MANUSIA UNGGUL

Manusia Unggul

Saat ini kita berada pada era globalisasi. Sekarang ini adalah zaman ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Tofler, manusia modern telah melalui dua gelombang besar peradabannya, yaitu era pertanian dan era industri. Sekarang, menurut Tofler, manusia sedang memasuki gelombang ketiga yang penuh dengan kejutan-kejutan besar. Inilah era informasi itu.

Ulasan Tofler itu dijadikan rujukan oleh John Naisbitt dalam memberikan karak-teristik dari setiap gelombang. Menurut Naisbitt, pada era pertanian, manusia berhubungan dengan alam. Pada era industri, manusia berhubungan dengan pabrik. Dan pada era informasi, manusia berhubungan dengan manusia. Melihat kenyataan di atas, maka sebenarnya manusia adalah mahluk yang super kompleks. Oleh karena itu, dalam era informasi ini, hubungan antar manusia dapat dilakukan dengan banyak dimensi yang juga serba kompleks.

Hubungan yang serba kompleks ini ditunjang oleh teknologi transportasi dan telekomunikasi yang serba canggih, maka hubungan antar manusia dalam berbagai tempat dan keadaan, dapat berlangsung dengan sangat cepat. Filosofi materialistis yang telah mendominasi dunia, membuat ukuran dan target hidup manusia menjadi terbingkai dalam deretan angka-angka. Ini berlaku pada skala kehidupan individu maupun sosial.

Ini semua memberikan stimulasi baru untuk memperkokoh posisi waktu dan kemudian memunculnya dalam makna yang mendalam yaitu berupa kecepatan. Kecepatan, saat ini telah menjadi standar sosial. Dimana-mana kecepatan telah menjadi buah bibir dalam berbagai lapangan kehidupan. Kecepatan seolah telah menjadi kekuatan baru.

Maka, dalam makna kecepatan itu pula manusia berhubungan dalam berbagai dimensi kehidupan. Sehingga untuk berpacu dalam kecepatan, manusia harus berkompetisi. Maka kompetisi kemudian menjadi fenomena sosial. Manusia saling berkompetisi dalam semua bidang kehidupan. Dalam kondisi seperti ini, keunggulan menjadi ambisi setiap orang. Pada makna kompetisi dan keunggulan ini, ilmu dan teknologi mendapatkan posisi yang menguntungkan dan karenanya menjadi simbol keunggulan.

Didasari fenomena tadi, sumber daya alam seolah telah digantikan oleh sumber daya manusia. Keunggulan sosial ditentukan oleh keunggulan indivbidual.

Globalisasi semacam ini telah mempengaruhi doktrin-doktrin pendidikan dengan sangat kuat. Ia mempengaruhi proses pembuatan kebijakan pendidikan. Ia mempengaruhi cara orang tua mendidik anaknya. Nah, yang terakhir ini yang terkait secara individual dengan diri kita.

Kompetisi, kecepatan dan keunggulan adalah doktirn era globalisasi yang sadar, telah berubah menjadi harapan-harapan sosial setiap orang tua pada anak-anaknya. Setiap pasangan muda, memasuki jenjang perkawinan dengan membawa harapan sosial itu. Anak-anak masa depan akan menghadapi kompetisi yang semakin ketat. Karena itu mereka harus berkompetisi, memiliki kecepatan berpikir dan bergerak, agar bisa unggul diantara rekan-rekannya.

Harapan-harapan sosial itu selanjutnya membentuk pola pendidikan anak. Dan sekarang, setiap waktu kita mendengar berdirinya sebuah sekolah unggulan dalam berbagai tingkatan pendidikan. Karena semua orang tua ingin punya anak-anak unggul, banyak orang tua yang memberi les tambahan untuk anaknya, memanggil guru privat atau memasukannya ke tempat kursus tertentu. Anak unggul. Itu ambisi setiap orang tua modern. Dan kita, keluarga muslim, juga mengalaminya karena ita hidup di zaman yang sama.

Tidak ada yang salah pada makna-makna itu; kompetisi, kecepatan dan keunggulan. Ini adalah nilai yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Walaupun kkonteks kehidupan modern telah memberikan pengertian yang lain terhadap makna-makna tersebut. Dalam surat Al-‘Ashr Allah menjelaskan ciri orang yang selamat dari kerugian dan meletakkannya dalam konteks waktu. Dalam konteks waktu pula, berkali-kali Al-Qur’an menegaskan makna kompetisi. Fastabiqul khairat, was saabiquunal awwaluuna. Kompetisi itu perlu ditegaskan karena Allah membuat kewajiban ibadah yang sangat benyak melebihi waktu yang dimiliki per individu.

Tetapi Al-Qur’an sendiri tidak menggunakan keunggulan sebagai kata final. Istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam hal ini adalah Al-Insan Ash-Shalih (manusia shalih). Kata shalih mengacu kepada kebaikan yang hakiki dan murni. Kebaikan semacam ini akan berlaku pada semua tempat dan waktu. Unsur primer yang menentukan kebaikan adalah niat dan cara melaksanakan. Tetapi ada unsur sekundear yang juga menentukannya, yaitu batasan kemampuannya. Dengan demikian keshahihan itu, berarti bahwa ia memanfaatkan semua kemampuan yang telah diberikan Allah padanya, ditujukan untuk-Nya dan dengan cara yang diridhoi oleh-Nya. Dalam kenyataannya, kita bisa mengatakan bigini; orang yang diberikan kemampuan B, lalu menggunakan semua kemampuannya sebatas B dan mencapai prestasi setingkat B dengan niat untuk Allah dan dengan cara yang Allah ridho, maka ia adalah manusia shalih. Tapi orang yang diberi kemampuan A, namun bekerja dengan prestasi B, dengan niat untuk Allah, dan dengan cara yang Allah ridho, maka ia bukanlah termasuk manusia yang shalih. Demikian juga, bila ia diberi kemampuan A, lalu bekerja dengan prestasi A tapi tidak untuk Allah atau dengan cara yang tidak Allah ridhoi, maka ia juga bukan termasuk manusia shalih.

Dengan demikian, nilai keunggulan seseorang tidak dapat digambarkan dengan angka, tapi terkait dengan kemampuan. Allah telah menciptakan manusia disertai dengan kemampuan. Kemampuan yang dibawanya itu, harus dijadikan landasan pengembangan dirinya. Asejak anak-anakdilahirkan, mereka harus tumbuh pada alur kemampuannya. Hanya dengan cara inilah mereka akan menjadi optimal. Dan ternyata keunggulan seseorang terkait dengan konteks kemampuannya.

Ada banyak orang tua yang menjadikan harapan sosialnya sebagai kriteria keunggulan. Para orang tua mengharapkan anak-anak mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Umumnya, ayah ibu yang cerdas mempunyai keinginan bahwa mereka harus memiliki anak yang cerdas juga.

Sehingga ada situasi dimana kita menyaksikan bahwa bayak anak-anak berubah fungsinya tak ubahnya sebagai botol tempat orang tua menumpahkan seluruh harapan sosialnya. Para orang tua, membekali anak-anaknya dengan berbagai kursus, les, dan semacamnya. Sehingga, tidak sedikit dari anak-anak itu yang mengalami tekanan psikologis karena ia harus menjadi duplikat dari harapan sosial orang tuanya. Kadang –kadang harapan para orang tua itu tidak dapat diakomodasi sepenuhnya oleh kemampuan anak-anaknya. Setelah sekolah, ia harus mengiluti les dan kursus. Dan skarang ia lelah. Lelah secara psikologis.

Steven R. Covey, penulis buku Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif , punya pengalaman ini. Ia mempunyai harapan sosial yang terlalu muluk untuk salah satu anaknya yang ternyata berkemampuan fisik dan mental dibawah rata-rata. Tapi ia gagal. Yang ia lakukan kemudian adalah merubah visinya tentang anaknya tumbuh sesuai dengan alur kemampuannya. Tapi ternyata itulah jalan yang membuat anaknya mencapai prestasi besar.

Kalau kemampuan yang jadi ukuran, maka bukan anak ungul yang seharusnya kita harap. Tapi anak sholeh; atau anak yang tepat.

Wallahu a’lam. ( Lembaran Jum'at Ummul Quro - Edisi 02/th 2 )