CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 1. DI ANTARA GUNUNG-GUNUNG

No. 9. Membentur Kehampaaan

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

Laki-laki itu mengetuk pintu cepuri lebih keras lagi, bahkan memukul-mukulnya seperti mau memecahkannya. Tapi tetap sia-sia saja usahanya itu.

 

  Menghadapi kesunyian tanpa jawaban, kemarahan Rahaden Kocapa naik sampai ke ujung keningnya. Mulutnya berkerut menandakan kemuakan yang hampir muntah, tangannya mengibas-kibas.

 

    "Bahh...! Kalian lihat sendiri. Pintu ini beku seperti keangkuhan pemiliknya, si bhramin Bashutara tua pikun hampir mampuss itu!" kata Rahaden Kocapa kepada pengikutnya yang jadi ikut takut dengan kemarahan Rahaden Kocapa itu. Laki-laki berjambang tebal itu mundur kakinya menuruni tlundhakan sementara matanya masih menatap tajam pintu yang seperti beku itu.

 

     "He..Bashutara, dengar suaraku. Kau tentu masih ingat suaraku. Kau tentu masih ingat juga ketika kubenamkan mukamu itu di air sungai Gangga, aku masih ingat betapa tergelegap-gelegapnya mulutmu. Kau boleh paling pandai di seluruh pelajaran di perguruan tinggi Vanarasi, tapi tubuh jawamu itu terlalu kecil untuk melawan kami orang-orang Hindi. He....Bashutara, buka pintu atau kuhancurkan pintu kokohmu ini!?" bentak Rahaden Kocapa. Para pengikutnya seperti serentak bergerak mundur memberi ruang kepada Rahaden Kocapa. Tetapi rupanya justru Rahaden Kocapa memerlukan bantuan mereka.

 

    "Robohkan pintu itu, dan tarik keluar siapapun yang berada di dalamnya!" perintah Rahaden Kocapa kepada pengikutnya. Para pengikutnya saling pandang satu sama lain. Tapi kemudian bergerak maju mendekati pintu. Tapi tiba-tiba ada orang yang datang. Mereka yang ada di situ memalingkan muka melihat siapa yang datang. Seorang laki-laki kerempeng berjalan pincang memanggul segulungan rumput.

 

     "Kita tanya dulu pada orang pengkor  yang datang itu!" kata Rahaden Kocapa. Para pengikut Rahaden Kocapa kembali turun dari tludhakan. Dan menunggu orang yang berjalan ke arah mereka.

 

Ketika laki-laki kerempeng yang mendekat itu sampai di depan mereka, Rahaden Kocapa segera bertanya, "Hai, siapa namamu, kamu tahu Bashutara ada di dalam cepuri ini?"

 

Laki-laki kerempeng itu berhenti dan memandang sekilas wajah Rahaden Kocapa, rupanya laki-laki itu merasakan sedikit kengerian, maka segera dia tundukkan mukanya.

 

     "Saya Purana, pekathik di rumah ini. Ya, setahu kami, Buyut ada di dalam cepuri sedang samadi."

     "Kamu panggil Bashutara supaya keluar!" perintah Rahaden Kocapa kepada Purana.

     "Tak seorangpun bisa mengusik Buyut Bashutara di saat sedang samadi, Tuan."

     "Ya, tapi tak ada adat semacam itu diajarkan, menghormati tamu adalah kewajiban!" sergah Rahaden Kocapa.

    "Masalahnya, pada saat samadi dan mencapai puncak penutupan nawasanga, Buyut sendiripun sudah tak mendengar apapun, tak merasakan apapun, pancainderanya tertutup dan tak berfungsi selayak biasanya, Tuan." terang Purana.

 

    "Hah, itu yoga macam apa? Omong kosong semua itu. Aku tak percaya itu. Lekas kamu panggil Buyut-mu itu, atau aku pecahkan kepalamu!"

 

Purana semakin merasa takut. Tubuhnya bergetar semakin kencang, gulungan rumput di bahunyapun terjatuh dari pegangan tangannya dan melorot ke tanah.

 

    "Sungguh, kami tak kan mampu, Tuan."

 

Rahaden Kocapa sudah kehabisan kesabarannya, dia hunus belati di pinggangnya.

 

     "Tangkap pekathik ini!" perintahnya kepada para pengikutnya. Para begundal itu segera menangkap Purana yang sudah tak berdaya, salah satu dari mereka menarik kedua tangan  Purana ke belakang, beberapa yang lain memegangi tubuhnya. Pekathik itu tubuhnya bergetaran.

 

    "Jangan, Tuan. Jangan! Ampuni saya, saya tak bersalah." rintihnya.

    "Aku tahu, kamu tak bersalah. Tapi kamu orangnya Bashutara, aku hanya ingin memberi pesan  kepadanya." kata Rahaden Kocapa, kilau belatinya berkilatan terkena sinar matahari. "Tundukkan kepala orang ini!" perintah Rahaden Kocapa kepada pengikutnya yang sedang memegangi Purana. Salah satu dari mereka menekan kepala Puruna. Dan seketika itu pula belati di tangan Rahaden Kocapa telah memotong telinga Purana. Terdengar jeritan Purana memecah siang, darahnya bercucuran ke tanah.

 

    Jatuawitri mencekik suaranya sendiri ketika melihat peristiwa itu, dia tak ingin suaranya terdengar oleh orang-orang yang berada di samping cepuri itu. Tapi keterkejutannya membuatnya gagu. Telapak tangannya menutup mulutnya yang ternganga. Tapi gadis itu masih ingin melihat apa yang akan terjadi.

 

     Rahaden Kocapa mendorong tubuh Purana hingga jatuh terjerembab ke tanah. Sementara potongan telinga kirinya di lemparkan ke arah lain, Rahaden Kocapa membersihkan tangannya dari darah dengan mengusap-usapkannya di kain celananya.

 

    "Inilah pesanku pada Bashutara yang pura-pura tuli, katakan padanya kalau aku yang memotong telingamu, aku Rahaden Kocapa, alias Holaram alias Syah Rai Kae teman seperguruantingginya dulu di Vanarasi, yang pernah menenggelamkannya di sungai Gangga." katanya tegas. Purana yang tertelungkup di tanah tangannya memegangi luka di bekas telinga kirinya, tak bergerak karena takutnya.

 

    "Ayo kita pergi!" kata Rahaden Kocapa kepada para pengikutnya. "Suatu saat aku akan datang lagi ke sini, bukan untuk menemui Bashutara, tapi akan mengambil gadis manis bertubuh indah yang menghilang tadi, aku sangat ingin memilikinya!"

 

(BERSAMBUNG Ke No. 10. Tangisan Di Siang Hari)

BACK