PERBEDAAN LAMA MUNCULNYA PEUDOPARKINSONISME PASIEN GANGGUAN SKIZOFRENIK MEROKOK DENGAN TIDAK YANG DITERAPI HALOPERIDOL

Wini Agus, B. Handoko D., H. Mawardi

Pendahuluan: Salah satu efek samping obat-obat antipsikosis ialah terhadap susunan saraf pusat, yang merupakan gangguan motorik ekstrapiramidal, di mana salah satunya ialah Parkinsonisme terinduksi obat atau pseudoparkinsonisme. Efek tersebut sering menakutkan pasien serta keluarganya, yang tidak jarang menolak menerima pengobatan seterusnya, sehingga memperburuk prognosisnya. Pseudoparkinsonisme terjadi karena penurunan fungsi dopaminergik pusat yang mengakibatkan aktivitas kholinergik pusat meningkat. Banyak referensi mengatakan bahwa merokok sigaret, dimana mengandung nikotin, dapat meningkatkan pelepasan dopamin pada striatum. Tujuan: Penelitian ini bertujuan membandingkan lama-munculnya (waktu sejak pemberian haloperidol sampai munculnya) pseudoparkinsonisme antara pasien-pasien gangguan skizofrenik merokok dengan tidak, yang diterapi haloperidol. Sampel & Metode: Sampel terdiri dari 20 pasien gangguan skizofrenik (memenuhi kriteria diagnosis PPDGJ II), yang sedang dirawat di ruang C, RSUD Dr. Soetomo Surabaya, mendapat terapi haloperidol, serta merokok keretek. Kontrol terdiri dari 20 pasien gangguan skizofrenik (memenuhi kriteria PPDGJ II), sedang dirawat di ruang yang sama, mendapat terapi haloperidol, tetapi tidak merokok. Observasi terhadap munculnya pseudoparkinsonisme dilakukan setiap hari sejak pemberian haloperidol, baik kelompok sample maupun kontrol. Alat bantu penelitian ialah kuesioner untuk mencatat data dasar pasien, kapan mulai diberikan terapi haloperidol, kapan munculnya pseudoparkinsonisme, jumlah rokok yang dikonsumsi pasien per hari (1s/d 10 batang, 11 s/d 20 batang, lebih 20 batang). Diagnosis klinis pseudoparkinsonisme ditegakkan bila dijumpai sekurang-kurangnya 2 dari 4 gejala motorik, yaitu tremor pada keadaan istirahat (resting tremor), berkurangnya gerakan-gerakan spontan serta asosiasi (bradykinesia), kekakuan (rigiditas), perubahan/gangguan sikap tubuh (hilangnya reflek postural). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah komparatif yang dilakukan secara longitudinal, dengan skala interval, serta pengujian secara parametrik. Untuk membandingkan lama-munculnya pseudoparkinsonisme antara kelompok sampel dengan kontrol digunakan uji t bebas, perbedaan makna apabila p<0,05. Untuk menentukan hubungan digunakan analisis korelasi dan regresi baik sederhana ataupun ganda, hubungan bermakna apabila p<0.05. Hasil: Dengan uji t bebas diperoleh perbedaan lama-munculnya pseudoparkinsonisme antara kelompok sampel (6,4500 + 1,791 hari) dengan kontrol (2,1000 + 0,788 hari), dimana p = 0,000. Dengan analisis korelasi dan regresi sederhana ataupun ganda diperoleh hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi per hari dengan lama-munculnya pseudoparkinsonisme, dengan p=0,000. Juga diperoleh hubungan antara lama-munculnya pseudoparkinsonisme dengan jenis diagnosis dengan p=0,0304. Kesimpulan: Munculnya pseudoparkinsonisme kelompok gangguan skizofrenik merokok yang diterapi haloperidol lebih lama secara bermakna (p<0,05) dibanding kelompok dengan diagnosis dan terapi sama yang tidak merokok. Juga terdapat hubungan positif yang bermakna (p<0,05) antara jumlah rokok yang dikonsumsi dengan lama munculnya pseudoparkinsonisme. Di samping itu lama-munculnya pseudoparkinsonisme dipengaruhi juga oleh jenis diagnosis (skizofrenia/gangguan skizofreniform)

Lab./UPF Psikiatri

FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya