" Mereka dituduh Penjarah "

Beban penderitaan ganda harus ditanggung oleh keluarga korban tragedi kerusuhan pertengahan Mei lalu. Mereka tidak hanya kehilangan sanak saudara yang angus dibakar , tetapi juga mendapat vonis sosial dituduh sebagai penjarah. Penderitaan yang sama juga ditanggung oleh keluarga keturuna cina yang tidak hanya kehilangan materi, tetapi lebih berat mereka dirampas kehormatan dan masa depannya.

Gambaran getir itu muncul dengan jelas ketika para korban membentangkan lembar duka-citanya di depan wakil anggota Komisi Hak Asai Manusia (Komnas HAM), Senin (8/6). Di depan BN. Marbun dan Clementio Amaral beberapa keluarga korban sejenak sempat menundacerita kesaksian penderiatannya. Ada perasaan berat untuk mengungkap kembali pengalaman yang baru saja menjarah batin mereka. Sebagian nampak ragu kesediaan Komnas HAM untuk mendengarkan pengaduan. Suasana sejenak itu hampir sama dengan pengalaman pertama para korban bertemu dengan teman-teman dari tim relawan. Diakui awalnya sangat sulit bagi keluarga korban untuk untuk membuka cerita luka yang dialaminya kepada orang lain. Apalagi harus mengadu . "Kemana saya akan mengadu, Sedang pemerintah sendiri menuduh keluarga kami sebagai penjarah. Bisa-bisa kami malah ditahan," kata salah seorang ibu yang kehilangan anaknya.

Kekawatiran ibu tersebut tidak berlebihan. Keluarga korban sempat beberapa hari sesudah kejadian memilih untuk diam begitu mendengar tuduhan penjarah yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah melalui media masaa. Mereka malu dan takut dengan tuduhan pejabat yang kemudian diterima begitu saja oleh sebagian besar masyarakat. Sempat anggota tim relawan yang datang kerumah keluarga korban disangka aparat pemerintah yang datang untuk memeriksa rumah mereka. Beberapa posko relawan melaporkan warga dibeberapa pemukiman Jakarta Utara resah dan ketakuan setelah rumahnya didatangi aparat. Beberapa rumah sempat digeledah oleh aparat, diminta penjelasannya tentang barang-barang miliknya.

Sekalipun demikian masih ada keluarga korban yang mencoba untuk tertap percaya pada kesediaan aparat untuk membantu mengurangi penderitaanya. Tetapi aparat sendiri mematahkan kepercayaan warga. Dua hari sesudah kebakaran di Yogya Klender, Jakarta Timur, seorang ibu dengan penuh kepercayaan melapor ke Polsek setempat, anaknya telah hilang. Tetapi ibu yang mencoba percaya kepada pada polisi itu justru dicemooh oleh seorang perwira polisi. "Ibu saya sudah lapor ke Polsek , pak. Adik saya hilang. Tapi seorang polisi, saya tahu itu perwira, malah menghina ibu saya . Katanya mungkin adik saya sudah terpanggang bersam dengan penjarah lain di Yogya Klender. Cari saja disana," kata Bambang menuturkan pengalaman ibunya.

TRAGEDI MEMILUKAN

Terlau mudah kalau mereka yang meninggal itu di tuduh sebagai penjarah atau pelaku kerusuhan. Apalagi kalau tuduhan itu dilontarkan tanpa bukti, saksi dan penjelasan yang memadai. Karena mereka yang meninggal dipanggang api tidak semuanya adalah orang yang mengambil barang di toko atau super market. Paling tidak mereka bukan pelaku utama pengambilan barang. Tidak sedikit anak yang meninggal terbakar karena mereka sedang bermain-main. Bahkan cukup banyak yang meninggal di rumah atau di toko milik sendiri, salah satunya adalah keluarga Chairul di Kebon Jeruk.

Tanggal 14 Mei siang saat massa mulai membakar supermarket, nyonya Meri, istri Chairul, bersam kedua anaknya menutup Ruko Interkom miliknya. Mereka bertiga tak sempat keluar ketika tiba-tiba serombongan orang tak dikenal menyerbu Ruko. Massa yang beringas itu menyerbu ruko. Nyonya Meri masih sempat menelepon, Ibu Hani, teman dekatnya. Sambil menangis menceritakan ketakutannya melihat massa yang berteriak-teriak memaki-maki sambil terus merusak Ruko. Telepon tiba-tiba terputus. Tidak lama kemudian lidah api menjalar dari lantai bawah Ruko naik ke lantai atas tempat ibu dan kedua anaknya tinggal ketakutan. " Setelah itu telepon terputus . Mungkin setelah itu telepon terputus. Mungkin sekali saat itu sudah terjadi pembakaran, sehingga tidak bisa ada hubungan telepon. Keesokan harinya kami baru bisa mengunjungi tempat tersebut. Dan kami menemukan ketiga korban tersebut terbakar hangus," kenang ibu Kanni.

Saat nyonya Meri bersama kedua anaknya bergulat denga amukan massa dan ancaman maut, suaminya bersama aparat justru sedang melakukan pengamanan terhadap tindakan kerusuhan di tempat lain di sekitar rumahnya di sunter, Jakarta Utara. Sebagai seorang kepala RT Chairul mersa bertanggung jawab melindungi warganya. Karena itu setelah melihat gelagat sekelompok orang untuk membakar sebuah Super market di daerah Sunter, Chairul cepat-cepat melakukan koordinasi pengamanan. Bersama dengan warga dan sebagian aparat setempat Chairul berhasil mencegah usaha pembakaran . Sekalipun menurut Chairul jelas kiriman aparat dengan jumlah yang sangat sedikit tidak melakukan tindakan apapun terhadap massa, namun ia bersama dengan beberapa orang sempat mengamankan beberapa warganya.

"Syukur akhirnya tidak ada korban di warga saya. Tapi anak dan bini saya jadi korban. Semua. Habis semuanya, pak! Saya menyesal ikut kerjasama dengan Koramail dan Kodim selama ini. Saya mengamankan warga, tapi anak dan isteri saya mati tidak ada yang menolong. Harta masih bisa dicari. Tapi anak dan isteri saya, pak!!" Ledakan emosi dan kepedihan Chairul tidak bisa ditahan . Didepan sekitar 50 keluarga korban lain yang berkumpul di salah satu ruang Komnas HAM, Chairul yang berusia 45 tahun itu memuntahkan seluruh perasaanya dengan menangis histeris.

Apakah layak tuduhan penjarah itu juga berlaku bagi Sukidah, seorang ibu yang sedang hamil 8 bulan, yang ikut meninggal di Yogya Plaza, Klender. Menurut kesaksian temannya, Sukidah waktu itu hanya ikut menonton keributan di sekitar Yogya Plaza. Ketika api mulai membakar beberapa bagian Plaza, Sukidah dan temannya sudah berniat untuk pulang. Tapi tiba-tiba Sukidah berbalik ke arah Plaza. Temannya heran dan sempat menarik lengan Sukidah sambil mengajak pulang. "Sebentar ada anak kecil berteriak-teriak minta tolong. Sukidah masuk ke Plaza. Ditunggu tidak keluar-keluar. Keesokkannya ada jasad Sukidah ditemukan angus terbakar disampingnya, seorang anak kecil juga terbakar," kata saksi menjelaskan pengalamannya. Sukidah meninggalkan suaminya, Wardi, dengan seorang anaknya yang masih berumut 4 tahun.

KEJADIAN GANJIL

Hampir semua keluarga korban kepada Komnas HAM menjelaskan bahwa sanak-saudara mereka yang meninggal bukanlah pelaku utama pengrusakan. Menurut penuturan saksi, keluarga korban, beberapa jam sebelum terjadi kebakaran ada keributan di sekitar lokasi. Beberapa saksi dari beberapa lokasi memberiakan keterangan yang sama bahwa keributan itu terjadi antar anak sekolah menengah atau paling tidak orang yang memakai atribut sekolah menengah. Keributan itu menarik perhatian warga sekitar untuk keluar. Begitu warga sudah cukup banyak `anak-anak sekolah menengah` itu memindahkan keributan ke dekat Super Market atau komplok pertokoan.

"Melihat massa semakin banyak, malah aparat yang cuma sekitar 10 orang mundur. Nah, saat itu baru anak-anak yang memakai celana seragam sekolah berteriak, serbu!! Mereka masuk ke Yogya," jelas pak Benni. Disamping itu pak Benni juga menceritakan, pagi sebelum kejadian sebelum duduk-duduk bersama beberapa temannya sopir Metro Mini ia dikejutkan oleh seorang tak dikenal yang menyuruhnya ikut ambil barang ke Yogya Plaza, mumpung sedang terbakar. Karena penasran Pak Benny dan teman-temannya berangkat untuk menonton kebakaran. Tapi setelah di jalan ia hanya melihat anak-anak sekolah sedang ribut. Yogya Plaza masih utuh dalam keadaan tutup.

Kejadian ganjil Bamabng yang saat kebakaran berhasil menyelamatkan beberapa orang yang loncat dari lantai tiga. Meskipun ia sendiri gagal menyelamatkan adiknya yang baru kelas V SD. "Warga sempat menggagalkan beberapa orang yang berusaha membakar Yogya. Tetapi tak lama kemudian dibagian lain ada api. Saya melihat beberapa pemuda membawa jerigen. Mereka turun dari truk , kemudian lari-lari didalam plaza. Mereka tidak mengambil barang terapi membawa jerigen," kata Bambang.

Kejadian yang sama juga dialami Hendro, pejaga salah satu toko emas di Ciledug. Hendra yang saatn kejadian berusaha menyelamatkan toko tuannya sempat melihat seorang pemuda sengaja mengumpulkan potongan-potongan kain kemudian membakarnya. Melihat kejadian itu Hendro spontan memadamkan api yang mulai menjalar. Dari belakang pemuda yang membakar kain itu memukul Hendro.

Kejadian ganjil lagi yang sempat diceritakan oleh para saksidari beberapa lokasi adalah tindakan aparat keamanan. Menurut saksi baru kali ini aparat terkesan tidak sungguh-sungguh dalam menangani suatu kejadian. "Biasanya kalau ada aksi atau saat Pemilu kemarin sparat jumlahnya banyak sekali. Dimana-mana terlihat ada aparat. Mereka tidak segan segan mengusir massa dengan cara apapun. Bahkan menembak, seperti kejadian aksi di Trsisakti. Tapi mengapa sebelum kejadian itu, hanya kelihatan segelintir aparat. Mereka malah sempat menyuruh massa masuk ke toko mengambil barang. Tapi saat kebkaran aparat keamanan tidak ada sama sekali." Tuturan dari saksi di Jakarta itu senada dengan cerita warga dari Klender. Mereka sempat menelepon petugas pemadam kebakaran. "Tetapi apa jawabannya. Kami tidak ada perintah dari atasan," kata saksi menirukan jawaban petugas.

Melihat penuturan kisah dan kesaksian dari keluarga korban seperti itu sama sekali tidak berlebihan kalau pak Benny, warga Klender, kepada Komnas HAM mengatakan bahwa; "Saya perhatikan, kami rakyat-rakyat kecil ini yang tidak tahu persoalan apapun malah menjadi korban politik. Karena itu sebagai korban politik tidak berlebihan pula kalau Bambang, keluarga korban, melalui Komnas HAM menuntut pada pemerintah supaya bertanggung jawab, mencabut tuduhan penjarah dan mengembalikan nama baik keluarga yang ditinggalkan.


Menghitung Jumlah Korban

Sampai saat ini masyarakat masih menyimpan rasa penasaran untuk tahu berapa jumlah korban akibat kerusuhan Jakarta dan sekitarnya pertengahan Mei lalu, sekalipun sudah ada pernyataan dari beberapa pihak.

Tiga hari sesudah tragedi (18/5), sejumlah pejabat tinggi negara, salah satunya Gubernur DKI Jaya, menghadap Soeharto (waktu itu masih presiden) melaporkan akibat kerusuhan. Menurut laporan versi Pemda DKI Jaya ada 288 meninggal dan 101 luka-luka akibat kerusuhan diberbagai wilayah di Jakarta. Beberapa hari kemudian menyusul laporan Kepala Penerangan Kepolisian RI, Brigjen Da`i Bachtiar menyebutkan angka 293 jiwa meninggal akibat kerusuhan untuk wilayah Jakarta. Sementara Kapolres Tangerang, Letkol Aryanto Budiharjo, melaporkan 198 jiwa meninggal akibat kerusuhan yang terjadi di Tangerang. Menyusul berikutnya laporan versi berbagai pejabat yang menyebutkan jumlah angka yang berbeda-beda. "Bagaimana mungkin jumlahnya sekecil itu. Dari Yogya Plaza saja ada ratusan mayat yang dikirim ke RSCM. Belum terhitung ratusan jumlah korban lain dari Slipi Jaya, Ciledug, Lippo Karawaci. Bagaimana cara mereka mendapatkan data itu ," kata Voni anggota tim relawan yang bertugas di RSCM. Keraguan senada juga muncul dari seorang saksi yang datang mengadu ke posko tim relawan. Menurut saksi tersebut , penjelasan para pejabat yang disebarkan media massa itu sama sekali tidak akurat. Karena awal Juni, Kepolisian Resort Tangerang masih mengevakuasi, mengambil 67 mayat korban, dari lokasi kejadian di Lippo Tangerang.

Untuk menjawab keingintahuan yang muncul dari masyarakat, tim relawan melakukan investigasi ke lokasi-lokasi kejadian. Hari perhari tim relawan mencatat hasil investigasi para relawan dan kesaksian dari keluarga korban atau dari masyarakat sekitar kejadian. Sampai 7 Juni tim relawan mencatat ada 1.190 korban meninggal bakar 27 meninggal akibat senjata atau lainnya, dan 91 luka-luka. Jumlah itu tentu belum obyektif dan masih banyak kekurangan. Satu minggu lebih sesudah data itu dipublikasi, paling tidak dua datang dan seorang menelepon ke posko relawan komplin data yang dikeluarkan tim relawan. "Saya sudah baca dokumen tim relawan tapi dokumen itu belum memasukan data korban dan kerugian akibat kerusuhan yang terjadi di Jakarta Utara. Di daerah kami saja ada beberapa warga yang meninggal, tapi beluim masuk di data tim relawan," kata pak Ridwan yang menelepon dari daerah Warakas, Jakarta Utara.

Sulit untuk mengetahui persis jumlah korban dan kerugian akibat kerusuhan serentak di berbagai wilayah. Tapi data mendekati jumlah obyektif tentu bisa diupayakan. Karena itu tim relawan sangat mengharapkan bantuan masyarakat untuk melakukan investigasi dan mengharapkan pula kesediaannya memberikan laporan dan kesaksian hasil investigasi. Sampai pada saatnya akan menyingkap seberapa besar jumlah jiwa dan kerugian lain yang harus ditanggung masyarakat akibat dari pertikaian kelompok orang yang mencoba memperthankan kepentingan sendiri-sendiri.


halaman sebelumnya:
halaman berikutnya: