TAQLID DAN IJTIHAD, MASALAH KONTINUITAS DAN KREATIVITAS DALAM MEMAHAMI PESAN AGAMA Oleh Nurcholish Madjid Jika masalah taqlid dan ijtihad harus ditelusuri ke belakang, barangkali yang paling tepat ialah kita menengok ke zaman 'Umar ibn al-Khathtab, Khalifah ke II. Bagi orang-orang muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan kaum Sunni, berbagai tindakan 'Umar dipandang sebagai contoh klasik persoalan taqlid dan ijtihad. Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar 'Umar berkenaan dengan persoalan pokok ini ialah isi suratnya kepada Abu Musa al-Asy'ari, gubernur di Basrah, Irak: "Adapun sesudah itu, sesungguhnya menegakkan hukum (al qadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan. Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang berkedudukan tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu. Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari (tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang paling mirip dengan yang benar. Untuk orang yang mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a'ma, kebutaan, kegelapan) ... Barang siapa telah benar niatnya kemudian teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya ..." [1] Dari kutipan surat yang lebih panjang itu ada beberapa prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad. Prinsip-prinsip pokok itu ialah: Pertama, prinsip keotentikan (authenticity). Dalam surat 'Umar itu prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah. Kedua, prinsip pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas ajaran dari Kitab dan Sunnah untuk mencakup hal-hal yang tidak dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu. Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi. Pengembangan ini diperlukan, sebab suatu kebenaran akan membawa manfaat hanya kalau dapat terlaksana, dan syarat keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata. Ketiga, prinsip pembatalan suatu keputusan perkara yang telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah, dan selanjutnya, pengambilan keputusan itu kepada yang benar. Ini bisa terjadi karena adanya bahan baru yang datang kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui. Keempat, prinsip ketegasan dalam mengambil keputusan yang menyangkut perkara yang kurang jelas sumber pengambilannya (misalnya, tidak jelas tercantum dalam Kitab dan Sunnah), namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam hal ini bagaimanapun lebih baik daripada keraguan dan ketidakpastian. Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa apapun yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi akibatnya dalam hubungan dengan sesama manusia (seperti terjadinya kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak (dalam bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya"). Dari prinsip-prinsip itu, prinsip keotentikan adalah yang pertama dan utama, disebabkan kedudukannya sebagai sumber keabsahan. Karena agama adalah sesuatu yang pada dasarnya hanya menjadi wewenang Tuhan, maka keotentikan suatu keputusan atau pikiran keagamaan diperoleh hanya jika ia jelas memiliki dasar referensial dalam sumber-sumber suci, yaitu Kitab dan Sunnah. Tanpa prinsip ini maka klaim keabsahan keagamaan akan menjadi mustahil. Justru suatu pemikiran disebut bernilai keagamaan karena ia merupakan segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci agama itu. TAQLID Prinsip keotentikan juga menyangkut masalah konsistensi ketaatan pada asas. Konsistensi itu, pada urutannya, akan menjadi batu penguji lebih lanjut tingkat keabsahan suatu pemikiran. Karena itu dalam pengembangan suatu pemikiran keagamaan tidak mungkin dihindari kewajiban memperhatikan hal-hal parametris dalam sistem ajaran sumber-sumber suci, sebab hal-hal parametris itulah yang menjadi tulang punggung kerangka ajarannya yang abadi (sesuai untuk segala zaman dan tempat). Hal-hal parametris itu dalam Kitab Suci disebut sebagai al-muhkamat (petunjuk-petunjuk dengan makna jelas), yang juga disebut sebagai prinsip dasar atau induk ajaran Kitab Suci (umm al-Kitab), kebalikan petunjuk-petunjuk metaforikal, alegoris dan interpretatif (mutasyabihat). [2] Karena keontentikan dan konsistensi mengimplikasikan penerimaan terhadap suatu postulat, premis atau formula dasar, dengan sendirinya ia juga mengandung makna taqlid menurut makna asli (generik) kata-kata itu, yakni, sebelum ia menjadi istilah teknis dengan makna sekunder seperti kini umum dipahami. Sebab, taqlid dalam arti generik merupakan unsur sikap menerima kebenaran suatu postulat berdasarkan pengakuan bahwa sumber atau pembuat postulat mempunyai wewenang penuh dan tinggi. Karena salah satu konsekuensi konsep tentang Tuhan ialah konsep tentang Dia Yang Maha Berwenang, maka menerima dengan penuh keyakinan terhadap kebenaran ajaran-Nya dengan sendirinya merupakan implikasi kepercayaan atau iman kepada Rasul dan ajaran-ajaran yang dibawa-Nya. [3] Iman yang sempurna dengan sendirinya mengandung semangat sikap pasrah sepenuhnya. Segi lain tentang makna penting taqlid ialah yang menyangkut masalah akumulasi informasi dan pengalaman. Taqlid sebagai pola penerimaan otoritas pendahulu dalam rentetan pengembangan ilmu dan pemikiran hampir tidak mungkin dihindari. Sebab, ekonomi pemikiran tidak mengizinkan terlalu banyak bersandar pada kemampuan pribadi secara terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi tanggung jawab sendiri, dengan keharusan merintis setiap pengembangan dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan manusia seperti yang ada sekarang ini yang menandai zaman modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat manusia sepanjang sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan pengalaman dan pengawetan serta pelembagaan dalam karya-karya intelektual sepanjang masa itu menjadi pohon tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa itu kekayaan dan kesuburan seperti yang ada sekarang akan menjadi sama sekali mustahil. Memulai suatu pengembangan pemikiran dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya manusia manapun dari titik nol akan hanya berakhir dengan kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha itu sendiri. Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan dasar penumbuhan kekayaan intelektual yang integral, yakni integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual memiliki akar-akar dalam sejarah. Jadi, keotentikan historis, yang keontentikan itu sendiri diperlukan jika diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka, untuk sekedar misal, seorang Albert Camus dalam tradisi intelektual Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat kontemporernya tentang eksistensialisme absurdity yang kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral tradisi intelektual di sana yang akar-akarnya bisa ditelusuri jauh ke masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno. Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang Barat, tidak dapat dipahami tanpa melihat salah satu jalur konsistensi dan benang merah pemikiran Barat itu sendiri, melintasi zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia adalah salah satu hasil pertumbuhan kumulatif pemikiran Barat. [4] Ia memiliki keabsahan sebagai pemikiran Barat yang integral. Jadi keintegralan dan keotentikan diperkuat oleh adanya konstinuitas tradisi yang berkembang. Tetapi segi positff taqlid ini hanya terwujud jika ia tidak menjadi paham tersendiri yang tertutup, yang tumbuh menjadi "isme" terpisah. Sebab, taqlid seperti ini (yang barangkali lebih tepat disebut "taqlidisme") mengisyaratkan sikap penyucian masa lampau dan pemutlakan otoritas tokoh sejarah. Memang benar, masa lampau selalu mengandung otoritas. Tapi, justru demi pengembangan bidang yang menjadi otoritasnya, masa lampau beserta tokoh-tokohnya harus senantiasa terbuka untuk diuji dan diuji kembali. Pengujian itu dilakukan dengan pertama-tama, menemukan dan menginsafi segi-segi yang merupakan imperatif ruang dan waktu yang ikut membentuk suatu sosok pemikiran. Sebab, suatu sosok pemikiran tidak pernah muncul dan berkembang dari kevakuman. Ia selalu merupakan hasil interaksi berbagai faktor, dan faktor ruang dan waktu acap kali dominan. Kedua, dengan menghadapkan sosok pemikiran itu pada kenyataan-kenyataan disini sekarang. Penghadapan ini diperlukan untuk melihat relevansi suatu sosok pemikiran historis, karena ia akan berguna untuk kita, disini dan kini. Seperti tubuh manusia yang memiliki mekanisme penolakan terhadap benda-benda asing yang tidak cocok dengan dirinya lewat gejala alergi, ruang dan waktu pun, yang mengejawantah dalam sistem sosial, memiliki mekanisme penolakan terhadap sesuatu yang tidak sesuai tanpa membiarkan diri secara pasif menjadi tawanan ruang dan waktu, kita tidak bisa dihadapkan pada kebutuhankebutuhan nyata yang didiktekan dan ditentukan oleh lingkungan kita. HIKMAH AGAMA Tujuan seorang Rasul diutus kepada umat manusia antara lain untuk mengajarkan Kitab Suci dan hikmah kepada mereka. Karena cakupan maknanya yang demikian luas, "hikmah" diterangkan kedalam berbagai pengertian dan konsep, diantaranya wisdom atau kewicaksanaan (dari bahasa Jawa, untuk membedakannya dari kata "kebijaksanaan"), ilmu pengetahuan, filsafat, malahan "blessing in disguise" (untuk menekankan segi kerahasiaan hikmah). [6] Mendasari konsep itu ialah kesadaran bahwa suatu "hikmah" selalu mengandung kemurahan dan rahmat Ilahi yang maha luas dan mendalam, yang tidak seluruhnya kita mampu menangkapnya. Maka disebutkan bahwa siapa dikaruniai hikmah, ia sungguh telah mendapatkan kebajikan yang berlimpah-ruah. [6] Jika "hikmah" itu kita hubungkan kembali pada istilah "muhkam" (kedua kata itu terambil dari akar kata yang sama, yaitu h-k-m), maka dalam menumbuhkan tradisi intelektual yang integral dan kreatif berdasarkan kaidah taqlid dan ijtihad itu memerlukan kemampuan menangkap hikmah pesan Ilahi seperti yang terlembagakan dalam ajaran-ajaran agama. Berkenaan dengan ini, dan dikaitkan pada keterangan dalam Kitab Suci tentang adanya ayat-ayat mahkam dan mutasyabih tersebut, menarik sekali kita mengangkat penafsiran A. Yusuf Ali atas makna muhkam itu: [7] ... The Commentators usually understand the verses "of established meaning" (muhkam) to refer to the categorical orders of the Shari'at (or the Law), which are plain to everyone's understanding. But perhaps the meaning is wider: "the mother of the Book" must include the very foundation on which all Law rests, the essence of God's Message, as distinguished from the various illustrative parables, allegories, and ordinances. If we refer to xi. 1 and xxxix. 23, [8] we shall find that in a sense the whole of the Qur'an has both "established meaning" and allegorical meaning. The division is not between the verses, but between the meanings to be attached to them. Each is but a Sign or Symbol: what it represents is something immediately applicable, and something eternal and independent of time and space, - the "Forms of Ideas" in Plato's Philosophy. The wise man will understand that there is an "essence" and an illustrative clothing given to the essence, throught the Book. We must try to understand it as best we can, but not waste our energies in disputing about matters beyond our depth.[9] Sesuatu dari ajaran Kitab Suci yang abadi dan tak terikat oleh waktu dan ruang (eternal and independent of time and space) dalam pengertian tentang muhkam itu tidak lain ialah makna, semangat, atau tujuan universal yang harus ditarik dari suatu materi ajaran agama yang bersifat spesifik, atau malah mungkin ad-hoc. Kadang-kadang makna dan tujuan universal dibalik suatu ketentuan spesifik itu sekaligus diterangkan langsung dalam rangkaian firman itu sendiri. Tapi, kadang-kadang makna itu harus ditarik melalui proses konseptualisasi atau ideasi (ideation). Contoh yang pertama ialah firman Ilahi yang mengurus perceraian Zaid (seorang bekas budak yang dimerdekakan dan diangkat anak oleh Nabi) dari istrinya, Zainab (seorang wanita bangsawan Quraisy dengan status sosial tinggi dan rupawan), dan perceraian itu kemudian diteruskan dengan dikawinkannya Nabi dengan Zainab oleh Tuhan. Maka terlaksanalah perkawinan seseorang -dalam hal ini Nabi menikahi bekas isteri anak angkatnya. Namun kejadian yang bagi orang-orang tertentu terdengar sebagai skandal ini justru -katakanlah- dirancang oleh Tuhan untuk suatu maksud yang mendukung nilai universal yang sejak semula menjadi klaim ajaran Islam, yaitu nilai sekitar konsep kealamian (naturalness) yang suci, yakni konsep fithrah. Dalam hal ini, anak angkat bukanlah anak alami seperti anak (biologis) sendiri, sehingga juga tidaklah alami dan tidak pula wajar jika hubungannya dengan ayah angkatnya dikenakan ketentuan yang sama dengan anak alami, termasuk dalam urusan nikah. Maka, kejadian ad-hoc yang menyangkut Zaid, Zainab dan Nabi itu langsung diterangkan tujuan universalnya, yaitu "agar tidak ada halangan bagi kaum beriman untuk mengawini (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka." [10] Tujuan ini jelas langsung terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep atau ajaran fithrah, yang mengimplikasikan bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar) [11] dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang pasti dan tak berubah-ubah. [12] Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama ftthrah yang hanif. Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu. [13] Hikmah pesan agama ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum). Konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan. Kemudian sifat memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental. Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam. [14] IJTIHAD Uraian di atas dibuat dengan tujuan memberi gambaran bahwa masalah taqlid dan ijtihad, lebih dari pada yang dipahami umum, menyangkut hal-hal yang cukup rumit, mendalam, dan meluas serta kompleks. Karena itu di kalangan ulama klasik ada pendapat hampir merata bahwa ijtihad adalah suatu tugas yang penuh gengsi, tapi justru karena itu menuntut persyaratan banyak dan berat. Maka ijtihad bisa dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu yang benar-benar telah memenuhi syarat itu. Syarat-syarat itu sekarang boleh kedengaran kuno, namun ia dibuat dengan tujuan menjamin adanya kewenangan dan tanggung jawab. Hanya saja, pelukisan tentang kegiatan ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah. Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang hampir menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya tidak dapat dibenarkan meskipun sesungguhnya ia muncul dari obsesi para ulama pada ketertiban dan ketenangan atau keamanan, yaitu tema-tema teori politik Sunni, khususnya di masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan Baghdad. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat dilihat sebagai kelanjutan masa kegelapan (obskurantisme) dalam pemikiran Islam. Kini, ijtihad itu diajukan orang sebagai salah satu tema pokok usaha reformasi atau penyegaran kembali pemahaman terhadap agama. Melalui tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Sayid Ahmad Khan, ijtihad dikemukakan kembali sebagai metode terpenting menghilangkan situasi anomalous dunia Islam yang kalah dan dijajah oleh dunia Kristen Barat. (Disebut anomalous, karena selama paling kurang tujuh atau delapan abad, orang-orang muslim terbiasa berpikir bahwa dunia ini milik mereka, dan hak mengatur dunia hanya ada pada mereka, sebagai salah satu akibat penguasaan mereka atas daerah-daerah sentral peradaban manusia, terutama daerah Nil sampai Ozus, jantung kawan (Oikoumene). Para pembaharu mendapati bahwa praktek taqlid yang umum menguasai orang-orang muslim, baik awam maupun ulama, telah berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar terhadap segala sesuatu yang baru, khususnya jika berbentuk unsur dari budaya asing. [15] Ini dengan mudah dilihat gejala xenophobia. Xenophobia itu sendiri merupakan gejala, paling untung chauvinisme, paling celaka kecemasan dan rendah diri. Gejala ini pula yang hari-hari ini dilihat al-Makki, seorang pemikir Makkah dari madzhab Maliki. Ia melukiskan semangat kosmopolit zaman klasik Islam, khususnya zaman 'Umar. Sebab, sepanjang penuturannya, 'Umar adalah seorang yang "berpikiran luas, yang tidak segan-segan mengambil apa saja yang baik dari umat-umat lain, meskipun umat itu kafir. [16] Bahkan 'Umar "tidak memandang semua perkara bersifat ta'abbudi (bernilai 'ubudiyyah, devotional), dan tidak memandang baik terhadap sikap jumud dalam hukum, tetapi mengikuti berbagai pertimbangan kemaslahatan dan melihat makna-makna yang merupakan poros penetapan hukum (manath al-tasyri') yang diridlai Allah s.w.t." [17] Pandangan 'Umar ini sejalan dengan, dan merupakan konsekwensi dari, penegasannya bahwa "tidaklah ada gunanya berbicara tentang kebenaran namun tidak dapat dilaksanakan." [18] Agaknya jalan pikiran 'Umar dari zaman klasik (salaf) Islam itu muncul lagi pada orang-orang tertentu dari kalangan para pemikir Islam zaman modern, khususnya Muhammad Abduh. Tokoh pembaharu modern paling berpengaruh ini "memahami ijtihad dalam pengertiannya yang luas sebagai penelitian bebas, menurut kerangka aturan yang telah mapan tentang pengambilan hukum dan norma-norma moral Islam, dan tentang apa yang paling baik disini dan sekarang." [19] Berkenaan dengan itu, sungguh menarik pemaparan pemikiran al-Makki bahwa melakukan ijtihad, dari kalangan generasi awal Islam, tidak hanya para Sahabat seperti 'Umar dll., malah juga Rasulullah sendiri! Menurut al-Makki, selain selaku Utusan Tuhan yang menerima wahyu parametris, Nabi juga sering melakukan ijtihad dengan menggunakan metode analogi atau qiyas. Al-Makki mengatakan bahwa dalam berijtihad Nabi selalu benar, atau kalaupun salah beliau akan segera mendapat teguran Ilahi melalui wahyu yang suci sehingga kesalahan itu tidak melembaga dan menjadi satu dengan pola hidup orang banyak. [20] (Dalam hal ini al-Makki mirip dengan Ibn Taymiyyah yang berpendapat bahwa Nabi bersifat ma'shum hanya dalam tugas menyampaikan (al-balagh) wahyu. Jika diluar itu Nabi bisa salah, meskipun amat jarang, dan selalu langsung dikoreksi Tuhan). [21] NILAI SEBUAH IJTIHAD Dari uraian di atas, kiranya jelas bahwa taqlid dan ijtihad sama-sama diperlukan dalam masyarakat manapun. Sebab, dengan mekanisme penerimaan dan penganutan suatu otoritas (taqlid) kekayaan pengalaman kultural manusia, khususnya pemikiran, menjadi kumulatif, dan ijtihad diperlukan justru untuk mengembangkan dan lebih memperkaya pengalaman itu. Tapi, sebagai sama-sama kegiatan manusiawi yang serba terbatas, maka taqlid ataupun ijtihad selalu mengandung persoalan, sehingga harus senantiasa dibiarkan membuka diri bagi tinjauan dan pengujian. Jadi tidak dibenarkan adanya absolutisme di sini. Sebab, setiap bentuk absolutisme akan membuat suatu sistem pemikiran menjadi tertutup, dan ketertutupan itu akan menjadi sumber absolutnya. Sesuatu dari kreasi manusiawi yang diabsolutkan akan secepat itu pula akan terobsolutkan. Inilah barangkali letak kebenaran ucapan Karl Mannheim bahwa setiap ideologi (yakni, pemikiran yang dihayati secara ideologis-absolutistik) cenderung untuk selalu bakal ditinggalkan zaman. Maka problema yang dihadapkan kepada setiap orang ialah bagaimana ia teguh tanpa menjadi kemutlakan-kemutlakan, dan sekaligus berkembang dan kreatif tanpa kehilangan keotentikan dan keabsahan -suatu penitian jalan yang sulit, namun tidak mustahil. Seluruh ide tentang mendekati (taqarrub) kepada Tuhan mengisyaratkan perlunya manusia berjalan tanpa jemu-jemunya meniti jalan lurus yang sulit itu, sampai ia akhirnya bertemu (liqa, namun tanpa menjadi satu) dengan Kebenaran, dengan izin dan ridla dari Sang Kebenaran itu sendiri. Jalan menuju kesana ternyata banyak. Bahkan, dari sudut pandangan esoterisnya, jalan itu sebanyak jumlah mereka yang mencarinya dengan sungguh-sungguh. Sebab, pasti memang hanya usaha yang penuh kesungguhan saja, yaitu ijtihad dan mujahadah, yang menjadi alasan bagi Sang Kebenaran untuk menuntun seseorang ke berbagai jalan menuju kepada-Nya. [22] Dan karena banyaknya jalan menuju Kebenaran itu, maka seperti ditegaskan Ibn Taymiyyah, Hadlrat al-Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari dan al-Sayyid Muhammad Ibn Alawi ibn "Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, para Sahabat Nabi dahulu, begitu pula para Imam madzhab sendiri, selalu toleran satu sama lain, dan saling menghargai pendapat yang ada di kalangan mereka. [23] Akhirnya, sebagaimana tercermin dalam sabda Nabi yang amat terkenal, yang menegaskan bahwa siapa yang berijtihad dan benar, ia akan mendapat dua pahala, dan siapa yang berijtihad dan salah, ia masih mendapat satu pahala. Ini merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan pertumbuhan. Sebab perkembangan dan pertumbuhan adalah tanda vitalitas, sedangkan kemandekan berarti kematian. Seperti dikatakan 'Umar dalam suratnya di atas, niat baik dan ketulusan hati adalah sumber perlindungan Ilahi dalam usaha kita mengembangkan masyarakat. [24] Dengan berbekal ketulusan, kita terus bergerak maju secara dinamis. Dinamika penting tidak saja karena merupakan unsur vitalitas, tapi ia juga benar, karena merupakan Sunnat Allah untuk seluruh ciptaannya, termasuk sejarah manusia. Hanya Dzat Allah yang kekal abadi, sedangkan seluruh wujud ini berjalan dan terus berubah. Karena itu tujuan hidup yang benar hanyalah Allah, sebab Dia-lah Kebenaran Yang Pertama dan yang Akhir. [26] Dalam dinamika itu tidak perlu takut salah, karena takut salah itu sendiri adanya kesalahan yang paling fatal. CATATAN 1. Al-Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121. 2. QS. 'Ali 'Imran 3:7, "Dia (Tuhan)-lah yang menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab Suci. Diantara isinya ayat-ayat muhkamat (jamak dari muhkam) yang merupakan induk (ajaran) Kitab Suci itu, dan lainnya berupa ayat-ayat mutasyabihat (jamak dari mutasyabih). Adapun mereka yang dalam hatinya terdapat kecenderungan kurang baik (serong), maka akan (hanya) mencari yang mutasyabih saja dari Kitab Suci itu dengan tujuan menciptakan perpecahan dan mencari-cari maknanya yang tersembunyi (membuat-buat interpretasi). Padahal tidak ada yang mengetahui maknanya yang tersembunyi itu kecuali Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam pengetahuannya akan berkata, "kami beriman dengan ayat-ayat itu, sebab semuanya dari Tuhan kami. Dan memang tidaklah menangkap pesan ini kecuali mereka yang berpengertian." 3. Ini bisa dipahami dari firman, QS. al-Nisa 4:65, "Tidak, demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka mengangkatmu sebagai hakim berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati dalam diri mereka keberatan terhadap apa yang telah kau putuskan, dan mereka pasrah sepasrah-pasrahnya." 4. Berkenaan dengan "pohon" tradisi intelektual Barat cabang filsafat eksistensialisme ini, para penganjurnya mengklaim sebagai berakar pada masa lampau yang jauh, melintasi zaman, sejak zaman Nabi 'Isa a.s. (khutbahnya di atas bukit Moria (Zion) -yang kini berdiri Masjid 'Umar atau Qubbat al-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha itu) sebagaimana dituturkan dalam Injil Matius 5 dari Perjanjian Baru, kemudian Job, Eclesiastes, Amos, Micah, dan Zabur dalam Perjanjian Lama, sampai kepada Heracleitus dari Ephesus di zaman Yunani kuno. (lihat Maurice Friedman, ed. The Word of Existentialism: A Critical Reader (Chicago: The University of Chicago Press, 1964), hal 1728. 5. Dalam literatur klasik Arab, "hikmah" memang sering diartikan sebagai wisdom, yaitu sama dengan "filsafat" yang memang menyiratkan wisdom, sehingga para filsuf (al-falasifah) juga disebut al-hukama ("orang-orang bijaksana"). Ini dengan jelas tercermin, misalnya, dari risalah Ibn Rusyd, Fash al-Maqal wa Taqrir ma bain al-Hikmah wa al-Syari'ah min al-Ittishat (Kata Putus dan Kejelasan tentang Hubungan antara Filsafat dan Agama). 6. QS. al-Baqarah 2: 269, "Dia (Tuhan) memberi hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak." 7. Ayat-ayat muhkam itu disebut sebagai "mother of the Book," Induk Kitab Suci" (Umm al-Kitab). Lihat catatan 2 di atas. 8. Yaitu QS. Hud 11:1, "Alif Lam Ra, (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya dibuat jelas maknanya (digunakan kata kerja pasif "uhkimat" yang sama artinya dengan kata sifat atau participte pasif "muhkam"), kemudian dirinci, dari sisi Yang Maha Bijaksana dan Maha Teliti," dan QS. Al-Zumar 39:23, "Allah telah menurunkan sebaik-baik Firman dalam bentuk sebuah Kitab yang mutasyabih (serasi, yakni serasi antara berbagai ajarannya, konsisten) namun matsani (berulang-ulang, yakni dalam mengungkapkan ajaran-ajaran itu) ..." A Yusuf Ali mengartikan perkataan mutasyabih di sini berbeda dengan yang ada pada 3:7 di atas. Sebab, mutasyabih di sini dikontraskan terhadap matsani, sedangkan di 3:7 dengan muhkam. Namun, ide pokoknya atau "Form of Ideas"-nya sama, yaitu bahwa ajaran al-Qur'an membentuk suatu kesatuan yang utuh, yang manusia sedapat mungkin berusaha keras menangkapnya, tanpa dogmatik dan tertutup. (Lihat A.Yusuf Ali, The Holy Qur'an (Jeddah: Dar al-Qiblah for Islamic Literature, tt), hal. 514, catatan 1493 dan hal. 1243, catatan 4276). 9. A.Y. Ali, hal. 123, catatan 347. (Patut diketahui bahwa terjemahan al-Qur'an dan tafsir ke dalam Bahasa Inggris oleh A. Yusuf Ali ini dianggap paling standar dan populer dalam dunia Islam internasional. Penyebarannya di seluruh dunia banyak dibiayai oleh Pemerintah Saudi Arabia sejak 1384 H/1965 M dengan sponsor Rabithah Alam Islami yang diketuai Syeik Mohammed Sour as-Sabhan sampai saat ini dengan berbagai cetakan dan edisi, yang kemudian juga mendapat restu dan persetujuan Ri'asat Idarat al-Buhuts al-Ilmiyyah wa 'l-Ifta wa 'l-Da'wah wa 'I-Irsyad di Riyadh sebagai badan tertinggi urusan keagamaan Saudi Arabia. Salah satu edisinya dimaksudkan untuk hotel-hotel internasional, meniru penempatan Kitab Suci Kristen yang telah lama ada). 10. Ini adalah "contoh klasik" metode pendekatan al-Qur'an terhadap masalah sosial kemanusiaan yang pelik dan peka. Orang-orang Arab, tidak terkecuali Nabi sendiri, telah lama mempraktekan pengangkatan anak atau apa yang disebut tabanni, dengan hak hak pada anak angkat itu yang sama dengan anak biologis (alami), termasuk yang menyangkut masalah kawin dan waris. Zaid yang bekas budak (hitam) itu memang seorang pemuda yang saleh dan cerdas, yang setelah dimerdekakan diangkat Nabi sebagai anak angkat, dan sejak itu bernama lengkap Zaid ibn Muhammad. Tetapi dengan adanya pembatalan sistem anak angkat yang disamakan dengan anak kandung dan sejak itu bernama lengkap seperti semestinya, yaitu Zaid ibn Haritsah. Firman yang dimaksud berkenaan dengan masalah ini ialah QS. Al-Ahzab 33:37-40, "Ingatlah ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu (Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti (resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya (Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan (perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka). Dan perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kaum lelaki diantara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu." 11. QS. Al-Qamar 54:49, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian (Qadar)." Dan QS. Al-Furqan 25:2 "Dan Dia (Tuhan) menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya sepasti-pastinya." Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur alam raya ciptaan-Nya ini. 12. QS. Fathir 36:43, "... Dan mengapa mereka tidak memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain, menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya. 13. Yaitu judul sebuah kitab yang cukup terkenal, oleh Ali Ahmad al-Jurjawi yang mencoba melihat hikmah setiap bentuk ibadat serta ajaran dan praktek keagamaan yang lain. (Beirut: Dar al-Fikr, tt). Pendekatannya kurang meyakinkan dan berbau apologetik, tetapi cukup mewakili suatu contoh pencarian makna umum ibadat, ajaran dan praktek keagamaan itu secara rinci. Namun isinya masih jauh dari klaim judul buku itu sendiri, yaitu filsafat at-tasyri' (filsafat penetapan hukum syari'at atau agama). 14. Lihat pembahasan panjang lebar tentang masalah ini dalam al-Jurjawi (op. cit.) hal. 269-281, yang meliputi pula pembicaraan sekitar pengaruh alkohol kepada peminumnya, pada peredaran darahnya, bisnis asuransi jiwa, jumlah kematian karena alkoholisme, pengaruhnya terhadap kesehatan, alkohol dan pengaruh buruknya terhadap negeri-negeri panas, serta korelasi antara alkohol dan kejahatan. 15. Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jil. 3, hal. 274. 16. Al-Makki op.cit., hal. 116. Yang dimaksudkan al-Makki sebagai sesuatu yang diambil 'Umar dari orang-orang kafir ialah idenya membuat Bayt al-Mal dan kalender (Hijrah). Ide itu ditirunya dari orang-orang Persia, yang pada waktu itu, tentu saja, masih belum muslim. 17. Ibid,hal. 121. 18. Lihat catatan 1 di atas. 19. Hodgson op. cit., hal. 274-275. 20. Al-Makki, op. Cit., hal. 48. Dari beberapa contoh yang dituturkan al-Makki, salah satunya ialah ijtihad Nabi di waktu menyiapkan Perang Badar. Nabi berijitihad untuk tidak usah menguasai sumber air yang vital, supaya musuh pun dapat pula memanfaatkannya, maka datanglah al-Khabbab ibn al-Mundzir bertanya, "Ini dari wahyu atau dari pendapat (ijtihad)?" Nabi menjawab, "Pendapat." Yaitu, karena Beliau melakukan analogi bahwa menghalangi mereka (musuh) dari memperoleh air yang vital itu sama dengan menghalangi binatang dari air, sedangkan menyiksa binatang seperti itu tidaklah diperbolehkan. Padahal Nabi s.a.w. mempunyai naluri amat kuat untuk bersikap kasih kepada sesama hidup. Kemudian al-Khabab membalas, "Pendapat yang benar ialah kita harus menghalangi mereka (musuh) itu dari air yang vital ini, karena menghalangi mereka dari air termasuk taktik perang dan menjadi sebab kemenangan. Musuh dalam perang bukanlah orang yang harus dihormati sehingga tidak diperbolehkan dihalangi dari air." Inipun, kata al-Makki, termasuk pendekatan analogis, salah satu metode ijtihad yang amat penting. Sedangkan yang disebut-sebut ijtihad Nabi yang kemudian mendatangkan teguran Ilahi ialah yang terabadikan dalam QS. Al-Tahrim 66:1, "Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah hanya untuk memperoleh kerelaan (kesenangan hati) isteri-isterimu?!" Para penafsir klasik menuturkan tentang suatu kejadian bahwa Nabi suatu hari tinggal di rumah Mariyah, isteri Beliau yang berasal dari Mesir, karena murka kepada Aisyah atau Hafshah. Hal itu kemudian diketahui oleh Hafshah, lalu Hafshah pun marah kepada Nabi, sehingga, demi menyenangkan hati Hafshah (anak 'Umar ibn al-Khattab) Nabi berjanji dan mengharamkan berkumpul dengan Mariyah atas diri Beliau, padahal Mariyah adalah isteri Beliau yang sah. Jadi, menurut hukum Allah adalah halal. Juga, ada versi lain berkenaan dengan kejadian yang terabaikan dalam firman ini. Versi manapun yang benar, semuanya menunjukkan suatu yang dimaksudkan oleh al-Makki sebagai contoh ijtihad Nabi. (Lihat, Nashir al-Din Abi Said 'Abdullah ibn 'Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydlawi. Anwar al Tanzil wa Asrar al-Ta'wil al-ma'ruf bi tafsir al-Baydlawi, 5 jilid (Beirut: Muassasat Sya'ban, tt.) jil. 5. hal. 137). 21. Pembahasan tentang ishamat atau ketidak-biasaan (infallibility) Nabi oleh Ibn Taymiyyah ini dapat kita jumpai dalam karya besarnya Minhaj al -Sunnat al-Nabawiyyah fi Naqdl Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyvah, 4 jilid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt)., jil. 1, hal. 130. Perlu diketahui, karya ini ditulis sebagai polemihya dengan golongan Syi'ah, sebagaimana tereermin dari judulnya. 22. QS. al-Ankabut 29:69, "Dan barangsiapa berusaha sungguh-sungguh (mujahadah) di jalan Kami, maka pastilah akan Kami tunjukkan kepada mereka berbagai jalan (subul) Kami." 23. Lihat, Ibn Taymiyyah, Ikhtilaf al-Ummah fi al-Ibadat, K.H. Muh. Hasyim Asy'ari, al-Tanbihat, dan al-Makki, op. cit., hal. 244 dan passim. 24. Lihat catatan no. 1 di atas dan keterangan yang bersangkutan awal-awal tulisan ini. 25. QS. Al-Qashash 28:88, "Janganlah menyeru bersama Allah (Tuhan Yang Maha Esa) suatu Tuhan yang lain. Tiada suatu Tuhan melainkan Dia. Segala sesutu binasa kecuali Wajah-Nya. Baginyalah ketentuan hukum, dan kepadanyalah kamu semua akan dikembalikan." A. Yusuf Ali memberi komentar yang menarik tentang ayat terakhir Surah 28 ini: "Ini meringkaskan pelajaran seluruh Surah. Kenyataan satu-satunya ialah Tuhan. "Wajah"-Nya atau Diri, Pribadi, atau Wujud-Nya itulah yang harus kita cari, karena menyadari bahwa Dia-lah satu-satunya hal yang abadi, yang tentang hal itu kita bisa mempunyai berbagai pengertian. Seluruh jagad lahir dan tunduk kepada hukum peralihan dan perubahan fana akan sirna, namun Dia akan tetap abadi. Jika berpikir tentang Tuhan yang impersonal, suatu kekuatan kebaikan yang abstrak, kita tidak dapat menggabungkannya dengan Pribadi atau Wujud yang vital, yang tentang Dia itu kita hanya mampu menangkap gaung samar-samar atau cerminan dalam momen yang paling intens dalam luapan spiritual. Jadi kita tahu bahwa apa yang kita sebut diri kita sendiri tidaklah punya makna, sebab hanya ada satu Diri yang benar, dan itu adalah Tuhan. Inilah juga doktrin Advaita dan Shri Shankara dalam jabarannya terhadap Brihadaranyaka Upanishad dalam filsafat Hindu. Lihat juga QS. Al-Hadid 57:3, "Dia (Tuhan)-lah Yang Pertama dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha mengetahui atas segala sesuatu." -------------------------------------------- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21 Jakarta Selatan Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173 Fax. (021) 7507174
Back to List of Articles" Page