SANG BUDDHA DAN
PETANI KASIBHARADVAJA
Suatu ketika, Sang Buddha berada di desa Ekanala,
Magadha. Musim hujan telah tiba dan saat itu adalah saat menebar benih
(padi). Pagi-pagi sekali di saat dedaunan masih basah oleh embun, Sang
Buddha pergi ke sawah di mana Kasibharadvaja, seorang Brhamana yang petani,
memiliki 500 bajak yang sedang dikerjakan. Ketika Sang Bhagava tiba, adalah
saat Brahmana tersebut membagikan makanan kepada para pekerjanya. Sang
Buddha menunggu di sanan untuk melakukan pindapata. Tetapi ketika Brahmana
itu melihat Sang Buddha, ia mengejek dan berkata :
“Saya membajak dan menanam benih, dan setelah membajak
dan menanam benih, saya makan. O Pertapa, Engkau juga harus membajak dan
menanam, dan setelah membajak dan menanam, baru Engkau bisa makan”.
“O Brahmana, Tathagata juga membajak dan menanam. Dan setelah
membajak dan menanam, Tathagata makan”, jawab Sang Buddha.
Dengan bingung Brahmana bertanya, “Engkau mengatakan bahwa Engkau
membajak dan menanam, tapi saya tidak melihat Engkau membajak?”.
Sang Buddha menjawab :
“Tathagata menanam keyakinan sebagai benih-benihnya. Aturan disiplinKu
adalah sebagai hujannya. KebijaksanaanKu adalah kuk dan bajaknya. KesederhanaanKu
adalah kepala-bajaknya. PikiranKu adalah talinya, Kesadaran (sati)-Ku dalah
mata bajak dan tongkatnya”.
“Tathagata terkendali di dalam perbuatan, ucapan dan makanan.
Tathagata melakukan penyiangan dengan kebenaran. Kebahagiaan yang Tathagata
dapatkan adalah kebebasan dari penderitaan. Dengan tekun Tathagata memikul
kuk/gandar hingga mencapai Nibbana. Dengan demikian Tathagata telah melaksanakan
pekerjaan membajak. Ini menghasilkan buah Keabadian. Dengan pembajakan
seperti ini, seseorang terbebas dari semua penderitaan”.
Setelah penjelasan ini, Brahmana tersebut menyadari
kesalahannya, dan berkata, “Sudilah Yang Mulia Gotama makan nasi-susu ini.
Yang mulia Gotama adalah seorang petani karena panennya menghasilkan buah
Tanpa-kematian!” Setelah berkata demikian, Brahmana mengisi satu mangkuk
besar dengan nasi-susu dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha. Sang
Buddha menolak makanan tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak dapat menerima
makanan sebagai balasan/pembayaran dari pembabaran DhammaNya.
Brahmana berlutut di kaki Sang Buddha dan memohon
agar ditahbiskan menjadi anggota Persaudaraan para Bhikku. Tak berapa lama
setelah itu, Kasibharadvaja menjadi Arahat.