CERITA BERSAMBUNG

Karya :

Unggul K. Surowidjojo

PANGERAN MATA ELANG

UKA SUROWIDJOJO ENTERPRISE

 

SERI 3. ELANG YANG HILANG

No. 5. Sepanjang Siang

Oleh : Unggul K. Surowidjojo

 

 

Tempat itu kemudian menjadi semacam pusaran, orang-orang semakin banyak mengerumun, Bandung yang berdiri di tengah pusaran seperti titik as sebuah roda gerobak, sedang tombak dan pedang yang ditodongkan oleh prajurit-prajurit ke arah tubuhnya bagaikan jari-jari roda. Siang ini tiba-tiba menjadi terik, panasnya kian mencekat. Dan mega di langit juga putihnya samar layaknya kapas randu yang terbang terbawa angin. Namun ketenangan Bandung seperti bayi yang tertidur di gendongan ibunya.

 

     "Menyerahlah!" perintah kepala prajurit itu kepada Bandung.

    "Aku tidak bersalah."

    "Kau tersangka sebagai pembunuh Pradigda, dan kau akan didakwa dan dijebloskan ke penjara Kerajaan Bhumi Mataram!"

     "Aku tidak sengaja membunuhnya, dia mati sendiri."

     "Tapi kaulah penyebabnya!"

     "Semua orang di sini melihat, aku tidak memukulnya. Dia jatuh karena gerakannya sendiri."

     "Jangan berdalih orang sinting! Aku tak punya banyak waktu. Sekarang pilih satu di antara dua. Kau kami tangkap dan kami serahkan ke hukum Kerajaan Mataram. Atau pilihan kedua, larilah dari tempat ini. Kalau kau berhasil lari dan lolos dari kejaran kami maka selamatlah kau. Tapi kalau tidak, pedang dan tombak kami akan mencacah tubuhmu."

 

Bandung terdiam sesaat. Memilih salah satu tawaran kepala prajurit itu sama-sama tidak enaknya. .

 

    "Baiklah kalau memang aku dituduh sebagai pembunuh, hukumlah aku. Dan kalian semua yang ada di sini., jadilah saksi. Bahwa aku bersedia dihukum tanpa pengadilan. Tapi aku tidak akan lari, sebab kalau aku lari, kepala prajurit ini akan punya alasan untuk membunuhku tanpa pertanggungjawaban, dengan alasan aku melarikan diri."

 

      "Apa maksud omong kosongmu itu, orang gila?"

     "Lakukan hukuman kepadaku di sini atas nama Kerajaan Mataram!"

    "Tidak semudah itu, orang sinting! Karena kau tidak hanya dituduh sebagai pembunuh Pradigda, tetapi juga dicurigai melakukan tindak kejahatan lain!"

     " Kejahatan lain? Aku tidak pernah melakukan kejahatan, apalagi kepada Negeri Mataram!"

    "Kau kami curigai sebagai orang yang sedang dicari-cari oleh negara. Kau akan jadi tersangka pembunuh para pande-pande mumpuni di seluruh tlatah Mataram yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Kau pasti orang Kalana yang sedang menyusup kemari!"

   "Kamu keliru, kepala prajurit. Aku bukan orang yang kau cari."

    "Bagaimana kami percaya kalau kamu bukan pembunuh pande-pande, jika tidak dibuktikan di  pengadilan tinggi di Kunjarakunja!" jawab kepala prajurit. "Lebih baik menyerahlah dan ikut kami!"

     "Baiklah, jika kau bisa membawaku, bawalah aku!"

 

Maka kemarahan kepala prajurit itu tak tertahankan lagi, diapun kini menghunus pedangnya dan memegang tangkainya dengan kuat. Namun diam-diam di keningnya basah oleh keringat dingin. Dia perhatikan seluruh prajuritnya sudah siap, seluruh ujung senjata telah tertuju ke tubuh lawannya. Persis seperti tikus sawah yang terkepung oleh gebuk para petani, menunggu untuk terkena gebukan atau bisa meloncat menerobos di sela-sela kepungan.

 

Namun kesalahan terjadi pada salah satu prajurit, sepersekian saat dia mendahului teman-temannya menusukkan tombaknya ke arah dada Bandung, dan kesalahan itu berakibat fatal, secepat kilat tombak yang terarah ke tubuh lawannya itu sudah terebut dan berpindah ke tangan Bandung, sementara si penyerang terjengkang oleh tendangan kaki Bandung. Kemudian dengan seketika tombak itu berputar ibarat gasing, menghentakkan dan memporak-porakdakan senjata-senjata yang berebut menyerangnya. Prajurit-prajurit itupun terlempar dan terbanting di sekeliling lingkaran yang semula mirip roda pedati itu.

 

Bandung berdiri tegap, dilihatnya sekelilingnya, ada prajurit yang terlentang diam ada beberapa yang berusaha bangun dari jatuhnya. Laki-laki pendatang yang dikira orang gila itu kemudian berjalan tenang meninggalkan tempat itu, orang-orang entah karena takut atau terkesima oleh kejadian yang baru saja terjadi itu seakan terbius dan tak berbuat apapun. Bandung tidak keluar melewati pintu gerbang dimana dia tadi masuk, tetapi melompati pagar bambu di pinggir pasar itu, kepala prajurit yang baru tersadar kalau buruannya lepas seketika berteriak, "Hei...! Berhenti kau! Jangan lari!"

 

Namun Bandung telah hilang di balik belukar. Kepala prajurit terlihat mengejar sampai ke pagar pasar diikuti beberapa prajurit. Tapi dia tidak meloncati pagar itu, memutuskan untuk duduk di atas seonggok batu, di matanya bertaburan seribu kunang-kunang.

 

 

(BERSAMBUNG KE SERI 3. No.6. Candiroto)

BACK