"Belum ada Perubahan Dramatis"

Eep Saefulloh Fatah, "Tinggalkan celetukan politik, rancang strategi mendasar." Wawancara Sahid dengan Pengamat Politik UI, staf Litbang Harian Republika.

Dari Majalah Suara Hidayatullah


Bagaimana Anda memandang cara pemuda Indonesia memposisikan dirinya?

Kaum muda bisa mengambil dua strategi mengkritik kekuasaan. Pertama, mengkritik lingkaran luar kekuasaan itu. Yang kedua melakukan otokritik dengan berada di lingkaran dalam. Kedua kemungkinan itu yang membuat orang kecewa pada KNPI, karena mereka tidak melakukan otokritik. Mereka lebih banyak melakukan apologi dari dalam lingkaran kekuasaan.

Menurut Anda, dalam politik apa hukumnya terhadap sikap pemuda yang suka dengan kekuasaan?

Di dalam sejarah politik dan sejarah gerakan masyarakat sebetulnya sah-sah saja mengambil strategi berpolitik dari dalam lingkaran kekuasaan. Pertimbangannya, orang kemudian berfikir mencari strategi baru dengan mengambil sikap mendekat kepada kekuasaan, dalam pengertian masuk ke ruang-ruang pengambil kebijakan.

Dengan cara itu mereka lebih bisa meningkatkan efektifitas peranannya di dalam politik. Jadi tidak bisa menilai secara hitam putih. Tetapi jika melihat dari sudut strategi layak-tidaknya berpolitik, sebenarnya layak saja. Apa yang dilakukan di dalam dan di luar itu yang harus kita persoalkan.

Di Indonesia, seberapa besar posisi tawar ormas kepemudaan terhadap negara?

Dipandang dari segi efektivitas politiknya, ormas pada masa Orde Baru itu sebenarnya hanya mempunyai dua pilihan hidup. Pertama, ormas pemuda itu menjauh dari kekuasaan atau dia tidak menjadi bagian dari korporatisme negara. Tetapi kemudian ia menjadi ormas yang mandul, karena seluruh proses politik dikendalikan dari dalam negara, dan kekuatan di luar itu tidak mendapat porsi.

Pilihan kedua, ia masuk ke dalam korporatisme negara. Tetapi ia juga mengalami persoalan serupa. Ia lalu tidak pernah bisa efektif menyuarakan suara masyarakat. Karena ketika ia masuk ke dalam korporatisme negara aspirasi masyarakat sudah tenggelam di dalam sosok besar negara tadi. Sehingga menurut saya, sejauh ini tidak ada ormas pemuda yang efektif secara politik. Bila ukuran efektif tidaknya diukur dari sumbangan ormas itu dalam penentuan kebijakan politik dalam perumusan langkah-langkah politik.

Hal yang sama berlaku juga pada ormas pemuda Islam?

Sejauh ini pilihannya memang baru demikian. Kita tidak melihat ormas yang melakukan perlawanan politik dengan baik lalu mengambil siasat tertentu untuk keluar dari dua jebakan itu.

HMI misalnya, betul dia punya peran kognitif tertentu yang penting. HMI punya peran untuk tetap mempertahankan kesadaran politik --minimal pada kalangan muda Islam-- tetapi ya sebatas itu, sementara peran HMI di dalam ikut serta dalam mewarnai atau memberi corak buat kebijakan atau politik tidak terlihat.

Kalau belakangan muncul kelompok yang nampak lebih kritis, seperti PMII atau IPNU yang bergabung dalam FKPI?

Saya tidak melihat itu sebagai langkah baru yang signifikan yang akan memberi karakter baru buat ormas-ormas Islam. Saya tidak mengatakan HMI di dalam dan kemudian kritis. Saya lihat justru HMI mendekat ke dalam tetapi sikap kritisnnya itu tidak dimunculkan.

Kalau tahun lalu HMI membentuk komite pengawas pemilu sepeti KIPP, apa itu bukan bentuk sikap independen dan kritis?

Fungsi politik ormas adalah fungsi sebagai kelompok penekan, kelompok kepentingan. Maka agenda-agenda politiknya harus menyangkut persoalan-persoalan mendasar dalam masyarakat. Saya kira kita tidak bisa berharap pada strategi nyeletuk yang dilakukan oleh sebagian mereka. Jadi apa yang Anda ajukan sebagai bantahan tadi sering kita dengar dari berbagai kalangan ormas pemuda kan.

Misalnya KNPI mengatakan kita melakukan ini, apa ini bukan sikap kritis. Tapi kalau yang dilakukan hanya sebagai celetukan politik, tidak banyak manfaatnya. Kelompok kepentingan --termasuk ormas pemuda Islam-- harusnya membuat strategi baru dengan mengisi agenda-agenda besar yang perhatiannya menghadapi persoalan mendasar, secara sistematis dari waktu ke waktu dan berjangka panjang.

Itu yang tidak saya lihat sejauh ini. Langkah yang diambil jadi tidak mendasar karena cenderung jadi celetukan politik.

Kira-kira di masa depan dinamika ormas pemuda Islam bagaimana?

Kalau bicara masa depan, kita tidak terlalu pesimistis. Ada sejumlah hal di masa depan yang memberikan peluang bagi aktualisasi masyarakat yang lebih baik, yang lebih luas. Yang saya maksud, bagaimanapun kuatnya cengekeraman sistem politik suatu saat dia punya ambang batas toleransi.

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, toleransi masyarakat, terhadap berbagai bentuk ketidakadilan semakin mengemuka ke atas dan diekspresikan secara tegas. Lalu itu tidak sepenuhnya ditutup atau dihambat oleh negara. Lihatlah sejumlah kerusuhan secara beruntun. Itu kan ekspresi --dalam batas tertentu-- atas turunnya toleransi terhadap ketidakberhasilan ekonomi dan politik.

Ini yang saya kira jadi peluang penting buat masa depan ormas pemuda Islam. Di masa depan, sistem politik kita kelihatannya akan diminta untuk menyisakan ruang yang lebih besar buat publik, buat masyarakat.

Nah kalau itu yang benar terjadi, maka ruang bermain buat masyarakat --termasuk buat ormas pemuda Islam di dalamnya-- itu akan jadi lebih lebar ketimbang situasi sekarang. Jadi ada perkembangan yang cenderung optimistik.

Tapi persoalannya adalah peluang sejarah tidak pernah berulang, peluang sejarah datang sekali. Oleh karena itu, apakah kemudiann ormas pemuda Islam mengalami revitalisasi atau tidak dalam konteks yang berubah tadi, jawabannya terletak pada kesiapan ormas pemuda Islam itu sendiri. Bagaimana kecerdasan ormas pemuda Islam dalam menangkap peluang sejarah itu yang masih harus kita lihat.

Dalam lima tahun mendatang, harapan anda tadi akan sejauhmana bisa tercapai?

Apa yang saya katakan tadi membutuhkan waktu yang tidak pendek. Karena kalau pun pembesaran ruang publik dalam politik terjadi, maka itu berarti kan satu proses pembalikan dari rekayaasa politik yang sudah berjalan 30 tahun. Saya kira kita tidak bisa mengembalikan hasil rekayasa politik tiga dasa warsa itu dalam waktu yang pendek: tiga atau lima tahun.

Terlebih lagi yang kita bayangkan ini masa lima tahun ke depan. Ini proses yang tentu saja lama, bertahap sifatnya dan sangat tergantung pada banyak hal untuk konsisten.

Ini yang justru jadi peluang kalangan pemuda Islam. Jadi peluang karena ada waktu yang cukup lapang untuk menyiapkan strategi-strategi baru sesuai dengan konteks yang berubah untuk menyiapkan agenda-agenda baru yang lebih mendasar.

Jadi di satu sisi, mereka yang tidak bisa bersabar akan sulit untuk melihat dengan cepat perkembangan yang lambat itu. Tapi di sisi yang lain segi positifnya adalah infra struktur sosial dan politik yang tercerai-berai dari kalangan ormas pemuda Islam itu dapat mulai ditata kembali sejalan dengan perkembangan perubahan yang bertahap itu tadi.

Berkaitan dengan Pemilu 97 bisa anda jelaskan peta aspirasi kalangan ormas pemuda Islam dalam pemilu kali ini. Misalnya seperti dikatakan tadi HMI dekat ICMI dan ICMI dekat Golkar, sementara PMII yang semula beroposisi kemudian ada kemungkinan jadi dekat ke Golkar karena Gus Dur dekat dengan Mbak Tutut, kecenderungannya bagaimana?

Kalangan muda ini punya karakter politik yang tidak sepenuhnya persis dengan mayoritas masyarakat kita. PMII misalnya, yang dikatakan bahwa mereka akan menjadi Golkar karena melihat Gus Dur dekat Mbak Tutut belakangan, saya kira ini hipotesa atau kesimpulan yang perlu diperdebatkan lagi.

Karena saya tidak tahu persis, sejauh pengamatan selintas, apa yang dilakukan Gus Dur sekarang buat sebagian kalangan muda kritis --termasuk di PMII-- sebagai tergolong tindakan membingungkan dan tidak populer di mata mereka.

Mereka melihat dulu apakah betul bahwa Gus Dur memang ingin membawa gerbong NU ke dalam Golkar, atau Gus Dur punya strategi politik tertentu.

Kalau ternyata hasil yang mereka tangkap Gus Dur adalah sedang menyiapkan strategi politik jangka panjang, ya dengan sendirinya teman-teman di PMII dengan cepat mengaitkan gerbongnya ke lokomotif Golkar.

Saya kira sangat spekulatif, analisis yang mengatakan bahwa PMIII akan menjadi Golkar. Bisa dilihat, sikap kritis di kalangan anak muda NU belakangan relatif menaik --terutama di daerah perkotaan. Mereka ini justru bisa menjadi kantong politik yang kecewa terhadap pemilu 97 yang penuh dengan sejumlah ketidakmanisan manuver negara. Juga kemudian penampilan Golkar yang arogan di sejumlah tempat --termasuk di kantong-kantong NU--PPP.

Ini justru bisa menjadi indikasi mereka bisa saja menjaga jarak dengan pemilu 97. Artinya tidak harus mereka akan tertarik ke Golkar, tapi pasti mereka juga tidak akan bertahan di PPP.

Golput?

Nah yang ingin saya nyatakan adalah kalau kekecewaan itu benar, itu potensi kantong golput yang bisa kita bayangkan. Begitu juga dengan HMI yang anda katakan dekat dengan ICMI, lalu dengan sendirinya akan ke Golkar saluran politiknya. Ini juga tidak bisa dibayangkan sesederhana itu ya.

Karena strategi HMI untuk masuk kekuasaan atau ke Golkar saya kira akan mendapat tantangan serius dari kalanganm HMI generasi baru yang justru dari kampus-kampus, yang mereka mencantel ke HMI karena mereka tidak puas dengan lembaga formal ekstra kampus. Mereka ingin punya wadah aktualisasi politik yang lebih capable.

Cuma kalau kemudian yang terjadi tiba-tiba ketika masuk HMI sudah dikondisikan untuk bergabung dengan Golkar, saya kira itu persoalan besar bagi mereka. Tidak mudah membayangkan seperti itu.

Hanya di tingkat elitnya yang ke Golkar?

Itupun tidak bisa menggeneralisasi seluruh elit di kedua organisasi tadi.

Dari sekian banyak isu, yang mana yang nampak menjadi gejala umum, lebih banyak yang mirip HMI atau mirip PMII?

Yang menjadi gejala umum adalah tidak ada pergeseran peta aliansi politik yang dramatis. Saya tidak melihat indikasi yang serius tentang berubahnya pola aliansi secara dramatis di kalangan Islam. Artinya, kalangan muda yang selama ini secara tradisional berada di bawah payung PPP atau Golkar, mereka akan tetap menjadi massa pemilih tradisional sesuai dengan idealismenya.

Sementara kalaupun terjadi pergeseran-pergeseran, justru terjadi pada massa mengambang Islam. Massa mengambang dalam perngertian mereka tidak punya aliansi tradisional, mereka mengambang sifatnya. Yang bisa lari dari salah satu ketiganya atau tidak dari ketiga-tiganya. Saya kira tidak ada perubahan dramatis dari pola ini pada ormas pemuda Islam. (cha, shw).


Back to List of Articles