Indonesian Journal of Pharmacy

Majalah Farmasi Indonesia (MFI) Volume 9(1998), Number: 1

Article 1. (number of pages: 15; original language: indonesian)

PERAN BIOLOGI MOLEKULAR DALAM PENGEMBANGAN DAN PENEMUAN OBAT

THE ROLE OF MOLECULAR BIOLOGY IN THE DRUG DISCOVERY AND DRUG DEVELOPMENT

Sardjoko (Fakultas Farmasi UGM)

ABSTRAK

Penemuan obat dan pengembangan obat semula dilakukan secara empiris, tetapi dalam tiga dasawarsa terakir dapat memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan obat yang rasional misalnya dituntut cara penggunaan yang tepat guna, aman, efisien serta efektif baik dalam penggunaan maupun produksinya. Ditemukannya teori reseptor yang berupa biomakromolekul, menjadi acuan untuk membuat dan menemukan obat baru yang lebih terarah dalam struktur, dan mekanisme aktivitas hayatinya. Pelaksanaan tersebut tidak terlepas dari kemajuan kimia organik, yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk membuat obat baru dengan cara sintesis murni,sintesis parsial maupun biosintesis. Peranan biologi molekuler yang mempelajari fisiologis dan fungsi biokimiawi senyawa biomakromolekuler seperti DNA, RNA yang dapat menjadi target suatu obat sangat penting. Senyawa makromolekuler baik yang ditemukan dalam virus, mikroba, tumbuhan hewan, maupun dalam organ manusia sangat terkait dengan jenis obat yang ditemukan, disintesis, maupun dikembangkan. Dengan mempelajari beberapa jenis senyawa biomakromolekul dari berbagai makluk hidup, ternyata dapat ditemukan obat anti virus, atau cara menghambat kehidupan mikroba maupun virus. Ribosom inactivating protein atau RIPs, yang berupa toksin kuat, dengan sistem kloning dapat digunakan untuk anti virus, maupun sebagai abortifasien. Demikian pula interferon, aktif sebagai anti kanker dan anti virus. Ditemukan senyawa baru yang dapat menghambat sintesis DNA ataupun RNA, suatu senyawa makromolekul telah dapat dirancang untuk menghambat pembentukan oligonukleotida, atau dinamakan oligonucleotide intens. Senyawa ini ternyata dapat menghambat pembusukan buah matang, maupun untuk obat radang (imflamatory). Disimpulkan biologi molekuler dapat berperan, untuk menciptakan, mengembangkan, menemukan obat baru baik secara sintesis murni, sintesis parsial, maupun biosintesis.

Kata kunci: Biologi molekuler, penemuan dan pengembangan obat baru

ABSTRACT

Drug discovery and drug development were previously done empirically. However, in the last three decades the development of science and technology can be used beneficially for promoting this activity. The rational of drugs usage should be acceptable for usefulness, safety, and efficient in production and application. The discovery of drug receptors, known as biomacromolecular, could be used as guidance for drug discovery and drug development in designing the structure of compounds, and the mechanism of biological activity of drug. This implementation has also been promoted by the modern development of organic chemistry, which may be very usefull for total synthesis, semi synthesis and biosynthesis in generating new drugs. Molecular biology that partly studies on the physiology and the function of DNA and RNA found in living organism cell, which is possible as drug target, is very important field. The biomacromolecular compounds found in viruses, bacteria, plants, animals and humans, that might function as a drugs receptor, are very closely related to drugs under development. Studies on some macromolecule compounds found in some organisms, have generated a suggestion that life cycles of virus or other microorganisms could be inhibited. Ribosom inactivating proteins (RIPs), that are active as strong toxins, could be potential for antivirus and anticancer, when modern technics of cloning is applied. A new compound that inhibit DNA and RNA synthesis has been discovered. It is a macromolecule that has been designed for inhibiting biosynthesis of oligonucleotide, called oligonucleotide intens.This compound inhibited the putrefaction of ripe fruits, and is also active against inflammation. It is concluded that molecular biology may have an important role in drug design, drug discovery and development, and in pure synthesis as well as in partial synthesis compounds or biosynthesis.

Key word: Molecular biology, drug discovery and drug development,

-----------------------------------------------------

Article 2. (number of pages: 9; original language: indonesian)

GETAH TANAMAN SALAH PONDOH ( Salaca edulis Reinw L) SEBAGAI PENGIKAT TABLET KEMPA LANGSUNG CAMPURAN INTERAKTIF DEKSAMETASON-GRANUL

THE GUM OF SALAK PONDOH PLANT (Salaca edulis Reinw L) AS BINDER OF DIRECT COMPRESSION TABLET FROM DEXAMETHASON-GRANULE INTERACTIVE MIXING

Sumanto, H. dan Soebagyo, S.S. (Bag. Farmasetika, Fak. Farmasi UGM)

ABSTRAK

Getah tanaman salak pondoh (Salaca edulis Reinw L), merupakan polimer karbohidrat yang yang bersifat perekat, mungkin dapat digunakan sebagai bahan pengikat granul interaktif pembuatan tablet kempa langsung. Penelitian ini untuk mengetahui kemampuan getah tanaman salak pondoh sebagai pengikat dalam tablet yang dibandingkan dengan amilum manihot. Penelitian getah sebagai bahan perekat tablet dilakukan dengan beberapa cara, pertama getah diputihkan dengan NaOCl, dikeringkan dan dibuat musilago dengan kadar 9,2% . .Ke dua getah tanpa pemutihan langsung dikeringkan dan dibuat serbuk, kemudian dibuat milago. Ke tiga, getah tanpa perlakuan langsung dibuat mucilago. Sebagai pembanding digunakan musilago amili 10%. Semua musilago tersebut digunakan sebagai bahan perekat pembuatan granul, granul dikeringkan, diuji sifat fisisnya, diayak dengan ukuran 16/25 mesh, yang kemudian digunakan sebagai granul pembawa campuran intereaktif deksametason-granul. Campuran interaktif deksametason-granul ditambah bahan pelicin, dibuat tablet deksametason 0,5 mg, dengan tekanan kompresi yang sama, kemudian tablet diuji sifat fisika dan keseragaman kadarnya. Hasilnya menunjukkan bahwa, granul, dan tablet dengan getah yang mengalami pemutihan mempunyai kerapuhan lebih besar secara bermakna dari granul dan tablet yang menggunakan perekat getah tanpa pemutihan maupun dari tablet yang menggunakan musilago amili. Tablet dengan getah yang mengalami pemutihan mempunyai sifat kurang keras, waktu hancur lebih cepat, dan kadar obat kurang homogen dibanding tablet yang menggunakan getah tanpa mengalami pemutihan maupun dengan tablet yang menggunakan musilago amili setelah diuji dengan ANOVA dan uji Scheffe (p < 0,05). Disimpulkan bahwa getah pohon salak yang mengalami pemutihan mempunyai daya ikat lebih rendah dibandingkan dengan getah yang tanpa pemutihan maupun amilum manihot. Sedangkan tablet yang diperoleh dengan empat jenis perekat tersebut mempunyai sifat fisis yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III.

Kata kunci: Getah tanaman salah pondoh, tablet kempa langsung, campuran interaktif’ deksametason - granul

ABSTRACT

The salak pondoh plant (Salaca edulis Reinw L) gum. contain a sticky carbohydrate polymer, and it might be used as a granule binder for direct compression tablet of interactive dexamethason - granule mixture. This study aimed to investigate the binding potency of salak pondoh gum and compare its potency with starch mucilago in direct compression tablet of interactive dexamaethason-granule. The experimernts of using salak pondoh gum, were performance by, firstly using salak pondoh’s gum that had been treated by NaOCl as a bleaching compound. then was dried and processed to be a 9,2 % mucillago. Secondly, the gum was directly dried, and the powder was made as mucilago. Thirdly, the gum was directly made mucilago without any treatment. Ten persen (10,0 %) of mucilago amyli as binding agent was used as a reference. The four types of mucilago made from gum as well as from starch, were used as binder of granule. The granules were dried and the physical properties of granule were tested, and the granule was sieved on 16/25 mesh. These granules were used as carrier of interactive dexamethason-granule mixture. The lubricant was added to each of interactive dexame- thason-granule mixtures, and direct compression tablets of 0,5 mg dexamethason, on same force of compression were made. The physical properties and the uniformity of dexametahson contain in each tablets were evaluated. The result shown that granule and tablet made with the bleached gum has significantly lower friability, than those of granule and tablets made with gum without any treatments as well than with tablet made with starch mucilago. The hardness, the disintregration rate, the fragility and the uniformity of dexamethason contain of tablet made with gum that had been treated with bleaching powder of NaOCl, were significantly different with the tablets made with gum without any treatment as well as with tablets made with starch mucilago that had been statistically computed using ANOVA and Scheffe test methode (p< 0,05) Therefore it was concluded that the bleached gum of salak pondoh plant had lower binding potency than gum of salak pondoh without any treatment as well as with starch mucilogo

Key words: Gum of salak pondoh, direct compression tablet ,interactive dexamethason- granule mixture ----------------------------------------------------

Article 3. (number of pages: 11; original language: indonesian)

STEROIDA DARI KULIT BATANG Anthocepalus cadamba (RUBIACEAE)

STEROIDS FROM STEM BARK OF Anthocepalus cadamba (Rubiaceae)

Andria Agusta, Yuliasri Jamal dan Chairul (Laboratorium Treub, Puslitbang Biologi-LIPI, Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor-16122)

ABSTRAK

Anthocepalus cadamba secara empirik telah digunakan sejak lama sebagai bahan obat tradisional. Sejauh ini tumbuhan dari famili Rubiaceae ini hanya dilaporkan mengandung alkaloida antosepalus base. Untuk itu sangat perlu dilakukan identifikasi komponen kimia lainnya yang terkandung pada tumbuhan ini karena populasinya di Indonesia terus menurun. Komponen kimia yang terkandung pada kulit batang A. cadamba ini diekstraksi secara maserasi dengan metanol kloroform (1:1) dan kemudian dipekatkan. Ekstrak kasar ini selanjutnya dipartisi secara ekstraksi cair-cair dengan heksana, kloroform, etil asetat dan metanol. Pemisahan ekstrak kloroform secara kromatografi kolom memberikan 7 fraksi sederhana (F1 - F7). Hasil uji reaksi warna spesifik memperlihatkan hanya F1 - F3 yang mengandung senyawa steroida. Analisis GCMS F1 dan F2 menunjukkan bahwa F1 hanya mengandung satu senyawa steroida yaitu sitostenon. Sedangkan pada F2 terdapat senyawa 3b-ergost-5-en-3-ol; g-sitosterol; stigmasterol dan 4,22-kolestadien-3-on. Dari pemurnian F3 diperoleh suatu kristal jarum tak bewarna. Elusidasi struktur berdasarkan data spektroskopi massa, 1H dan 13C resonansi magnetik inti (RMI) menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah b-sitosterol.

Kata kunci : Rubiaceae; A. cadamba; steroida

ABSTRACT

Traditionally, Anthocepalus cadamba has been used since a long time ago as a medicinal plant. So far, this plant species has been reported to contain alkaloid anthocepalus base. Therefore, it is considered important to identify the other components in it since the plant population in Indonesia is getting scarce. Chemical components in stem bark of A. cadamba was extracted by maceration in methanol-chloroform mixture (1:1) and followed by evaporation. The crude extract was partitioned by liquid-liquid extraction with hexane, chloroform, ethyl acetate and methanol. Separation of chloroform extract by column chromatography yielded seven simple fractions (F1 - F7). Specific color reaction test showed that only F1 - F3 contained steroid compounds. GCMS analyzes showed that F1 contained one steroid compound, sitostenone whereas F2 contained 3b-ergost-5-en-3-ol; g-sitosterol; stigmasterol and 4,22-cholestadien-3-one. Purification of F3 yielded colorless needle crystals. Structure elucidation based on mass spectroscopy, 1H and 13 C-NMR data indicated that the compound is b-sitosterol.

Key words : Rubiaceae; A.cadamba; steroids

------------------------------------------------------

Article 4. (number of pages: 8; original language: indonesian)

SUBTIPE ADRENORESEPTORS BETA PADA FUNDUS TIKUS BETA ADRENORECEPTORS

SUBTYPE GASTRIC FUNDUS OF THE RAT

* Suhartini, ** Mulyono, *** J. Velema (* Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman, Fakultas Kedokteran UGM ** Lab. Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM *** Keyklaan, 34, 2451 CG, Leimuden, the Netherlands)

ABSTRACT

To characterize the beta-adrenoreceptors in the isolated gastric fundus of the rat (strain Wistar), using the preferential blockade technique, ICI 89406 and ICI 118551 were used as a selective ß1 or ß2 antagonist, respectively to a serie of beta-agonists. Relaxation respons were measured in the absence or presence of prazosin. The significant differences (p < 0.05) between the pD2 values of noradrenaline or adrenaline in the absence and presence of prazosin indicate the involvement of alpha1 adrenoreceptors in the relaxation response. The low pA2 values found for ICI 89406 and ICI 118551 indicate an absolute lack of selectivity, while the Schild plots constructed show the absence of competitive antagonism to all agonists used. No preferential blockade by ICI 89406, ICI 118551 or propranolol was found, indicating a homogeneous beta-adrenoreceptor population. Together with the too low pA2 values, the beta-adrenoreceptor involved in this relaxation response is suggested to be of an atypical nature ( ß3 subtype).

Key words: beta adrenoreceptors, gastric fundus, homogeneous, beta adrenoreceptor, alpha1, adrenoreceptors ß3 subtype

ABSTRAK

Telah dilakukan karakterisasi adrenoreseptor beta pada fundus tikus (strain Wistar) menggunakan antagonis ICI 89406 dan ICI 118551 sebagai antagonis selektif ß1 dan ß2 terhadap serangkaian agonis beta. Respon relaksasi diukur tanpa dan dengan prazosin sebagai antagonis alfa-1. Nilai pD2 noradrenalin dan adrenalin dengan dan tanpa adanya prazosin berbeda bermakna (p < 0,05), menunjukkan keterlibatan adrenoreseptor alfa-1 pada respon relaksasi. Nilai pA2 dari ICI 89406 dan ICI 118551 ternyata rendah, data ini menunjukkan bahwa selektivitas antagonis ini mutlak kurang. Plot Schild tidak menunjukkan adanya antagonis kompetitif pada semua agonis. Penghambatan oleh ICI 89406, ICI 118551 atau propranolol menunjukkan bahwa pada populasi fundus didapatkan adrenoreseptor beta yang homogen. Karena nilai pA2 antagonis tersebut terlalu rendah, dapat diduga bahwa adrenoreseptor beta yang berperan pada respon relaksasi adalah adrenoreseptor beta tidak khas (subtipe ß3).

Kata kunci : Adrenoreseptor Beta, fundus, adrenoreseptor beta homogen, alfa1, adrenoreseptor beta tidak khas

------------------------------------------------------

Article 5. (number of pages: 7; original language: indonesian)

FARMAKOKINETIKA ASAM SALISILAT PADA KELINCI SETELAH PEMBERIAN INJEKSI INTRAVENA BOLUS DAN INFUS INTRAVENA SELAMA 20 DAN 30 MENIT

PHARMACOKINETICS OF SALICYLIC ACID IN RABBITS AFTER BOLUS INTRAVENOUS INJECTION AND INTRAVENOUS INFUSION FOR 20 AND 30 MINUTES

Arief Rahman Hakim dan Djoko Wahyono (Lab. Farmakologi-Toksikologi Fak. Farmasi UGM)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang farmakokinetika Asam Salisilat pada kelinci setelah pemberian injeksi intravena bolus dan infus intravena selama 20 dan 30 menit. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai parameter farmakokinetika salisilat setelah diberikan dengan kedua cara pemberian tersebut. Penelitian menggunakan hewan kelinci dengan 3 perlakuan. Perlakuan I kelinci diberikan Na Salisilat (50 mg/kg BB) secara injeksi intravena bolus melewati vena marginalis telinga kelinci, sedangkan perlakuan II dan III, dosis dan rute yang digunakan sama dengan perlakuan I tetapi diberikan secara infus iv selama 20 dan 30 menit. Pengambilan cuplikan darah dilakuan pada jadwal waktu tertentu dan penetapan kadar salisilat dalam darah secara spektrofluorometri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai farmakokinetika salisilat (a,b, K, Clt, AUC0-inf,, Vss) (P>0,05) setelah diberikan secara iv bolus dan infus iv selama 20 dan 30 menit. Kadar salisilat dalam darah setelah pemberian infus iv 30 menit lebih rendah (P<0,05) jika dibandingkan dengan iv bolus dan infus iv 20 menit.

Kata kunci : Salisilat, injeksi intravena, infus intravena, farmakokinetika

ABSTRACT

The pharmacokinetics of salicylic acid have been studied in rabbits after bolus intravenous injection and intravenous infusion for 20 and 30 minutes. The aim of this experiment was to compare the pharmacokinetic parameter values of salicylate after administration intravenous injection and intravenous infusion. In this study rabbits underwent three treatments. Firstly, the rabbits were given sodium salicylate (50 mg/kg BW) as a bolus intravenous injection, whereas secondly and thirdly as intravenous infusion for 20 and 30 minutes respectively. The blood samples were withdrawn at various sampling time intervals after the drug administration. Salicylic acid concentration in the blood was determined spectrofluorometrically. The results showed no significant difference in pharmacokinetic parameter values of salicylate (a, b, K, Cl, AUC0-inf ,Vss) after rapid intravenous injection and intravenous infusion for 20 and 30 minutes (P>0,05). Plasma concentrations of salicylate after intravenous infusion for 30 minutes were lower compared to those after bolus intravenous injection and intravenous infusion for 20 minutes.

Key words : Salicylic acid, bolus intravenous injection, intravenous infusion, pharmacokinetics