Manipulasi jabatan Rudy Habibie untuk melindungi kakak kandungnya, Fanny Habibie, dari pemeriksaan sehubungan dengan skandal Tampomas, yang merenggut nyawa 775 manusia, sudah saya ungkapkan pula dalam makalah itu (Aditjondro, 1996), sebagai berikut:

"As Secretary to the Director General of Sea Communication, Fanny headed the team that had purchased a 10-year old passenger ship, renamed the Tampomas II , from its previous Japanese owner. This scandal might have not been known publicly, if it had not sank in the Java Sea on January 27, 1981, killing 775 of its 1154 passengers. This scandal was strongly covered up by the government, despite demands from parliamentarians to investigate the matter.

In a special hearing hold to discuss this matter, the Communication Minister refused to show the parliamentarians a World Bank report which explained the details of the purchase of the US$ 8.5 million junk ship. Also, despite a promise from the Attorney General to the parliamentarians to take legal actions about the reported malpractices, only five surviving crew members were suspended by the Maritime Court, who were the only ones to be blamed for the mishap (Indonesian Observer , Febr. 7-June 2, 1981; Independen , No. 10, 1995: 9).

A ship broker, Gregorius Hendra, who had fixed the deal between the former Japanese owner and the Indonesian government, was eventually interrogated by the Attorney General's staff. This previously unknown businessman seemed to have had his own connections, because he had previously made a fortune from selling landing crafts to the Indonesian Navy to be used in East Timor. That was probably why he was let off the hook (Tempo , Aug. 15, 1981: 60-61).

Fanny himself came unharmed out of the Tampomas II scandal, was promoted to become the Sea Communications Director General himself, where he made a crucial decision to scrap all Indonesian-owned ships over 25 years and sold to PT Krakatau Steel for fixed prices, considerably below the going international rate (FEER, Sept. 15, 1988: 84). He eventually became Indonesia's Ambassador to the UK, from where he helped to promote the family's business interests, until his term ended last year."

Orang inilah yang sekarang menggantikan posisi Rudy Habibie, sebagai kepala Otorita Batam. Bayangkan, manipulasi apa lagi yang akan dilakukannya, kalau Habibie kita biarkan berkuasa.

Akhirnya, "KKN" (korupsi, kolusi, nepotisme) Habibie juga terlihat dari pengangkatan besan kakaknya, Mayor Jenderal (Purn.) Zein Maulani, menjadi staf ahlinya. Olga, anak Jenderal Zein Maulani yang staf ahli Habibie itu, menikah dengan Cipto, anak Jenderal Sudarsono Dharmosuwito, "boss" bisnis di Pulau Batam. Ini semakin mempererat hubungan bisnis antara keluarga Maulani dengan keluarga Habibie.

Seorang menantu Maulani, Eko (suami anak ketiga) berbisnis dengan Nugi, anak Fanny Habibie yang kini jadi kepala Otorita Batam menggantikan adiknya. Ironisnya, dulunya klan Habibie tidak merestui perkawinan Olga dengan Cipto, namun setelah jadi Wakil Presiden dan kemudian ketiban pulung jadi Presiden, Rudy Habibie berbalik merangkul jenderal purnawirawan yang terkenal cerdas dan kritis ini, bahkana ikut mengfasilitasi "perkawinan bisnis" antara keluarga besar Habibie dengan keluarga besar Maulani.

Penyakit nepotisme itu memang sudah lama menghinggapi diri Zein A. Maulani. Ketika ia masih menjadi Sekjen Departemen Transmigrasi di bawah Siswono Yudo Husodo, yang "kebetulan" diangkat jadi Kakanwil Transmigrasi Sulawesi Selatan adalah seorang duda yang menikah dengan adik perempuan Maulani. Walhasil, perusahaan Eko dan Nugi banyak mendapat proyek transmigrasi di Sul-Sel, di samping proyek-proyek dermaga berkat koneksi dengan Fanny Habibie yang waktu itu masih Dirjen Perhubungan Laut.

Di masa itu pula putera sulung Zein, Haryogi Maulani, yang mulai membangun kelompok Balisani dengan menggarap "lahan tidur" milik transmigran di Sum-Sel, kemudian merambah ke perkebunan kepala sawit dan bisnis perhotelan di Bali dan Fiji, sehingga pada usia 31 tahun konglomeratnya sudah punya aset bernilai Rp 800 milyar.

Nepotisme itu "ditebus" dengan "upeti" Maulani dan Siswono pada Suharto, berupa pemberian proyek penggarapan lahan tidur transmigran seluas 80 ribu Ha kepada sang cucu tercinta, Ari Haryo Wibowo.

Bisnis perusahaan Eko dan Nugi yang lain tidak begitu jelas. Menurut sumber saya, kantor perusahaan mereka di Blok S, Kebayoran Baru, "isinya cuma nona-nona cantik yang ke luar masuk"

(sumber: Wibisono, 1995; Smith, 1996; Aditjondro, 1996; CISI, 1997: 290A-291B; Hiscock, 1998; Company Profile Repindo Panca Group 1994; Indonesia Business Weekly , 27 May 1994;Warta Ekonomi , 13 Juni 1994: 26, 23 Jan. 1995: 28, 24 Mei 1993: 27, 7 Mei 1993: 24, 10 Mei 1993: 11; Gatra, 17 Des. 1994: 40; Republika , 24 Juni 1995; Forum Keadilan , 31 Juli 1995: 92; Swa, Nov. 1993: 36-37, Agustus 1995: 18, 39-45, 54;Target , 25 Juni-1 Juli 1996: 22-23; Tajuk , 1 Agustus 1996: 51; sumber-sumber lain).

Demikianlah kisah hubungan bisnis dan jaringan "KKN" yang begitu mesra antara keluarga besar Suharto, Habibie, dan Maulani.

Marilah kini kita jenguk yayasan-yayasan yang dikuasai secara tidak langsung oleh Suharto lewat Bob Hasan. Setelah lepas dari jabatan Menteri Perdagangan dan Industri, yang hanya sempat dijabatnya selama 2 1/2 bulan, Bob Hasan barangkali akan kembali menjabat sebagai presiden komisaris PT Astra International, Inc., mewakili kelompok bisnis Nusamba. Kalau itu betul, maka melalui Bob Hasan, Suharto tetap ikut berkuasa atas sepakterjang (85) Yayasan Toyota Astra Motor, yang memberikan beasiswa pada siswa dan mahasiswa, (86) Yayasan Dharma Bhakti Astra, yang juga bergerak di bidang pendidikan dan membantu calon pengusaha, (87) Yayasan Dana Bantuan Astra, yang membantu anak putus sekolah, dan (88) Yayasan Dharma Satya Nusantara, yang membantu para perwira yang sudah pensiun (Shin, 1989: 346; Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 41).

Mengingat bahwa sejumlah perusahaan Astra sudah dihinggapi saham YDP Kostrad, posisi Bob Hasan di pucuk pimpinan Astra secara finansial ikut memperkuat posisi menantu Suharto, Letjen Prabowo Subianto yang kini Panglima Kostrad -- mengulangi jejak mertuanya, 32 tahun yang lalu. Sejarah dinasti Suharto telah menarik garis lingkaran penuh. Sampai saatnya Prabowo digeser dari posisi berkuasa itu oleh Pangab baru, Jenderal Wiranto.

Bob Hasan jugs tidak akan begitu saja melepaskan kekuasaannya sebagai "raja hutan" lewat posisinya sebagai Ketua MPI (Masyarakat Perkayuan Indonesia), ketua Apkindo (Asosisasi Panel Kayu Indonesia), dan ketua Asmindo (Asosiasi Mebel Indonesia).

Di bawah pengaruh MPI, Apkindo, dan Asmindo adalah dua yayasan, yang telah dan masih dapat digunakan oleh Bob Hasan untuk menghadapi serangan para pencinta hutan Indonesia, di dalam negeri maupun di mancanegara, yakni (89) The Indonesian Cultural Foundation, serta (90) Yayasan Adikarsa Nugraha Cestita.

Indonesian Cultural Foundation pernah mensponsori presentasi satu tesis MA di bidang kehumasan tentang kampanye anti penggunan kayu tropis, karya Nia Sarinastiti Sukanto, puteri bekas Rektor UGM, Sukanto Reksohadi-prodjo, dalam Konferensi Kehutanan Sedunia di Bandung, tahun 1992 (Forum Keadilan , 14 April 1994: 50-51).

Sementara itu, Yayasan Adikarsa Nugraha Cestita digunakan tiga tahun kemudian oleh Bob Hasan, sebagai counterpart dari International Gold Award Training (IGAT) '95, untuk menyelenggarakan pendidikan kepemimpinan bagi pemuda-pemudi teladan berusia antara 20 s/d 30 tahun. Sanggar kerja (workshop ) yang berlangsung dari 3 s/d 22 Juli 1995, berawal di Taman Mini Indonesia, dan menggunakan Taman Nasional Ujung Kulon sebagai ajang latihan yang utama.

Karena IGAT berada di bawah binaan Duke of Edinburgh serta kerabat kerajaan Inggris yang lain, kerjasamanya dengan IGAT dimanfaatkan yayasan Bob Hasan ini untuk menyeleksi pesan, peserta, dan ajang latihan, untuk menonjolkan kebijakan "pelestarian lingkungan" versi Bob Hasan (Tjahyono, 1995).

Nyonya Pertiwi Hasan, isteri sang raja hutan, yang aktif memproyeksikan diri sebagai seniwati, menguasai (91) Yayasan Patria Mas Katulistiwa untuk melaksanakan promosi kerajinan tangan Indonesia. Yayasan itu menyuguhkan paket "Bianglala Patria" dalam acara Pameran Kerajinan Tangan Indonesia di Pulau Kochi, Osaka, Jepang, tanggal 19-25 September 1995, dengan mencampilkan tari campuran dari berbagai daerah.

Namun selain promosi kerajinan, yayasan itu sekaligus berfungsi sebagai alat propaganda bagi Suharto. Misalnya, dalam acara Gebyar Indonesia dalam rangka HUT RI yang ke-50, Pertiwi Hasan menggamit Budyiati Abiyoga untuk membuat sinetron berjudul Serangan Oemoem Satoe Maret . Maksudnya konon untuk menampilkan sisi lain dari sebuah perjuangan, yakni mereka yang aktif di dapur umum (Ummat , 2 Okt. 1995: 101). Namun tak pelak lagi, dengan pemilihan judul di atas orang juga mengerti peranan siapa sebenarnya yang mau ditampilkan oleh sinetron itu.

Di bidang pers, Bob Hasan dan Harmoko telah membentuk (92) Yayasan Maju Bersama, yang mula-mula menerbitkan majalah dwi-mingguan di bidang olahraga, Sportif . Di situ Harmoko tercantum sebagai ketua yayasannya, sedangkan Bob Hasan sebagai pemimpin umum penerbitannya (Warta Ekonomi, 1 Agustus 1994: 23).

Seperti yang kita ketahui, setelah pembreidelan Tempo , Bob Hasan-lah yang kemudian, melalui PT Era Media Informasi (EMI), mendapatkan SIUPP dari MenPen Harmoko waktu itu untuk menerbitkan majalah berita Gatra bersama sebagian eks karyawan Tempo (Suara Independen , Sept. 1997). Ini mirip kiat Sudwikatmono membajak sebagian karyawan tabloid Monitor lewat Yayasan Tujuh Dua.

Belum begitu jelas apakah 20% saham Bob Hasan dalam PT EMI mewakili Yayasan Maju Bersama, ataukah mewakili satu di antara trio yayasan pemegang saham PT Nusamba. Tapi yang jelas, policy keredaksian majalah Gatra sudah terbukti jelas-jelas mengikuti his master's voice , sehingga yayasan Suharto mana pun yang diwakili, tidak relevan lagi.

Kemudian, dengan memiliki 5% saham maskapai tambang emas-dan-tembaga PT Freeport Indonesia, Bob Hasan juga punya akses ke (93) Yayasan Freeport Irian Jaya. Yayasan ini bekerjasama dengan "business incubator " BPPC dalam pengembangan program kewiraswastaan masyarakat di kampung Kwamki Lama, dekat kota Timika (Republika , 29 Nov. 1995).

Kita jangan lupa seorang antek Suharto yang paling setia, yakni Laksamana (Purn.) Sudomo, bekas Wapangkopkamtib, bekas Menteri Tenaga Kerja, dan terakhir menjabat sebagai Ketua DPA. Hubungannya dengan Suharto adalah sejak zaman Operasi Mandala di Makassar, di mana Sudomo membantu Suharto menyalurkan "hobinya" sejak di Semarang, yakni menyelundup.

Kita tentunya belum lupa, katebelletje Sudomo bagi Eddy Tanzil. Ini tidak mengherankan, karena pemimpin Golden Key itu punya hubungan bisnis dengan Tommy Suharto, sebelum skandal kredit Bapindo yang Rp 1,3 trilyun itu diungkap oleh Arnold Baramuli. Bank BHS milik kakak Eddy Tanzil, Hendra Rahardja, juga punya hubungan bisnis dengan keluarga Suharto, karena seorang adik Nyonya Tien Suharto, Ibnu Hardjanto, duduk sebagai komisaris di bank itu (Eksekutif, Des. 1997: 58-59).

Kembali ke Sudomo, lewat PT Pondok Indah Padang Golf, di mana ia menjadi Presiden Komisaris, Sudomo memelihara hubungan bisnisnya dengan Sudharmono, Ibnu Sutowo, Syarif Thayeb, Ismail Saleh, Ali Said (alm.), Omar Abdalla (alm)., Sudwikatmono, Liem Sioe Liong, Anthony Salim, Henry Pribadi, Hendra Rahardja, Ciputra, Murdaya Widyawimarta, dan sejumlah pengusaha lain (Prospek , 22 Febr. 1992: 76; data komposisi pemilik dan direksi PT Pondok Indah Padang Golf).

Sebagai ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI), Sudomo juga melindungi kepentingan para pengusaha lapangan golf dari kecaman para pemilik tanah serta para pegiat hak-hak rakyat, misalnya dalam kasus lapangan golf Rancamaya milik keluarga Yoga Sugama. Selain itu, Bank Synergy yang baru berdiri tanggal 12 Mei 1993, dan dua kali luput dari pembabatan bank swasta, ikut dimiliki keluarga Sudomo, melalui anaknya, Tini (Warta Ekonomi, 10 Mei 1993: 68-70, 24 Mei 1993: 69).

Seorang putra Sudomo, Biakto Trikora Putra, juga punya hubungan bisnis dengan Bob Hasan dan mungkin juga dengan Nusamba. Ia salah seorang direktur perusahaan peti kemas PT Kumbong Container Industry, di mana Bob Hasan tercatat sebagai seorang komisaris.

Saham terbesar perusahaan ini dipegang konglomerat bermodal Korea Selatan, Korindo Group. Perusahaan bermodal hampir 70 juta dollar AS ini membuat peti kemas baja untuk angkutan laut, yang diekspor ke Korea Selatan, Australia, dan AS (CISI, 1997: 738-739, 409A).

Sambil menjabat sebagai Ketua DPA (karena Suharto melindunginya dalam kasus korupsi Bapindo itu), Sudomo masih memimpin dua yayasan, yakni (94) Yayasan Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia, dan (95) Yayasan Esok Penuh Harapan, yang tugasnya membantu para pedagang asongan yang digusur dari jalan-jalan raya oleh Sudomo dalam operasi yang namanya dipakai yayasan ini (Eksekutif , Mei 1993: 99).

Lewat tangan kanannya ini, Suharto dapat menggunakan dua yayasan yang dipimpin Sudomo untuk memperbaiki nasib pedagang kecil, yang paling terhimpit oleh krisis moneter saat ini. Soalnya, kesetiaan Sudomo pada Suharto kembali terlihat ketika baru-baru ini ia menyarankan agar ABRI "menembak-di-tempat" para aktivis mahasiswa yang berusaha menembus barikade polisi dan tentara yang membendung kampus mereka (Sydney Morning Herald , 7 April 1998).

Akhirnya, perlu dicatat dua orang pembantu setia Suharto -- Joop Ave serta Murdiono -- yang kini secara formal tidak lagi dipakai dalam Kabinet Suharto maupun Habibie, tapi masih terlibat dalam beberapa yayasan yang erat hubungannya dengan keluarga presiden.

Dalam hal Joop Ave, keterlibatannya adalah dalam yayasan Suharto yang ke-(96) yang belum jelas namanya, tapi yang bidang usahanya adalah membangun dan mengelola patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, suatu proyek pariwisata seharga 105 juta dollar Australia, yang konon akan menyaingi patung Liberty di AS.

Dua tahun lalu, ketika Joop Ave masih menjabat sebagai Menteri Pariwisata, ia pernah dihebohkan mengorek 15 juta dollar Australia dari kas PT Telkom untuk membiayai pembangunan patung itu. Maklumlah, Joop Ave sendiri duduk sebagai anggota kehormatan yayasan pembangunan patung itu, yang akan menempati tanah seluas 200 Ha di kawasan selatan Pulau Bali.

Majalah berita Target yang sudah tidak terbit lagi, waktu itu memberitakan bahwa sang Menteri Pariwisata memaksa para direktur PT Telkom mentransfer uang itu ke rekening bank pribadinya. Masalah itu berlalu begitu saja, tanpa pemeriksaan polisi atau kejaksaan terhadap Joop (Harsono, 1996).

Ini memperkuat dugaan bahwa Suharto ada di balik yayasan itu (Aditjondro, 1995: 1, 19).

Kini, setelah jabatan Menteri Pariwisata dialihkan oleh Suharto dari Joop Ave ke Abdul Latief, dan oleh Habibie dialihkan lagi dari Abdul Latief ke bekas Gubernur Bali, Ida Bagus Oka, yang anak-anaknya berpatungan dengan bisnis pariwisata Tommy Suharto di Bali (Aditjondro, 1995: 19-20), hanya krisis moneterlah yang masih menghambat dihidupkannya proyek raksasa Garuda Wisnu Kencana, yang mendapat kecaman keras sebagian besar rakyat Bali.

Akhirnya, bekas Menteri/Sekretaris Negara Murdiono, masih memangku jabatan sebagai ketua (97) Yayasan Gelora Senayan. Meskipun dalam kapasitas itu Murdiono pernah mengeluh bahwa ia dilangkahi oleh konsortium pembangunan Hotel Mulia yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo (D&R , 8 Nov. 1997: 99), khalayak ramai di Indonesia juga belum pernah menerima laporan keuangan yayasan itu, yang memayungi Badan Pengelola Gelora Senayan. Selain itu, Murdiono adalah juga orang kepercayaan Suharto yang duduk dalam badan pengurus Yayasan Supersemar yang diketuai Suharto sendiri, serta dalam Yayasan Tirasa, "pemilik" sirkuit pacuan mobil balap Sentul, yang diketuai Tommy Suharto.

Yayasan-yayasan ABRI di ketiak perusahaan keluarga Suharto: ---------------------------------------------------------------------------- Berbagai perusahaan keluarga Suharto juga dihinggapi saham sejumlah yayasan ABRI, yang ikut melebur kepentingan para pimpinan ABRI dengan kejayaan bisnis keluarga Suharto. Selain YDP Kostrad, Yayasan Kobame dan Yayasan BIA yang sudah disebut di depan, yang paling menonjol kerjasamanya dengan bisnis keluarga Suharto adalah (98) Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD.

Melalui PT Tri Usaha Bhakti, yayasan ini ikut memiliki saham terbesar dalam PT International Timber Corporation Indonesia (ITCI). Usaha patungan dengan Bimantara dan Nusamba ini telah mengambil alih bekas HPH dua perusahaan AS -- Georgia Pacific dan Weyerhauser -- di Kal-Tim, di mana ditebang 1/2 juta m3 kayu gelondongan setahun, dengan diversifikasi ke kilang kayu lapis berkapasitas 110 ribu m3 setahun, serta perkebunan kayu (HTI) penghasil bahan baku bubur kertas seluas 187 ribu Ha (CISI, 1997: 580-582; Far Eastern Economic Review , 5 Des. 1991: 55; Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 22; Infobank , Nov. 1992: 22; Swa , 30 Jan.-19 Febr. 1997: 21, 24).

Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) adalah juga pemegang saham PT Danayasa Arthatama, yang memiliki 4,59% saham PT Plaza Indonesia Realty, properti kelompok Bimantara tempat bercokol hotel Grand Hyatt di tengah kota Jakarta. Selain itu, YKEP juga berpatungan dengan PT Tridaya Esta milik Bambang Trihatmodjo dalam PT Duta Graha Indah, perusahaan konstruksi yang telah membangun hotel Shangri-La di Surabaya, hotel Dusit Tani di Samarinda, gedung bursa saham di Jakarta, dan banyak gedung lain (CISI, 1997: 339-341;Swa , Agustus 1992: 44-4, Agustus 1995: 18).


Satu usaha patungan YKEP yang lain, PT Graha Jakarta Sentosa, memiliki 50% saham PT Bimagraha Telekomindo, yang bersama PT Telkom dan PT Indosat merupakan pemilik PT Satelindo. Preskom perusahaan pengelola satelit komunikasi Indonesia adalah Menteri Keuangan yang baru digeser oleh Habibie, yakni Fuad Bawazier.

Kelompok Danayasa yang merupakan usaha patungan antara YKEP dengan dua orang pengusaha muda, Tommy Winata dan Sugianto Kusuma, juga punya 40% saham PT Pasifik Satelit Indonesia. Inilah perusahaan pengelola jasa satelit Bimantara yang lain, yang berpatungan dengan maskapai raksasa AS, Hughes Aircraft (Aditjondro, 1998a;Warta Ekonomi , 15 Maret 1993: 10, 22 Nov. 1993: 22;Editor , 1 Mei 1993: 69-70).

Akhirnya, YKEP juga merupakan pemegang saham PT Pondok Indah Lapangan Golf, bersama Sudwikatmono, dan punya saham dalam PT Sempati Air, bersama Tommy Suharto dan kelompok Nusamba (Infobank , Nov. 1992: 16).

Selain yayasan milik tentara itu ada juga bisnis keluarga Suharto dengan (99) Yayasan Adi Upaya AU, disingkat Yasau milik AURI. Yayasan ini memiliki 8,75% saham PT Cardig Air, perusahaan angkutan udara Bimantara, yang 7% sahamnya milik dua orang bekas KASAU, yakni Ashadi Tjahjadi dan Saleh Basarah.

Bimantara juga berkongsi dengan Yasau di PT Jasa Angkasa Semesta yang mengerjakan peta udara dan jasa konsultasi. Akhirnya, Yasau juga terlibat bersama Tommy Suharto dalam PT Batam Aircraft Maintenance, perusahaan perawatan pesawat SIA dan Sempati yang berbasis di Pulau Batam (Smith, 1996;Warta Ekonomi , 22 Juni 1992: 16; Infobank, Nov. 1992: 16; Swa , Agustus 1995: 18).

Masih di Kepulauan Riau ada kerjasama antara kelompok Salim dengan (100) Yayasan Kesejahteraan Angkatan Laut Republik Indonesia, untuk mengembangkan kawasan industri, pariwisata, dan sumber air bersih di Pulau Bintan. Konsorsium itu sedang membangun resort seluas 23 ribu Ha, sekitar 15 % luas pulau itu, disertai pengembangan sumber air seluas 37 ribu Ha untuk menjual air bersih ke Batam dan Singapura (Smith, 1996; Warta Ekonomi, 13 Juni 1994: 21-22, 1 Agustus 1994: 15, 5 Juni 1995: 13, 1 Juli 1996: 60; Swa , Des. 1994: 78, 22 Mei-4 Juni 1997: 47-48).

Angkatan Laut punya yayasan sosial yang lebih tua, yakni (101) Bhumiyamca, pemegang saham konglomerat Admiral Lines. Konglomerat ini berpatungan dengan Bimantara di PT Elektrindo Nusantara. Perusahaan yang dipimpin Bambang Trihatmodjo ini pada gilirannya memiliki saham dalam sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang satelit telekomunikasi, telepon, dan kabel laut (Dwiyatno dkk, 1992/1993: 19; CISI, 1997: 357-359, 24A, 58A).

Kemudian, (102) Yayasan Brata Bhakti milik Polri, juga punya keterkaitan dengan bisnis keluarga Suharto. Yayasan yang memonopoli pembuatan SIM di akhir 1992 berpatungan dengan PT Citra Permata Persada milik Tutut, Sudwikatmono dan Eka Tjipta Widjaja untuk komputerisasi pembuatan SIM di sebelas kota besar di Indonesia. Kerjasama selama lima tahun itu menggunakan jaringan komputer milik Polri, dan menghasilkan keuntungan berlipatganda bagi Tutut (Dwiyatno dkk, 1992/1993: 22-23; Jakarta-Jakarta , 10-16 Okt. 1992).

Akhirnya, ada tiga yayasan ABRI lagi yang sangat berpotensi dirambah tangan-tangan bisnis keluarga Suharto karena jangkauan usahanya begitu menggiurkan, yakni (103) Yayasan Dharma Wirawan Pepabri, (104) Yayasan Markas Besar ABRI (Yamabri), dan (105) Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman.

Yayasan Dharma Wirawan Pepabri berada di bawah Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri). Ketua Pepabri dalam kabinet yang lalu adalah Menko Polkam Soesilo Sudarman (alm.) waktu itu. Dua tahun lalu, yayasan milik Pepabri ini membawahi sejumlah pompa bensin di Bali, perusahaan tabung LPG di Bandung, perkebunan kelapa sawit di Kal-Tim, perkebunan pisang, pengolahan tepung ikan, pelayaran antar-pulau (ferry), pembangunan perumahan bagi para anggota Pepabri, bekerjasama dengan perusahaan Asuransi ABRI, dan lain-lain (Bali Post , 19 Sept. 1996).

Setelah Jenderal (Purn.) Soesilo Sudarman meninggal dunia dan jabatan Menko Polkam dipegang oleh seorang loyalis Suharto, Jenderal Feisal Tanjung, tak mustahil dia kini masih punya pengaruh di yayasan Pepabri. Sebagai sesama purnawirawan ABRI, tak mustahil anak-anak perusahaan yayasan ini akan bersinerji pula dengan anak-anak perusahaan yayasan-yayasan Suharto yang lain.

Dalam "rush" membagi-bagi proyek-proyek telkom, Yamabri yang kini secara ex officio berada di bawah pembinaan Pangab Jenderal Wiranto ini kebagian proyek pula. PT Indoprima Mikroselindo (Primasel) mendapat lisensi telpon genggam buatan Jepang untuk seluruh wilayah Jawa Timur. Perusahaan ini adalah usaha patungan antara PT INTI (di bawah BPIS), PT Indosat, Yamabri, dan fihak-fihak lain yang tidak disebut namanya dalam buletin Asiacom nomor perdana.

Melihat preseden ini, tak mustahil yayasan di bawah Markas Besar ABRI ini pun akan -- atau telah -- bersinerji dengan yayasan-yayasan Suharto yang lain. Apalagi mengingat loyalitas Wiranto pada Suharto, serta kenyataan bahwa Nyonya Uga Wiranto, maupun anak mereka, Ria Wiranto, anggota DPR/MPR termuda, aktif mendampingi menantu Suharto, Halimah Bambang Trihatmodjo, dalam pengelolaan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh yang duitnya berlimpah-ruah.

Akhirnya, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman. Yayasan ini resminya bernaung di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Jakarta Post , 15 Agustus 1997). Namun menurut majalah Swa , pendirian yayasan ini diprakarsai oleh Jenderal (Purn.) Benny Murdani dan tangan kanannya dalam Operasi Seroja, Jenderal (Purn.) Dading Kalbuadi, bersama sejumlah purnawirawan perwira tinggi ABRI yang lain. Kegiatan yayasan ini a.l. adalah membangun SMA Taruna Nusantara di Magelang, serta menerbitkan riwayat hidup Benny Murdani.

Namun di bidang bisnis, yayasan ini juga tercatat sebagai salah satu pemegang saham Grup Summa, ketika keluarga Soeryadjaya masih merupakan pemegang saham utama kelompok Astra. Setelah Edward Soeryadjaya terdepak dari posisi sebagai Komisaris PT Astra International, dan mendirikan kelompok bisnis yang baru, yang bergerak dalam bidang pertambangan dan berbasis di Calgary, Kanada, dirangkulnya kembali Yayasan Sudirman itu sebagai payung politiknya di Indonesia (Swa , 3-16 Juli 1997: 32).

Selain memayungi bisnis keluarga Soeryadjaya, Yayasan Sudirman itu juga menjadi pemegang saham PT Multi Eka Karma, yang bergerak di bidang telekomunikasi yang sedang jadi rebutan banyak konglomerat dan telah merambah ke mancanegara. Bulan September 1996, PT Multi Eka Karma sudah menandatangani kesepakatan untuk menanam modal di India, dan pada tanggal 14 Agustus 1997, menandatangi kesepakatan dengan maskapai Inggris, GN Comtext, untuk pengembangan VATS (value-added telecommunications services) di Indonesia (Asian Age [Bombay], 10 Sept. 1996; Jakarta Post , 15 Agustus 1997).

Melalui yayasan-yayasan militer itu serta saham para (bekas) komandan ketiga angkatan dan Polri di berbagai perusahaan keluarganya, termasuk keluarga Murdani dalam bisnis keluarga Suharto di Pulau Batam dan Pulau Christmas di Samudera Hindia, Suharto berusaha untuk tetap memelihara loyalitas ABRI pada keluarganya, walaupun ia secara resmi sudah terjungkal dari takhtanya.

Loyalitas ini sudah ditunjukkan oleh Wiranto, Pangab baru, yang berjanji akan melindungi keselamatan Suharto dan keluarganya dari kemarahan rakyat setelah aksi-aksi mahasiswa di seluruh Nusantara berhasil memaksa Suharto turun tahta. Begitu loyalnya Wiranto pada keluarga besar Suharto, sampai-sampai sang menantu yang jagoan pelanggar hak-hak asasi manusia, Letjen Prabowo Subianto, tidak diajukan ke mahkamah militer melainkan hanya digeser ke Bandung sebagai Komandan Pusat Latihan Gabungan ABRI.

Tiga besar pertama: -------------------------- Dari 105 yayasan itu, mana yang paling kuat? Tentu saja, yang secara finansial paling kuat adalah trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, yang sering bergandengan dalam penguasaan saham sejumlah perusahaan raksasa. Sedangkan dua yayasan milik keluarga Suharto yang juga cukup besar nilai sahamnya dalam perusahaan-perusahaan raksasa dan juga sering bergandeng-tangan, adalah Trikora dan Harapan Kita.

Berikut ini daftar perusahaan yang sahamnya ikut dimiliki Dakab, Dharmais, dan Supersemar, sendiri atau bersama-sama (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 238; Smith, 1996;Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Forum Keadilan, 17 Juli 1995: 90-91; Swa, 30 Jan. -19 Febr. 1997: 16, 3-16 Juli 1997: 87; Suara Independen, Sept. 1997):

Majalah Gatra Bank Duta Bank Windu Kentjana Bank Umum Nasional (BUN) Bank Bukopin Bank Umum Tugu Bank Muamalat Indonesia (BMI) PT Multi Nitroma Kimia PT Indocement Tunggal Prakarsa PT Nusantara Ampera Bakti (Nusamba) PT Teh Nusamba PT Gunung Madu Plantations PT Gula Putih Mataram PT Werkudara Sakti PT Wahana Wirawan Wisma Wirawan PT Fendi Indah PT Kabelindo Murni PT Mc Dermott Indonesia PT Kalhold Utama PT Kertas Kraft Aceh PT Kiani Lestari PT Kiani Murni PT Sagatrade Murni Mandala Airlines Sempati Airlines Gedung Granadi (Graha Dana Abadi)

Itu baru daftar minimal. Sebab lewat PT Nusamba di bawah pimpinan Bob Hasan, trio yayasan itu menguasai saham dalam sekitar 140 perusahaan yang kekayaannya ditaksir sebesar US$ 5 milyar (Business Week, 17 Febr. 1997: 16). Yang langsung dikelola Bob Hasan saja ada sekitar 30 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, kehutanan, perkebunan teh, pertambangan, pabrik kertas kemasan, produk metal, dan panas bumi (Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).

Kemudian, ada kongsi antara Bob Hasan dengan dua maskapai penerbangan yang dikuasai anak-anak Suharto. Dalam Sempati Airlines yang awalnya dikuasai Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD dan kini dikuasai Tommy, Nusamba menguasai 20% saham. Sedangkan dalam Mandala Airlines yang awalnya dikuasai YDP Kostrad dan kini dikuasai Sigit, Nusamba menguasai 45% saham (Indocommercial, No. 122, 26 Jan. 1995: 2; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 24).

Termasuk dalam kelompok Nusamba adalah (sub)kelompok Tugu Pratama, hasil pembelian 35% saham anak perusahaan Pertamina, Tugu Hong Kong, oleh Nusamba. Sekarang, kelompok itu sudah mencakup 25 perusahaan, hasil diversifikasi dan kongsi dengan perusahaan-perusahaan lain di Indonesia dan mancanegara. Kelompok ini memonopoli hampir seluruh asuransi ekspor kayu lapis yang dikuasai Bob Hasan, asuransi bisnis pertambangan dan penerbangan Pertamina, asuransi hotel-hotel kelompok Sahid, sebagian asuransi Garuda, dan seluruh asuransi satelit-satelit Palapa yang dikuasai Bambang Trihatmojo.

Bambang sendiri duduk dalam Dewan Komisaris Tugu Jasatama Reasuransi Indonesia, anak perusahaan Tugu Pratama. Makanya tak mengherankan kalau PT Tugu Pratama Indonesia, induk kelompok Tugu, tahun 1996 meraih laba bersih Rp 90 milyar (Rustam, 1996/1997: 172; Eksekutif, Febr. 1994: 16-25; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 23-24, 30, 36-40).

Belakangan ini, bendera Nusamba semakin berkibar setelah merebut 4,7% saham PT Freeport Indonesia, Inc. serta 5 % saham PT Astra International. Jadi dapat dibayangkan keuntungan yang bakal mengalir ke kas ketiga yayasan Suharto itu dari tambang tembaga-emas-perak terbesar di Indonesia bernilai tiga milyar dollar AS, serta dari kelompok otomotif terbesar di Indonesia yang kekayaannya bernilai 5,2 milyar dollar AS (IEFR, 1997: 254; Wall Street Journal, 31 Jan. 1997; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 15, 22; Business Week, 17 Febr. 1997: 16-17; Asiaweek, 7 Maret 1997: 54-56).

Selain Bank Umum Tugu (kelompok Tugu Pratama), Nusamba juga menguasai empat bank swasta lain, yakni Bank Duta, Bank Umum Nasional (BUN), Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), dan Bank Muamalat Indonesia (BMI). Kiprah Bob Hasan di perbankan ini dimulai tahun 1989, ketika Bob Hasan "dipercayai" Suharto untuk mengambilalih pimpinan Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) dari kelompok Bustanil Arifin. Sesudah kelompok Bob Hasan bercokol di Bukopin, tanggal 29 Juni 1993 diubahlah badan hukum bank itu dari koperasi menjadi perseroan terbatas (PT).

Ini sempat menggugah peringatan Wakil Presiden Tri Sutrisno, yang menghimbau agar PT baru itu tidak meninggalkan prinsip-prinsip koperasi. Maklumlah, Bukopin didirikan tanggal 10 Juli 1970 oleh delapan induk koperasi -- termasuk Inkopad, Inkopal, Inkopol, dan GKBI -- serta Yayasan Bulog. Yang terakhir ini kemudian lebih berperan, karena Ketua Bulog waktu itu, Bustanil Arifin, juga merangkap sebagai Menteri Koperasi, dan karena itu diangkat menjadi Presiden Komisaris Bukopin.

Peringatan Tri Sutrisno yang juga digarisbawahi pakar koperasi, Thoby Muthis, masuk akal. Sebab di bawah Muchtar Mandala, direktur baru anak buah Bob Hasan, Bukopin sudah bergeser dari akar-akar koperasinya, dan sangat bergantung pada Bulog, perusahaan keluarga KaBulog, Bustanil Arifin, serta kelompok Salim. Ini terbukti dari surat Muchtar Mandala tertanggal 28 Februari 1991 kepada Kepala Bulog yang bocor ke pers. Dalam surat itu Mandala minta pungutan Rp 1 untuk setiap kilogram padi yang dijual Bulog dan didepositokan di Bukopin, dinaikkan. Selain itu, ia juga minta tolong Bustanil menghubungkan Bukopin dengan BPPC yang baru berdirik.

Setelah Bob Hasan menggantikan Bustanil Arifin sebagai presiden komisaris, saham Nusamba ditingkatkan dari 6,08% menjadi 15,35%. Tak jelas berapa laba bersih bank ini. Yang jelas, di tahun 1994, aset bank itu telah mencapai Rp 1,7 trilun, 50% lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya. Dari seluruh aset Bukopin, Rp 1 trilyun lebih merupakan dana fihak ketiga (Schwartz, 1991; Forum Keadilan, 19 Agustus 1993: 22; Info-Bank, April 1995; Swa, 30 Jan. -19 Febr. 1997: 16).

Dua tahun setelah mengambilalih pimpinan Bukopin, Bob Hasan diminta Suharto mengambilalih pimpinan Bank Umum Nasional (BUN), yang sebagian besar sahamnya milik kelompok Ongko. Tak tanggung-tanggung, Yayasan Dakab bersama Dharmais mengambil-alih 50 % saham BUN. Laba bersih (sesudah dipotong pajak) bank ini tahun 1997 mencapai Rp 66,7 milyar (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406; Swa, Okt. 1995: 60-61).

Di Bank Duta, yang berasal dari aset Haji Mohammad Aslam, seorang pengusaha yang dekat dengan Bung Karno dan ditahan dengan tuduhan PKI, trio Dharmais-Dakab-Supersemar merupakan pemegang saham terbesar. Tahun 1995, sesudah direksi bank itu dialihkan Suharto dari kelompok Bustanil Arifin ke kelompok Bob Hasan, laba bersih bank ini meningkat dari Rp 29 milyar (1994) menjadi Rp 46,7 milyar (1997) (Vatikiotis, 1990: 62; IEFR, 1997: 380, 406; Progres, No. 2/Vol. I, 1991: 27-29; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; Prospek, 11 Mei 1991: 13; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38, 2 Febr. 1995: 62-63; 17 Juli 1995: 90-91; Swa, Okt. 1995: 60-61).

Berkat jasanya "membenahi" Bukopin, BUN, dan Bank Duta, dua tahun lalu Bob Hasan dan anak-buahnya dipercayai mengambilalih Bank Muamalat Indonesia (BMI). Satu-satunya bank yang didasarkan pada hukum Syari'ah ini didirikan berdasarkan amanat Munas IV Majelis Ulama Indonesia (MUI), Agustus 1990. Dua orang direktur Bank Duta dan Bukopin (Muchtar Mandala dan Tommy Sutomo) diangkat menggantikan direktur lama, setelah Nusamba menjadi pemegang saham terbesar dengan menyetorkan modal Rp 25 milyar. Dengan demikian diharapkan laba bersih BMI, yang di tahun 1995 hanya mendekat Rp 5 milyar, dapat didongkrak (Ummat, 2 Okt. 1995: 98; Info Bisnis, 16 Juli 1996: 54-55; Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 18)

Harap dicatat, lima bank yang kini dikuasai Bob Hasan (Bank Umum Tugu, BUN, Bank Duta, Bukopin, dan BMI) tak satupun tersentuh langkah pembenahan bank swasta oleh Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, 1 November tahun lalu, atas dorongan IMF. Malah sebaliknya, Suharto secara khusus memberi kesempatan bank-bank itu membenahi diri.

Hari Jumat, 23 Januari lalu, Bob Hasan mengumumkan bahwa empat bank yang dikuasai kelompok Nusamba -- Bank Umum Tugu, BUN, Bukopin, dan Bank Duta -- akan dilebur menjadi satu bank baru dengan aset total bernilai Rp 21 trilyun (A$ 2,54 milyar). Sambil membantu mengatasi pinjaman-pinjaman yang tidak produktif (non-performing loans ), merjer itu akan memadu kekuatan masing-masing bank. Misalnya, Bank Duta kuat di perdagangan eceran, BUN kuat di pinjaman komersial, Bank Tugu kuat di sektor minyak dan gas, sedangkan Bukopin kuat di pinjaman kredit usaha kecil (Sydney Morning Herald & The Australian, 27 Januari 1998).

Betapapun, keuntungan trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari BMI dan bank Nusamba baru itu nantinya masih lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan dari saham mereka dalam perusahaan semen PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP). Menurut Vatikiotis (1990: 62), di tahun 1990 trio itu masing-masing memiliki 6,39% saham dalam perusahaan semen terbesar di Indonesia itu. Berarti total saham trio itu 19,17%. Namun menurut majalah bisnis milik Sukamdani, tiga tahun kemudian saham trio itu dalam Indocement tinggal 3,21% (Indonesia Business Weekly , 5 Maret 1993: 39).

Mana yang benar, tidak begitu jelas. Yang jelas, laba bersih perusahaan semen itu pada tahun 1997 telah melebihi Rp 0,5 trilyun (IEFR, 1997: 202). Berarti dividen trio Dakab-Dharmais-Supersemar dari ITP saja tahun lalu berkisar antara Rp 17 milyar dan Rp 105 milyar!

Selain merupakan hasil dari berbagai bentuk korupsi, khususnya nepotisme, sebagian uang Yayasan Dharmais juga bergelimang darah: darah wartawan muda Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias "Udin", yang mati terbunuh pada tanggal 13 Agustus 1996. Seperti yang sudah cukup merata diketahui pers Indonesia, yang mengantar Udin ke kematiannya adalah tulisannya di harian Yogya itu tentang maksud Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, untuk menyumbang sejumlah uang ke Yayasan Dharmais, agar ia dapat "terpilih" kembali sebagai Bupati (D&R , 26 April 1997: 78; Sydney Morning Herald , 18 Nov. 1997).

Sang Bupati bermaksud menyerahkan upeti itu ke Yayasan Dharmais melalui R. Notosuwito, Kepala Desa Kemusu. Orang ini, yang masih termasuk kerabat Suharto di kampung, notebene juga pengurus Yayasan Kemusuk Somenggalan yang punya HPH di Surinam. Dari sini tampaklah betapa involuted yayasan-yayasan Suharto ini.

Dua pesaing lama: -------------------------- Selain tiga besar tadi, ada dua yayasan yang juga dipimpin Suharto dan isterinya (di masa hidupnya), yang kekayaannya mulai menyaingi kekayaan trio Dakab-Dharmais-Supersemar, dilihat dari omset perusahaan yang "dirasuk" saham yayasan-yayasan ini, yakni Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora.

Berikut ini daftar nama perusahaan yang saham-sahamnya ikut dimiliki Yayasan Harapan Kita dan Trikora, bersama-sama atau sendiri-sendiri (May, 1978: 296-297; Shin, 1989: 354; Tempo, 4 Febr. 1978; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 26-27; TBN RI No. 56, tgl. 13 Juni 1971):

PT Bogasari Flour Mills; PT Bank Windu Kencana; PT Kalhold Utama; PT Fatex Tory; PT Batik Keris; PT Gula Putih Mataram; PT Gunung Madu Plantation; PT Hanurata; PT Harapan Insani; PT Kartika Chandra; PT Kartika Tama; PT Marga Bima Sakti; PT Rimba Segara Lines; PT Santi Murni Plywood; RS Harapan Kita; Taman Mini Indonesia Indah.


Inipun hanya suatu daftar minimal. Sebab perusahaan-perusahaan inipun sudah banyak beranak-cucu. PT Hanurata misalnya, yang dipimpin mantan Dirjen Bea-Cukai Tahir, sudah berkembang menjadi kelompok perusahaan yang menjalankan bisnis pertambangan, kehutanan, tekstil, konstruksi, dan jalan tol Jakarta-Merak. Total aset kelompok ini sekitar Rp 500 milyar (Swa, 30 Jan.-19 Febr. 1997: 23).

Batik Keris misalnya, yang kini dipegang oleh anak-cucu almarhum Kwee Som Tjok (Kasom Tjokrosaputro), telah berkembang menjadi konglomerat yang mencakup 41 unit usaha, yang tidak hanya bergerak di bidang perbatikan, melainkan juga punya memproduksi dan mengelola pabrik tekstil dan garment, pabrik serat sintetis, properti, hotel, konstruksi, pabrik sepatu, angkutan udara, dan beberapa bank, dengan total aset hampir Rp 1 trilyun di tahun 1996. Selain karena kerja keras keluarga Tjokrosaputro, tentu saja perkembangan ini dilumas oleh fasilitas alm. Nyonya Tien Suharto selaku ketua Yayasan Harapan Kita (May, 1978: 296-297; MacIntyre, 1991: 131; IEFR, 1997: 132-133; Prospek , 9 Febr. 1991: 76-77; Warta Ekonomi, 27 April 1992: 37; InfoBisnis , Juli 1994; Tiras, 2 Juni 1997: 88-89.

Namun sumber pemasukan Yayasan Harapan Kita yang terlama -- dan barangkali juga terbesar -- adalah perusahaan penggilingan terigu Bogasari, yang sudah berkembang menjadi konglomerat penghasil produk gandum, khususnya supermi. Bisnis ini luarbiasa suksesnya berkat monopoli impor gandum yang dilindungi Bulog.

Pabrik terigu itu didirikan "Oom Liem" dan Sudwikatmono di tahun 1971 untuk menangkap "bantuan pangan" dari Paman Sam berupa gandum lewat Public Law 480 yang diputuskan Kongres AS guna menyubsidi para petani gandum Amerika. Di Indonesia, "bantuan pangan" AS itu dipakai untuk membantu mengisi kocek keluarga Suharto beserta keluarga para jendral pendukungnya, sambil merugikan posisi petani padi Indonesia yang selama tiga dasawarsa dirugikan nilai tukar perdagangannya.

Seperti dijelaskan di depan, dalam dasawarsa pertama akte notaris perusahaan itu menentukan bahwa 26% laba perusahaan itu harus disalurkan ke Yayasan Harapan Kita dan YDP Kostrad. Tahun 1977, aktenya direvisi. YDP Kostrad dicoret dari daftar penerima laba, dan hanya disebutkan bahwa 20% laba perusahaan itu harus digunakan untuk kepentingan sosial. Namun ada pemegang saham baru masuk, di samping Oom Liem dan Sudwikatmono, yakni Christine Arifin. Isteri Bustanil Arifin itu ketiban rezeki 21% saham Bogasari.

Dengan sang isteri menguasai 21% saham PT Bogasari sementara sang suami menjadi wakil ketua Yayasan Dharmais, Bogasari menjadi salah satu sapi perahan utama yayasan-yayasan Suharto, berkat 'manunggalnya' pabrik terigu itu dengan PT Indofood Sukses Makmur (IFM) yang menguasai 90% pangsa pasar mi siap saji di Indonesia.

Belum lagi keuntungan Bogasari dari ongkos giling gandum yang mereka pungut dari Bulog sebesar US$ 116 per ton, US$ 40 dollar lebih mahal dari kilang-kilang gandum serupa di AS. Dengan ongkos giling yang jauh lebih mahal, tentu saja persentase labanya juga lebih tinggi. Kalau di AS marjin laba kilang terigu hanya US$ 10 per ton, sekitar 6% dari harga gandum, di Indonesia laba yang dipetik Bogasari dari ongkos gilingnya US$ 35,70 per ton, atau 31% dari harga gandum (Shih, 1989: 353-355; Schwarz dan Friedland, 1991; Prospek, 22 Des. 1990: 41; laporan kKhusus Swa,, Jan 1994).

Nah, kalau impor gandum Bogasari telah meningkat dari satu juta ton (1972) menjadi hampir lima juta ton tahun lalu (1997), dan kita anggap impornya rata-rata tiga juta ton gandum setahun, maka total laba bersih Bogasari selama 25 tahun sekitar US$ 2,25 milyar, atau sekitar Rp 4 trilyun!

Pendapatan Kelompok Salim di bidang pangan ke luar dari kantong kiri masuk kantong kanan, menyatu dengan pendapatan dari pabrik semennya, sebab ITP juga menguasai 50.94 % saham ISM. Sementara laba ISM sesudah dipotong pajak di tahun 1997 sudah mencapai Rp 352 milyar (IEFR, 1997: 60).

Selain sumber pendapatan rutin yang luarbiasa berlimpah itu, Yayasan Harapan Kita juga sewaktu-waktu mendapat rezeki nomplok dari para pengusaha yang punya hubungan bisnis dengan keluarga Suharto. Misalnya, seiring dengan harijadi ke-53 Kelompok Bakrie, sang ketua, Aburizal Bakrie, didampingi CEO-nya, Tanri Abeng waktu itu, sowan ke Jalan Cendana untuk menyerahkan sumbangan Rp 1 milyar bagi keperluan Yayasan Harapan Kita (Swa, 9-29 Mei 1996: 40).

Tidak jelas apakah itu upeti, ataukah sumbangan sukarela tanpa tekanan alias "susu tante". Maklumlah, kelompok Bakrie punya segudang usaha kongsi dengan keluarga Suharto. Misalnya, dengan Bambang dan Sudwikatmono dalam bisnis minyak mentah Pertamina lewat Hong Kong, dengan Bambang dalam perkebunan karet di Sumatra, dengan Sudwikatmono dalam Bank Nusantara International, dengan Nusamba di PT Freeport Indonesia, dengan Titiek Prabowo dalam proyek PLTU Tanjung Jati, dan dengan Tommy dalam bisnis eceran Goro dan Gelael (Pura, 1986; Toohey, 1990; Borsuk and Solomon, 1997; IEFR, 1997: 4; Warta Ekonomi, 4 April 1994: 29-30, 5 Juni 1995: 64-65, 30 Sept. 1996: 39-40; Gatra, 8 Juli 1995, 4 Nov 1995: 29; D & R, 10 Mei 1997: 92; Tiras, 2 Juni 1997: 31-33).

Sebelum beralih ke bagian berikut, sedikit catatan perlu diberikan tentang Yayasan Harapan Kita, yang di tahun 1971 diprotes para aktivis mahasiswa dan intelektual muda seperti Arief Budiman, karena keterlibatan yayasan itu dalam memanipulasi kekuasaan sang suami ketua yayasan itu untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Dua tahun lalu, nama yayasan itu sempat tercoreng sekali lagi, karena diduga terlibat dalam "pencucian uang" (money laundering ) lewat satu anak perusahaannya, PT Harapan Insani, dan sebuah bank misterius, Dragon Bank International, yang berpusat di Kepulauan Vanuatu di Pasifik Selatan, dengan kantor cabang di Jakarta.

Tanggal 18 Juli 1996, harian Neraca (Jakarta) memberitakan bahwa Mabes Polri akan memeriksa seorang bernama "DR. Ibnu Widojo, bos PT Harapan Insani ... kabarnya merupakan adik dari seorang pejabat tinggi pemerintahan Indonesia". Sydney Morning Herald pada hari yang sama secara eksplisit mengatakan bahwa Ibnu Widoyo adalah seorang ipar Presiden Suharto. Majalah bisnis Warta Ekonomi tanggal 1 Juli 1996, juga secara eksplisit mengatakan bahwa Ibnu Widojo adalah "adik kandung Ibu Tien Soeharto (alm) dan juga presdir PT Harapan Insani" (hal. 22).

Sebagai partner Bank Dragon di Jakarta, PT Harapan Insani waktu itu berniat membangun serangkaian proyek ambisius bernilai lebih dari US$ 7 milyar. Rinciannya adalah bisnis telekomunikasi senilai US$ 4 milyar, bekerjasama dengan Ghuangzhou Greatwall Electronic & Communication Co., Ltd. dari RRC, dan pembangunan satu gedung pusat perdagangan setinggi lebih dari 101 lantai di Arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, senilai US$ 3 milyar.

Selain di Indonesia, kongsi Dragon Bank-PT Harapan Insani juga menanda-tangani rencana kerjasama dengan Mara Holding Sdn. Bhd., satu perusahaan di bawah partai pemerintah, UMNO, untuk membangun proyek perumahan dan hotel bernilai Rp 200 milyar di resor pariwisata Pulau Langkawi, Malaysia Barat (Bursa, 4 Juni 1996).

Setelah kehadiran cabang bank Vanuatu itu diprotes Standard Chartered Bank dan Hong Kong Bank, karena ketidakberesan transaksi mereka dengan "bank" itu, dua orang Taiwan pengelola Dragon Bank diusir dari Jakarta dan Ibnu Widojo diumumkan akan diperiksa. Namun setelah itu mendadak berita-berita tentang Dragon Bank lenyap dari udara, sama misterius dengan kedatangannya. Uang yang konon disalurkan oleh bank itu, lewat Vanuatu, juga lenyap tak berbekas.

Tiga pesaing baru: ------------------------- Berbeda dengan kedua pesaing lama (Harapan Kita dan Trikora), ada tiga pesaing baru, yakni Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM) yang penghasilannya cepat melambung tinggi.

Yayasan Purna Bhakti Pertiwi lebih dikenal sebagai pengelola museum milik Suharto dan isterinya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Museum Purna Bhakti Pertiwi tempat memamerkan sebagian besar cendera mata yang pernah diterima Kepala Negara dan Ibu Negara, dibangun atas biaya sejumlah pengusaha top.

Mereka itu adalah Probosutejo dan Sudwikatmono, yang masing-masing menyumbang Rp 300 juta untuk pembangunan museum itu. Lalu, ada tujuh orang yang masing-masing menyumbang Rp 200 juta, yakni Tommy Suharto; Robby Sumampouw, pemilik kasino Pulau Christmas yang pernah merajai semua bisnis basah di Timor Leste; Tonny Hardianto (direktur PT Bina Reksa Perdana, perusahaan milik Tommy Suharto yang menjadi motor BPPC, dan kini mengambil alih peran monopoli cengkeh itu); A.R. Ramly (waktu itu PresKom PT Astra International); Prayogo Pangestu (Barito Pacific); Usman Admadjaja (Bank Danamon); dan Henry Pribadi dari kelompok Napan (Prospek, 7 Maret 1992: 78; Bisnis Indonesia , 15 Febr. 1994, 5 Maret 1994; Surya, 15 Febr. 1994).

Tapi itu semua masih kecil dibandingkan dengan pemasukan Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari 22 % sahamnya dalam perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Tahun 1997, laba bersih perusahaan jalan tol pimpinan Tutut itu mencapai Rp 123,6 milyar (IEFR, 1997: 538). Berarti dividen Yayasan Purna Bhakti Pertiwi dari jalan-jalan tol CMNP, sebelum krisis moneter melanda negeri kita, tahun lalu telah mencapai Rp 27 milyar!

Belum lagi dividen yayasan ini, setelah jalan-jalan tol yang dibangun dan dikelola kongsi-kongsi CMNP di Malaysia, Filipina, Burma, dan Cina untuk masa kontrak 30 tahun mendatang, mulai beroperasi (Info Bisnis , Juni 1994: 11; Business Week , 19 Agustus 1996: 16; Swa , 5-18 Juni 1997: 46; EBRI , 5 Maret 1997: 44; Prospek , 18 Agustus 1997: 49).

Yang jelas, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi terus terjamin pemasukannya dari jalan-jalan tol yang dibangun sang putri sulung berkat dorongan sang ayah sebagai tokoh ASEAN, tokoh APEC, ketua Gerakan Non-Blok dan tokoh OKI (Organisasi Konferensi Islam).

Berkat pemasukan dari jalan-jalan tolnya, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi telah menyaingi Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP), yang menikmati masa jayanya ketika Sudharmono menjadi Kepala Sekretariat Negara (Sekneg). Selain menjadi Ketua Tim Keppres 10 yang menyaring semua proyek pembangunan daerah di atas Rp 500 milyar, Sudharmono juga menjadi Ketua Umum Golongan Karya dan Sekretaris YAMP.

Posisi 'penjaga gawang' itu memungkinkan Sudharmono membesarkan sejumlah pengusaha pribumi, termasuk menantunya sendiri, Bambang Rachmadi yang pemegang franchise McDonald di Indonesia, Agus Kartasasmita (adik Ginanjar Kartasasmita), kelompok Medco (suatu usaha patungan antara Arifin Panigoro, Eddi Kowara Adiwinata yang juga mertua Tutut, dan Siswono Yudohusodo), dan kelompok Gunanusa (usaha patungan antara Iman Taufik dan Probosutedjo, adik tiri Suharto) (Schwartz, 1994: 128; Pangaribuan, 1995: 56; CISI, 1997: 451-452).

Bersama-sama Yayasan Dakab, YAMP menjadi sumber utama pembiayaan Golongan Karya, didukung "sumbangan wajib" antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan bagi setiap pegawai negeri yang Muslim. Atau, menurut sumber lain, setiap pegawai negeri yang berjumlah 4 juta orang dikenakan potongan wajib dari gaji bulanannya sebanyak Rp 500, menghasilkan pemasukan sebanyak Rp 200 juta sebulan yang tidak pernah diaudit.

Selama berkantor di gedung Setneg, YAMP ikut mengelola proyek-proyek Bantuan Presiden (Banpres). Terang saja para pengusaha yang ingin produk atau jasanya digunakan dalam proyek-proyek Banpres, mau tidak mau harus 'menyumbang' Yayasan ini, yang pada gilirannya mencari dukungan umat Islam bagi Golkar dan Suharto khususnya dengan menyumbang pembangunan mesjid di mana-mana.

Dewan pengurus YAMP terdiri dari Suharto sebagai ketua, Alamsyah Ratu-prawiranegara (alm.), Widjojo Nitisastro, Amir Machmud (alm.), K.H. Tohir Widjaja, dan Haji Thayeb Mohammad Gobel (alm.) sebagai wakil ketua, serta Sudharmono, Bustanil Arifin, dan Soekasah Somawidjaja sebagai sekretaris (Vatikiotis, 1990: 63, 1994: 52; Pangaribuan, 1995: 60-61, 70; IEFR, 1997: 35).

Para anggota dewan pengurus ini tidak bersih dari kaitan bisnis dengan keluarga Suharto dan konglomerat-konglomerat mereka. Itupun tidak terbatas pada kaitan dengan keluarga Bustanil Arifin. Rosano Barrack alias Cano, salah seorang pemegang saham inti kelompok Bimantara milik Bambang Trihatmodjo, juga menjadi komisaris PT National Gobel yang kini dipimpin Rachmat Gobel, putera Haji Th. M. Gobel almarhum. Sedangkah Soekasah Somadidjaja adalah seorang komisaris PT Indocement Tunggal Prakarsa, divisi semennya kelompok Salim (CISI, 1997: 864-867, 406A).

Selanjutnya, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Yayasan ini didirikan oleh Suharto dengan Keppres No. 92 bulan Januari 1996. Selain diketuai oleh Suharto, beberapa orang Menteri lama dan baru duduk dalam badan pengurusnya, yakni Menteri Kesra dan Pemberantasan Kemiskinan Haryono Suyono sebagai Wakil Ketua II, Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Subiakto Tjakrawerdaya sebagai Sekretaris, Menteri Keuangan yang baru, Fuad Bawazier, sebagai Wakil Sekretaris, serta Menteri Sekretaris Negara yang baru, Saadilah Mursyid, Menteri Perdagangan dan Industri yang baru, Bob Hasan, dan Menteri Sosial yang lama, Inten Suweno sebagai anggota. Bambang Trihatmodjo diangkat sebagai Bendahara, dengan wakil Anthony Salim.

Anggota-anggota lain dari kalangan pengusaha adalah Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, Sukamdani S. Gitosardjono, Tommy Suharto, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, Henry Pribadi, Prajogo Pangestu, Sofyan Wanandi, Usman Admadjaja (Danamon), Rachman Halim (Gudang Garam), dan Putra Sampurna (Sampurna).

Dalam waktu satu setengah tahun, YDSM telah berhasil mengumpulkan dana sekitar Rp 768,6 milyar. Ini bukan hanya "sumbangan" para pengusaha besar, tapi juga dari para pengusaha menengah berkat kebijaksanaan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak bahwa para wajib pajak yang penghasilannya di atas Rp 100 juta, harus menyisihkan sedikitnya 2% laba bersih perusahaannya bagi yayasan ini. Gagasan itu dicetuskan oleh Eka Tjipta Widjaja, yang juga aktif melakukan fund raising bagi YDSM bersama Menteri Negara Kependudukan, Haryono Suyono, bulan April dua tahun lalu.

Eka Tjipta Widjaja dan kelompok Sinar Masnya, memang dekat dengan keluarga besar Suharto dan Habibie. Probosutedjo memiliki 22,5% saham dalam perusahaan real estate PT Duta Pertiwi, anggota kelompok Sinar Mas, dan menjabat sebagai PresDir perusahaan itu. Selain itu, sejumlah industri kimia anggota kelompok Sinar Mas berkongsi dengan Bimantara (Bambang Trihatmodjo) dan Timsco (Timmy Habibie).

Karuan saja di hari ulangtahun perkawinannya yang ke-50, Eka Tjipta Widjaja menyumbang Rp 1 milyar pada Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dibendaharai Tutut. Tak mau kalah dengan "kedermawanan" Eka Tjipta Widjaja, Sudwikatmono sebagai direktur PT Indocement pertengahan tahun lalu menjanjikan sumbangan Rp 4,26 milyar bagi yayasan ini.

"Susu tante" (sumbangan sukarela tanpa tekanan) dari para pengusaha itu disalurkan kepada masyarakat miskin yang tergolong Keluarga Pra-sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, yang berada di luar jangkauan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang berjumlah sekitar 11,5 juta jiwa -- sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Bantuan itu berupa Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra).

Menyusul empat besar yayasan Suharto yang lain (Dakab, Dharmais, Supersemar, dan YAMP), YDSM juga berkantor di gedung mewah Granadi (Graha Dana Abadi) di Jalan Rasuna Said, Kuningan. Seperti kakak-kakaknya, dana yang terkumpul oleh YDSM sebagian akan tersalur kembali ke perusahaan-perusahaan milik keluarga Suharto. Tak lama setelah yayasan ini berdiri, Haryono Suyono, Wakil Ketua YDSM yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri Kependudukan merangkap Kepala BKKBN menandatangani kerjasama pengadaan bibit hortikultura dengan PT Intidaya Agrolestari.

Menurut sang Ketua BKKBN, pinjaman YDSM sebesar Rp 2000 per keluarga yang untuk membuka Tabungan Kesra, hendaknya digunakan untuk membeli bibit hortikultura yang dapat dikembangkan di lahan milik para petani miskin ini. Lalu, siapa pemilik PT Intidaya Agrolestari? Ternyata sang Menteri Perdagangan dan Industri yang baru, Bob Hasan, memiliki 90% saham perusahaan itu a/n Nusamba (Wibisono, 1995; IEFR, 1997: 480-481; Gatra , 27 Jan. 1996;Suara Independen , Jan.-Febr. 1996; Swa, 9-29 Mei 1996: 40, 30 Jan.-19 Feb. 1997: 22; Bali Post , 15 Sept. 1996; Eksekutif , Maret 1997: 27; D&R, 14 Juni 1997: 81; Jakarta Post , 25 Juni 1997; Bisnis , tanpa tanggal).

Yayasan trah Solo & trah Yogya: --------------------------------------------- Seperti dijelaskan di depan, ada satu yayasan yang didirikan keluarga besar Nyonya Tien Suharto di Solo, yakni Yayasan Mangadeg, dan satu lagi yang didirikan keluarga besar Soeharto di Yogya, yakni Yayasan Kemusuk Somenggalan.

Yayasan Mangadeg resminya didirikan tanggal 28 Oktober 1969 untuk membangun dan mengelola Astana Giribangun, kuburan orang-orang yang mau dianggap keturunan keraton Mangkunegaran, walaupun sesungguhnya tidak berdarah bangsawan. Dengan kata lain, dengan dikuburkan di situ, keluarganya seolah-olah dapat "membeli" darah bangsawan itu. Itulah mausoleum di mana Nyonya Tien Suharto, seorang adiknya, dan kedua orangtuanya dikuburkan.

Menurut akte pendiriannya, Suharto dan isterinya adalah pelindung dan ketua umum yayasan itu, dengan Mangkunagoro VIII sebagai ketua kehormatan. Ketua hariannya adalah usahawan asal Solo, Sukamdani Sahid Gitosarjono, yang ikut menyumbangkan Rp 30 juta untuk modal pertama yayasan itu. "Saya lakukan hal itu dengan harapan mendapat imbalan pahala berlimpah. Nyatanya ada berkahnya -- usaha-usaha saya jadi lancar," jelas Sukamdani pada Tempo , 3 Desember 1977 (hal. 8).

Dalam dasawarsa 1970-an, ketika masih menjadi wartawan Tempo , saya mendengar bahwa para pemegang HPH harus menyetor sejumlah dana ke rekening Dirjen Kehutanan Sujarwo, yang merangkap Bendahara Yayasan Mangadeg. Menurut Sukamdani Gitosarjono, seluruh biaya pembangunan kuburan itu, yang dikerjakan secara padat karya selama dua tahun (1974-1976) dengan mengerahkan 700 orang penduduk desa setempat, "cuma" menelan biaya Rp 437,8 juta, atau 1 juta dollar AS. Begitu katanya dalam konferensi pers, akhir November 1977, menanggapi kritik mahasiswa dan desas-desus bahwa kuburan itu menelan biaya Rp 4 milyar, atau 9,6 juta dollar AS (Jenkins, 1984: 76-77;Tempo, 3 Des. 1977: 8-9).

Selain memeras para pemegang HPH, sampai akhir 1980-an Yayasan Mangadeg punya bisnis lain lewat Bernard Ibnu Hardoyo, adik kandung Tien Suharto. A/n Mangadeg, Ibnu Hardoyo dan ayahnya, Soemoharjomo (= Soemoharmanto), mendirikan PT Gunung Ngadeg Jaya pada tanggal 8 Juni 1971, pemilik 30% saham pabrik semen PT Semen Nusantara di Cilacap.

Lewat Gunung Ngadeg Jaya, Mangadeg masih punya sejumlah saham dalam pabrik kabel Gajah Tunggal, PT Kabelmetal Indonesia, dalam tiga perusahaan kongsi dengan kelompok Miwon dari Korea, dan dalam PT Pasopati, holding company yang dioperasikan Bob Hasan. Pasopati menguasai sejumlah saham perusahaan pelayaran PT Karana Lines dan PT Garsa Line, perusahaan pengangkut kayu kongsi Karana Lines dengan sejumlah investor Jepang. Kemudian, lewat Sukamdani dan Soemoharjomo, Mangadeg juga mendapat pemasukan dari kelompok hotel Sahid, hotel Kartika Chandra, dan konsesi hutan PT Sahid Timber.

Belum lagi pemasukan Mangadeg dari PT Rejo Sari Bumi, pengelola peternakan sapi "3-S" seluas 600 hektar di Desa Tapos, Kecamatan Cibedug, dekat Bogor. Ayah Nyonya Tien, Soemoharmanto, tercatat sebagai direktur perusahaan yang dibentuk tanggal 25 November 1971. Peternakannya sendiri baru mulai digarap tahun 1974, setelah memperoleh tanah eks perkebunan PNP XI.

PT Rejo Sari Bumi juga memegang saham perkebunan tebu PT Gunung Madu Plantations dan pabrik gula PT Gula Putih Matara, di Lampung, bersama-sama Yayasan Trikora dan Harapan Kita, raja gula Malaysia, Robert Kuok, serta dua partner bisnis lama Suharto, Liem Sioe Liong dan Yance Lim. Bisnis manis berlepotan uang -- dan keringat petani tebu serta buruh pabrik gula -- itu kini dipegang Bambang Trihatmodjo lewat kelompok Bimantara (Gitosardjono, 1974; Akhmadi, 1981: 74, 115, 173-176; Pura dan Jones, 1986a; Robison, 1990: 260-261, 343-347, 362; Shin, 1989: 250-251; Warta Ekonomi, 29 Okt. 1990: 27, 22 Juni 1992: 16, 7 Nov. 1994: 17; Detik, 25-31 Agustus 1995: 5; Prospek, 22 Jan. 1994: 27; Swa, 30 Jan.-19 Feb. 1997: 21, 3-16 Juli 1997: 87).

Besarnya dana mausoleum Mangadeg serta pembangunan peternakan Tapos seluas 720 Ha itu dikecam secara keras oleh mahasiswa ITB dalam Buku Putih 1978. Buku itu serta penolakan terhadap pencalonan kembali Suharto mengakibatkan Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi, diseret ke pengadilan. Bersamaan dengan itu berlangsung pengadilan Sawito Kartowibowo, yang juga menyerukan Suharto meletakkan jabatan. Tokoh kebatinan itu dalam pembelaannya juga mengecam pembangunan mausoleum dan peternakan keluarga Suharto (McDonald, 1980: 234-236; Akhmadi, 1981: 74; Bourchier, 1984: 55; Jenkins, 1984: 164).


Dengan pemenjaraan kedua pembangkang itu, tamatlah perdebatan tentang mausoleum dan peternakan raksasa itu. Padahal, asal-usul peternakan Tapos serta cara pengembangannya, penuh contoh manipulasi kekayaan rakyat Indonesia. Pertama-tama, ternak yang merupakan modal utama Tapos diperoleh Sigit, pengelola peternakan keluarga Suharto itu, dari Australia, atas biaya dinas. Sapi Abidin, begitulah.

Barangkali banyak orang sudah lupa bahwa tanggal 3-5 April 1975, Suharto secara informal berjumpa dengan PM Australia, Gough Whitlam, di Townsville, sebuah kota terpencil di negara bagian Queensland sebelah Utara yang beriklim tropis.

Di sana Whitlam sekali lagi mengulangi pernyataan sikapnya pada Suharto, yang sudah dinyatakannya di Wonosobo, Jawa Tengah, bulan September 1974, bahwa Timor Leste sebaiknya masuk Indonesia, karena tidak punya cukup sumberdaya untuk merdeka sendiri.

Sebagian percakapan tentang masa depan Timor Leste dilakukan di peternakan sapi dan perkebunan tebu "Brandon" milik Pioneer Sugar Mills di pulau Magnetic, lepas pantai Townsville. Wartawan setempat yang meliput kunjungan itu mencatat betapa tertariknya Suharto pada seluk-beluk pembibitan sapi jenis drought-master dan brahman di peternakan itu.

Dalam percakapan dengan kepala peternakan Pioneer Sugar Mills, Paddy Archer, Suharto mengungkapkan bahwa iapun memiliki peternakan milik keluarganya di Indonesia. Ia juga menyatakan keinginannya untuk kembali menjadi petani purna waktu, setelah lengser keprabon. Untuk itulah ia ingin mengimpor sapi Australia. Turut dalam kunjungan informal ke Townsville itu Menteri Pertanian waktu itu, Ir. Thoyib Hadiwidjaja, yang khusus mengadakan pembicaraan dengan Menteri Pengembangan Daerah Utara, Dr Patterson, tentang kemungkinan mengimpor sapi Australia (Courier Mail, 2 & 5 April 1975).

Pada saat itulah, sejumlah ternak di-booking oleh Suharto. Di penghujung 1975, selesai mendaratkan pasukan penyerbu di Timor Leste, kapal-kapal pendarat (LST) milik Komando Lintas Laut Militer (Kolinlanmal) ditugaskan melanjutkan pelayarannya ke Townsville, guna menjemput sapi-sapi Australia yang sudah di-booking Suharto itu, dan mengangkutnya ke Jakarta. Kerja besar yang dibiayai rakyat Indonesia ini dinamakan Operasi Andhini Bhakti. Ini dibeberkan dengan bangga oleh Kolinlanmal menjelang HUTnya yang ke-31, tanggal 1 July 1993 (Surya , 30 Juni 1993). Dari Jakarta, sapi-sapi Australia itu selanjutnya diangkut ke ranch keluarga Suharto di Tapos.

Dari Tapos, dana bantuan Presiden digunakan untuk "menyumbang" bibit ternak ke propinsi-propinsi, dengan dalih memperbaiki mutu ternak rakyat. Ini, sekali lagi merupakan "proyek" bagi Sigit Harjojudanto. PT Bayu Air, perusahaan EMKU (Ekspedisi Muatan Kapal Udara)-nya dikontrak untuk menerbangkan sapi-sapi Australia itu -- hasil penyilangan dan pembibitan di Tapos -- ke daerah-daerah luar Jawa.

Namun Bayu Air, belum punya pesawat sendiri. Ini bukan masalah bagi putera sulung seorang presiden yang berkelakukan bak Raja seperti Suharto. AURI diminta "menyumbangkan" sebagian pesawat Herculesnya untuk mengangkut ternak bantuan Presiden dari Tapos itu. Logo TNI/AU ditempeli logo PT Bayu Air. Itu hanya salah satu fasilitas negara yang dinikmati Sigit, di samping menjadi calo pesawat Lockheed AS, serta pungutan wajib 5% dari seluruh barang muatan udara yang masuk ke luar Indonesia, berdasarkan SK Dirjen Perhubungan Udara (McDonald, 1980: 233-234; Robison, 1990: 344, 347; Vriens, 1995: 49-50; Aditjondro, 1998).

Begitulah cerita seputar sapi-sapi Tapos, yang pantang diungkapkan pers Indonesia, kalau tidak ingin bernasib malang seperti Heri Akhmadi dan Sawito Kartowibowo. Namun menarik untuk dicatat, dua tahun sesudah kasus kedua pembangkang sipil itu, dari kalangan TNI/ AD sendiri ada usaha membongkar asal-usul dibarengi peternakan seluas 720 Ha di selatan kota Jakarta itu. Usaha itu dibarengi kecaman keras dari LetJen Jasin, salah seorang penandatangan Petisi 50 tahun 1980.

Ketika bersama delegasi Petisi 50 menyampaikan ke DPR-RI di pertengahan Mei 1980, Yasin secara khusus menyampaikan tulisan setebal 7 halaman yang menyoroti pembangunan ranch Tapos sebagai contoh kemunafikan dan korupsi Suharto. "Kalau kita tolerir, izinkan, atau terima kemunafikan dan korupsi ini, kita berdosa terhadap diri kita sendiri maupun terhadap bangsa Indonesia," kata jenderal purnawirawan itu, ketika membacakan suratnya.

Kata Jasin, pernyataan Suharto dalam berbagai kesempatan bahwa dia dan putra sulungnya, Sigit, hanyalah "konsultan honorer" perusahaan PT Tiga "S" pemilik dua peternakan sapi di kaki pegunungan dekat Bogor, 40 mil sebelah selatan Jakarta, tidak betul. Itu disimpulkannya setelah meneliti asal usul ranch itu, dengan menanyakannya ke sejumlah pejabat maupun rakyat setempat. Salah seorang yang ditanyainya, diidentifikasi oleh David Jenkins, yang meneliti keterlibatan para jenderal dalam Petisi 50, sebagai Gubernur Jawa Barat, Letjen Solichin GP waktu itu.

Menurut Jasin, Suharto telah memanggil Solihin dan memintanya mencarikan tempat peristirahatan yang jauh dari kesibukan di kota Jakarta. Komentar Jasin, permintaan itu sendiri sangat berlebihan, karena sudah tersedia istana yang cukup besar di Bogor, untuk tempat peristirahatan presiden. Menanggapi permintaan itu, Solihin menyediakan sertifikat tanah seluas 720 Ha, cukup untuk menampung penduduk satu desa di Jawa.

Tahap berikutnya adalah penyediaan prasarana bagi peternakan itu. Menurut Jasin, yang menjabat sebagai Sekjen Departemen Pekerjaan Umum tahun 1973-1974, Menteri PU waktu itu memberitahukannya bahwa pembangunan jalan dan irigasi untuk peternakan itu dikerjakan oleh Departemen PU, atas permintaan Suharto. Sekali lagi Jasin tidak menyebut nama, namun cukup jelas bagi David Jenkins, bahwa Menteri yang dimaksudkannya adalah alm. Ir. Sutami, Menteri PU dari tahun 1965 s/d 1978.

Selanjutnya, menurut Jasin, seorang laksamana AL memberitahukannya, bahwa sapi-sapi Tapos diangkut dari Australia dengan menggunakan kapal-kapal TNI/AL. Semuanya ini membuat Jasin bertanya: "Dari sini muncul tanda tanya besar: dapatkah Sigit Suharto, seorang warganegara biasa, memberikan perintah kepada seorang gubernur, seorang menteri, dan Angkatan Laut? Jawabannya, menurut logika sederhana, mustahil".

Itu sebabnya, Jasin berpendapat, pernyataan Suharto bahwa dia dan putera sulungnya hanyalah "konsultan honorer" peternakan itu, merupakan "kebohongan mutlak". Yang terjadi adalah "komersialisasi jabatan", suatu topik kontroversial yang sedang ramai dibicarakan di media massa waktu itu.

Surat Jasin dan penyampaiannya di parlemen, cukup menghebohkan waktu itu. Ada yang menganggapnya bertentangan dengan susila Jawa. Bahkan para aktivis mahasiswa, dalam mengecam kuburan Mangadeg seharga 1 milyar dollar AS, tidak menggunakan bahasa sekasar itu, kata sebagian pengecam Jasin. Kata seorang jenderal kepada David Jenkins, dengan nada membela Suharto: "Presiden 'kan anak petani, yang senang main lumpur. Beliau tidak mengambil tanah itu, melainkan hanya menyewanya selama 25 tahun. Apalagi tanah itu tadinya hanya bukit-bukit gersang. Dan kalaupun Malcolm Fraser [Perdana Menteri Australia waktu itu] menghadiahkan sapi pejantan pada beliau, hasil persilangannya 'kan dikirim ke daerah-daerah". Namun dua hari kemudian ia menambahkan: "Orang banyak tahu bagaimana Pak Harto mendapatkan semua itu, yakni tanpa mengeluarkan uang se sen pun" (Jenkins, 1984: 164-167).

Kritik sesama perwira tinggi ABRI ini pun dilawan oleh Suharto secara otoriter. Bertahun-tahun lamanya mereka dikenakan hukuman cegah tangkal (cekal), dilarang bepergian ke luar negeri, dan keran-keran bisnis mereka dimatikan. Maka amanlah Suharto untuk menjamu tamu-tamunya di Tapos, termasuk memaksa sekitar 30 juragan konglomerat keturunan Cina menyumbang sebagian sahamnya kepada koperasi, tanggal 4 Maret 1990.

Baru empat tahun kemudian, Suharto tiba-tiba menangkis tudingan berbagai pihak, bahwa di ranch keluarga presiden ada barang-barang mewah seperti istana, kolam renang, lapangan golf, bahkan helipad. Ia pun mengundang para pejabat lembaga-lembaga PBB di Jakarta ke Tapos, pada hari Sabtu di akhir bulan Oktober 1994, untuk membuktikan bahwa di peternakan itu "tidak ada apa-apanya" (Warta Ekonomi, 7 Nov. 1994: 17).

Tampaknya sang presiden menganggap bahwa memiliki ranch seluas 600 Ha di Pulau Jawa, di mana 54% keluarga tani hanya memiliki 0,5 Ha tanah di tahun 1983 (Suhendar dan Kasim, 1996: 111), bukan kemewahan. Karuan saja anak bungsunya pun kemudian mengganggap bahwa kebun buahnya seluas 260 Ha di tepi koridor Cibubur-Cianjur, juga tidak mewah.

Awal 1993, saham Mangadeg di pabrik semen Cilacap dibeli oleh Hashim dan Titiek Prabowo. Kendati demikian, saham-saham Gunung Ngadeg yang tersisa, masih cukup menumpuk rezeki Mangadeg. Laba bersih PT Kabel-metal tahun lalu sudah mencapai Rp 6 milyar. Dalam tahun yang sama, laba bersih PT Hotel Sahid Jaya International sudah mencapai Rp 10,4 milyar. Ekspansi itu masih jalan terus, tak terpengaruh oleh krisis moneter di Indonesia. Terbukti bahwa di pertengahan Desember lalu, ke-24 hotel Sahid di Indonesia dan Arab Saudi, yang ditaksir bernilai 1 milyar dollar Australia. Pada saat yang sama, kelompok Sahid berhasil membangun aliansi strategis dengan maskapai perhotelan AS, Park Plaza, dengan merangkul hotel-hotel Kemayan di Australia.

Sementara itu masih ada sejumlah saham PT Pasopati dalam perusahaan pelayaran PT Karana Lines berikut anak perusahaannya, PT Garsa Line yang khusus untuk angkutan kayu. Karana Lines tergolong perusahaan pelayaran top di Indonesia, dengan armada berbobot mati 21.539 ton (IEFR, 1997: 232, 524; Info-Bisnis, Edisi Khusus 1994: 82; Australian Financial Review. 17 Des. 1997).

Seperti halnya Mangadeg, Yayasan Kemusuk Somenggalan juga berurusan dengan hutan, namun bukan di negeri sendiri. Yayasan yang diketuai Raden Notosoewito ini membawahi kelompok MUSA (Mitra Usaha Sejati Abadi) yang menguasai 150.000-Ha konsesi hutan di Surinam dan sedang berusaha memperlebar sayap ke Guyana dan Brazil. Perusahaan itu merupakan perusahaan Indonesia pertama yang menjadi sasaran kecaman aktivis lingkungan sedunia (Skephi dan IFAW, 1996).

Yayasan Ibu Tien Soeharto: ------------------------------------- Kematian isterinya tidak mengurangi minat Suharto ber-yayasan-ria. Empat puluh hari setelah meninggalnya Nyonya Tien pada tanggal 28 April 1996, Suharto mendirikan Yayasan Ibu Tien Soeharto. Modal pertamanya adalah uang santunan PT Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri), yang diserahkan DirUt pesero itu, Muljohardjoko, kepada Suharto di Jalan Cendana, bertepatan dengan perayaan Idul Adha 1417 H, tanggal 17 Juli 1996. Ia menolak menyebutkan jumlah santunan yang diserahkan, begitu pula Suyono, pejabat Humas PT itu, ketika Kompas mencoba mengonfirmasikan masalah itu ke kantor Taspen. Katanya: "Tidak etis menyebut jumlahnya."

Di fihak lain, Dirut PT Taspen tidak merasa canggung berfungsi sebagai Humas Yayasan Ibu Tien Soeharto, dengan menjelaskan tujuan yayasan itu, yakni membimbing anak asuh dan orang lanjut usia (Kompas &Bali Post , 18 Juli 1996).

Maklumlah, PT Taspen juga bagian dari bisnis keluarga Suharto. Pesero itu memiliki 25% saham PT Lamicitra Nusantara, perusahaan properti Bambang Trihatmodjo yang membangun kompleks Tunjungan di Surabaya (Swa, Agustus 1995: 40), dan memiliki saham PT Marga Mandalasakti, pengelola jalan tol Tangerang-Merak sepanjang 78,2 Km, bersama Humpuss, Hanurata, Krakatau Steel dan Jasa Marga (Prospek , 13 Agustus 1994).

Selain itu, PT Taspen juga menyertakan modal Rp 375 milyar dalam PT Barito Pacific Timber, yang sempat diprotes oleh sejumlah anggota DPR-RI (Kompas, 8-10 Juli 1993; Bisnis Indonesia , 9 Juli 1993; Forum Keadilan , 29 Sept. 1994: 23). Pemegang saham utama perusahaan itu, Prajogo Pangestu, berpatungan dengan Tutut dalam proyek HTI dan pabrik pulp raksasa di Sum-Sel, dan dengan Bambang dalam Bank Alfa bin Bank Andromeda.

Makanya, penyerahan uang santunan dari PT Taspen ke Suharto sebagai ahli waris isterinya, hanya merupakan perputaran uang dari satu kantong keluarga Suharto ke kantong lain. Begitu berdiri dengan modal uang santunan itu, Yayasan Ibu Tien Soeharto segera dikerahkan bersama yayasan Supersemar dan Dharmais mendukung Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) yang dipimpin menantu Suharto, Halimah Trihatmodjo.

Hari Jumat, 9 Agustus 1996, seusai melaporkan perkembangan GN-OTA ke Suharto di Istana Merdeka, Mensos Inten Suweno mengumumkan bahwa Yayasan Ibu Tien akan memberikan 10.000 beasiswa kepada pelajar SD atau SLP, sedangkan Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar masing-masing akan membagi-bagikan 50 ribu beasiswa bagi pejar SD serta 10 ribu beasiswa bagi pelajar SLP (Bali Post , 10 Agustus 1996).

Bisnis dan diplomasi luar negeri: ---------------------------------------------- Yayasan-yayasan yang diketuai anak, menantu, serta keluarga besan Suharto, selain merupakan alat bisnis keluarga Suharto, sekaligus menunjang propaganda Suharto di luar negeri. Yayasan Kemajuan dan Pembangunan Asmat misalnya, berlagak menunjang pembangunan kesejahteraan dan kesenian Asmat, dengan pameran-pameran mereka di Jakarta, Eropa dan Amerika Serikat, untuk menutupi dampak perusakan hutan di Papua Barat akibat ulah kelompok perusahaan Hanurata (Aditjondro, 1983) dan Djajanti Djaja selama puluhan tahun di sana.

Dalam hal propaganda tentang kehebatan "pembangunan" Indonesia di Timor Leste, sama saja. Yayasan Tiara digunakan Tutut untuk mencoba menggemboskan gerakan perlawanan siswa-siswa Timor Leste dengan cara merekrut mereka menjadi buruh di pabrik-pabrik yang dekat atau ikut dimiliki keluarga Suharto, seperti pabrik semen Indocement di Cibinong, pabrik tekstil Kanindotex di Bawen (yang kini telah resmi diambil-alih Bambang Trihatmojo), pabrik tekstil PT Sritex di Sukoharjo, serta kilang kayu Barito Pacific di Kalimantan milik Prajogo Pangestu, teman bisnis Bambang maupun Tutut (Aditjondro, 1994: 48).

Selain mencangkokkan para pemuda Maubere di pabrik-pabrik yang dikuasai keluarga besar Suharto, ada satu yayasan lain yang punya misi yang hampir sama: melunturkan nasionalisme pemuda Maubere. Itulah Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae (YTHTL) yang diasuh Lopes da Cruz, Dubes Keliling Indonesia untuk urusan Timor Leste, yang juga orangnya Tutut. Menurut da Cruz, yayasan ini bekerja khusus untuk memperhatikan narapidana politik mahasiswa Timor Leste di dalam maupun di luar negeri mereka.

Di samping itu, YTHL juga berusaha menyalurkan para mahasiswa Timor Leste ke kampus-kampus di luar Jawa-Bali, di mana gerakan klandestin mahasiswa Timor Leste, Renetil, belum begitu berakar. Misalnya, awal Juni 1995, empat orang pengurus YTHL berkunjung ke Sulawesi Utara, menemui Gubernur E.E. Mangindaan untuk menawarkan kemungkinan penempatan 25 orang mahasisa Timor Leste di Unsrat, IKIP Tondano, dan UKI Tomohon. Mangindaan menyambut baik rencana itu, supaya para mahasiswa Timor Leste "jangan dipolitisasi," katanya (Kompas & Media Indonesia , 28 Juni 1994; Jawa Pos , 3 Juni 1995).

Sementara itu, berkat kedekatannya dengan Tutut (dan ibunya, sewaktu ia masih hidup), PT Sritex, yang anak perusahaannya juga melibatkan adik Ketua Golkar, Harmoko, berhasil menembus embargo Portugal terhadap barang-barang Indonesia dengan mengekspor 15 ton benang kapas ke pabrik tekstil milik Manuel Macedo, teman bisnis Tutut di Portugal, yang juga menjadi pelobi utama bagi rezim Suharto di Portugal dan bekas jajahannya di Afrika (Santos dan Naia, 1997).

Pembongkaran produk Sritex di pelabuhan Leixoes, menggegerkan pers Portugal serta para aktivis Timor Leste di sana. Tapi karena ekspor Sritex itu resminya transaksi bisnis biasa, pemerintah Portugal tidak dapat melarang. Berkat "pijakannya" di Portugal itu, awal tahun lalu Sritex berhasil memenangkan order 1/2 juta seragam tentara Jerman, senilai US$ 10,4 juta, atau Rp 25 milyar waktu itu (Aditjondro, 1994: 49; FEER, 13 Maret 1997: 63).

Untuk mendukung diplomasi luar negeri berbau duit itu, dibentuklah Yayasan Kebudayaan Portugal-Timor (YKPT) yang juga berada di bawah pengaruh Tutut. Yayasan ini, menurut Lopes da Cruz, merupakan mitra kerja Perhimpunan Persahabatan Portugal Indonesia (PPPI) yang diketuai oleh Manuel Macedo, partner bisnis PT Sritex di Portugal (Forum Keadilan , 23 Juni 1994: 34; Kompas , 28 Juni 1994).

Celakanya bagi YKPT, rencana mereka untuk mengirimkan suatu misi kesenian Indonesia ke Portugal batal akibat eskalasi semangat pro-Timor Leste di sana, berkat hijrahnya lebih dari 100 pemuda Maubere ke Portugal lewat berbagai gedung kedutaan di Jakarta, disusul dengan pemberian Hadiah Nobel Perdamaian 1996 pada Jose Ramos-Horta dan Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo.

Kegiatan Yayasan Bimantara resminya juga bersifat nirlaba, tapi ujung-ujungnya juga berbau bisnis merangkap politik. Berkat promosi kain Timor dalam busana modern rancangan Prajudi Admodirdjo yang disponsori Yayasan Bimantara (Kompas, 11 Sep, 4 Des. 1994), produk PT Dilitex mendapatkan popularitas secara nasional, bahkan internasional.

Selain "menangani" Timor Leste lewat Yayasan Tiara, Yayasan Kebudayaan Portugal-Timor, dan Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae, Tutut juga berniat mendirikan sebuah yayasan untuk mengelola sebuah perguruan tinggi di Timor Timor. Untuk itu ia telah memilih Kepala Desa "boneka" Komoro, Vitorino, seorang mauhu (informan), sebagai ketua yayasannya. Menurut kantor berita alternatif, Matebean, 12 Januari lalu, faktor bisnis melatarbelakangi maksud pembangunan perguruan tinggi itu, yaitu mendidik tenaga ahli untuk mendukung perluasan bisnis keluarga Suharto di Timor Leste.

Dugaan Matebean cukup berdasar. Setelah jatuhnya Benny Murdani dari puncak kekuasaannya dan munculnya LetJen Prabowo Subianto sebagai anjing herder keluarga besar Suharto-Djojohadikusumo, bisnis anak-anak Suharto mulai berkembang pesat di koloni Indonesia ini. Tutut berhasil menyingkirkan Robby Sumampouw, cukong peliharaan Benny Murdani, menjadi "raja kopi" di Timor Leste, dengan pasaran ekspor di Amerika dan Australia. Dia juga telah mendapat konsesi batu pualam di Manatuto, yang tadinya juga dikuasai Robby Sumampouw.

Kerabat Tutut yang lain sudah mulai merambah Timor Leste. Pamannya, Probosutejo, telah menyatakan minatnya membuka perkebunan kopi. Sedangkan sang adik, Tommy, yang paling tidak suka melihat suatu kesempatan emas berlalu, berhasil membujuk ayahnya untuk memperoleh konsesi perkebunan tebu seluas 200 ribu Ha di pantai selatan koloni itu, membentang antara Viqueque, Natarbora dan Betano. Sementara perkebunan yang akan mendatangkan 20 ribu buruh tani dan buruh pabrik gula dari Jawa terbentang di pesisir selatan, pabrik gulanya sendiri akan dibangun di Lospalos, 250 km dari Dili.

Seluruh investasi Tommy di Timor Leste, yang disalurkan lewat PT Putra Unggul Sejati dan PT Tidar Nusantara, mencapai 800 juta dollar AS. Itu tidak termasuk harga tanah, yang dicaplok secara cuma-cuma dari petani Maubere. Itu juga tidak termasuk ongkos pembangunan pembangkit listrik, sebab pabrik gula Tommy di Lospalos diharapkan akan memanfaatkan listrik dari PLTA yang akan dibangun di Iralalaro dari dana APBN sebesar Rp 500 milyar. Konon perkebunan tebu di pantai selatan itu merupakan kongsi Tommy dengan suami Tutut, Indra Rukmana.

Selain pabrik kopi Tutut, pabrik tekstil Titiek, pabrik garam beryodium Titiek pula, dan pabrik gula Tommy, bisnis keluarga besar Suharto dan antek-anteknya di Timor Leste akan bertambah dengan sebuah pabrik semen, yang akan dibangun oleh Budi Prakoso. Adik Setiawan Djody dan bekas suami Yenny Rachman itu, yang juga terlibat dalam pabrik Lamborghini bersama Tommy, akan memegang 51% saham pabrik semen di Laifu, Baucau. Sisanya, akan dimiliki oleh tokoh-tokoh Timor Leste, yang telah berhasil dirangkul oleh Tutut, yakni Abilio Araujo, bekas tokoh Fretilin di Portugal, yang sudah dipecat dari Fretilin karena pengkhianatannya, Francisco Xavier do Amaral, bekas Ketua Fretilin yang sudah bertahun-tahun hidup di bawah pengawasan Jenderal Dading Kalbuadi, dan, siapa lagi, Lopes da Cruz. Pabrik yang dipastikan akan mulai beroperasi tahun 1998 ini akan berkapasitas sekitar 1,5 juta ton setahun.

Bob Hasan dengan kelompok Nusamba-nya, tak mau ketinggalan untuk hadir di Pulau Timor melalui Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 30 ribu Ha di Timor Leste dan 30 ribu Ha di Timor Barat. Dua nama perusahaan telah digunakannya bagi HTI itu, yaitu PT Fendi Hutani Lestari (untuk bagian yang di Timor Timur) dan HTI Polem (untuk bagian yang di Timor Barat). Peresmian HTI yang di Timor Timur dilakukan sendiri oleh Suharto, beberapa tahun lalu, sedangkan yang di Timor Barat ditinjau Suharto, bulan Oktober 1996. Namun praktis hanya bagian yang di Timor Barat yang jalan, sebab di Timor Leste rencana HTI Bob Hasan mendapat reaksi keras dari rakyat Maubere di Kabupaten Viqueque.

Kegagalan membuka HTI di Timor Leste ditebus oleh kapitalis-birokrat itu dengan melebarkan sayap PT Astra Motor, yang sejak 15 September 1997 mulai memasarkan aneka kendaraan bermerek Toyota di Timor Leste (Aditjondro, 1996a, 1997; Lema, 1997; Gatra, 5 Agustus 1995, 16 Agustus 1997; Bali Post , 15 Okt. 1996; Suara Timor Timur , 27 Sept. 1997; Jakarta Post, 12 Nov. 1997; Matebean, 18 Nov. 1997, 12 Jan. & 18 Maret 1998; sumber-sumber lain).


" Masih penasaran klik lagi aza !! ":