Kekuasaan di Mata Kaum Muda

Pandangan tokoh-tokoh pemuda Islam tentang bangsa Indonesia dan masa depannya. Apa kata mereka tentang Pemilu? Kepemimpinan nasional?

Dari Majalah Suara Hidayatullah


"Berikan kepadaku sepuluh orang pemuda, akan aku bikin sebuah gunung berpindah." Kalimat itu merupakan retorika Bung Karno yang menggambarkan dahsyatnya potensi pemuda. Karenanya dalam momen-momen penting, pemuda selalu menjadi rebutan. Termasuk dalam panggung politik, apalagi dekat-dekat Pemilu seperti sekarang.

Terlebih lagi organisasi pemuda yang bermassa banyak seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Badan Komunikasi Pemuda/Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Gerakan Pemuda (GP) Anshor, Pemuda Muhammadiyah (PM) dan yang lain, para tokohnya akan jadi lirikan organisasi peserta pemilu.

Kalau bukan caleg, paling tidak menjadi jurkam. Misalnya Idrus Marham, Ketua Umum BKPRMI, Hajriyanto Y. Tohari Ketua Pemuda Muhammadiyah, saat ini mereka sedang sibuk-sibuknya berkampanye untuk Golkar.

Meskipun mereka melakukan atas nama pribadi, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka direkrut karena kedudukannya sebagai pimpinan organisasi pemuda tersebut. Sehingga timbul cemooh, mengapa dalam setiap pemilihan ketua ormas pemuda selalu timbul keributan? Karena jabatan ketua ormas pemuda merupakan jembatan emas menduduki jabatan penting.

Tetapi tidak semua tokoh organisasi pemuda Islam mengambil posisi yang begitu dekat dengan kekuasaan. Sebagian memilih tetap berada di luar lingkar kekuasaan. Mendekatpun segan. Tokoh-tokoh organisasi pemuda Islam jenis kedua ini, lebih sering dijumpai bersama kelompok yang kritis di luar kekuasaan.

Sesungguhnya, dipandang dari watak dasarnya, organisasi pemuda Islam manapun tidak memiliki perbedaan prinsip, semua menggunakan landasan operasional al-Qur'an dan Hadits. Sikap mereka juga selalu sama, amar makruf nahi munkar, mendukung demokrasi, mendambakan keadilan dan sebagainya.

Sikap mereka baru nampak berbeda ketika menghadapi isu-isu kontemporer atau dalam melakukan pendekatan untuk mencapai tujuan masing-masing. Misalnya soal upaya menegakkan demokrasi, tentang perlu tidaknya mendekat dengan kekuasaan. Kalau dekat dengan kekuasaan, apakah masih bisa independen atau malah terkooptasi alias tercaplok oleh kekuasaan yang memang sudah tinggi besar. Demikian pula dalam menyikapi isu Pemilu 1997, isu golput sampai isu kepemimpinan nasional. Di luar itu mereka seragam.

Menyangkut kedekatan dengan kekuasaan misalnya. Sebuah organisasi yang berdekat-dekat dengan kekuasaan sering dianggap kehilangan kemandirian, bahkan kehilangan sikap kritis. Beberapa organisasi pemuda mengambil sikap yang berbeda-beda, sesuai dengan pendekatan ijtihad yang dilakukan.

Seperti yang dilakukan PMII, organisasi di bawah NU ini sering kali terkesan mengambil sikap berseberangan dengan kekuasaan. Ini juga bisa dibaca dari sikap politik PMII yang sering dikeluarkan dalam menanggapi berbagai isu. Tidak seperti salah satu saudaranya, GP Anshor dipandang lebih akomodatif dengan kekuasaan.

Menanggapi penilaian tersebut A. Muhaimin Iskandar, Ketua PB PMII, mengatakan bahwa apa yang dilakukan selama ini tidak lain adalah implikasi dari aktivitas pemikiran yang dilakukan organisasinya. "Misalnya, PMII tidak mau merekomendasi realitas kebobrokan dan kezaliman dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat," katanya kepada Sahid.

Menurutnya selama ini telah terjadi pemaknaan tunggal oleh kekuasaan terhadap keadilan, kebebasan berserikat, pemerataan, peningkatan kemakmuran dan yang lain. Birokrasi misalnya, yang seharusnya melayani kepentingan publik, nyatanya malah menjadi raja publik. Maka yang terjadi adalah penghambaan masyarakat lebih dominan dari pada pelayanan birokrasi kepada masyarakat. Penegakan hukum dan kebebasan pers juga terlalu kuat dikontrol negara. "Kalau tidak SIUPP-nya dicabut, ya rekomendasi PWI wartawannya dibatalkan," tambahnya.

Demikian juga soal UU Pemilu atau UU tentang parpol yang menurutnya sangat membelenggu aspek publik. UU Pemilu tidak pernah memberikan keberdayaan pada partai sehingga partai menjadi tergantung. "Apa yang kita (PMII) lakukan adalah sebatas mengajak masyarakat merebut makna baru yang lebih berkualitas dari pemaknaan tunggal," jelasnya.

Lalu orang bertanya, mengapa sikap-sikap tersebut baru gencar sekarang, padahal pemaknaan tunggal tadi terjadi sejak berdirinya Orde Baru, yang mana negara selalu lebih dominan dari masyarakat? Muhaimin tidak memberi jawab langsung. Menurutnya, saat ini terjadi keadaan yang sangat rawan dan krusial. "Kalau kita tidak bergerak hari ini akan terjadi kehancuran," ujarnya.

PMII memang berbeda dengan saudara kandungnya, GP Anshor. Seperti diketahui, tokoh GP Anshor yang cukup ternama adalah juga seorang tokoh muda Golkar, Slamet Effendy Yusuf.

Menurut Muhaimin, dari awal bahan baku GP Anshor adalah ormas pemuda yang lahir sebagai kader politik. Kemudian pelan-pelan mengarah pada orientasi ekonomi. Sayangnya, masih menurut Muhaimin, dalam mengambil kebijakan ekonomi para pengurusnya mengunakan pendekatan dan kebijakan politik.

Berbeda dengan PMII, meskipun HMI dan Pemuda Muhammadiyah berusaha tetap independen dan kritis terhadap kekuasaan, kedua organisasi ini tidak serta-merta mengambil sikap berseberangan. Bagi HMI, menurut Ketua Umum Pengurus Besarnya Taufiq Hidayat, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram. Politik justeru mulia bila dijalankan dengan etika dan bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. "Lantaran itu HMI akan mendukung pemerintah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan," katanya.

Namun jika terjadi menyelewengan wewenang dan pemerintahan yang korup, maka HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan. "Sikap ini telah kami buktikan ketika HMI ikut merintis Orde Baru, pada saat ini dan masa mendatang," kata Taufiq di depan Presiden Soeharto pada peringatan 50 tahun HMI.

Karena itu dalam mengaktualisasi perannya, HMI akan mempertahankan karakter sebagai organisasi mahasiswa yang independen. Mencegah organisasi ini menjadi onderbouw organisasi politik. "Indenpendensi inilah yang jadi energi moral bagi HMI dalam menjalankan misinya," tambahnya.

Hajriyanto Tohari Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, punya sudut pandang lain melihat persoalan ini. Masalahnya bukan dekat atau tidaknya dengan pemerintah, tetapi yang lebih penting adalah tercapai tidaknya tujuan organisasi dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Hajriyanto memberi bandingan, ada orang-orang yang dekat dengan pejabat, menteri atau presiden, yang karenanya lantas pemikiran dan sikap politiknya dipakai. Tetapi ada orang yang karena sikapnya yang menjauhi kekuasaan, pemikirannya tidak dipakai. Kemudian yang bersangkutan menyampaikan kecaman-kecamannya melalui media massa.

Hajriyanto tidak khawatir karena sikap politik yang diambil Pemuda Muhammadiyah menjadikan organisasi ini tidak populer. Karena yang lebih menentukan kualitas organisasi adalah komitmennya terhadap sikap amar ma'ruf nahi munkar. "Lha kalau yang ma'ruf sedang ada pada negara, ya kita dukung kema'rufannya. Bukan ingin bergenit-genit biar gagah lantas jadi oposan," ujarnya kepada Sahid.

GOLONGAN PUTIH. Beberapa waktu lalu, Jawa Timur dikejutkan oleh hasil penelitian KNPI Malang, yang menunjukkan kecenderungan para aktivis kepemudaan di kota Apel itu untuk ber-golput (golongan putih) alias tak menggunakan hak pilih. Mereka tak percaya pada organisasi peserta pemilu yang ada.

Walaupun Malang hanya sebuah kota, penelitian itu berhasil merangsang perdebatan. Jangan-jangan, anak-anak muda kita memang sudah pada apatis, begitu suara-suara yang beredar.

Menghadapi hal itu, tokoh PMII Muhaimin percaya bahwa golput di kalangan kaum muda akan meningkat. Hal ini terjadi karena kondisi politik saat ini memungkinkan rakyat untuk lebih banyak mengambil sikap itu. Ia memberi contoh, misalnya mobilisasi massa sebelum kampanye oleh OPP kuat, kuningisasi, penggulingan Megawati secara tidak adil dan sebagainya.

Karenanya, menurut Muhaimin, salam menyikapi Pemilu sekarang, yang paling arif adalah menghukuminya sebagai fardlu kifayah. Karena penyelenggaraan sistem politik memang bisa diwakili. Oleh karena itu bila sudah ada yang melaksanakan, yang lain menjadi tidak wajib. Muhaimin menolak kalau ada yang menghukumi Pemilu menjadi wajib. "Malah hukumnya bisa dosa, karena sistemnya tidak adil," tambahnya.

Karena itulah PMII tidak melarang anggotanya yang tidak menanfaatkan hak pilihnya. "Karena golput adalah hak," tukasnya.

Sementara itu sikap Pelajar Islam Indonesia terhadap pemilu sangat jelas, tidak berafiliasi politik dan tidak diperbolehkan untuk berpolitik praktis. "Karena PII merupakan ormas kepelajaran yang berada di usia sekolah," kata Abdul Hakam Naja, Ketua Umum Pengurus Besar PII. Namun warga PII tidak boleh buta terhadap politik maupun pendidikan politik, sebagaimana yang tercantum dalam khittah perjuangan PII.

Meski Hajriyanto mengakui adanya golput, namun jumlahnya tidak akan besar. "Tidak akan sampai dua digit," rincinya yakin. Kalau selama ini kelihatan banyak, itu karena dukungan media massa yang sangat terbuka. Hajriyanto menghimbau anggota Pemuda Muhammadiyah menggunakan hak pilihnya. "Kalau ada anggota Pemuda Muhammadiyah yang golput, hendaknya melakukan secara pribadi. Kalau menggunakan nama organisasi berarti pelanggaran," tegasnya.

Senada dengan Hajriyanto, Abdul Hakam memperkirakan, partisipasi politik rakyat bangsa Indonesia dalam Pemilu mendatang akan tetap tinggi. Jauh lebih tinggi ketimbang Amerika yang mengaku negara demokrasi. Partisipasi ini memang semacam legitimasi bahwa Pemilu dipandang sangat berhasil karena masyarakat yang berpartisipasi lebih dari 70 persen.

Namun Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, melihat adanya kecenderungan yang besar untuk golput di kalangan pelajar, mahasiswa dan intelektual. Bahkan Arbi memprediksi jumlah golput yang akan datang lebih dari dua digit. Dengan demikian golput akan mempunyai posisi tawar (bargaining). "Lihat saja pemerintah sekarang kan kelabakan dengan adanya golput," katanya.

Namun ada suara lain dari kalangan pemuda sendiri, yakni dari Fadli Zon, Direktur Eksekutif di Centre for Policy and Development Studies (CPDS), sebuah lembaga kajian yang dimotori tokoh-tokoh Angkatan Darat dan Golkar. Fadli mengakui fenomena golput memang ada, tetapi sangat kecil dibandingkan yang berpartisipasi memilih.

Ia justru melihat adanya Golput sangat menguntungkan Golkar. Karena jumlah kursi di DPR tidak pernah berkurang meski golput meningkat. "Hal ini jarang diketahui oleh orang-orang yang sangat pro dengan Golput," katanya.

Sarjana sastra Rusia ini juga menolak asumsi meningkatnya golput akan meningkatkan bargaining. Karena kondisi politik sekarang tidak memungkinkan untuk itu. "Justru orang yang berpikir seperti itu tidak mengerti sistem politik di Indonesia," katanya.

Dia memberikan contoh di Amerika saja yang tingkat partisipasi masyarakatnya dalam pemilu kurang dari 50 persen tidak menjadikan pemerintahan mengalami delegimitasi. Apalagi di Indonesia yang katanya angka golput jauh di bawah 30 persen.

Hal lain yang menarik didengar dari para tokoh muda ini, ialah pendapat mereka tentang kepemimpinan nasional. Bagi Muhaimin, sekarang perlu pengkondisian, agar siapapun yang memimpin negeri ini memberikan pembaruan yang menciptakan keadilan dan masyarakat yang lebih sejahtera. "Izzul Islam wal muslimin (Kejayaan Islam dan ummat Islam) itu kan tidak hanya masjidnya saja yang megah, DPR-nya Islam semua," katanya.

Ukurannya menurut dia sederhana, bagaimana masyarakat bisa hidup dan cari makan secara tenang. Dalam pengamatannya, sekarang cari makan saja susah, tiap hari orang mengejar kesempatan. Masyarakat bawah yang nota bene ummat Islam tiap hari ketakutan tidak bisa makan. "Sopir Metro Mini yang brutal adalah contoh yang paling mudah ditangkap, begitulah orang sekarang cari makan," tambahnya.

Soal kepemimpinan nasional, Gerakan Pemuda Islam juga tidak mempunyai calon khusus. Asalkan bisa membawa aspirasi ummat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, begitu kriteria umum dari Askodar, SH, Ketua Umum PP GPI. Baginya, adalah memprihatinkan bila sampai tak ada perubahan sistem politik, serta MPR-nya masih mempertahankan status quo. Oleh karena itu harus ada perubahan total terutama yang menyangkut pembangunan moral.

Jadi bukan sekadar memindahkan sebuah gunung, seperti kata Bung Karno, kan?


Back to List of Articles