CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 3. ELANG YANG HILANG

No. 4. Tikus Sawah

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

    

Bandung memandang orang yang melemparinya dengan bunga soka itu. Seketika dia bisa merasakan seberapa kemampuan orang itu dalam olah kanuragan. Secara lahir orang ini memang perkasa, tapi olah batinnya masih jauh di bawah dirinya, terasakan oleh Bandung dengusan nafas orang itu begitu kuat dan alirannya tak menentu, itu tidak baik untuk tenaga dalamnya. Namun Bandung tentu tidak akan meremehkan orang yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya itu.

 

      "Bungkukkan tubuhmu dan biar aku yang memotong rambutmu! perintah orang itu.

 

Bandung masih ragu-ragu, bimbang terhadap kemampuan orang itu dan juga tidak yakin terhadap niat baik orang itu. Sekelebat tangan lelaki di depannya itu sudah menarik pedang dari wrangkanya. Dan seketika pula pedang itu melayang ke arah leher Bandung. Bandung beringsut sedikit mundur. Namun pedang lelaki itu tetap mengejarnya dengan cepat mengarah ke perutnya. Bandung meliukkan tubuhnya memutar cepat, tusukan pedang lawannya tak menyentuhnya. Merasa gagal dengan dua serangannya laki-laki itu meneruskan dengan tendangan ke samping mengarah ke betis Bandung.

 

    Bandung meloncat mundur sejauh tiga langkah kaki. Tangannya memberi tanda kepada musuhnya untuk menghentikan serangannya.

 

     "Kisanak, sebentar dulu, hentikan seranganmu. Tadi kisanak  bilang mau membantuku memotong rambut. Kenapa tiba-tiba kisanak menyerangku membabibuta?"

       "Orang gila, aku tahu kau pendekar yang baru turun gunung, kau pamerkan kesaktianmu di sini. Sekarang coba pamerkan keampuhanmu kepadaku. Aku sudah lihat rambutmu tak bisa dipotong oleh pak tua itu. Tapi belum tentu lehermu juga tak bisa kutebas dengan pedangku ini." kata lelaki itu menantang.

     

     "Aku tidak pamer, kisanak. Aku sendiri heran kenapa pak tua tukang cukur itu tak mampu memotong rambutku. Baru kali ini kejadian itu menimpa diriku."

     "Ah, sombong kau! Jangan banyak omong, baru aku yakin omonganmu itu jika tak mempan lehermu itu dari tebasan pedang ini."

   

     "Jangan begitu, kisanak. Aku tentu tak membiarkan leherku kau potong. Kulihat pedangmu terbuat dari baja pilihan, mengkilat putih bersinar memantulkan cahaya matahari. Aku percaya kau bisa memotong leherku. Tapi aku masih muda, kisanak. Aku masih ingin hidup lebih lama. Biarkan aku pergi."

 

    "Tak kan kubiarkan orang pamer kesaktian di sini pergi membawa nyawanya. Apa kata orang seluruh pasar ini jika itu terjadi."

     "Orang pasar di sini tak kan memperhatikan kehadiranku, kisanak. Mereka tak kan mempersoalkan diriku."

    "Ya tapi mulut tua si tukang cukur itu akan menyebarkan cerita busuk ini ke seluruh pasar. Pradigda tak mampu menebas leher orang gila yang bermaksud mencukur rambut padanya."

     "Aku akan minta bapa tukang cukur itu untuk tak bilang ke siapapun."

    "Omong kosong, lalu itu si penjual dawet, penjual rujak dan orang-orang yang di sini itu. Apakah kau akan bisa bungkam seluruh mulutnya?"

    "Tapi nyawaku tidak akan kubiarkan untuk menukar kejadian ini. Karena aku rasa kau bukan yang berwenang untuk itu."

    "Kau ternyata pandai bicara. Tunjukkan itu lewat jurus silatmu!"

 

Berkata begitu lelaki itu sudah meloncat ke depan, menerkam Bandung yang kelihatannya tak begitu siap. Sekali lagi terkamannya meleset, bahkan tak dia sadari pedangnya terjatuh bergelincang di tanah. Dia tak melihat gerakan tangan Bandung yang bagai kilat menepuk pergelangan tangannya sehingga pedangnya terlontar jauh. Dia sendiri karena terdorong oleh tenaganya sendiri terjelungup ke depan dan jatuh menimpa bangku milik pak tua si tukang cukur, hingga hancur terpatahkan menjadi dua bagian.

 

Suasana pasar itu seketika menjadi kacau. Pedagang-pedagang di sekitar tempat itu bergegas memindahkan barang dagangannya ke tempat lain karena merasa takut dagangan mereka akan rusak Sementara para perempuan ketakutan, para lelaki berdatangan ingin melihat apa yang terjadi.

 

Beberapa saat kemudian terasa mencekam, karena lelaki yang menyebut namanya sebagai Pradigda itu tak juga bangun dari jatuhnya. Tubuhnya tertelungkup diam. Beberapa orang memberanikan diri mendekati tubuh Pradigda, sebelum menyentuh tubuh Pradigda, orang-orang itu melihat ke arah Bandung, karena mereka orang biasa mereka merasa takut kalau lawan Pradigda itu tak mengijinkan mereka menolong Pradigda. Namun memandang mata Bandung yang teduh orang-orang itu melanjutkan langkahnya mendekati tubuh Pradigda.

 

Orang yang pertama mencoba memegang kaki Pradigda.

 

     "Kang Digda, bangun Kang!" Tak ada jawaban. Orang kedua datang pelan-pelan membungkuk dan jongkok di samping tubuh Pradigda. Meraba urat nadi lelaki preman pasar itu. "Kok sudah ndak ada denyutnya, Di."

     "Masak sih, coba diteliti lagi!"

Orang itupun mencoba bagian leher Pradigda. Tak dia rasakan denyut nadi di leher itu.

 

     "Nggak ada Di. Coba kamu saja!"

Orang pertama mencoba meraba denyut nadi di pergelangan tangan.

   "Iya Kang, wah...jangan-jangan......."

Orang kedua menempatkan telapak tangannya di hidung Pradigda, tidak juga ada dengus nafasnya lagi. Orang pertama memandang orang kedua, seperti saling meyakinkan. Kemudian orang pertama yang bilang, "Dia sudah mati, Adi." Orang kedua mengangguk pelan. Orang pertama kemudian berdiri dan pelan berkata, "Pradigda telah mati...."

 

Tempat itu kemudian penuh geremang, pertama pelan-pelan kemudian makin lama makin kencang.

 

     "Pradigda terbunuh.....Pradigda mati....tak bernyawa lagi....diam saja dari tadi.... padahal cuman terpeselet tadi lho.... wah sakti bener orang gila itu," geremang orang-orang semakin riuh. Tiba-tiba seperti meledak suara perempuan paruh baya sambil berlari menangis-nangis menuburk tubuh Pradigda.

 

    "Kang, Kang Digda bangun Kang.... bangun... jangan mati Kang....jangan tinggalkan aku...!" jerit perempuan itu di antara sedu sedannya. Tiba-tiba perempuan itu berdiri dan bertolak pinggang, matanya galak menatap Bandung yang diam berdiri tak bergeming.

 

  

  "Kau pembunuh! Kau pembunuh hai orang gila! Akan kubunuh kau orang gila!" teriak perempuan itu. Tangan kanannya mengacung-ngacungkan jarinya ke arah Bandung.

 

Namun sebelum perempuan itu maju menyerang, ada seorang laki-laki tegap berpakaian prajurit lengkap mencegahnya. "Jangan! Biar saya yang menangani orang ini."

 

    "Tangkap tikus sawah ini!" perintah kepala prajurit itu kepada bawahannya. Ternyata di sekeliling itu telah banyak prajurit mengepung, ada yang membawa pedang ada pula yang membawa tombak. Semua ujungnya mengarah ke tubuh Bandung. 

 

 

(BERSAMBUNG KE SERI 3. No.5. Sepanjang Siang)

BACK