ISLAM DAN NEGARA KEBANGSAAN
Oleh Masdar F Mas'udi
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat (P3M) Jakarta
HUBUNGAN Islam (juga agama pada umumnya) dan ke-Indonesiaan (nasionalitas) tampaknya masih akan terus menjadi masalah. Ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga bangsa Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga dan apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim musti terlebih dahulu melampaui (mengaburkan?) batas-batas keislamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat, umat dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia, dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin bangsa.
Tentu saja situasi seperti itu sangat menyulitkan karena kita dipaksa untuk memilih hanya salah satu dari dua pilihan yang idealnya harus diambil keduanya sekaligus. Tapi itulah realitas ideologis-politis kita sejak awal lahirnya negara-bangsa. Bertolak dari kondisi yang sulit ini, lahir dari kita sikap dan pendirian politik yang pada dasarnya tidak masuk akal. Yang paling mencolok adalah keputusan ideologis kita untuk memperlakukan agama sebagai institusi yang subordinatif terhadap negara; hidup dengan jaminan negara, berkembang dengan restu negara dan beraktivitas dengan fasilitas negara. Bahkan untuk bisa berkoeksistensi dengan agama lain pun harus diawasi oleh aparat pemaksa dari negara.
Bagaimana keganjilan ini bisa dijelaskan? Kiranya hal itu terjadi karena "Islam" sebagai sistem ajaran yang kita pahami dan yakini serta kita pakai untuk menangani negara adalah keislaman yang sebenarnya tidak ada urusan apa pun dengan negara. Yaitu keislaman individual-personal, dan paling jauh Islam untuk urusan rumah tangga. Sementara Islam publik, Islam sebagai basis moral dan etik bagi kehidupan publik, telah lama lepas dari wacana kita.
Berbeda dengan Islam publik, Islam personal dan privat ini sangat mementingkan bentuk, simbol-simbol bahkan ornamen-ornamen yang dibakukan. Sujud, ruku', hajar aswad, lempar batu, kubah, menara, bulan sabit, huruf/kalimat Arab, nama Arab, jubah, jilbab, peci, sarung, serban adalah representasi-representasi keislaman yang bersifat personal dan privat tadi. Memang, pada dasarnya tidak ada masalah, dengan bentuk dan simbol-simbol keislaman itu sejauh diletakkan pada tempatnya sebagai media penghayatan iman yang bersifat subyektif, individual dan personal.
Masalah segera muncul ketika bentuk dan simbol-simbol keagamaan personal itu kita tarik ke dunia publik (puncak konfigurasinya pada negara). Masalah itu muncul karena simbol-simbol penghayatan iman yang personal, dalam arena publik tiba-tiba diberi fungsi yang sama sekali lain, yakni sebagai identitas kelompok yang berwajah ganda: ke dalam kelompok sendiri berfungsi merangkul, sementara keluar pada kelompok lain berfungsi menyangkal. Dalam bentuk yang lebih jauh, bentuk dan simbol-simbol keagamaan itu kita pergunakan sebagai garis demarkasi untuk membedakan antara orang kita (minna, in group) dari orang mereka (min hum, out group).
Dalam konteks ini, sebenarnya kita telah berbuat dzalim karena meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Islam domein personal yang subyektif dan tertutup, kita jadikan acuan (framework) untuk menangani masalah negara yang pada hakikatnya bersifat publik, obyektif rasional dan terbuka. Ini tampak dari standar yang kita pakai dalam menghukumi (membenarkan atau menolak) suatu konsep dan realitas kehidupan bernegara berdasarkan kenyataan, "apakah para pejabatnya bersedia mengurus upacara-upacara keagamaan dan akrab dengan simbol-simbol keagamaan, atau tidak".
Padahal, kiranya cukup jelas bagi kita bahwa agama personal ini pada dasar-nya independen terhadap negara. Tidak ada korelasi positif antara kegemar-an pejabat negara mengenakan simbol-simbol keagamaan dengan tingkat kapabilitas dan kredibilitasnya mengurus masalah-masalah kenegaraan. Juga belum terbukti bahwa kadar aktivitas yang tinggi dari suatu birokrasi negara dalam urusan pembangunan masjid, haji dan zakat serta hari-hari besar keagamaan (Islam) dapat disimpulkan bahwa hal itu menunjukkan tingkat efektivitas dan kebersihan birokrasi yang bersangkutan. Sebaliknya bahkan ada indikasi simbol-simbol kesalihan pribadi yang ditunjukkan oleh kalangan aparat negara justru dimaksudkan untuk mengkompensasikan inefisiensi dan kekurangberesan yang melibatkan dirinya.
Kerancuan itulah yang telah membikin kita tersentak tidak habis pikir, ketika sebuah temuan (hasil survai lembaga riset independen luar negeri) memperlihatkan kepada kita dan dunia sesuatu yang sangat ironik. Yakni, bahwa negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, di mana para pejabatnya kebanyakan telah menunaikan ibadah haji dan setiap kantor ada masjid/ musala, ternyata menduduki peringkat ketiga di antara negara-negara paling korup di dunia. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Di mana peranan keberagamaan para pejabat dalam mempengaruhi tingkah laku birokrasi dan politik mereka?
Keterlibatan birokrasi negara dalam urusan keagamaan personal ini mungkin saja ada gunanya. Akan tetapi selain kegunaannya terbatas bagi kalangan tertentu, mafsadah-nya cenderung selalu lebih besar. Pertama, mafsadah yang bersifat kedalam, membikin independensi keagamaan menjadi hilang. Keagamaan yang semula bertumpu pada kebebasan iman, lalu tereduksikan menjadi urusan birokrasi yang bisa dipaksakan. Kedua, sejalan dengan mafsadah pertama, komunitas keagamaan pun terpaksa menjadi ikut ditundukkan pada kepentingan elite negara. Ketiga, mafsadah yang bersifat keluar, campur tangan negara pada domein keagamaan ini cenderung mendiskriminasikan faham keagamaan yang satu atas paham keagamaan yang lain, menganakemaskan kelompok keagamaan yang satu sambil menganaktirikan kelompok keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke derajat yang rendah, menjadi faktor pemecah belah. Agama yang semestinya menjadi rahmat berubah menjadi sumber fitnah.
***
BAGAIMANA ironi ini dipecahkan? Pertama, kita perlu sepakat terlebih dahulu bahwa urusan negara adalah urusan publik, yang bersifat obyektif, rasional, dan terbuka. Di dalamnya semua warga negara harus diperlakukan sama di depan hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, kesukuan maupun keyakinannya. Kedua, kita perlu melakukan distingsi (pemilahan) yang jelas mana ajaran agama untuk domein personal dan mana yang untuk domein publik. Pemilahan ini penting karena watak dan pendekatan dari masing-masing berbeda, demikian pula patrap (sasaran)-nya. Sebenarnya distingsi antara ajaran keagamaan (Islam) yang berdimensi personal dan publik ini sudah dilakukan dalam tradisi pemikiran umat Islam, atas jasa para Fuqaha khususnya, ketika mereka membuat pembedaan antara ajaran ubudiah dan muamalah. Akan tetapi harus diakui bahwa distingsi itu masih diliputi kerancuan yang besar. Pertama bias ubudiah masih terlalu dominan; semua ajaran Islam yang pokok (rukun Islam) yang seharusnya merepresentasikan dua bidang besar, ubudiah dan muamalah, semua diklaimnya sebagai berwatak ubudiah. Kedua, distingsi yang mereka lakukan antara domein ubudiah dan muamalah masih setengah-setengah, tidak tuntas. Tidak sedikit masalah yang secara formal masuk bidang muamalah (sebut: zakat) akan tetapi pendekatan yang dipakai tetap saja pendekatan ubudiah.
Berbeda dengan ajaran "ubudiah" yang bersifat personal dan mementingkan bentuk (:Shallu kama raitumuni ushalli/Khudzu 'anni manasikakum, al-hadits), ajaran muamalah yang bersifat publik yang lebih dipentingkan adalah isinya, substansi. Soal bentuk dan mekanisme kelembagaannya bukan tanggung jawab agama; masyarakat manusia sendiri yang berhak mengkonstruksinya, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Misalnya bentuk-bentuk muamalah yang dikenal di dunia Fiqh, semuanya adalah hasil kreasi budaya masyarakat Arab, tempat di mana awal mula Islam digelar. Seperti: bai' (jual-beli), rahn (gadai), salam (tempah), ijarah (sewa-menyewa), dan sebagainya. Yang menjadi kepedulian Islam dalam soal muamalah ini adalah agar hak-hak sah dari pihak-pihak yang terlibat ditegakkan, yakni "keadilan".
Demikianlah ajaran Islam tentang negara sebagai domein publik, yang menjadi pertaruhan adalah isinya, tujuannya, untuk apa negara dengan klaim kekuasaannya yang begitu luas didirikan. Bagi Islam tujuan bernegara sangat jelas, yakni menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam negara adalah instrumen bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan sosialnya.
Maka, apa pun label, simbol dan bentuk yang dipakai oleh sebuah negara, sejauh berguna bagi terwujudnya cita-cita keadilan adalah Islami, dan wajib bagi kita untuk mendukungnya. Sebaliknya, suatu negara dengan label, simbol dan bentuk apa pun, yang cenderung melecehkan cita keadilan dan kepentingan rakyat adalah batal dan secara syar'iy wajib bagi kita untuk meluruskannya. Bukan berarti bentuk kenegaraan / pemerintahan dengan segala simbol dan ornamennya tidak penting. Akan tetapi semuanya itu bersifat subordinatif terhadap cita-cita keadilan dan kesejahteraan yang meramut semua pihak, terutama yang paling lemah. Dalam konteks kehidupan bernegara, sepenuhnya kita bisa mengatakan bahwa Islam maknanya adalah adil. Yang disebut dengan "Negara Islam", jika saja istilah ini harus dipakai, maknanya adalah "Negara Berkeadilan". Dan keislaman bagi manusia warga negara adalah komitmen pada cita-cita keadilan.
Itulah sebabnya tidak ada satu bentuk kenegaraan / pemerintahan yang dipatok oleh Islam sebagai pilihan yang bersifat abadi, mengatasi ruang dan waktu. Dari sejarah Rasulullah SAW dan Khulafa Rasyidin r.a. tidak ada satu bentuk kenegaraan/pemerintahan yang mutlak harus diikuti. Soal bentuk, sistem serta mekanismenya adalah tanggung jawab manusia sendiri untuk memikirkannya, mengijthihadkannya, dari waktu ke waktu, dengan acuan keadilan tadi. Di sinilah mutlak perlunya forum publik (majlis syura) yang anggotanya benar-benar mewakili suara dan aspirasi rakyat.
***
HARUSKAH agama (juga Islam) peduli dengan kehidupan bernegara? Ber-beda dengan Marx, yang menganggap negara adalah setan yang selalu jahat, atau Hegel yang menganggap negara sebagai ujud roh absolut yang tidak sa-lah, Islam memandang negara tak ubahnya semacam badan, jasad, atau raga yang berskala makro bagi jiwa kolektif manusia. Seperti raga, atau jasad ma-nusia perorangan, di dalam badan besar negara juga terdapat nafsu yang menurut Al Quran bersifat ammaratun bis-su, tend to corrupt. Maka, sikap dasar Islam terhadap negara, bukan membenci atau mengingkari, tapi me-waspadai dan mengkritisi. Apa boleh buat tak seorang manusia bisa eksis tanpa badan. Demikian pula manusia kolektif (masyarakat), tidak bisa eksis tanpa badan bersama, yaitu pemerintahan/negara. Namun, karena di dalam badan ada kecenderungan-kecenderungan koruptif, kesadaran manusia perlu selalu mewaspadainya; bukan sebaliknya seperti yang terjadi selama ini, di mana negara yang justru mewaspadai dan mencurigai manusia-rakyatnya. Amar makruf nahi mungkar (mendukung langkah negara yang lurus (adil) dan meluruskan yang bengkok (tidak adil) adalah prinsip umat beragama terhadap negara.
Saya kira jika pandangan keislaman publik ini yang kita pakai dalam beruru-san dengan negara, kesulitan dalam hubungan Keislaman dan Keindonesiaan akan bisa diatasi. Karena keislaman adalah komitmen kerohanian untuk tegaknya keadilan, sedang negara adalah persoalan badan, sarana atau instrumen untuk tegaknya roh itu. Bahwa realitas hari ini negara justru cenderung menjadi wahana dari kepentingan yang melawan keadilan, itulah karena roh yang dimaksud selama ini tidak ada di sana, kita sendiri yang mengalienasikannya. Tugas keagamaan kita adalah mengembalikan roh itu pada tempatnya, di dalam badan kita, badan kecil kita dan badan besar kita, negara. Berat, tetapi kita tidak bisa lari darinya.
Back to "Pendidikan Politik di Indonesia