CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 3. ELANG YANG HILANG

No. 3. Bunga Soka

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

     "Katanya begitu Nak, saya juga tidak tahu," sambung tukang cukur itu. Diam-diam  dalam hati tukang cukur itu tumbuh tanda tanya, "Orang gila ini kok tahu juga tentang Gelang-Gelang".

 

     Tukang cukur itu mengasah sebentar pisau cukurnya di atas wungkal, suara yang ditimbulkan membikin sedikit ngeri bagi telinga yang mendengarkan, mungkin karena seringnya diasah  pisau itu menjadi sangat tipis dan mengkilat. Perhatian orang-orang di sekitar tempat itupun tak lagi terpusat pada Raden Bandung yang dianggap gila.  Pedagang dan pembeli bertukar tawar antara mereka, dan jika kesepakatan terjadi maka aliran kehidupanpun bergulir, dawet yang diciduk dari kendil akan segera berpindah tempat ke perut si pembeli, dan dayanya akan segera bekerja, memberi tambahan kekuatan bagi tubuh orang yang meminumnya, tugas hakiki si dawet terlaksanakan. Begitu juga yang lain, rujak, kurungan ayam dan pakaian. Semuanya yang terbeli akan segera menunaikan tugasnya, sampai selesai, usang dan kemudian dibuang, menjadi sampah dan kembali ke tanah, dan tugas barunya bersama-sama air akan memberi daya tumbuh bagi tanaman. Mereka melaksanakan tugas dengan baik, namun kadang-kadang manusia sering melebihkan nilai mereka, mendewakan dan akhirnya lupa akan tugas dirinya sendiri sebagai manusia.

 

     Namun kegundahan muncul jika tugas tidak bisa dilakukan. Seperti tukang cukur yang sedang berusaha memotong rambut Bandung. Berulangkali pisau tajamnya tak juga mampu memotong rambut Bandung barang sehelaipun.

 

     "Jagad Dewa Bathara! Kamu ini siapa, Nak? Apakah andika ini putra Sang Hyang Bathara Surya? Pisauku tak mampu memotong sehelaipun rambut andika," kata tukang cukur itu putus asa setelah berulangkali mencoba memotong rambut Bandung.

 

     Bandungpun mulai merasa aneh dengan dirinya, kenapa tukang cukur tua ini tak mampu memotong rambutnya? Bukankah dulu ketika masih tinggal di Kedungdang dia selalu rajin mencukur rambutnya, dia biasa minta bantuan Wuryan atau Purana. Dan selalu mereka berdua bisa mencukur rambutnya dengan rapi. Tapi kenapa sekarang tukang cukur tua ini tak mampu memotong sehelai saja rambutnya.

 

    "Sudahlah Nak. Jangan pamer kesaktian di sini. Bapa tak mampu mencukur rambut Andika. Pergilah dengan damai dan janganlah mengganggu kami," pinta tukang cukur tua itu setengah gemetar karena ada sedikit rasa takut merayapi hatinya.

 

    "Maaf Bapa, bukan berarti saya pamer kesaktian. ini baru sekali terjadi pada saya. Sebelumnya belum pernah Bapa. Cobalah sekali lagi Bapa, dengan pisau yang lain mungkin bisa, Bapa," pinta Bandung.

 

     Tukang cukur mengambil pisau lain yang lebih besar, kemudian dia kumpulkan uraian rambut Bandung supaya lebih mudah memangkasnya. Dan bersiaplah dia memotong untaian rambut Bandung, tidak seperti layaknya mencukur rambut namun posisinya seperti sedang bersiap menyembelih ayam, dia kumpulkan tenaga di tangannya, sambil menarik nafas dan sedikit doa terucap dari bibirnya dia tekan pisau besarnya itu. Namun rambut Bandung lebih kuat dari tajamnya pisau cukur itu. Berkali-kali dia tarik dan dia tekan pisaunya, tetap saja tak ada hasil. Kemudian ada timbul rasa jengkel, sengaja dia pelesetkan pisaunya dan mengenai leher Bandung. betapa terkejutnya tukang cukur itu karena leher itu tak terluka sedikitpun, dan orang yang sedang dicukurnya itu juga tak merasa sakit karenanya.

 

     "Nak, Bapa tidak mampu. Maafkan Bapa, Nak," kata tukang cukur itu, nafasnya tersengal-sengal kelelahan.

 

    Bandung tak menjawab perkataan tukang cukur tua itu, pikirannya terliputi tandatanya, kenapa dia bisa begitu rupa. Ilmu kebal yang dia punya selama ini tumbuh karena olah nafas dan raga. Jadi tubuhnya akan kebal jika dia lakukan jurus nafas tertentu,  tapi saat ini dia tak melakukan apapun, duduk pasrah kepada si tukang cukur. Seharusnya dia tidak kebal dalam posisi seperti ini.

 

     "Nak, pergilah. Bapa sungguh tidak mampu. Orang tua ini tak berilmu apapun, Nak. Carilah tukang cukur yang berilmu tinggi yang mampu memotong rambut andika, Nak!" kata tukang cukur tua itu patah semangat.

 

     "Baiklah, Bapa." Bandung berdiri dari bangku duduknya. Masih terganggu oleh kenyataan itu membawa hatinya sedih. "Apakah aku harus berambut, berkumis dan berjambang tebal terus-menerus? Apakah ini akibat dari bertapaku di hutan Sabawana itu? Karena pengaruh si macan syetan itu? Oh, Bathara Wisnu, sungguh aku tak mengerti dengan keadaan diriku saat ini Bathara," batin Bandung seakan tercekat oleh kenyataan yang menimpa dirinya itu.

 

    Belum tahu apa yang mesti diperbuat, Bandung segera melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Namun ketika baru saja dia berniat berpamit dengan si tukang cukur tiba-tiba bahu kirinya dilempar sesuatu. Dan ketika dia lihat apa yang mengenai bahunya dan jatuh di sampingnya itu adalah sebuah bunga soka, maka diapun tertegun sejenak. Siapakah yang melempar bunga itu hingga terasa begitu kuat lemparan itu mengenai bahunya? Tidak sembarang orang mempunyai kekuatan seperti itu, jika bukan dirinya pasti orang yang kena lemparan bunga soka itu pasti akan jatuh terjengkang.

 

     "Biar aku yang memotong rambutmu orang gila!". Tiba-tiba terdengar suara datar tapi menggelegar. Seorang laki-laki tinggi besar berdiri tak jauh dari tempat itu. Dan orang-orang di sekitar itu seketika memperhatikan peristiwa itu.

 

 

 

(BERSAMBUNG KE SERI 3. No. 4. Tikus Sawah)

BACK