Ahmad Izzah
01/05/98 Abu Aqeedah
Suatu petang, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ
terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang
terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo
penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu 'boot
keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah
mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar
seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerasnya
sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar
tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah
berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih
sekadar cukup untuk satu orang.
Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput
hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh wajah dan
seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat
kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana
'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir
sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustaz...InsyaALlah tempatmu di Syurga."
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan,
'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan pegawai
penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya
sehingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu,
aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung
dengan agamamu!
Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam
kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram
dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai
balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf dan
masuk agama kami."
Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto
dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat
merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat
kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan
segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika
aku turuti kemahuanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."
Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di
wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara
dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang
telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'.
Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih
dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.
"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi
tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci
ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan
lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.
Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari
tangan sang ustaz yang telah lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak
demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar
gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih
puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang
telah hancur.
Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang
membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh.
Mendadak algojo itu termenung. "Ah...seperti aku pernah mengenal buku ini.
Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."
suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama
itu.
Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat
tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan
seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan
nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya
yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat
peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi
kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat
peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian
kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah
dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di hujung
kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada
tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup
angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan
berkibar-kibar di udara.
Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada
tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu memasuki agama yang dibawa oleh
para rahib.
Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh
tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah
senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak - kanak comel
itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang
gantungan. Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi yang
tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya.
Sang anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang.
Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku
lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."
Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab
ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat .
Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak
memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..." Namun ia segera terhenti berteriak
memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari
rumah oleh beberapa orang berseragam.
"Hai...siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati budak
tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawabnya memohon belas
kasih. "Hah...siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak salah seorang dari
mereka.
"Saya Ahmad Izzah..." dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba
"plak! sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai budak...! Wajahmu
cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu.
Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf
Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau
sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.
Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya
menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya
budak tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah
sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh
sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia
menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria,
"Abi...Abi...Abi..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya
terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil
yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu
sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat
betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat.
Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak
sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.
Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan
spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..." Hanya
sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.
Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang
membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang
yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku
pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..."
Terdengar suara Roberto meminta belas.
Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan
matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan
tahun , ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat
ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah engkau ke
Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan
Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"
Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir dengan
berbekal kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha ilALlah, wa asyahadu anna
Muhammad Rasullullah...'. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan
tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.
Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya
dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda
sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru
dengannya..."
Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.
Benarlah firman Allah...
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas
fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada
perubahan atas fitrah ALlah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)
===================================================================
Syeikh Al-Islam Turki yang terakhir iaitu As-Syeikh Mustafa Al Basri telah
menegaskan dalam bukunya ...
sekularisma yang memisahkan ajaran agama dengan kehidupan dunia merupakan
jalan paling mudah untuk menjadi murtad.
===================================================================