AGAMA DAN POLITIK MORAL

Oleh : Daniel Johan *)


Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.

Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.

Dalam konteks keterkaitan ilmiah, maka hubungan antara agama dan politik harus kita waspadai sehingga ia tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci yang paling mudah dikenali agar kita dapat menarik batas yang mana politik yang harus dihindari sehingga kita tidak terjebak ke dalam arus politik kotor, khususnya oleh kaum Buddhis adalah dengan menghindari penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi, apalagi bila sudah menggunakan simbol-simbol agama yang bisa sangat menyesatkan.

Jadi, agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar pada saat agama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, pada saat itulah agama dalam posisi yang salah dan berbahaya. Jadi ada 2 hal keterkaitan yang menjadi wacana diskusi kita, pertama bagaimana agama dapat membentengi diri mereka dari setiap kecenderungan/kekuatan politik yang berkembang di sekitar mereka, sehingga agama dapat tetap menjadi kekuatan pembebas dan bukan sebaliknya menjadi yang dibebaskan atau pencipta masalah karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut. Kedua bagaimana agama dapat memainkan peran moral mereka untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan.

Tetapi kedua hal di atas hanya dapat berjalan dengan baik bila kita memiliki pemahaman yang cukup mendalam atas setiap proses politik yang berjalan. Tanpa adanya pemahaman atas proses politik, sulit bagi kita untuk membentengi diri karena proses pemahaman tersebut akan menimbulkan kepekaan nurani pada saat politik berjalan pada arah yang salah, sekaligus menimbulkan suatu perencanaan bagaimana arah politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kita, baik menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.

Sebaliknya, kebutaan kita atas persoalan politik akan membuat kita begitu mudah dibodohi oleh kepentingan-kepentingan dan muatan-muatan politik yang tidak jelas arahnya. Jadi usaha agar agama tidak dikotori dan diberi muatan politik tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan fungsinya sebagai agen pembebas. Justru pemahaman atas proses politik diperlukan karena agama memiliki peranan yang penting agar nilai-nilai moral dan spiritual mampu memberikan muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Selain itu, saat ini pemahaman atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi maupun sosial menjadi semakin penting bagi seorang Buddhis karena bagaimanapun juga, berbicara mengenai Buddhisme adalah berbicara mengenai bagaimana kita memahami penderitaan, untuk kemudian memahami sebab dan jalan untuk mengatasinya. Buddhisme akan kehilangan akarnya bila tidak sanggup lagi berbicara dan peduli dengan penderitaan dunia saat ini yang sudah sedemikian kompleks.

Tetapi memahami penderitaan saat ini tidaklah semudah kita memahami penderitaan pada zaman Buddha. Masyarakat luas saat itu tidaklah seburuk sekarang dan sistem yang ada juga belum terlalu kejam. Dan perubahan seseorang masih dapat memberikan pengaruh yang besar. Contohnya adalah Supata yang dikenal sebagai Anathapindika. Ia adalah seorang yang kaya raya, seorang banker pada zaman Buddha, menjadi pendukung seluruh orang miskin di wilayahnya. Tapi pada zaman sekarang, kita mungkin dapat menemukan seorang banker atau raja yang baik, atau bahkan mungkin mengganti penguasa yang lalim, tapi hal ini tetap saja tidak membawa perubahan yang mendasar. Ini bukan semata-mata kesalahan si banker atau penguasa yang lalim.

Ini menyangkut seluruh bagian dari suatu sistem yang pincang dan tidak demokratis. Melalui sistem ini manusia saling membunuh dan menerkam. Karenanya kita perlu mempertanyakan setiap sistem yang berlangsung, tapi bukan membenci orang-orang yang terlibat dalam sistem tersebut. Oleh karena itu pemahaman atas sistem politik, ekonomi, maupun ideologi menjadi sangat penting. Usaha untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan, dan berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, misalnya, jelas menjadi tugas seorang Buddhis. Tapi kita juga tidak boleh lalai untuk menyadari bahwa setiap komitmen moral yang kita miliki terhadap usaha pembebasan penderitaan, sesungguhnya bersifat politis.

Mengatasi penderitaan memang merupakan komitmen moral, tapi melakukan perubahan struktural yang tidak demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang menindas dan banyak menimbulkan penderitaan, maupun yang melanggengkan ketergantungan dan ketidak berdayaan mereka, merupakan keputusan politik. Jadi jelas, pembebasan penderitaan saat ini tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, karena Buddhisme selain memberi sarana bagi pembebasan pribadi, ia juga harus dapat melapangkan jalan bagi pembebasan sosial dan lingkungan.

Kita teringat dengan perjuangan Ambedhar, seorang pemimpin besar dan bapak konstitusi India. Meskipun ia menjadi Buddhis pada saat-saat akhir masa hidupnya, akan tetapi kedalaman spiritual dan intelektualnya membuat ia mampu membawa ajaran Buddha dengan cara yang mengagumkan. Ia tidak hanya menjadikan Buddhisme sebagai sumber pencerahan pribadi, tapi juga bagaimana nilai Buddhisme mampu memberikan pengharapan dan pencerahan bagi jutaan rakyat India, yang mengalami banyak ketidakadilan dan pendiskriminan saat itu. Buddhisme saat itu telah menjadi kekuatan pembebas yang begitu hebat, bukan hanya sebagai pembebasan pribadi, tapi juga pembebasan sosial dan politik.

Ambedhar senantiasa mengingatkan bahwa tidaklah cukup bagi seorang Buddhis berbicara mengenai sebab penderitaan hanya dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan individual. Itu hanya satu sisi dari sebab "internal" karena di samping itu, struktur sosial dan politik yang pincang adalah juga sebab penderitaan sebagai sebab-sebab yang tidak tersentuh. Sebagai seorang Buddhis, transformasi pribadi memang harus tetap dilakukan, tapi kita akan tetap dibodohi bila kita tidak memahami secara jelas bagaimana sebuah sistem berjalan dan cara untuk mengubah sistem dan kondisi masyarakat yang menindas.

Bila selama ini etika sosial Buddhis telah menjadi begitu pribadi, maka kita perlu menginter- pretasikannya kembali sehingga sila selain berguna untuk menuntun cara hidup individu, ia juga harus dapat mempertanyakan berbagai sistem dan kebijaksanaan yang berlangsung dengan melihat bagaimana suatu sistem juga mengandung suatu kekerasan dan penindasan. Pancasila Buddhis misalnya, dalam masyarakat tradisional yang hidup sederhana, masalah-masalah etika/sila juga menjadi mudah dan sederhana. Seseorang dapat saja berkata "Saya baik, saya tidak membunuh, mencuri,….." tapi ketika masyarakat sudah berkembang semakin kompleks, kesederhanaan etika seperti itu menjadi kurang berfungsi. Tidak mencuri, sila kedua misalnya, secara formal seseorang mungkin memang bukan pencuri. Tapi bagaimana dengan sistem tata niaga atau sistem embargo ?. Apakah hal tersebut tidak melanggar sila.

Begitupun dengan pemikiran Buddhis atas pencerahan dan kebijaksanaan yang mutak diperlukan sehingga tidak selalu diartikan sebagai pencerahan pribadi. Kebijaksanaan (panna) harus mengandung pemahaman yang benar atas diri sendiri dan masyarakat. Bila kita memahami masyarakat dan bila masyarakat dalam kondisi yang diliputi oleh ketidakadilan, pengeksploitasian, dan kekerasan, bagaimana tanggapan kita atas hal tersebut? Apakah kita melepaskan tanggung jawab moral sosial kita dan cukup menjadi "seorang Buddhis yang baik". Apa benar Buddhisme tidak memiliki tanggung jawab dan kepedulian sosial?

Kesadaran-kesadaran inilah yang masih perlu dibangun dan disadari oleh setiap generasi muda Buddhis para calon intelektual muda bangsa. Memang ini masih menjadi sesuatu yang sangat baru dan asing bagi sebagian besar masyarakat Buddhis, karena selama ini kita terlalu sering membiarkan diri kita berdiri terlalu jauh dari masalah-masalah sosial politik aktual. Tapi dengan memahami bahwa sistem juga adalah bagian yang tidak terlepas dari penyebab penderitaan, semoga kita dapat semakin terbuka untuk mulai belajar setiap proses sosial politik yang berlangsung, sehingga kita dapat semakin menyadari hakekat pembebasan yang menjadi amanat dasar dari Dharma.

Bila Dharma sesuatu yang tidak terikat oleh waktu, ia juga harus dapat berguna bagi usaha pembebasan di segala zaman. Sudah saatnya bagi generasi muda Buddhis, khususnya mahasiswa calon intelektual muda, untuk mulai berani berbicara mengenai landasan ekonomi, termasuk politik yang seringkali menjadi sebab tak tersentuh dari persoalan penderitaan dan kemanusiaan. Akhirnya mengapa pemahaman dan wawasan yang mendalam atas persoalan sosial politik diperlukan, karena sebagai manusia yang memiliki semangat spiritualitas Dharma, yang selalu bersandar kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, akan terusik nuraninya bila melihat politik berkembang menjadi kekuatan yang kotor, menekan dan menindas. Yang kita inginkan adalah politik moral yang dapat memperjuangkan kehidupan ke arah demokrasi, bukan politik binatang yang mematikan demokrasi dan kemanusiaan.


Disampaikan pada Seminar Pelatihan Organisasi Wajib PATRIA I, DPD PATRIA Jawa Timur, 15-17 Agustus 1998

*) Pemimpin Umum Redaksi Hikmahbudhi, Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta