TAQLID DAN IJTIHAD, MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS 
	DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA
	Oleh Nurcholish Madjid

	Jika  masalah  taqlid  dan  ijtihad  harus   ditelusuri   ke
	belakang,  barangkali  yang paling tepat ialah kita menengok
	ke  zaman  'Umar  ibn  al-Khathtab,  Khalifah  ke  II.  Bagi
	orang-orang  muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan
	kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh
	klasik  persoalan  taqlid  dan  ijtihad. Salah satu hal yang
	memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar  berkenaan
	dengan  persoalan  pokok  ini  ialah isi suratnya kepada Abu
	Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak:

	"Adapun  sesudah  itu,  sesungguhnya  menegakkan  hukum  (al
	qadla)   adalah  suatu  kewajiban  yang  pasti  dan  tradisi
	(Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka  pahamilah  jika  sesuatu
	diajukan  orang  kepadamu.  Sebab,  tidaklah  ada manfaatnya
	berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat  dilaksanakan.
	Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu,
	keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang  berkedudukan
	tinggi  (syarif)  tidak  sempat  berharap  akan  keadilanmu.
	Memberi bukti adalah wajib  atas  orang  yang  menuduh,  dan
	mengucapkan   sumpah   wajib  bagi  orang  yang  mengingkari
	(tuduhan).    Sedangkan    kompromi    (ishlah,    berdamai)
	diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi
	yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan  hal  yang
	halal.  Dan  janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali
	pada yang benar berkenaan  dengan  perkara  yang  telah  kau
	putuskan  kemarin  tetapi  kemudian engkau memeriksa kembali
	jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu
	yang  benar;  sebab  kebenaran  itu tetap abadi, dan kembali
	kepada yang benar adalah lebih  baik  daripada  berketerusan
	dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang
	terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab  dan
	Sunnah,   kemudian   temukanlah   segi-segi   kemiripan  dan
	kesamaannya,  dan  selanjutnya   buatlah   analogi   tentang
	berbagai  perkara  itu,  lalu  berpeganglah  pada  segi yang
	paling  mirip  dengan   yang   benar.   Untuk   orang   yang
	mendakwahkan  kebenaran  atau  bukti, berilah tenggang waktu
	yang  harus  ia  gunakan  dengan  sebaik-baiknya.  Jika   ia
	berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya
	untuk dia sesuai dengan  haknya.  Tetapi  jika  tidak,  maka
	anggaplah  benar  keputusan  (yang  kau  ambil) terhadapnya,
	sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan,
	dan  lebih  jelas  dari  ketidakpastian  (al-a'ma, kebutaan,
	kegelapan) ... Barang siapa  telah  benar  niatnya  kemudian
	teguh  memegang  pendiriannya, maka Allah akan melindunginya
	berkenaan dengan apa  yang  terjadi  antara  dia  dan  orang
	banyak.  Dan  barang  siapa  bertingkah laku terhadap sesama
	manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari
	dirinya  (tidak  tulus), maka Allah akan menghinakannya ..."
	[1]

	Dari kutipan surat  yang  lebih  panjang  itu  ada  beberapa
	prinsip  pokok  yang  dapat  kita simpulkan berkenaan dengan
	masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah:

	Pertama, prinsip  keotentikan  (authenticity).  Dalam  surat
	'Umar  itu  prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya
	bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih
	dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

	Kedua,  prinsip  pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas
	ajaran dari Kitab dan Sunnah  untuk  mencakup  hal-hal  yang
	tidak  dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu.
	Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi.
	Pengembangan  ini  diperlukan,  sebab  suatu  kebenaran akan
	membawa manfaat hanya kalau  dapat  terlaksana,  dan  syarat
	keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.

	Ketiga,  prinsip  pembatalan  suatu  keputusan  perkara yang
	telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah,  dan
	selanjutnya,  pengambilan  keputusan  itu kepada yang benar.
	Ini bisa  terjadi  karena  adanya  bahan  baru  yang  datang
	kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

	Keempat,  prinsip  ketegasan dalam mengambil keputusan yang
	menyangkut perkara yang kurang jelas  sumber  pengambilannya
	(misalnya,  tidak  jelas  tercantum dalam Kitab dan Sunnah),
	namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam
	hal  ini  bagaimanapun  lebih  baik  daripada  keraguan  dan
	ketidakpastian.

	Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa  apapun
	yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu
	benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi  akibatnya  dalam
	hubungan   dengan   sesama   manusia   (seperti   terjadinya
	kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak  (dalam
	bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").

	Dari  prinsip-prinsip  itu,  prinsip keotentikan adalah yang
	pertama dan utama, disebabkan  kedudukannya  sebagai  sumber
	keabsahan.  Karena  agama  adalah sesuatu yang pada dasarnya
	hanya  menjadi  wewenang  Tuhan,  maka   keotentikan   suatu
	keputusan  atau  pikiran  keagamaan  diperoleh hanya jika ia
	jelas memiliki dasar referensial dalam  sumber-sumber  suci,
	yaitu  Kitab  dan  Sunnah.  Tanpa  prinsip  ini  maka  klaim
	keabsahan keagamaan  akan  menjadi  mustahil.  Justru  suatu
	pemikiran  disebut  bernilai  keagamaan  karena ia merupakan
	segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci
	agama itu.

	TAQLID

	Prinsip  keotentikan  juga  menyangkut  masalah  konsistensi
	ketaatan pada asas. Konsistensi itu,  pada  urutannya,  akan
	menjadi  batu  penguji  lebih lanjut tingkat keabsahan suatu
	pemikiran. Karena itu  dalam  pengembangan  suatu  pemikiran
	keagamaan  tidak  mungkin  dihindari kewajiban memperhatikan
	hal-hal parametris dalam sistem ajaran  sumber-sumber  suci,
	sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung
	kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan
	tempat).  Hal-hal  parametris  itu  dalam Kitab Suci disebut
	sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna  jelas),
	yang  juga  disebut  sebagai prinsip dasar atau induk ajaran
	Kitab  Suci  (umm  al-Kitab),  kebalikan   petunjuk-petunjuk
	metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat). [2]

	Karena   keontentikan   dan   konsistensi   mengimplikasikan
	penerimaan terhadap  suatu  postulat,  premis  atau  formula
	dasar,  dengan  sendirinya  ia  juga mengandung makna taqlid
	menurut makna asli (generik) kata-kata itu,  yakni,  sebelum
	ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini
	umum dipahami. Sebab, taqlid dalam  arti  generik  merupakan
	unsur  sikap  menerima  kebenaran suatu postulat berdasarkan
	pengakuan  bahwa  sumber  atau  pembuat  postulat  mempunyai
	wewenang penuh dan tinggi.

	Karena  salah  satu  konsekuensi  konsep tentang Tuhan ialah
	konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan
	penuh   keyakinan   terhadap   kebenaran  ajaran-Nya  dengan
	sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman  kepada
	Rasul  dan  ajaran-ajaran  yang  dibawa-Nya.  [3]  Iman yang
	sempurna dengan sendirinya mengandung semangat sikap  pasrah
	sepenuhnya.

	Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut
	masalah akumulasi informasi dan pengalaman.  Taqlid  sebagai
	pola    penerimaan   otoritas   pendahulu   dalam   rentetan
	pengembangan  ilmu  dan  pemikiran  hampir   tidak   mungkin
	dihindari.   Sebab,   ekonomi  pemikiran  tidak  mengizinkan
	terlalu  banyak  bersandar  pada  kemampuan  pribadi  secara
	terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi
	tanggung jawab sendiri,  dengan  keharusan  merintis  setiap
	pengembangan  dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan
	manusia seperti yang ada sekarang ini  yang  menandai  zaman
	modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi
	dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat  manusia
	sepanjang  sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan
	pengalaman   dan   pengawetan   serta   pelembagaan    dalam
	karya-karya  intelektual  sepanjang  masa  itu menjadi pohon
	tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa  itu
	kekayaan  dan  kesuburan  seperti  yang  ada  sekarang  akan
	menjadi sama sekali  mustahil.  Memulai  suatu  pengembangan
	pemikiran  dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya
	manusia manapun dari titik nol akan  hanya  berakhir  dengan
	kemiskinan  (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha
	itu sendiri.

	Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan
	dasar  penumbuhan  kekayaan intelektual yang integral, yakni
	integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual
	memiliki   akar-akar   dalam   sejarah.   Jadi,  keotentikan
	historis, yang  keontentikan  itu  sendiri  diperlukan  jika
	diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka,
	untuk sekedar misal,  seorang  Albert  Camus  dalam  tradisi
	intelektual  Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat
	kontemporernya  tentang  eksistensialisme   absurdity   yang
	kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral
	tradisi  intelektual  di   sana   yang   akar-akarnya   bisa
	ditelusuri  jauh  ke  masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.
	Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang  Barat,  tidak
	dapat  dipahami  tanpa  melihat salah satu jalur konsistensi
	dan benang merah  pemikiran  Barat  itu  sendiri,  melintasi
	zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep
	absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia
	adalah  salah  satu  hasil  pertumbuhan  kumulatif pemikiran
	Barat. [4] Ia memiliki  keabsahan  sebagai  pemikiran  Barat
	yang integral.

	Jadi  keintegralan  dan  keotentikan  diperkuat  oleh adanya
	konstinuitas tradisi yang berkembang.  Tetapi  segi  positff
	taqlid  ini  hanya  terwujud  jika  ia  tidak  menjadi paham
	tersendiri  yang  tertutup,  yang  tumbuh   menjadi   "isme"
	terpisah.  Sebab,  taqlid seperti ini (yang barangkali lebih
	tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan  sikap  penyucian
	masa  lampau  dan  pemutlakan otoritas tokoh sejarah. Memang
	benar, masa lampau selalu mengandung otoritas. Tapi,  justru
	demi  pengembangan  bidang  yang  menjadi  otoritasnya, masa
	lampau beserta tokoh-tokohnya harus senantiasa terbuka untuk
	diuji  dan  diuji  kembali.  Pengujian  itu dilakukan dengan
	pertama-tama,  menemukan  dan  menginsafi   segi-segi   yang
	merupakan  imperatif  ruang  dan  waktu  yang ikut membentuk
	suatu sosok pemikiran. Sebab, suatu  sosok  pemikiran  tidak
	pernah  muncul  dan  berkembang  dari  kevakuman.  Ia selalu
	merupakan hasil interaksi berbagai faktor, dan faktor  ruang
	dan waktu acap kali dominan.
	
	Kedua,   dengan   menghadapkan   sosok  pemikiran  itu  pada
	kenyataan-kenyataan   disini   sekarang.   Penghadapan   ini
	diperlukan  untuk  melihat  relevansi  suatu sosok pemikiran
	historis, karena ia akan  berguna  untuk  kita,  disini  dan
	kini.   Seperti   tubuh   manusia  yang  memiliki  mekanisme
	penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan
	dirinya  lewat  gejala  alergi,  ruang  dan  waktu pun, yang
	mengejawantah  dalam  sistem  sosial,   memiliki   mekanisme
	penolakan   terhadap   sesuatu   yang   tidak  sesuai  tanpa
	membiarkan diri  secara  pasif  menjadi  tawanan  ruang  dan
	waktu,  kita  tidak  bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan
	nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita.

	HIKMAH AGAMA

	Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara  lain
	untuk  mengajarkan  Kitab  Suci  dan  hikmah  kepada mereka.
	Karena  cakupan  maknanya  yang  demikian   luas,   "hikmah"
	diterangkan   kedalam   berbagai   pengertian   dan  konsep,
	diantaranya wisdom atau  kewicaksanaan  (dari  bahasa  Jawa,
	untuk   membedakannya   dari   kata  "kebijaksanaan"),  ilmu
	pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk
	menekankan  segi  kerahasiaan  hikmah). [6] Mendasari konsep
	itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah"  selalu  mengandung
	kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang
	tidak seluruhnya kita mampu  menangkapnya.  Maka  disebutkan
	bahwa  siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan
	kebajikan yang berlimpah-ruah. [6]

	Jika  "hikmah"  itu  kita  hubungkan  kembali  pada  istilah
	"muhkam"  (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama,
	yaitu h-k-m), maka  dalam  menumbuhkan  tradisi  intelektual
	yang  integral  dan  kreatif  berdasarkan  kaidah taqlid dan
	ijtihad itu  memerlukan  kemampuan  menangkap  hikmah  pesan
	Ilahi  seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama.
	Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan  pada  keterangan  dalam
	Kitab  Suci  tentang  adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih
	tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf
	Ali atas makna muhkam itu: [7]

	...  The  Commentators  usually  understand  the  verses "of
	established meaning" (muhkam) to refer  to  the  categorical
	orders  of  the  Shari'at  (or  the Law), which are plain to
	everyone's understanding. But perhaps the meaning is  wider:
	"the mother of the Book" must include the very foundation on
	which all Law  rests,  the  essence  of  God's  Message,  as
	distinguished   from   the  various  illustrative  parables,
	allegories, and ordinances.

	If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall  find  that
	in  a  sense  the  whole of the Qur'an has both "established
	meaning"  and  allegorical  meaning.  The  division  is  not
	between  the verses, but between the meanings to be attached
	to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is
	something  immediately applicable, and something eternal and
	independent of time and space, - the  "Forms  of  Ideas"  in
	Plato's  Philosophy. The wise man will understand that there
	is an "essence" and an illustrative clothing  given  to  the
	essence,  throught the Book. We must try to understand it as
	best we can, but not waste our energies in  disputing  about
	matters beyond our depth.[9]

	Sesuatu  dari  ajaran  Kitab Suci yang abadi dan tak terikat
	oleh waktu dan ruang (eternal and independent  of  time  and
	space)  dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah
	makna, semangat, atau tujuan universal  yang  harus  ditarik
	dari  suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau
	malah  mungkin  ad-hoc.  Kadang-kadang  makna   dan   tujuan
	universal  dibalik  suatu  ketentuan  spesifik itu sekaligus
	diterangkan langsung dalam  rangkaian  firman  itu  sendiri.
	Tapi,  kadang-kadang  makna itu harus ditarik melalui proses
	konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang  pertama
	ialah  firman  Ilahi  yang mengurus perceraian Zaid (seorang
	bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak  oleh  Nabi)
	dari  istrinya,  Zainab  (seorang  wanita  bangsawan Quraisy
	dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu
	kemudian  diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab
	oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan  seseorang  -dalam
	hal  ini  Nabi  menikahi  bekas isteri anak angkatnya. Namun
	kejadian yang bagi orang-orang  tertentu  terdengar  sebagai
	skandal  ini  justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk
	suatu maksud  yang  mendukung  nilai  universal  yang  sejak
	semula  menjadi  klaim  ajaran  Islam,  yaitu  nilai sekitar
	konsep  kealamian  (naturalness)  yang  suci,  yakni  konsep
	fithrah.  Dalam  hal  ini,  anak  angkat bukanlah anak alami
	seperti anak  (biologis)  sendiri,  sehingga  juga  tidaklah
	alami  dan  tidak  pula  wajar  jika hubungannya dengan ayah
	angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan  anak  alami,
	termasuk  dalam  urusan  nikah.  Maka,  kejadian ad-hoc yang
	menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi  itu  langsung  diterangkan
	tujuan  universalnya,  yaitu  "agar  tidak ada halangan bagi
	kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak
	angkat  mereka."  [10]  Tujuan  ini  jelas  langsung terkait
	dengan segi universal yang lebih  menyeluruh,  yaitu  konsep
	atau  ajaran  fithrah,  yang  mengimplikasikan  bahwa segala
	sesuatu dalam tatanan hidup  manusia  ini  hendaknya  diatur
	dengan  ketentuan  yang  sealami mungkin sesuai dengan hukum
	alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u  'l-Lah)  yang
	pasti  dan  tak  berubah-ubah.  [12]  Pandangan bahwa segala
	sesuatu harus sealami  mungkin  adalah  benar-benar  sentral
	namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama
	ftthrah yang hanif.

	Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan
	secara  global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah
	agama dinyatakan  dalam  berbagai  ungkapan,  seperti  telah
	menjadi  tema  dan  judul  sebuah  buku yang cukup terkenal,
	Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13]  Hikmah  pesan  agama
	ini  juga  dikenal  dengan  istilah  lain  sebagai  maqashid
	al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah).  Berkaitan  dengan
	ini  berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama
	Islam, khususnya  pembahasan  bidang  hukum  (syari'ah  -par
	excellence),  seperti  konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin:
	ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm
	(sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan
	dengan perlunya menemukan  suatu  rationale  yang  mendasari
	penetapan  suatu  hukum.  Contoh  nyata penerapan konsep ini
	ialah yang  dikenakan  pada  hukum  khamr.  Bahwa  rationale
	diharamkannya  minuman  keras  (alkoholik,  seperti  khamar)
	ialah sifatnya yang memabukkan.  Kemudian  sifat  memabukkan
	itu   sendiri  dihukumnya  sebagai  tidak  baik,  karena  ia
	mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
	Dan  selanjutnya,  kerusakan  mental  itu  -betapa pun jelas
	negatif-  masih  bisa  dilihat  rationalenya   sehingga   ia
	negatif,  yaitu  bahwa  ia berarti hilangnya akal sehat yang
	menjadi bagian  dari  fithrah  manusia.  Padahal  memelihara
	fithrah  itulah,  justru merupakan salah satu ajaran sentral
	agama Islam. [14]

	IJTIHAD

	Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi  gambaran  bahwa
	masalah  taqlid  dan  ijtihad, lebih dari pada yang dipahami
	umum, menyangkut hal-hal yang  cukup  rumit,  mendalam,  dan
	meluas  serta  kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik
	ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu  tugas
	yang   penuh   gengsi,   tapi  justru  karena  itu  menuntut
	persyaratan banyak dan berat. Maka  ijtihad  bisa  dilakukan
	hanya  oleh  orang-orang  tertentu  yang  benar-benar  telah
	memenuhi  syarat  itu.  Syarat-syarat  itu  sekarang   boleh
	kedengaran  kuno,  namun  ia  dibuat  dengan tujuan menjamin
	adanya kewenangan dan tanggung jawab.

	Hanya  saja,  pelukisan  tentang  kegiatan  ijtihad  sebagai
	sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
	Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang
	hampir  menabukan  ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya
	tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul  dari
	obsesi  para  ulama  pada  ketertiban  dan  ketenangan  atau
	keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya  di
	masa-masa  penuh  kekacauan  menjelang  keruntuhan  Baghdad.
	Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
	dilihat  sebagai  kelanjutan  masa kegelapan (obskurantisme)
	dalam pemikiran Islam.

	Kini, ijtihad itu diajukan orang  sebagai  salah  satu  tema
	pokok  usaha  reformasi  atau  penyegaran  kembali pemahaman
	terhadap  agama.  Melalui  tokoh-tokoh   pembaharu   seperti
	Muhammad  Abduh  dan  Sayid  Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan
	kembali  sebagai  metode  terpenting  menghilangkan  situasi
	anomalous  dunia  Islam  yang  kalah  dan dijajah oleh dunia
	Kristen Barat.  (Disebut  anomalous,  karena  selama  paling
	kurang  tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa
	berpikir bahwa dunia ini  milik  mereka,  dan  hak  mengatur
	dunia  hanya  ada  pada  mereka,  sebagai  salah satu akibat
	penguasaan  mereka  atas  daerah-daerah  sentral   peradaban
	manusia,  terutama  daerah  Nil  sampai  Ozus, jantung kawan
	(Oikoumene).

	Para pembaharu mendapati  bahwa  praktek  taqlid  yang  umum
	menguasai  orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah
	berkembang menjadi suatu  sikap  mental,  jika  bukan  malah
	pandangan  teologis,  yang  meliputi  penolakan secara sadar
	terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika  berbentuk
	unsur  dari  budaya  asing.  [15]  Ini  dengan mudah dilihat
	gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan  gejala,
	paling  untung  chauvinisme,  paling  celaka  kecemasan  dan
	rendah diri. Gejala ini  pula  yang  hari-hari  ini  dilihat
	al-Makki,  seorang  pemikir  Makkah  dari madzhab Maliki. Ia
	melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya
	zaman  'Umar.  Sebab,  sepanjang  penuturannya, 'Umar adalah
	seorang  yang  "berpikiran  luas,  yang  tidak   segan-segan
	mengambil  apa  saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun
	umat itu kafir. [16] Bahkan  'Umar  "tidak  memandang  semua
	perkara    bersifat    ta'abbudi    (bernilai    'ubudiyyah,
	devotional), dan tidak memandang baik terhadap  sikap  jumud
	dalam   hukum,   tetapi   mengikuti   berbagai  pertimbangan
	kemaslahatan dan melihat makna-makna  yang  merupakan  poros
	penetapan  hukum  (manath  al-tasyri')  yang  diridlai Allah
	s.w.t."  [17]  Pandangan  'Umar  ini  sejalan  dengan,   dan
	merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada
	gunanya  berbicara  tentang  kebenaran  namun  tidak   dapat
	dilaksanakan." [18]
	
	Agaknya  jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam
	itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para
	pemikir  Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh
	pembaharu modern paling berpengaruh  ini  "memahami  ijtihad
	dalam  pengertiannya  yang  luas  sebagai  penelitian bebas,
	menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan
	hukum  dan  norma-norma  moral  Islam,  dan tentang apa yang
	paling baik disini dan sekarang." [19]

	Berkenaan dengan itu, sungguh  menarik  pemaparan  pemikiran
	al-Makki  bahwa  melakukan  ijtihad,  dari kalangan generasi
	awal Islam, tidak hanya para  Sahabat  seperti  'Umar  dll.,
	malah  juga  Rasulullah  sendiri!  Menurut  al-Makki, selain
	selaku Utusan Tuhan yang  menerima  wahyu  parametris,  Nabi
	juga  sering  melakukan  ijtihad  dengan  menggunakan metode
	analogi  atau  qiyas.  Al-Makki   mengatakan   bahwa   dalam
	berijtihad  Nabi  selalu  benar,  atau kalaupun salah beliau
	akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu  yang  suci
	sehingga  kesalahan  itu  tidak  melembaga  dan menjadi satu
	dengan pola hidup orang banyak. [20] (Dalam hal ini al-Makki
	mirip  dengan  Ibn  Taymiyyah  yang  berpendapat  bahwa Nabi
	bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan  (al-balagh)
	wahyu.  Jika  diluar  itu  Nabi  bisa  salah,  meskipun amat
	jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). [21]

	NILAI SEBUAH IJTIHAD

	Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan  ijtihad
	sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan
	mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas  (taqlid)
	kekayaan  pengalaman  kultural manusia, khususnya pemikiran,
	menjadi  kumulatif,  dan  ijtihad  diperlukan  justru  untuk
	mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu.

	Tapi,   sebagai  sama-sama  kegiatan  manusiawi  yang  serba
	terbatas, maka  taqlid  ataupun  ijtihad  selalu  mengandung
	persoalan,  sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri
	bagi tinjauan dan pengujian. Jadi  tidak  dibenarkan  adanya
	absolutisme  di  sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan
	membuat  suatu  sistem  pemikiran  menjadi   tertutup,   dan
	ketertutupan  itu  akan  menjadi  sumber absolutnya. Sesuatu
	dari kreasi manusiawi yang  diabsolutkan  akan  secepat  itu
	pula  akan  terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran
	ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran
	yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk
	selalu bakal ditinggalkan zaman.

	Maka problema yang  dihadapkan  kepada  setiap  orang  ialah
	bagaimana  ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan
	sekaligus   berkembang   dan   kreatif   tanpa    kehilangan
	keotentikan  dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit,
	namun  tidak  mustahil.  Seluruh   ide   tentang   mendekati
	(taqarrub)  kepada  Tuhan  mengisyaratkan  perlunya  manusia
	berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan  lurus  yang  sulit
	itu,  sampai  ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi
	satu) dengan Kebenaran, dengan  izin  dan  ridla  dari  Sang
	Kebenaran itu sendiri.

	Jalan  menuju  kesana  ternyata  banyak.  Bahkan, dari sudut
	pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang
	mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya
	usaha  yang  penuh  kesungguhan  saja,  yaitu  ijtihad   dan
	mujahadah,  yang  menjadi  alasan  bagi Sang Kebenaran untuk
	menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya. [22]
	Dan  karena  banyaknya  jalan  menuju  Kebenaran  itu,  maka
	seperti ditegaskan Ibn  Taymiyyah,  Hadlrat  al-Syaikh  K.H.
	Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn
	"Abbas  al-Maliki  al-Hasani  al-Makki,  para  Sahabat  Nabi
	dahulu,  begitu  pula  para  Imam  madzhab  sendiri,  selalu
	toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat  yang
	ada di kalangan mereka. [23]

	Akhirnya,  sebagaimana  tercermin dalam sabda Nabi yang amat
	terkenal, yang menegaskan bahwa siapa  yang  berijtihad  dan
	benar,   ia   akan  mendapat  dua  pahala,  dan  siapa  yang
	berijtihad dan salah, ia masih  mendapat  satu  pahala.  Ini
	merupakan  hal  yang  amat  penting  dalam  perkembangan dan
	pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda
	vitalitas,  sedangkan  kemandekan  berarti kematian. Seperti
	dikatakan 'Umar  dalam  suratnya  di  atas,  niat  baik  dan
	ketulusan  hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha
	kita  mengembangkan   masyarakat.   [24]   Dengan   berbekal
	ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika
	penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia
	juga  benar,  karena  merupakan  Sunnat  Allah untuk seluruh
	ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah  yang
	kekal  abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus
	berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah  Allah,
	sebab  Dia-lah  Kebenaran  Yang Pertama dan yang Akhir. [26]
	Dalam dinamika itu tidak perlu  takut  salah,  karena  takut
	salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal.

	CATATAN

	 1. Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki
	    al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi
	    Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam
	    (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121.
	    
	 2. QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan
	    kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat
	    muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran)
	    Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat
	    (jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya
	    terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan
	    (hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu
	    dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari
	    maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi).
	    Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi
	    itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam
	    pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat
	    itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah
	    menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian."
	    
	 3. Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak,
	    demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka
	    mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang
	    diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak
	    mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang
	    telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya."
	    
	 4. Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat
	    cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya
	    mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh,
	    melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di
	    atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau
	    Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana
	    dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru,
	    kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam
	    Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di
	    zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of
	    Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University
	    of Chicago Press, 1964), hal 1728.
	    
	 5. Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering
	    diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang
	    memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf
	    (al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang
	    bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari
	    risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah
	    wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan
	    tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama).
	    
	 6. QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah
	    kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
	    diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang
	    banyak."
	    
	 7. Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the
	    Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di
	    atas.
	    
	 8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang
	    ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja
	    pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau
	    participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang
	    Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23,
	    "Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk
	    sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara
	    berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani
	    (berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran
	    itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di
	    sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab,
	    mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan
	    di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of
	    Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk
	    suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin
	    berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup.
	    (Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah
	    for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal.
	    1243, catatan 4276).
	
	 9. A.Y. Ali, hal. 123, catatan 347. (Patut diketahui bahwa
	    terjemahan al-Qur'an dan tafsir ke dalam Bahasa Inggris oleh
	    A. Yusuf Ali ini dianggap paling standar dan populer dalam
	    dunia Islam internasional. Penyebarannya di seluruh dunia
	    banyak dibiayai oleh Pemerintah Saudi Arabia sejak 1384
	    H/1965 M dengan sponsor Rabithah Alam Islami yang diketuai
	    Syeik Mohammed Sour as-Sabhan sampai saat ini dengan
	    berbagai cetakan dan edisi, yang kemudian juga mendapat
	    restu dan persetujuan Ri'asat Idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah
	    wa 'l-Ifta wa 'l-Da'wah wa 'I-Irsyad di Riyadh sebagai badan
	    tertinggi urusan keagamaan Saudi Arabia. Salah satu edisinya
	    dimaksudkan untuk hotel-hotel internasional, meniru
	    penempatan Kitab Suci Kristen yang telah lama ada).
	    
	10. Ini adalah "contoh klasik" metode pendekatan al-Qur'an
	    terhadap masalah sosial kemanusiaan yang pelik dan peka.
	    Orang-orang Arab, tidak terkecuali Nabi sendiri, telah lama
	    mempraktekan pengangkatan anak atau apa yang disebut
	    tabanni, dengan hak hak pada anak angkat itu yang sama
	    dengan anak biologis (alami), termasuk yang menyangkut
	    masalah kawin dan waris. Zaid yang bekas budak (hitam) itu
	    memang seorang pemuda yang saleh dan cerdas, yang setelah
	    dimerdekakan diangkat Nabi sebagai anak angkat, dan sejak
	    itu bernama lengkap Zaid ibn Muhammad. Tetapi dengan adanya
	    pembatalan sistem anak angkat yang disamakan dengan anak
	    kandung dan sejak itu bernama lengkap seperti semestinya,
	    yaitu Zaid ibn Haritsah. Firman yang dimaksud berkenaan
	    dengan masalah ini ialah QS. Al-Ahzab 33:37-40, "Ingatlah
	    ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah
	    mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih
	    sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu
	    (Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau
	    menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya
	    keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah
	    yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan
	    pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti
	    (resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya
	    (Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman
	    untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika
	    memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan
	    (perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka). Dan
	    perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada
	    kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah
	    ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka
	    yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah
	    kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada
	    mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut
	    kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat
	    perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kaum
	    lelaki diantara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup
	    Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu."
	    
	11. QS. Al-Qamar 54:49, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah
	    menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian
	    (Qadar)." Dan QS. Al-Furqan 25:2 "Dan Dia (Tuhan)
	    menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya
	    sepasti-pastinya." Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi
	    ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum
	    kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur
	    alam raya ciptaan-Nya ini.
	    
	12. QS. Fathir 36:43, "... Dan mengapa mereka tidak
	    memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang
	    telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam
	    Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam
	    Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain,
	    menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum
	    kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan
	    manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan
	    meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya.
	    
	13. Yaitu judul sebuah kitab yang cukup terkenal, oleh Ali
	    Ahmad al-Jurjawi yang mencoba melihat hikmah setiap bentuk
	    ibadat serta ajaran dan praktek keagamaan yang lain.
	    (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendekatannya kurang meyakinkan
	    dan berbau apologetik, tetapi cukup mewakili suatu contoh
	    pencarian makna umum ibadat, ajaran dan praktek keagamaan
	    itu secara rinci. Namun isinya masih jauh dari klaim judul
	    buku itu sendiri, yaitu filsafat at-tasyri' (filsafat
	    penetapan hukum syari'at atau agama).
	    
	14. Lihat pembahasan panjang lebar tentang masalah ini dalam
	    al-Jurjawi (op. cit.) hal. 269-281, yang meliputi pula
	    pembicaraan sekitar pengaruh alkohol kepada peminumnya, pada
	    peredaran darahnya, bisnis asuransi jiwa, jumlah kematian
	    karena alkoholisme, pengaruhnya terhadap kesehatan, alkohol
	    dan pengaruh buruknya terhadap negeri-negeri panas, serta
	    korelasi antara alkohol dan kejahatan.
	    
	15. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid
	    (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3,
	    hal. 274.
	    
	16. Al-Makki op.cit., hal. 116. Yang dimaksudkan al-Makki
	    sebagai sesuatu yang diambil 'Umar dari orang-orang kafir
	    ialah idenya membuat Bayt al-Mal dan kalender (Hijrah). Ide
	    itu ditirunya dari orang-orang Persia, yang pada waktu itu,
	    tentu saja, masih belum muslim.
	    
	17. Ibid,hal. 121.
	    
	18. Lihat catatan 1 di atas.
	    
	19. Hodgson op. cit., hal. 274-275.
	    
	20. Al-Makki, op. Cit., hal. 48. Dari beberapa contoh yang
	    dituturkan al-Makki, salah satunya ialah ijtihad Nabi di
	    waktu menyiapkan Perang Badar. Nabi berijitihad untuk tidak
	    usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat
	    pula memanfaatkannya, maka datanglah al-Khabbab ibn
	    al-Mundzir bertanya, "Ini dari wahyu atau dari pendapat
	    (ijtihad)?" Nabi menjawab, "Pendapat." Yaitu, karena Beliau
	    melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari
	    memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi
	    binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu
	    tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi s.a.w. mempunyai naluri
	    amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup. Kemudian
	    al-Khabab membalas, "Pendapat yang benar ialah kita harus
	    menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini,
	    karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang
	    dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah
	    orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan
	    dihalangi dari air." Inipun, kata al-Makki, termasuk
	    pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat
	    penting.
	    
	    Sedangkan yang disebut-sebut ijtihad Nabi yang kemudian
	    mendatangkan teguran Ilahi ialah yang terabadikan dalam QS.
	    Al-Tahrim 66:1, "Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan
	    sesuatu yang dihalalkan Allah hanya untuk memperoleh
	    kerelaan (kesenangan hati) isteri-isterimu?!" Para penafsir
	    klasik menuturkan tentang suatu kejadian bahwa Nabi suatu
	    hari tinggal di rumah Mariyah, isteri Beliau yang berasal
	    dari Mesir, karena murka kepada Aisyah atau Hafshah. Hal itu
	    kemudian diketahui oleh Hafshah, lalu Hafshah pun marah
	    kepada Nabi, sehingga, demi menyenangkan hati Hafshah (anak
	    'Umar ibn al-Khattab) Nabi berjanji dan mengharamkan
	    berkumpul dengan Mariyah atas diri Beliau, padahal Mariyah
	    adalah isteri Beliau yang sah. Jadi, menurut hukum Allah
	    adalah halal. Juga, ada versi lain berkenaan dengan kejadian
	    yang terabaikan dalam firman ini. Versi manapun yang benar,
	    semuanya menunjukkan suatu yang dimaksudkan oleh al-Makki
	    sebagai contoh ijtihad Nabi. (Lihat, Nashir al-Din Abi Said
	    'Abdullah ibn 'Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydlawi.
	    Anwar al Tanzil wa Asrar al-Ta'wil al-ma'ruf bi tafsir
	    al-Baydlawi, 5 jilid (Beirut: Muassasat Sya'ban, tt.) jil.
	    5. hal. 137).
	    
	21. Pembahasan tentang ishamat atau ketidak-biasaan
	    (infallibility) Nabi oleh Ibn Taymiyyah ini dapat kita
	    jumpai dalam karya besarnya Minhaj al -Sunnat al-Nabawiyyah
	    fi Naqdl Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyvah, 4 jilid (Beirut:
	    Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)., jil. 1, hal. 130. Perlu
	    diketahui, karya ini ditulis sebagai polemihya dengan
	    golongan Syi'ah, sebagaimana tereermin dari judulnya.
	    
	22. QS. al-Ankabut 29:69, "Dan barangsiapa berusaha
	    sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Kami, maka pastilah
	    akan Kami tunjukkan kepada mereka berbagai jalan (subul)
	    Kami."
	    
	23. Lihat, Ibn Taymiyyah, Ikhtilaf al-Ummah fi al-Ibadat,
	    K.H. Muh. Hasyim Asy'ari, al-Tanbihat, dan al-Makki, op.
	    cit., hal. 244 dan passim.
	    
	24. Lihat catatan no. 1 di atas dan keterangan yang
	    bersangkutan awal-awal tulisan ini.
	    
	25. QS. Al-Qashash 28:88, "Janganlah menyeru bersama Allah
	    (Tuhan Yang Maha Esa) suatu Tuhan yang lain. Tiada suatu
	    Tuhan melainkan Dia. Segala sesutu binasa kecuali Wajah-Nya.
	    Baginyalah ketentuan hukum, dan kepadanyalah kamu semua akan
	    dikembalikan." A. Yusuf Ali memberi komentar yang menarik
	    tentang ayat terakhir Surah 28 ini:
	    
	    "Ini meringkaskan pelajaran seluruh Surah. Kenyataan
	    satu-satunya ialah Tuhan. "Wajah"-Nya atau Diri, Pribadi,
	    atau Wujud-Nya itulah yang harus kita cari, karena menyadari
	    bahwa Dia-lah satu-satunya hal yang abadi, yang tentang hal
	    itu kita bisa mempunyai berbagai pengertian. Seluruh jagad
	    lahir dan tunduk kepada hukum peralihan dan perubahan fana
	    akan sirna, namun Dia akan tetap abadi. Jika berpikir
	    tentang Tuhan yang impersonal, suatu kekuatan kebaikan yang
	    abstrak, kita tidak dapat menggabungkannya dengan Pribadi
	    atau Wujud yang vital, yang tentang Dia itu kita hanya mampu
	    menangkap gaung samar-samar atau cerminan dalam momen yang
	    paling intens dalam luapan spiritual. Jadi kita tahu bahwa
	    apa yang kita sebut diri kita sendiri tidaklah punya makna,
	    sebab hanya ada satu Diri yang benar, dan itu adalah Tuhan.
	    Inilah juga doktrin Advaita dan Shri Shankara dalam
	    jabarannya terhadap Brihadaranyaka Upanishad dalam filsafat
	    Hindu.
	    
	    Lihat juga QS. Al-Hadid 57:3, "Dia (Tuhan)-lah Yang Pertama
	    dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha
	    mengetahui atas segala sesuatu."

	--------------------------------------------
	Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
	Editor: Budhy Munawar-Rachman
	Penerbit Yayasan Paramadina
	Jln. Metro Pondok Indah
	Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
	Jakarta Selatan
	Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
	Fax. (021) 7507174

 

Back to List of Articles" Page