CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG

No. 10. Merekah Pagi

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

  

 

     Pergumulan batin Obloh Owoh, sang emban itu sebenarnya tak kan berarti apa-apa, karena apapun sebuah pemikiran tentang kebenaran takkan bisa menjadi kenyataan jika hanya muncul dari orang dari kasta paling bawah. Itu hanya  menjadi percikan perenungan di dalam diamnya yang lama, terkubur oleh kebisuan batinnya. Di usianya yang kian senja, uban di kepalanya kian merata, dan kerut di dahinya seperti kalen-kalen, sungai-sungai kecil yang menurun di perbukitan Deles, Obloh Owoh hanya bisa niteni, menyaksikan dengan seksama dengan rasa batinnya. Namun ketenangan di kali itu tiba-tiba terpecahkan oleh suara teriakan Rara Jonggrang.

 

     "Obloh!!!! Obloh!!!! Ke sini aku terluka, darah mengucur banyak!!" panggil Rara kepada Obloh dengan nada cemas. Teman-temannya yang sedang asyik bergurau di sudut lain di kali itu juga terhenyak, seketika perhatian mereka tertuju kepada Rara Jonggrang yang tampak pucat dan gemetaran. Obloh Owoh yang terkejut segera berlari menghampiri momongannya yang sedang setengah berendam di kali itu. Namun larinyapun tak bisa cepat karena tubuhnya yang tambun dan air yang menghalangi kainnya untuk menerjang menuju ke tempat Rara berada.

 

      "Gusti-gusti!! Ada apa ini, kenapa Nak, nDaraku sing ayu, keneng apa?" jeritnya tergopoh-gopoh untuk segera sampai. Teman-teman wanita yang lainpun segera menuju ke tempat Rara berada. Tak begitu lama kemudian mereka sudah mengerumuni Rara. Begitu gundah mereka tatkala dilihatnya darah memerahi air di mana Rara berendam. Obloh Owoh segera memapah gadis itu ke pinggir kali, sesampai di pinggir kali perawan cantik itu dibaringkan di atas pasir. Darah masih mengucur, sementara gadis-gadis lain kian ciut hatinya melihat Rara yang tampak tak berdaya.

 

      "Tadi kenapa Rara, disapit yuyu ya? Atau digigit ular? Wah cilaka ini, bagaimana ini?" cemas salah satu gadis teman Rara Jonggrang.

 

      "Tadi Rara sendirian, agak jauhan sama kita. Jadi kita nggak lihat apa yang ada di air di tempat Rara!"  kata gadis yang lain.

 

       "Yuyu nggak akan nyapit sampai keluar darah seperti ini!" sergah Obloh Owoh. "Coba tarik kainnya agak ke atas, biar kulihat lukanya!" sambungnya.Terman-teman Rara berusaha menarik kain yang menutupi kaki Rara Jonggrang.

 

       "Jangan kencang-kencang! Nanti sakit kalau nyerempet lukanya." kata Obloh Owoh. "Nduk, kamu tidak apa-apa kan, jangan pingsan ya. Ingat Rara, nyebut-nyebut kepada yang Maha Kuasa, biar selamat kamu Nak! Duh Dewa Batara, mohon pertolongan, jangan ambil momongan saya, ya Sang Hyang Kala yang gagah!" Obloh menerocos mengucapkan doa-doanya. Mata Rara terpejam, tubuhnya lemas terkulai. Dan di langit matahari tertutup awan.

 

    Ketika kain sudah tersingkap sampai ke lutut, mata gadis-gadis itu seakan-akan menantikan apa yang mereka cari, luka yang mengeluarkan banyak darah itu. Namun belum juga ketemu apa yang mereka cari. Tak ada luka di betis kuning langsat itu.

 

     "Kamu buka saja ikatan kembennya, jadi mudah membuka kainnya!" kata salah satu gadis kepada gadis yang paling dekat dengan tubuh Rara Jonggrang. Gadis yang disuruh menuruti perintah temannya.

 

     "He, ambil dulu kain di tenggok sana! Untuk menutupi, kalau tidak nanti dilihat orang!" suruh Obloh Owoh.

 

     "Yang  lihat cuma kita saja, nggak ada orang lain di sini!" jawab salah satu gadis.

 

     "Huss! Siapa tahu ada yang ngintip! Cepat sana ambil kain di tenggok di pinggir sana!" Gadis yang disuruh segera bergegas ke tanggul kali. Dan mereka yang di situ mulai meloroti  kemben di dada Rara Jonggrang. Rara Jonggrang pasrah saja ketika kain penutup tubuhnya diambil. Dan tubuh moleknya mulai kelihatan.

 

    "Kamu tidak pernah mengalami seperti ini Rara, jika kau digigit ular akan kubunuh ular itu, jika kau disapit yuyu akan kucincang yuyu itu. Dan jika ada luka senjata tajam atau anak panah, akan kuseret dia yang melakukannya ke hadapan Tuanku Guphala. Biar direjam dadanya hingga mampus dan dilarah siapa yang menyuruhnya." gumam Obloh Owoh, seketika pandangannya dia tebarkan ke sekeliling tempat itu, memeriksa siapa tahu ada orang jahat mengawasinya. Namun hanya sepi yang ada. Tak ada tanda-tanda ada orang di sekitar kali itu. Beberapa burung prit gantil mengantung-gantungkan diri di dahan pohon duet.

 

     "Obloh......., apakah aku akan mati?" suara Rara Jonggrang pelan hampir berbisik.

 

     "Ohhh, tidak, tidak boleh kamu mati Nak. Jangan bilang begitu. Kualat nanti, kamu tidak boleh mati. Tidak!" sergah Obloh Owoh. "Cepat Rutminten kainnya!" pinta Obloh kepada gadis yang mengambil kain di tanggul. Rutmintenpun tampak berlari-lari dari lereng tanggul, di tangannya sudah  terbawa tenggok yang berisi kain-kain kering untuk ganti mereka.

 

   Ketika sampai di kerumunan yang mengerubung Rara Jonggrang, diambilnya satu yang memang miliknya Jonggrang, kain corak sidomukti. Dan dibentangkannya di atas tubuh Rara.

 

      "Kenapa Rara bawa kain gantinya juga sidomukti ya?" gumam salah satu gadis.

 

     "Memangnya kenapa?" tanya yang lain.

 

      "Bukannya sidomukti hanya untuk pesta-pesta atau jika naik pelaminan?" 

 

      "Sudah! Jangan banyak cingcong! Ini dulu ditolong, mungkin Rara keliru ambil." kata gadis yang lain.

 

Dan ketika kain kemben Rara Jonggrang sudah berhasil dilepas, badan bak pualam indah itu segera ditutup dengan kain kering sidomukti itu. Keringat dingin mulai membasahi kening Rara, salah satu gadis mengelapnya serta merapikan rambut Rara yang terkotori oleh pasir kali. Obloh Owohlah yang kini memeriksa tubuh Rara Jonggrang, disingkapkannya kain penutup dari arah ujung kaki dan pelan-pelan dengan teliti. Gadis-gadis yang lain memegangi tepian kain itu supaya tetap menutupi tubuh Rara dari atas.

 

     Namun ketika sampai di dada perawan momongannya itu tak juga dia temukan adanya luka.

 

      "Tak ada luka Rara? Kamu nggak kenapa-kenapa?" katanya

 

     "Lha tadi darah yang banyak tadi dari mana?" tanya salah satu gadis.

 

Obloh Owoh mencoba memiringkan tubuh Rara Jonggrang untuk memerika bagian belakang tubuh. Namun tubuh bagian belakan itu penuh terkotori oleh pasir kali.

 

     "Pelan-pelan tolong bersihkan pasir-pasir ini!" perintah Obloh ke salah satu gadis. Dan segera gadis yang disuruh itu bekerja. Setelah selesai tak juga terlihat adanya luka. Dibalikkannya lagi badan Rara Jonggrang. Obloh Owoh mencoba memeriksa lebih teliti lagi.

 

     Dan ketika pandangannya sampai di pangkal pahan  gadis momongannya itu, dia pertajam penelitiannya, di sela-sela rambut di pangkal paha itu ada cairan merah. Wanita tua itu semakin mempertajam  pandangannya. Dia raba pangkal paha itu. Tak juga dia temukan luka, yang ada adalah sedikit darah. Seketika dia berteriak.

 

     "Ooooo....jadi ini penyebabnya!"

 

Gadis-gadis lain tampak muncul keingintahuannya.Matanya mereka tertuju ke titik itu.

 

     "Ha ha ha.... Duh Batara yang gagah, ha ha ha he he he...... Nak ning nong ning nang ning gung... he he he.... nak ning nong ning gong gong gong....he he he !!!! Tiba-tiba Obloh Owoh menari-nari kegirangan, semua yang melihat terbengong-bengong tidak tahu kenapa Obloh menari-nari.

 

     "Ada apa Nyi Emban, kok malah menari-nari!? tanya  salah satu gadis.

 

     "Nang ning nong ning nang ning gong... ini yang saya tunggu-tunggu. Sekian lama aku menunggunya, kau begitu terlambat Rara. Yang lain sudah pada dapat di umur 12 tahun 13 tahun. kamu baru dapat sekarang di umurmu yang ke delapan belas. Oh momonganku yang ayu, kau telah menjadi wanita sempurna, Nak. Kau sudah nggarapsari, kedatangan bulan.... ini datang bulanmu yang pertama. Oh nang ning nong ning nang ning gung!!!" Obloh Owoh begitu girang, diciumi anak momongannya itu penuh kasih, Rara sendiri masih bingung, masih menebak-nebak apa yang terjadi pada dirinya.

 

      "Ooo... jadi Rara datang bulan to, resep to? Oo..dewa dewa..." sambut salah satu teman Rara.

 

Seketika kerumunan itu menjadi ceria, kecemasan berganti gembira suka cita. Telah merekah seorang gadis ayu di Alas Segoro itu, tumbuh satu kembang yang siap dipetik. Di pepohonan masih juga berpindah dari satu ranting ke ranting yang lain burung-burung emprit, di kejauhan di pohon-pohon salam gerombolan burung podang dan kacer berpesta pora menikmati buah salam yang manis. Jika dilihat dari tempat burung kacer itu kerumunan wanita di pinggir kali itu tampak kecil-kecil. terlihat kain sidomukti telah menutupi tubuh Rara Jonggrang, Obloh Owoh memapahnya kembali pulang, diikuti gadis-gadis yang lain. Wanita gemuk tua itu harus segera menyiapkan jamu kunyit asem untuk momongannya. Kali Opak itu kini sunyi senyap kembali.

 

****

 

 

(BERSAMBUNG KE SERI 3. No.1. Bulu Elang)

BACK