CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG

No. 7. GEROBAK

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

Setelah yakin Rara Jonggrang tak akan berteriak, tangan kanan Obloh Owoh berpindah ke gagang cundrik yang terselip di sanggul rambutnya sekaligus sebagai konde. Terasa dadanya sesak karena menahan gejolak rasa kawatir akan keselamatan tuannya. Namun tiba-tiba orang yang dia kira perempuanlah yang malah berkata pelan tapi cukup jelas terdengar, “Aku dengar dengus nafasmu, hai orang-orang yang bersembunyi di balik perdu. Keluarlah! Atau kulempar kau dengan belati!”

 

     Obloh Owoh sedikit kaget dengan tajamnya pendengaran perempuan yang seperti kuli gendong itu. Dia merasa perdu itu cukup lebat untuk menyembunyikan tubuhnya dan tubuh Rara dari pandangan orang-orang itu. Namun rupanya orang-orang itu mempunyai ilmu cukup tinggi.

 

     “Ayo, keluarlah! Kami tahu kalian telah tutup semua jalan keluar dari Kawedanan Delanggu ini, kalian telah menjebak kami. Tak ada pilihan bagi kami, lebih baik membunuhmu lebih dahulu sebelum kami dibunuh oleh prajurit-prajurit Pengging di ujung jalan pintu keluar dari Delanggu ini!” tambah laki-laki yang letaknya paling jauh dari perdu dimana Obloh Owoh bersembunyi.

 

     Obloh Owoh yang justru semakin terkejut karena Rara-lah yang bahkan menjawab perkataan orang-orang itu. “Berarti kalian bukan orang Pengging, kenapa kalian berada di sini?”

 

     Orang-orang itu tampak saling berpandangan, saling bertanya-tanya tanpa kata karena tidak menyangka kalau ada anak kecil yang bersembunyi juga di perdu itu. Tapi akhirnya yang perempuanlah yang menjawab, “Rupanya Kadipaten Pengging sudah kehabisan prajurit dewasa, anak kecil juga diikutkan di medan pertempuran. Hai keluarlah kalian prajurit-prajurit Pengging, hadapi kami, sisa-sisa laskar Alas Segoro!”

 

     Obloh Owoh tersentak mendengar pengakuan orang-orang itu, dia mempertajam penglihatannya. Namun beberapa saat kemudian iapun tertawa, seketika itu juga rasa kawatirnya pudar.

 

     “Ha, he..he…he..cungkring jangan keras-keras tawamu. Aku Obloh!”

 

Tiga orang yang berseberangan perdu dengan Obloh Owoh masih juga berdiri kaku, waktu dua hari ini adalah saat yang sangat menegangkan dan meletihkan, membuat syaraf mereka merasa selalu dalam situasi genting dan cemas.

 

    “Ayo Rara, kita keluar dari perdu. Mereka bukan musuh. Itu si cungkring biyung Kuruwi yang di sana.” Obloh menarik tangan Rara Jonggrang yang dingin sedingin besi cundrik yang tersentuh ujung jarinya.

 

     Pertemuan kelima orang Alas Segoro itu seperti merupakan mukjizat bagi mereka, perang sudah usai dan mereka tahu mereka di pihak yang kalah. Hampir semua prajurit Alas Segoro mati terbantai. Kini perjumpaan mereka seperti pertemuan saudara kandung yang sudah bertahun tak berjumpa. Dua orang laki-laki yang mengikuti Kuruwi adalah Paladi dan Pangombe. Keduanya adalah orang-orang yang biasa ditugaskan di bagian dapur kerajaan kecil yang didirikan Guphala di tengah Alas Segoro, dan kemudian Guphala memberi nama istana kecilnya dengan nama Keraton Wono Segoro. Seperti juga Kuruwi yang tukang masak, dalam perang itu mereka masuk dalam pasukan penyedia makan bagi para prajurit.

 

     Mereka tak punya waktu banyak untuk saling bertukar cerita tentang apa yang terjadi. Apalagi malam sudah mendekati pagi, begitu matahari kelihatan mereka dengan mudah akan ditangkap oleh orang-orang Pengging.

 

    “Kita bawa Tuan Guphala ke gerobak makan.” kata Paladi sambil mengangkat badan tuannya, yang lain ikut membantu. Obloh Owoh berjalan di belakang merangkul Rara Jonggrang. Dan hanya karena nasib baik saja yang bisa mengantarkan mereka pulang ke Alas Segoro. Tubuh Guphala mereka tutupi dengan rumput gajah, mereka berpura-pura sebagai petani yang biasa pergi ke pasar Kalathi untuk menjual hasil ladangnya. Beras, krambil, terong, jagung dan sayur mayur yang dia bawa untuk keperluan cadangan makan prajurit menyelamatkan mereka dalam penyamarannya.

 

 

****

 

Guphala mengibas-kibaskan kepalanya, seperti ingin membuang kenangan pahit akan kekalahan itu. Duabelas tahun silam peristiwa itu terjadi, meregam rasa malu oleh kegagalan itu seperti memelihara sekam di dalam hatinya. Namun sebenarnya dia laki-laki yang tidak putus asa, duabelas tahun itu dia gunakan untuk memperbaiki posisinya di Alas Segoro, dia sadar betul bahwa untuk mengalahkan Pengging bukanlah pekerjaan mudah. Pengging terlalu dimanja oleh Bhumi Mataram, Rakai Pikatan tahu betul bahwa gerakan Samaratungga kearah timur hanya bisa dihentikan jika Pengging kuat, Samaratungga tidak akan mungkin melebarkan daerahnya kearah barat  karena akan beradapan dengan pasukan kuat kotapraja Mataram di Kunjarakunja, maka mau tidak mau Syailendrawamsa hanya mempunyai Gelang-Gelang, Muntilan, Mantaok dan Alas Segoro. Di utara hanyalah gunung Merapi dan Merbabu, di timur terhalang pegunungan kidul yang tandus dan melebar, satu-satunya adalah kearah timur laut, yaitu Kalasan, Kalathi, Delanggu kemudian Pengging. Maka Rakai Pikatan tidak akan melepaskan Pengging kepada siapapun, kadipaten itu dia perkuat dengan memberikan banyak bantuan dan prasarana. Dengan kuatnya Pengging berarti Syailendra akan terkurung dan berarti Samaratungga hanya menjadi raja kecil di timur gunung Sindoro di selatan Merapi dan Merbabu, dengan begitu pancaran karismanya tidak akan melebihi Bhumi Mataram.

 

 

BERSAMBUNG KE SERI 2. DAERAH GELANG-GELANG NO. 8. SAKIT INI

 

 

BACK