itu. Sehingga gadis itu tidak merasa perlu untuk pergi lari.

 

     "Kami tak menemukan gadis itu, Rahaden," lapor salah satu pengikutnya kepada tuannya yang sedang asyik menatap ukiran tentang peristiwa rajasuya yang sedang diadakan oleh raja Yudhistira di dinding cepuri.

 

     "Ukiran di dinding ini lumayan bagus, tapi rupanya pengukir jawa yang membuatnya ini lupa bahwa di istana raja Yudhistira terdapat delapan ribu raksasa Kinkara menjaga kerajaan Amarta. Di ukiran ini tak satupun raksasa itu terlihat. Dasar pengukir jawa, yang dibikin yang manis-manis saja!" gerutu Rahaden Kocapa.

 

     "Iya, Rahaden. Orang jawa sukanya yang enak-enak saja. Cerita mahabarata yang diambil juga yang baik-baik menurut mereka saja," kata salah satu pengikutnya.

 

     Jatuawitri yang mendengar percakapan mereka merasa tersinggung  perasaannya. Bukankah pengikut-pengikut Rahaden Kocapa itu juga orang-orang jawa, bagaimana mungkin mereka bisa menjelek-jelekkan orang jawa, wangsa mereka sendiri.di depan orang asing macam Kocapa itu,  Jatuawitri semakin yakin bahwa orang-orang itu datang bukan punya maksud baik. Walaupun perawan kencur itu mengakui juga merasa mendapat pengertian tentang orang jawa dari orang asing yang berpakaian adat jawa itu.

 

     "Kata gadis kecil cantik tadi, Bashutara ada di cepuri ini, tapi kenapa kelihatan sepi sekali. Sekalipun Bashutara sedang samadi, tak sepantasnya dia membiarkan Syah Rai Kae berdiri di sini tak tahu harus berbuat apa seperti kerbau dungu begini. Coba kau ketuk pintu cepuri itu!" perintah Rahaden Kocapa kepada pengikutnya. salah satu pengikutnya menaiki tludhakan dan mengetuk pintu pelan.

 

    "Lebih keras, tak mungkin ketukanmu itu terdengar oleh si tua bangka itu!" kata Rahaden Kocapa.

 

Pengikutnya itu mengetuk lebih keras. Tapi tak ada jawaban dari dalam, bahkan terasa sepi saja setelah akhir dari ketukannya yang keras. Merasa tidak sabar Rahaden Kocapa menaiki tludhakan dan mengetuk sendiri pintu cepuri itu jauh lebih keras dari ketukan pengikutnya.

 

     "Bashutara...! Bashutara...! Ini aku Holaram yang datang. Sang Hyang Widi Wasa-pun akan mengampunimu  jika  kau menghentikan samadimu untuk menyambutku!" suara Rahaden Kocapa terdengar kering menggeletar menampar dinding-dinding cepuri itu. Tapi masih juga suasana sepi yang menjawabnya.

    

(BERSAMBUNG KE No. 9. Membentur Kehampaan)

BACK