Mengingat besarnya investasi keluarga besar Suharto di Timor Leste, baik yang sudah maupun belum diwujudkan, keinginan Tutut untuk mendirikan satu perguruan tinggi di sana cukup masuk akal. Namun di balik keinginan mendapatkan tenaga kerja berpendidikan tinggi, rencana itu juga berbau politis: perguruan tinggi swasta yang sudah ada, Untim, sudah berkembang menjadi basis perlawanan pemuda-pemudi Maubere terhadap pendudukan Indonesia, menyusul adik-adik mereka di SLTA. Berarti, setelah gagal menggemboskan perlawanan para siswa SLTA, Tutut kini berusaha merambah ke benak para lulusan SLTA.

Seperti halnya Yayasan Tiara milik Tutut, kegiatan Yayasan Balai Indah juga memadu agenda politis dengan agenda ekonomis: sambil berdagang di Asia Barat dan Eropa, berusaha menetralisasi para pendukung Timor Leste di arena internasional. Yayasan Balai Indah yang sehari-hari dikelola isteri Dubes RI di Moskow, Erna Witoelar, ikut melicinkan jalan barter teh Indonesia dengan kapas Uzbekistan. Kapas itu selanjutnya dijual ke Portugal dengan harga tunai sebesar US$ 17 juta (Gatra, 25 April & 6 Mei 1995).

Perdagangan barter Hashim dengan Uzbekistan dilakukan bersama-sama kelompok Texmaco, kelompok Bakrie, dan kelompok perusahaan keluarga Ibnu Sutowo. Walhasil, di antara keempat kelompok itu, Texmaco-lah yang maju ke depan, menggandeng raksasa kimia Jerman, Hoechst, untuk membangun lima pabrik serat polyester (bahan baku tekstil sintetis) di Eropa. Salah satu pabriknya akan dibangun di Portugal (EBRI, 12 Agustus 1995: 23; Jakarta Post , 14 Juli 1997).

Karuan saja pers dan polisi Portugal geger sekali lagi, karena Texmaco, yang muncul dengan nama Multikarsa Investment, merupakan perusahaan kedua yang tampaknya akan berhasil menembus embargo perdagangan Indonesia - Portugal. Selain karena alasan politis, Partai Hijau Portugal (Partido Ecologista Os Verdes ) dan asosiasi pedagang kecil dan menengah secara keras menentang rencana pembangunan pabrik kongsi Multikarsa-Hoechst di Portugal itu.

Kedua perusahaan Indonesia yang berada di ujung tombak usaha mendobrak embargo barang-barang Indonesia di Portugal, punya hubungan erat dengan keluarga Suharto. Sritex, yang melibatkan seorang adik Harmoko dalam beberapa anak perusahaannya, menurut kalangan perbankan di Solo juga dekat dengan Nyonya Tien Suharto (alm.). Sedangkan Texmaco, sebelum bisnis bersama Titiek Prabowo di Timor Leste dan bersama ipar Titiek, Hashim Djojohadikusumo di Uzbekistan, Texmaco jugalah yang menolong Titiek membeli banknya, Bank Putera Sukapura, ketika sedang anjlog. Anjlognya bisnis bekas bank milik Titiek itu a.l. karena kegagalan usaha investasinya di bidang real estate di Afrika Selatan bersama satu yayasan milik ANC (Aditjondro, 1996b).

Berapa nilai total kekayaan yayasan-yayasan Suharto? -------------------------------------------------------------------------- Sampailah kita sekarang pada pertanyaan: berapa nilai total kekayaan 105 yayasan itu? Jawabannya: tidak ada yang tahu pasti, kecuali Suharto dan keluarga dekatnya, serta bendahara yayasan-yayasan itu. Namun satu ketika Wakil Ketua II Yayasan Dharmais yang eks Menteri Koperasi merangkap Kepala Bulog, Bustanil Arifin sesumbar: "Empat yayasan yang dipimpin Presiden Soeharto secara pribadi kini telah menjadi yayasan terkaya di dunia, jauh melebihi Rockefeller Foundation dan Ford Foundation di AS" (Surabaya Post , 29 Juli 1994).

Keempat yayasan yang dimaksud adalah Dharmais, Supersemar, Dakab, dan Amalbhakti Muslim Pancasila, yang kini bermarkasbesar di gedung Graha Dana Abadi (Granadi) yang megah di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, bersama Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YSDM) dan Yayasan Ibu Tien Soeharto. Namun berapa persis kekayaan yayasan-yayasan itu, tidak diungkapkannya.

Menurut penelitian koresponden Far Eastern Economic Review , Michael Vatikiotis, total kekayaan, bunga bank, dan sumbangan tiga di antara keempat yayasan itu di tahun 1990, adalah sebagai berikut (FEER , 4 Okt. 1990: 63):

* Yayasan Supersemar, memiliki kekayaan senilai Rp 222 milyar, dan menerima bunga bank setiap tahun senilai Rp 24 milyar. Sumbangan yang diberikannya s/d bulan Maret 1990, adalah Rp 46 milyar.

* Yayasan Dharmais, memiliki kekayaan senilai Rp 60,8 milyar, menerima bunga bank setiap tahun senilai Rp 9 milyar, dan memberikan sumbangan sebesar Rp 15,4 milyar s/d bulan Maret 1990.

* Yayasan Dakab, yang terkecil di antara ketiganya, memiliki kekayaan senilai Rp 43 milyar, tidak diketahui berapa besar bunga bank yang diterimanya, dan hanya memberikan sumbangan sebesar Rp 2,4 milyar, s/d bulan Maret 1990.

Itu data tahun 1990 dan sebagian besar berasal dari otobiografi Suharto. Misalnya, dalam otobiografi yang juga dikutip dalam laporanWarta Ekonomi (29 Okt. 1990: 28-29), Suharto hanya menyebutkan kekayaan yayasan-yayasannya yang berasal dari deposito, surat berharga, dan giro.

Pendek kata, itu baru pendapatan dari bank. Bukan dari saham di sekian perusahaan raksasa, seperti di pabrik-pabrik Indocement, pabrik-pabrik penggilingan gandum Bogasari, dan pabrik pupuk Kujang II. Atau dari dividen kelompok Nusamba.

Data lebih baru diungkapkan Suara Independen, edisi Januari-Februari 1996. Kekayaan Yayasan Dharmais yang ada di kas diperkirakan Rp 900 milyar. Walaupun angka kekayaan Dharmais itu belum yang dibenamkan di berbagai tempat seperti surat berharga, penyertaan uang, penyertaan saham di berbagai perusahaan, angka Rp 900 milyar itu sudah menunjukkan lonjakan luarbiasa dibandingkan dengan angka kekayaan Dharmais tahun 1990 yang menurut catatan Vatikiotis, 'hanya' Rp 60 milyar. Apalagi kalau dibandingkan dengan kekayaan Dharmais di tahun 1978, yang menurut pengakuan Suharto waktu itu baru berjumlah Rp 7 milyar (Tempo , 4 Febr. 1978).

Kalau seluruh dividen yang diterima dimasukkan dalam daftar kekayaan yayasan-yayasan itu, maka apa yang dikatakan Bustanil Arifin sangat masuk akal. Tahun 1994 misalnya, trio Dharmais-Dakab-Supersemar meraup dividen sebesar Rp 29 milyar dari penyertaan sahamnya di Bank Duta. Sedangkan tahun sebelumnya, trio yang sama meraup dividen sebesar satu trilyun rupiah dari penyertaan sahamnya dalam kelompok Nusamba (Suara Independen, Jan.-Febr. 1996).

Salah satu "pameran kekuatan" trio itu, ialah ketika mereka sekaligus menyuntikkan dana segar sebesar US$ 419,6 juta ke Bank Duta, tahun 1990, ketika bank itu kalah bermain valuta asing sebanyak Rp 770 milyar, atau US$ 420 juta waktu itu (Vatikiotis, 1990: 62; Forum Keadilan, 26 Mei 1994: 38). Nah, kalau US$ 400 juta lebih dapat dikeluarkan dalam sekejap mata, berapa duit yang tersisa di kas ketiga yayasan itu, silakan tebak sendiri.

Taksiran di luar negeri terhadap total kekayaan yayasan-yayasan yang diketuai Suharto dan isterinya sangat beragam. Paul Hunt yang menulis di koran Guardian & Mail di Inggris, edisi 1 Agustus 1996, memperkirakan bahwa nilai kekayaan tak teraudit dari yayasan-yayasan Suharto sendiri sekitar US$ 5 milyar. Sedangkan Greg Earl, koresponden Australian Financial Review , memperkirakan bahwa kekayaan yang dikuasai oleh yayasan-yayasan yang berpusat di gedung Granadi yang mewah di Jalan Rasuna Said, Kuningan itu, bernilai sekitar 10 milyar dollar Australia (1998). Berarti kekayaan yayasan-yayasan Suharto sekitar Rp 50 trilyun, dalam kurs pasca krisis moneter.

Namun menurut taksiran badan rahasia AS, Central Intelligence Agency (CIA), sebagaimana dikutip dalam tesis Ph.D. Jeffrey Winters tahun 1991, kekayaan Presiden Suharto sendiri mencapai US$ 15 juta. Jumlah itu harus dilipat dua, kalau kekayaan seluruh anggota keluarga besarnya mau dimasukkan juga (Vriens, 1995: 49).

Itu baru taksiran tahun 1991, sebelum Nusamba menguasai saham-saham empuk di tambang tembaga-emas-perak PT Freeport Indonesia di Irian Jaya, serta raksasa automotif PT Astra Internasional. Makanya taksiran nilai total kekayaan seluruh keluarga besar Suharto, sebesar US$ 40 milyar (Newsweek, 26 Jan. 1998: 48), cukup masuk akal. Cukup untuk menebus bangsa Indonesia dari krisis moneter sekarang ini, tanpa harus berhutang pada IMF.

Dampak sosial, politis dan ekonomis yayasan-yayasan Suharto: ---------------------------------------------------------------------------- Secara sosial, politis dan ekonomis, 105 yayasan yang diketuai atau dikuasai keluarga besar Suharto dan antek-anteknya punya dampak sebagai berikut:

* Pertama, dana trilyunan rupiah yang dikuasai yayasan-yayasan itu membantu Suharto menguasai ruling elite Indonesia dengan membuat faksi-faksi di dalamnya saling bersaing dan saling mengimbangi, dengan menggeser "restu"-nya dari satu faksi ke faksi lain secara periodik. Ini membuat politik nasional Indonesia bersifat sangat personalized , tanpa aturan main tertulis yang disepakati bersama dan diketahui rakyat banyak. Melalui kajian mendalam terhadap pasang-surut berbagai yayasan itu, sebagaimana dicatat sejumlah pengamat (Robison, 1986; Shin, 1989; Pangaribuan, 1995), dapat kita amati lika-liku permainan sebagai berikut:

Dalam dasawarsa pertama pemerintahannya, ketika Suharto masih kecipratan petro-dollar Pertamina dari kawan baiknya, Ibnu Sutowo, dan pada saat ia masih sedang mengonsolidasi kekuasaan lewat basis lamanya di Kostrad, Suharto banyak memberi angin pada perusahaan yang "dihinggapi" saham-saham YDP Kostrad serta yayasan-yayasan TNI/AD yang lain. Setelah meninggalnya Brigjen Sofyar, pengelolaan perusahaan Kostrad diserahkan pada bekas aktivis 1966, Sofyan Wanandi, dari kubu Jenderal Ali Murtopo yang bermarkas di CSIS.

Sesudah pamor kubu Ali Murtopo (kelompok Tanah Abang) mulai surut, a.l. karena ketergantungan pada politisi keturunan Cina (Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi) serta pengusaha keturunan Cina (Liem Sioe Liong, Nyoo Han Siang), Suharto mulai membesarkan kubu Corps Kehakiman (CKH) TNI/ AD, yakni para jenderal bergelar S.H. (Sudharmono, Ali Said, Ismail Saleh, alm. Mudjono) dengan membesarkan yayasan Dakab, Dharmais, Supersemar, dan YAMP, sambil mendekati umat Islam lewat proyek-proyek bantuan pembangunan mesjid dan pembiayaan MTQ.

Ketika kubu CKH semakin kuat berakar di Golkar, peranan yayasan-yayasan itu mulai diimbangi Suharto dengan memperlakukan Habibie sebagai sumber dana taktis, sebagaimana ia dulu memanfaatkan Ibnu Sutowo. Juga, sebagaimana ia dulu memanfaatkan para pemegang HPH sebagai sumber dana taktis lewat Yayasan Mangadeg yang dibendaharai Sujarwo (Menteri Kehutanan terlama dalam sejarah Orde Baru), di era Habibie, Bob Hasan-lah yang berperan besar untuk menggemukkan trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar, lewat kelompok Nusamba yang ditugaskan mengambilalih peranan orang-orang lama dari kelompok CKH dan Tanah Abang.

Sinerji antara sektor kehutanan dan sektor high tech , andalan Suharto untuk me-nina-bobo-kan rakyat Indonesia lewat proyek-proyek mercusuar seperti pesawat Gatotkaca Habibie dan pesawat jet nasional (yang digugurkan oleh IMF), terlihat dari suntikan Dana Reboisasi ke IPTN. Dana Reboisasi itu, yang dikutip dari para pemegang HPH, dikuasai oleh Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) yang diketuai kawan golf Suharto, Bob Hasan. Seperti di zaman Menteri Kehutanan Sujarwo, di zaman "Menteri Kehutanan bayangan" Bob Hasan pengelolaan Dana Reboisasi oleh MPI juga sangat tidak transparan.

Selama dua dasawarsa pertama masa pemerintahannya, anak-anak Suharto sudah dilibatkan dalam berbagai perusahaan yang mengandung saham yayasan yang diketuai orang tua mereka, baik perusahaan yang berafiliasi ke Yayasan Mangadeg (seperti PT Rejo Sari Bumi), maupun yang berafiliasi ke trio Dakab, Dharmais dan Supersemar.

Namun sebelum membentuk konglomeratnya sendiri, Sigit dan Tutut bersama-sama sudah menguasai 32 % saham Bank Central Asia (BCI), bank kelompok Salim, sedangkan Sigit sendiri jadi partner Bob Hasan dalam Nusamba. Dalam kurun waktu itu, ibu mereka sendiri sudah menjadi pemegang saham dan direksi berbagai perusahaan yang berafiliasi ke Mangadeg, Kartika Jaya, Kartika Chandra, dan Hanurata.

Setelah anak-anak Suharto ingin muncul sendiri sebagai "usahawan" (baca: "kapitalis rente"), mulailah mereka dilibatkan dalam kepengurusan yayasan-yayasan yang diketuai orangtua mereka, di mana mereka dengan mudah -- tanpa sorotan pers -- berinteraksi dengan para pembantu Suharto di pemerintahan. Itulah "kitchen cabinet " di mana berbagai keputusan digodog sampai matang, sebelum disajikan ke ruang depan di mana kabinet yang resmi bersidang (untuk konsumsi wartawan).

Sesudah konglomerat-konglomerat anak-anak Suharto semakin besar, mulailah Tutut dan Bambang mendirikan yayasan-yayasan mereka sendiri, sambil juga mendirikan perusahaan media massa elektronik dan cetak untuk mempengaruhi opini massa. Dengan dipelopori si anak sulung, Tutut, para P-3 (putra-putri presiden) juga mulai tampil menguasai kepengurusan Golkar, bersama para partner bisnis mereka, seperti Anthony Salim. Sementara itu, ekspansi bisnis mereka semakin menjadi-jadi, yang ikut "menyumbang" pembengkakan hutang swasta Indonesia ke bank-bank asing sebesar 80 milyar dollar AS.

Politik pemerintahan yang begitu personalized inilah yang selama tiga dasawarsa dipupuk lewat yayasan-yayasan Suharto ini. Celakanya, pada saat pembenahan administrasi pemerintahan dan politik negara diperlukan, Suharto bukannya lebih dahulu meminta persetujuan DPR-RI bagi komitmen-komitmennya ke IMF, sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945, di mana pembicaraan tentang syarat-syarat IMF terbuka untuk umum.

Sebaliknya, ia kembali ke "kabinet dapur"nya, dengan mengajak Anthony Salim (putera mahkota kelompok Salim), The Nin King, juragan tekstil dari Pintu Kecil yang dulu ikut membiayai Operasi Khusus Ali Murtopo. Para putra-putri Presiden (PPP) pun diikutsertakan dalam pembicaraan luarbiasa penting yang dapat menentukan nasib bangsa dan Negara. Sedangkan kehadiran Widjojo Nitisastro dan Radius Prawiro (saudara sepupu Nyonya Tien Suharto) dalam tim inti itu, hanyalah sebagai alat pemikat negara-negara dan bank-bank Barat.

* Kedua, yayasan-yayasan yang telah mewabah ke berbagai bidang usaha dan bergerak hampir di seantero tanah air telah menimbulkan dualisme antara aparatur pemerintah yang resmi versus konglomerat-konglomerat yang secara de facto jauh lebih berkuasa ketimbang aparatur resmi.

* Ketiga, yayasan-yayasan yang sangat besar kekuasaannya ini membaurkan batas-batas antara urusan pribadi dan urusan dinas. Inilah korupsi pada tingkat tertinggi di negara kita, yang jauh lebih besar dari pada skandal Pertamina di pertengahan 1970-an.

* Keempat, proyek-proyek "Bantuan" Presiden (Banpres) dan "Instruksi" Presiden (Inpres) yang dikelola Sekretariat Negara dan Sekdalopbang, yang dananya berasal dari beberapa yayasan yang diketuai Suharto, selain merusak displin anggaran (karena berada di luar APBN) dan melanggar Pasal 23 UUD 1945 (karena tidak dipertanggungjawabkan kepada DPR), juga memupuk kultus individu (karena dana Banpres/Inpres itu seolah-olah berasal dari kantong pribadi Presiden yang begitu dermawan). Berarti, bertolak-belakang dengan komitmen Orde Baru sendiri yang menolak kultus pada presiden terdahulu.

* Kelima, yayasan-yayasan ini menciptakan ekonomi biaya tinggi, yang tidak saja mengurangi daya saing produk-produk Indonesia di gelanggang internasional, tapi juga menambah beban rakyat Indonesia dan Timor Leste sebagai pembayar pajak dan cicilan dan bunga hutang luar negeri pemerintah Suharto.

* Keenam, karena yayasan-yayasan ini telah memanfaatkan jasa sejumlah pegawai serta fasilitas pemerintah, mulai dari gedung, personil dan sarana komunikasi Sekretariat Negara oleh YAMP, terminal bandara Sukarno-Hatta oleh Sempati Airlines (milik trio Dakab, Dharmais, Super-semar), pesawat terbang TNI/AU dan kapal TNI/AL untuk modal dan pengembangan usaha peternakan Tapos (sumber dana Yayasan Mangadeg), serta fasilitas KBRI di Moskow oleh Yayasan Balai Indah, fasilitas KBRI di London oleh Yayasan Tiara dan Yayasan Pengembangan dan Kebudayaan Asmat, fasilitas KBRI di Washington oleh Yayasan Asmat juga, dan fasilitas KBRI di Paramaribo oleh Yayasan Kemusuk Somenggalan, maka "subsidi terselubung" rakyat Indonesia bagi akumulasi kekayaan keluarga besar Suharto dan antek-anteknya sudah mencapai milyardan rupiah, apabila seluruh jam kerja pegawai negeri dan ongkos sewa fasilitas pemerintah dinilai berdasarkan pasaran tenaga kerja, ruang kantor, serta sarana komunikasi dan transportasi setempat.

* Ketujuh, pada saat yang bersamaan, yayasan-yayasan Suharto telah mengfasilitasi capital outflow dari sebagian besar sarana usaha Negara dan simpanan pegawai negeri dan karyawan perusahaan-perusahaan negara ke rekening-rekening bank keluarga besar Suharto. Keterangannya adalah sebagai berikut:

Dalam fase ekspansi konglomerat-konglomerat yang berafiliasi ke keluarga besar Suharto, dana yayasan-yayasan yang langsung dipimpin keluarga Suharto dianggap kurang memadai, sehingga dana-dana pensiun, dana-dana asuransi tenaga kerja, serta fasilitas Yayasan TVRI dan YDBKS (Depsos) dilibatkan secara habis-habisan sebagai pemegang saham atau sebagai penyedia prasarana dan personalia. Di atas kertas, para pegawai negeri dan perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat ikut "kecipratan" keuntungan konglomerat-konglomerat keluarga Suharto.

Tapi kenyataannya, berbagai instansi negara, seperti TVRI, Pertamina, dan Garuda, telah melaporkan tunggakan rekening perusahaan anak-anak Suharto, sementara Jasa Marga mengeluh tentang pembagian keuntungan tidak adil dari PT CMNP.

Kerugian peralatan serta personalia pemerintah itu saat ini sangat diperparah oleh krisis moneter yang sedang kita hadapi. Buat keluarga besar Suharto, krisis ini tidak begitu besar dampaknya, sebab dengan mudah mereka dapat membubarkan semua yayasan itu atau menyatakannya bankrut, karena badan hukum semacam ini memang hanya bertanggungjawab kepada pendirinya. Sementara itu, kekayaan pribadi para anggota keluarga besar Suharto, tinggal dialihkan ke luar negeri lewat transaksi perbankan biasa.

* Kedelapan, penggunaan bentuk badan hukum yayasan demi akumulasi kekayaan pribadi, merupakah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia tentang yayasan sebagai organisasi nirlaba. Pemilihan bentuk badan hukum yang hanya bertanggungjawab kepada pendirinya ini, barangkali bukan suatu kebetulan. Apalagi selalu tidak jelas apakah yayasan yang bersangkutan, atau ketuanya yang menjadi pemegang saham. Juga tidak ada mekanisme yang secara yuridis memungkinkan para jatim-piatu Trikora atau Operasi Seroja, misalnya, untuk meminta pertanggungjawaban pengurus yayasan yang mengatasnamakan mereka.

* Kesembilan, dengan mengambil-alih Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin), mengubahnya menjadi PT yang menjadi salah satu sumber rezeki trio Dakab, Dharmais, dan Supersemar lewat kelompok Nusamba, yayasan-yayasan Suharto punya andil dalam melumpuhkan gerakan koperasi di Indonesia, khususnya koperasi di kalangan AD, AL, Polri, dan pengusaha batik, yang uangnya kini terbenam dalam PT Bank Bukopin, yang sebentar lagi akan dilebur dalam Bank Nusamba yang baru. Belajar dari "paman" Bob Hasan, hal yang sama dilakukan Tommy Suharto dengan melibatkan induk-induk koperasi itu bersama Yayasan Bulog dalam maskapai perkulakan PT Goronya.

* Kesepuluh, kembali ke soal "subsidi terselubung" rakyat Indonesia demi akumulasi kekayaan keluarga besar Suharto. Subsidi itu tidak terbatas pada penggunaan tenaga dan sarana pemerintah untuk yayasan-yayasan Suharto, melainkan ada yang lebih struktural dengan pengaruh ke kelas bawah di desa dan kota. Monopoli terigu impor yang memperkaya Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Dharma Putera Kostrad telah menggencet nilai tukar (terms of trade ) petani padi, di samping tekanan Bulog lewat operasi pasarnya. Dumping produk Bogasari dalam bentuk berbagai merek mi kemasan produksi Indofood, mengakibatkan rakyat miskin mengalami erosi gizi karena di-nina-bobo-kan oleh nikmatnya supermi dengan rasa ini dan itu. Soalnya, nilai gizi makanan kemasan ini jauh lebih rendah ketimbang berbagai jenis makanan murah buatan orang desa.

* Kesebelas, melalui konsesi-konsesi hutan, perkebunan, dan peternakan yang dikuasainya, yayasan-yayasan Suharto ini memberikan contoh buruk kepada rakyat dan aparat pemerintah lainnya, bahwa UUPA 1960, yang menolak pemilikan tanah berlebihan (excessive land-ownership ) maupun pemilikan tanah guntai (absentee landownership ), sebagaimana dituangkan dalam UU Land Reform 1960 serta UU Bagi Hasil 1960, secara de facto tidak berlaku di Indonesia.

* Keduabelas, dengan beroperasi dari gedung Sekretariat Negara, dipimpin oleh pengurus yang terdiri dari pejabat negara yang secara resmi tidak diangkat karena ke-Islam-annya, dan dengan mewajibkan setiap pegawai negeri menyumbang antara Rp 50 dan Rp 1000 sebulan, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila yang mencari dukungan umat Islam bagi sang presiden dengan "menyumbang" pembangunan mesjid di Indonesia dan Timor Leste, secara de facto telah memperlakukan Indonesia dan Timor Leste sebagai Negara Islam.


* Ketigabelas, dengan dalih kerjasama antar anggota ASEAN, antar anggota APEC, antar Negara Selatan, dan antara Negara Islam, dan dengan dalih menangkis serangan kelompok-kelompok "anti-Indonesia" di luar negeri, sebagian yayasan Suharto, khususnya Yayasan Pengembangan dan Kebudayaan Asmat, Tiara, Balai Indah, dan Kemusuk Somenggalan telah mengambil-alih tugas Departemen Luar Negeri R.I., sambil memperkaya perusahaan yang berafiliasi ke yayasan-yayasan itu.

* Keempatbelas, keterlibatan sejumlah panti asuhan Seroja dalam penculikan anak-anak yatim piatu Timor Leste, di mana identitas mereka sebagai anak Timor Leste yang beragama Katolik Roma sengaja berusaha dihilangkan (Tomas Alfredo Gandara, komunikasi pribadi, Juli & November 1997; Timor Leste , 15 Okt. 1997), berarti bahwa Suharto, sebagai pembina Yayasan Seroja yang membawahi panti-panti asuhan itu (Sinar Harapan, 16 Juni 1985), terlibat dalam salah satu bentuk genosida menurut Pasal (e) Konvensi Genosida 1948 (Kuper, 1981: 19).

* Kelimabelas, ada indikasi bahwa Yayasan Harapan Kita lewat anak perusahaannya, PT Harapan Insani, telah terlibat dalam "pencucian uang" (money laundering ) lewat Vanuatu. Tindak kriminal semacam ini, berada dalam wilayah kekuasaan Interpol, yang berhak secara sefihak melakukan investigasi. Kalau terbukti benar, ini dapat menurunkan derajat Kepala Negara Republik Indonesia menjadi seorang tokoh kriminal tingkat internasional, seperti Manuel Noriega, "orang kuat" Panama yang kini mendekam dalam penjara di AS.

Pertanggungjawaban: ------------------------------ Ketimbang membiarkan antek Suharto, Habibie, meneruskan rencana Suharto lewat Tanri Abeng untuk membeli BUMN-BUMN yang telah menjadi sapi perahan mereka selama ini, lebih baik keuntungan 100-lebih yayasan di atas dikembalikan kepada rakyat, guna menanggulangi krisis moneter sekarang.

Maknya, marilah kita saat ini juga meminta pertanggungjawaban keuangan yayasan-yayasan itu. Tuntutan ini perlu diajukan secepat-cepatnya. Kalau tidak, sudah dapat dipastikan bahwa pembukuan hasil keuntungan berbagai yayasan akan lenyap bersama angin lalu. Misalnya, ada lantai tertentu dari Gedung Granadi yang "terbakar", seperti "kebakaran" Gedung BI yang lalu, tepat di lantai tempat menyimpan dokumen bank-bank yang sudah dan akan dibubarkan.

Gedung Granadi yang megah di Jalan Rasuna Said itu sendiri telah menjadi sumber pemasukan bagi kelima yayasan pemilik gedung itu, yakni Yayasan Darmais, Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, dengan mematok tarif sewa sebesar US$ 20 per meter persegi setiap bulan (Panji Masyarakat , 24 Maret 1997: 79). Menurut sumber saya di Jakarta, berbagai instansi Pertamina serta kontraktor bagi hasil Pertamina, telah digiring untuk mengontrak ruang kantor di gedung Granadi itu, sehingga Pertamina sendiri menderita kerugian karena ruangan perkantoran mereka kekurangan penyewa.

Pangab Jenderal Wiranto telah menghimbau, supaya rakyat jangan mengutik-utik kekayaan Suharto. Sementara bekas Menteri Lingkungan Sarwono Kusumaatmadja, yang sebelumnya belum pernah mengecam nepotisme Suharto secara terbuka, dan yang sebulan yang lalu di depan layar televisi Australia masih menertawakan potensi people's power yang dikemukakan Amien Rais, kini -- di layar televisi yang sama -- menyatakan setuju dengan tuntutan mahasiswa agar Suharto mempertanggungjawabkan pemupukan kekayaannya yang tidak halal kepada rakyat.

Kontroversi pro & kontra tuntutan agar Suharto mempertanggungjawabkan kekayaannya pada rakyat dan mengembalikan apa yang telah diperoleh secara ilegal dan imoral kepada rakyat, memang akan mengundang banyak pro- dan kontra- di kalangan mereka yang pernah dan masih memangku jabatan dalam rezim yang berkuasa.

Soalnya, bukan hanya kerakusan keluarga besar Suharto yang akan terungkap, melainkan juga antek-antek (cronies) mereka. Sebab dengan pembeberan keuntungan 100 lebih yayasan, belasan monopoli dan kartel, serta bentuk-bentuk pemerasan yang terselubung lainnya, seperti GN-OTA, kerakusan mereka yang sungguh nauzubillah akan terungkap.

BPPC, misalnya, telah menumpuk Rp 2,3 trilyun dana hak petani selama empat tahun. Jumlah kerugian petani itu berasal dari Dana Penyertaan petani di KUD sebesar Rp 2000 per kg, uang titipan petani di KUD sebesar Rp 1.900, serta penerimaan petani yang hilang akibat ketidak-efisienan tata niaga cengkeh selama masa kejayaan BPPC (1991-1996) sebesar Rp 541,6 milyar, lebih besar dari dana IDT setiap tahun (INDEF, 1997: ii).

Contoh lain adalah pertanggungjawaban kekayaan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA). Pengurus Pusatnya diketuai Nyonya Halimah Bambang Trihatmodjo, dengan wakilnya, Nyonya Uga Wiranto, isteri Menhankam dan Pangab yang baru. Gerakan yang dicetuskan bekas Presiden Suharto dua tahun lalu telah menerima "sumbangan" dari berbagai konglomerat berbentuk barang maupun uang. Raksasa tekstil PT Great River Indonesia (GRI) misalnya, bulan Maret tahun lalu menyumbangkan sejumlah seragam sekolah ke GN-OTA.

Raksasa jamu PT Sido Muncul sudah dua kali memberikan sumbangan uang kepada "gerakan" itu. Tahun 1996, perusahaan itu menyumbang dana sejumlah Rp 60 juta kepada GN-OTA. Sedangkan tahun lalu, pada waktu merayakan ulang tahun perusahaan ke-46, 11 November lalu, Irwan Hidayat, boss perusahaan itu menyumbang Rp 75 juta kepada GN-OTA, Rp 35,2 juta kepada Yayasan Humana, dan Rp 50 juta kepada korban bencana kelaparan di Papua Barat. Sejak menyumbang pada GN-OTA, kata boss perusahaan jamu itu, nilai penjualan perusahaannya naik dari 20% per tahun menjadi sekitar 30% per tahun. "Mungkin karena saya sudah bersalaman dengan Mbak Halimah, kami ikut kecipratan rejeki," begitu kata Irwan Hidayat (EBRI, 19 Maret 1997: 39; Eksekutif , Desember 1997: 8, 18).

Namun sudah berapa "rejeki" Halimah sendiri lewat "gerakan" ini, hanya orang dalam keluarga Suharto -- termasuk keluarga Wiranto -- yang tahu. Apalagi uang badan itu, tadinya sebagian disimpan di Bank Andromeda, yang resminya sudah gulung tikar walaupun prakteknya bersalin rupa menjadi Bank Alfa.

Selain disimpan di Bank Alfa bin Andromeda, sumbangan masyarakat ke GN-OTA juga disetorkan ke Rekening No. 31.51.17845 di Bank Rakyat Indonesia. Namun seperti yang kita ketahui, empat bank milik pemerintah -- termasuk BRI -- akan dilebur jadi satu, sehingga akan lebih mudah dikuasai Menteri Keuangan dalam kabinet Suharto yang terakhir, Fuad Bawazier, preskom perusahaan satelit Bambang Trihatmodjo, PT Satelindo.

Selain itu, GN-OTA bermarkas di Direktorat Bantuan Kesejahteraan Sosial, Ditjen Binbansos, Departemen Sosial RI, Jalan Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat. Nomor telepon dan faxnya adalah (62) (21) 314 4332 (Bali Post , 22 & 29 Sept. 1996; Forum Keadilan , 15 Des. 1997: 96).

Setelah Departemen Sosial sempat dipegang oleh Tutut, kakak ipar Halimah, selama 2 1/2 bulan, dapatkah laporan keuangan GN-OTA dipercayai pertanggungjawabannya?

Kalaupun laporan serah terima kekayaan GN-OTA dari Tutut betul-betul apa adanya, beranikah Menteri Sosialnya Habibie, Nyonya Yustika Baharsyah, mengungkapkan kekayaan GN-OTA kepada rakyat secara terbuka, mengingat bahwa keluarganya pun ikut kecipratan fasilitas Haji Abidin (Atas Biaya Dinas) dari Kabinet Suharto ke-VI, yang pada dasarnya ikut menguntungkan para pemegang monopoli penyewaan pesawat haji, Tommy Suharto dan Bambang Trihatmodjo?

Dari sudut yang lebih struktural, apakah "setoran" para konglomerat dan pejabat tinggi ke GN-OTA bukan sekedar alat pemutihan modal alias money laundering , mengingat sumbangan para wajib pajak pada lembaga yang diketuai menantu Suharto ini dibebaskan dari pajak penghasilan? Mendahului keputusan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, pembebasan PPH bagi sumbangan ke GN-OTA itu sudah diumumkan oleh Suharto sendiri, dua tahun lalu (Bali Post , 31 Agustus 1996).

Dari sumber saya di Jakarta, saya juga mendengar bahwa untuk pembangunan mesjid-mesjid yang disumbang oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila terjadi penyunatan uang yang sesungguhnya diterima oleh para pengelola mesjid, kurang dari apa yang tercantum di tanda terima. Berarti, selain terjadi manipulasi yang lebih struktural, yang sudah saya ulas di depan, terjadi pula manipulasi taktis di lapis terbawah birokrasi yayasan itu. Satu hal, yang perlu juga dicek langsung ke para pengelola yayasan yang bermarkas di Gedung Granadi, Kuningan, itu.

Selain mengembalikan kekayaan Rakyat Indonesia dan Timor Leste yang telah dirampas oleh keluarga besar dan antek-anteknya, Suharto juga perlu diminta mempertanggungjawabkan berbagai dampak sosial dan politis yang merugikan rakyat dan mencemarkan nama bangsa kita di dunia internasional, sebagaimana diutarakan dalam bagian terdahulu.

Makanya, setelah Suharto digulingkan, dia harus diajukan ke pengadilan, dan dituntut mempertanggungjawabkan pemumpukan kekayaan keluarga besar dan antek-anteknya di balik kedok kedermawanan, melalui lebih dari 100 yayasan di atas!

Kekayaan mereka yang diatasnamakan oleh yayasan-yayasan itu, para prajurit ketiga angkatan dan Polri, pegawai negeri rendahan, para yatim piatu Operasi Mandala dan Seroja, daan rakyat miskin lainnya, harus dikembalikan kepada yang berhak, sebab itulah fungsi sebenarnya dari yayasan, bukan sebagai alat pemupuk kekayaan mereka yang sudah kaya raya.

Masih ditulis di pengasingan, Senin, 25 Mei 1998.

Kepustakaan: ------------------ Aditjondro, G.J. (1983). "Pecat dan peras di belantara Jayapura," Berita Oikoumene , 19 Februari, hal. 25-28. ---------------- (1994). In the shadow of Mount Ramelau: the impact of the occupation of East Timor. Leiden: INDOC. ---------------- (1995). Bali, Jakarta's colony: social and ecological impacts of Jakarta-based conglomerates in Bali's tourism industry. Working Paper No. 58. Perth: Asia Research Centre, Murdoch University. --------------- (1996a). "Man with the right mates," The West Australian, 3 Jan. ----------------(1996b). On the brink of a major constitutional, economic and ecological disaster: the major implications of Indonesia's nuclear ambitions. Makalah untuk konferensi International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Greenpeace International. Sydney, 24 April. ---------------- (1996c). "Big carrots used in Indonesia's diplomatic policy on East Timor," The Nation, Bangkok, Monday, 14 Okt. ---------------- (1997). "Suharto and his family: the looting of East Timor," Green Left Weekly, 3 Sept. ----------------- (1998a). "Suharto & sons: crony capitalism, Suharto style," Washington Post, 25 Jan. -----------------(1998b). "Autumn of the patriarch: the Suharto grip on Indonesia's wealth," Multinational Monitor , Jan.-Febr., pp. 17-20, 34. Akhmadi, Heri (1981). Breaking the chains of oppression of the Indonesian people: defense statement at his trial on charges of insulting the head of state. Translation Series (Publication No. 59). Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University. Borsuk, Richard (1992). "Suharto-linked monopolies face criticism," Asian Wall Street Journal [AWSJ ] Hong Kong, 26 March. -------- (1993). "Businessmen bet on remota island casino," AWSJ, 2 Nov. ------- dan Jay Solomon (1997). "Bakrie to sell Freeport stake to Hasan's Nusamba Mineral," Wall Street Journal Interactive Edition - Asia, 31 Jan. Bourchier, David (1984). Dynamics of dissent in Indonesia: Sawito and the phantom coup. Interim Reports Series. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project. Chalmers, Ian M. (1988). Economic Nationalism and the Third World State: The Political Economy of the Indonesian Automotive Industry, 1950-1984. Thesis Ph.D. pada Australian National University (ANU), Canberra. CISI (1997). Profiles of 800 major non-financial companies in Indonesia, 1997/1998. Jakarta: PT CISI Raya Utama. Crouch, Harold (1988). The army and politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press. Dwiyatno, Puguh, Jahja Sumitro, Leo Rony A.G., Tenang Sitepu dan Marcos Setyantoro (1992/1993). "Birokrasi militer dalam kehidupan perekonomian dan demokrasi: studi bisnis di balik kelambu yayasan," Dian Ekonomi, No. 1, Salatiga: FE-UKSW, hal. 10-28. Earl, Greg (1998). "Soeharto: the end is near," Australian Financial Review , 20 Mei. Gitosardjono, Sukamdani (1974). Riwayat hidup (singkat). Jakarta, 28 Mei. Harsono, Andreas (1998). "Are Indonesia's state-owned companies for sale?" American Report on e-mail, 4 Mei. Hiscock, Geoff (1998). "All the way with B.J.," The Australian , 24 Maret. IEFR (1997). Indonesian Capital Market Directory 1997. Jakarta: Institute for Economic and Financial Research (IEFR). INDEF (1997). Tinjauan INDEF atas tata niaga cengkeh. Jakarta: INDEF. Jenkins, David (1987). Suharto and his generals: Indonesian military politics 1975-1983. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University. Lema, Y.G. (1997). "Sekilas ekonomi Timtim dewasa ini,"Suara Timor Timur , 25 Sept. Loveard, Keith (1996). "Suharto's son rises," Asiaweek, April 12, pp. 34-40. MacIntyre, Andrew (1991). Business and politics in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin. Makka, A. Makmur (1986). Setengah abad Prof. Dr.-Ing. B.J. Habibie. Jakarta: Biro Hukum dan Humas BPP Teknologi. Muis, A. (1994). "Islamic Centre dan wawasan kebangsaan," Panji Masyarakat , 1-10 September, hal. 75-75. Pangaribuan, Robinson (1995). The Indonesian State Secretariat, 1945-1993. Perth: Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change, Murdoch University. Pura, Raphael (1986). "Suharto family tied to Indonesian oil trade," AWSJ, 26 Nov. ------- dan S. Jones (1986a). "Suharto-linked monopolies hobble economy," AWSJ,, 24 Nov. ------------------------(1986b). "Suharto's kin linked with plastics monopoly," AWSJ, 25 Nov. Robison, Richard (1990). Indonesia: the rise of capital. Sydney: Allen & Unwin. Robinson, Paul, Sue Hewitt dan Ian Munro (1997). "Casino -- the biggest game in town," Sunday Age, Melbourne, 6 April. Rustam, Amin and Rudy Ardial (1996/1997). Indonesia financial directory 1996-1997. First Edition. Jakarta: PT Admindo Multijaya Promo. Salam, Solichin (1987). B.J. Habibie, mutiara dari Timur. Jakarta: PT Intermasa. --------- (1993). Soesilo Soedarman, prajurit, diplomat, nayaka. Jakarta: Gema Salam. Santos, Hernani dan Joao Naia (1997). "O homem de Jakarta em Portugal" (Orang Jakarta di Portugal), O Diabo, 18 Maret. Schwarz, Adam (1991). "A helping hand: Indonesian central bank in bail-out dilemma," Far Eastern Economic Review [FEER ], 16 Mei, hal. 72-73. ------------ & Jonathan Friedland (1991). "Indonesia: empire of the son," FEER, 14 Maret 1991, hal. 46-53. Shin, Yoon Hwan (1989). Demystifying the capitalist state: political patronage, bureaucratic interests, and capitalists-in-formation in Soeharto's Indonesia. Thesis Ph.D. di Universitas Yale, AS. Skephi and IFAW (1996). Asian Forestry Incursions -- Indonesian logging in Surinam: Report on N.V. MUSA Indo-Surinam. Jakarta, Amsterdam, Yarmouth Port: Skephi and IFAW. Smith, Shannon L.D. (1996). Developing Batam: Indonesian political economy under the New Order. Tesis Ph.D. pada ANU di Canberra. Tjahyono, S. Indro (1995). Workship kepemimpinan versi Bob Hasan di Ujungkulon: membawa masalah baru dan mengusik masalah lama. Press Release SKEPHI pada Apakabar , 22 Juli. Toohey, Brian (1990). "Warren's Indonesian mates," The Eye, Dec. Quarter, hal. 6-9. Vatikiotis, Michael (1990). "Charity begins at home: Indonesian social foundations play major economic role," FEER, 4 Okt. 1990, hal. 62-64. -------------- (1994). Indonesian politics under Suharto: order, development and pressure for change. London: Routledge. Vriens, Hans (1995). "The grandson also rises," Asia, Inc., Maret, hal. 46-51. Wibisono, Thomas (1994). "Kanindo Group, babak ketiga bisnis Robby Tjahjadi," Bisnis Indonesia , 10 Febr. -------------- (1995). "Timsco Group: bisnis Suyatim Abdulrachman Habibie," Informasi, Monthly Newsletter, No. 1, Januari. Jakarta: PDBI. Winters, Jeffrey (1998). Notes on Habibie. 1 Maret. Wisnu, Maharani (1998). "Probosoetedjo dan wedhus gembel," Siar, 20 Maret.