PERANCANGAN KURIKULUM
Sebuah Pengantar
Oleh :
Munawar Kholil
(Disalin dari salah satu diktat materi pelatihan Megabit)
1. Tinjauan Umum Terhadap Proses Belajar Mengajar
Sebuah proses bisa kita pandang sebagai transformasi input menjadi output. Suatu proses belajar mengajar adalah transformasi input-input menjadi output juga. Secara visual transformasi itu bisa kita gambarkan sebagai berikut :
INPUT |
PROSES |
OUTPUT |
Apabila paradigma ini kita pergunakan pada sistem belajar mengajar (dengan memandang subsistem yang terkait), maka kita gambarkan proses belajar mengajar adalah :
INPUT INSTRUMENTAL
INPUT PURPOSIF |
PROSES |
OUTPUT |
INPUT ENVIRONMENTAL
Gambar di depan memberikan pengertian bahwa input yang berpengaruh bagi proses belajar belajar mengajar, baik berupa pengajaran di kelas maupun training dan mentoring, ada tiga. Input purposif adalah peserta proses. Pada input ini tidak bisa dilakukan manipulasi. Proses menerima sebagaimana adanya. Demikian juga, dalam kerangka mikro, input environmental tak bisa dimanipulasi. Hal ini menyangkut suasana di luar proses itu sendiri. Adapun yang sifatnya manipulatif adalah input instrumental. Kita bertugas untuk memanipulasi sedemikian rupa, sehingga kedua input yang lain itu dapat ditransformasikan menjadi output yang diinginkan.
Adapun output dari proses ini adalah peserta yang telah mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi pada perilaku peserta, sesuai yang diinginkan. Apabila sesudah proses tak terdapat perbedaan dengan kondisi sebelumnya, berarti telah gagal. Tujuan dirumuskan oleh kita sesuai dengan dasar pikiran tentang perlunya proses belajar mengajar tersebut.
2. Komponen Kurikulum
Sebenarnya, yang termasuk dalam kriteria input instrumental cukup banyak, tetapi cukup disebut kurikulum saja. Dengan ini berarti kurikulum bukanlah kumpulan materi yang harus dipahami, melainkan seluruh aspek yang diatur dalam rangka mencapai tujuan pendidikan tertentu. Termasuk di dalam hal ini adalah manusia pelaksananya, peralatan, metode, biaya, dan sebagainya. Inilah pengertian kurikulum secara umum.
Tetapi apabila kita sempitkan pengertiannya, kurikulum tak lain adalah program pengajaran. Dalam arti seperti ini, kurikulum menyangkut empat pertanyaan mendasar :
Keempat pertanyaan itulah yang merupakan komponen dasar kurikulum, yaitu : tujuan, materi, metode dan evaluasi. Termasuk dalam kriteria metode adalah segenap cara yang dipergunakan berikut peralatannya. Apabila kita merancang sebuah kurikulum untuk suatu pendidikan tertentu, maka kita menyusun keempat hal tersebut.
3. Tujuan Kurikulum
Tujuan kurikulum adalah terjadinya perubahan pada perilaku peserta. Dalam hal ini, sebuah komisi di Amerika Serikat telah mencoba membuat semacam klasifikasi tujuan yang mungkin ada dalam pendidikan. Konsep ini terkenal dengan nama Taksonomi Bloom
Daftar lengkap Taksonomi Bloom akan dirinci sekaligus keterangannya. Untuk menggambarkan tiap jenis, digunakan kata kerja (infinitive) yang khas, serta objek langsung (direct object) yang khas pula. Apabila kita membuat sebuah kurikulum, kita hanya sampai kepada tujuan umum. Namun dalam pelaksanaan, kita memerlukan semacam perencanaan lagi berupa suatu unit pengajaran / training. Pada sat itulah kita harus menjabarkan tujuan umum ke dalam tujuan-tujuan khusus berdasarkan infinitif dan objek langsungnya. Pembahasan tentang ini akan diuraikan pada naskah lain.
Taksonomi Bloom adalah salah satu hasil komisi khusus yang membahas tentang tujuan pendidikan. Karena tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku (behavior) manusia, maka hasilnya adalah taksonomi perilaku manusia. Taksonomi ini merupakan klasifikasi plus urutannya. Blook dkk membaki perilaku manusia ke dalam tiga ranah (domain), yaitu : kognitif (yang berkaitan dengan pikiran manusia), afektif (yang berkaitan dengan hati dan perasaan manusia), dan psikomotor (yang berkaitan dengan gerakan fisik manusia). Kamisi Bloom berhasil merumuskan domain kognitif, lalu dilanjutkan komisi Krathwoll berhasil merumuskan domain afektif. Pada domain psikomotor terdapat banyak pendapat, namun yang akan dirinci adalah komisi Anita Harrow.
DOMAIN KOGNITIF
DOMAIN AFEKTIF
DOMAIN PSIKOMOTOR
Dengan memahami ketiga domain ini, maka kita dapat pilahkan keinginan kita ke dalam tujuan-tujuan yang jelas. Misalnya, pada saat latihan berpidato, barangkali akan terkait kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Tetapi kalau pada saat latihan perencana, di sana hanya terkait kognitif saja. Ini akan memberikan gambaran tentang tingkat kompleksitas proses yang harus dilakukan.
4. Materi Kurikulum
Materi berarti menyangkut setiap yang akan didapat oleh peserta setelah selesai proses. Materi sama saja dengan objek langsung yang telah dibahas pada waktu pembahasan tentang tujuan di depan. Karena itu, untuk suatu tujuan tertentu, maka materinya juga tertentu pula. Kesesuaian antara materi dengan tujuan harus dijaga. Dengan begitu, terdapat materi yang sifatnya kognitif, afektif dan psikomotor sesuai klasifikasi di depan.
Ada juga yang mengklasifikasikan materi kurikulum berdasarkan sifat akuisisinya. Dengan cara seperti ini, terdapat empat jenis yaitu :
(a) Linear
Materi bersifat seperti ini jika penguasaannya membutuhkan urutan yang pasti, tidak bisa dibalik-balik. Materi perencanaan adalah linear terhadap pemecahan masalah. Perencanaan menjadi kacau jika tidak dilandasi oleh pemecahan masalah. Analisis linearitas berguna untuk menemukan urutan (sequens) dari materi.
(b) Akumulatif
Materi bersifat akumulatif jika akuisisinya tidak membutuhkan urutan. Misalnya pada pelajaran geografi. Pengetahuan tentang Jawa adalah relatif akumulatif terhadap pengetahuan tentang Sunda. Demikian juga materi tentang Situasional Leadership sebenarnya akumulatif terhadap retorika. Analisis terhadap kekumulatifan ini berguna sekali untuk menentukan lingkup suatu materi yang sejenis (scope).
Materi bersifat praktikal jika untuk akuisisinya diperlukan kegiatan praktis. Misalnya retorika. Seseorang harus melakukan proses itu jika ingin mengerti. Demikian juga materi perencanaan tidak akan bisa dicapai tujuan skillnya jika tanpa praktek.
Materi bersifat eksperiensial jika akuisisinya melalui proses pengalaman. Kemampuan (bukan pengetahuan) tentang situasional leadership hanya bisa dicapai melalui pengalaman. Untuk materi yang bersifat seperti ini tak bisa disampaikan dalam jangka waktu terbatas sekali. Apabila kita telah melakukan analisis terhadap sifat materi, maka kita akan dapatkan suatu gambaran umum tentang struktur dari materi yang ingin dicapai dalam tujuan. Untuk melakukan hal itu diperlukan penguasaan bahan yang baik dari pembuat kurikulum. Tanpa itu, tak akan bisa dirumuskan struktur materi kurikulum yang baik dan logis.
Keterkaitan antara materi dan tujuan adalah suatu yang natural. Dalam kenyataannya, pada saat merumuskan tujuan, kita telah dipengaruhi oleh struktur materi. Dan pada saat merumuskan struktur materi, kita berpedoman pada tujuan. Hubungannya timbal balik dan tidak jelas mana yang mendahului atas yang lain. Demikian juga keterkaitan itu akan nampak pada jenis materi kurikulum dengan tingkat perilaku pada tujuan. Hubungan ini akan tampak jelas pada pembahasan tentang metode.
5. Metode
Yang dimaksud dengan metode di sini adalah segenap aspek pelaksanaan kurikulum itu. Hal ini berarti menyangkut pendekatan, metode, teknik, langkah-langkah, peralatan, strategi dan sebagainya. Kita akan menggunakan istilah strategi saja, karena lebih luas dan mencakup.
Banyak cara pandang terhadap strategi penyampaian atau pelaksanaan kurikulum ini. Di sini, strategi / metode akan diklasifikasikan berdasarkan tujuan. Berdasarkan hal ini, maka terdapat tiga jenis strategi : strategi untuk kognitif, afektif dan psikomotor.
STRATEGI UNTUK TUJUAN KOGNITIF
Strategi kognitif ini dirumuskan berdasarkan hakekat proses berpikir itu sendiri. Di sini dikenal dua pendekatan utama, yaitu deduktif dan induktif.
Pada pendekatan ini, peserta diajak berpikir mulai dari yang bersifat umum menuju ke sifat khusus. Misalnya, pada masalah leadership, ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
Pada pendekatan ini, pikiran peserta digiring dari fakta ke arah generalisasi ke dalam konsep-konsep tertentu. Misalnya pada masalah kepemimpinan, ditempuh langkah logik sebagai berikut :
Dalam kenyataannya, sulit ditemukan pendekatan murni. Seringkali digabungkan, karena materi yang terkandung juga bervariasi. Hal ini berkatian langsung dengan taksonomi tujuan di depan. Apabila untuk tujuan sintesis digunakan pendekatan deduktif, tentu akan didapatkan kesalahan.. Demikian juga jika untuk tujuan aplikasi dipergunakan pendekatan induktif, akan didapatkan pembuangan waktu yang tak sembarang. Pada umumnya, makin tinggi tingkat kognitif, pendekatannya makin ke arah induktif.
Dalam pelaksanaannya bisa saja digunakan ceramah, diskusi, atau tanya jawab. Itu sangat bergantung kepada ketersediaan waktu dan prasarana. Pemilihan metode selalu bersifat kondisional. Untuk tujuan-tujuan kognitif, sudah sangat banyak dikembangkan teknik-teknik pengajaran. Tinggal bagaimana memanfaatkannya pada situasi yang tepat.
STRATEGI UNTUK TUJUAN AFEKTIF
Ranah ini masih jarang dijelajahi. Tetapi terdapat beberapa pendekatan dalam penanaman nilai / afeksi ini yang cukup terkenal. Di sini disajikan tiga pendekatan :
Pada pendekatan ini, peserta disugesti / didorong terus menerus menuju ke suatu nilai atau sikap tertentu. Seluruh situasi diatur sehingga arah sikap adalah kepada yang diajarkan. Sebenarnya ini mirip dengan indoktrinasi. Retorika yang diterapkan pada latihan-latihan seringkali menggunakan pendekatan ini, dimana pemandu mengarahkan kepada suatu topik tertentu.
Pada pendekatan ini, peserta dibiarkan saja mengemukakan pendapat tentang suatu hal, sesuai denan pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki sebelumnya. Pengungkapan-pengungkapan itu digunakan oleh guru / pemandu untuk menemukan nilai yang terkandung. Pendekatan ini berdasarkan anggapan bahwa apabila dibiarkan bebas, manusia akan menuju kepada sikap atau nilai yang baik. Istilah yang cukup terkenal untuk ini adalah citra diri. Terdapat kemiripan dengan evakuasi, dimana peserta mengungkapkan idealisasinya masing-masing.
Teknik ini mengenalkan nilai dengan cara bermacam-macam, baik dibandingkan maupun dipertentangkan dengan nilai-nilai lain, atau dikaitkan dengan kenyataan. Pendekatan ini menekankan kepada :
Contoh paling nyata dari pendekatan ini adalah simulasi P4. Pada simulasi, nilai yang terkandung diklarifikasikan sehingga nilai itu menjadi kebiasaan, dan menyatu dalam diri individu.
Ketiga pendekatan di atas dapat dilaksanakan dengan berbagai teknik pula, baik diskusi, ceramah, simulasi, role playing dan sebagainya. Semuanya tergantung pada keadaan kelas itu sendiri.
STRATEGI UNTUK TUJUAN PSIKOMOTOR
Nasib domain ini memang sial. Di samping pembahasannya yang tak sempurna, terlalu sedikit pula kajian yang telah dilakukan terhadap domain ini, termasuk metodologi pengajarannya. Tetapi, sebenarnya untuk melatih fisik kepada suatu keterampilan, kuncinya terletak kepada dua hal : praktek dan pengalaman.
Sebenarnya, seringkali yang dilatihkan bukanlah ranah psikomotor ini. Yang paling banyak adalah ranah kognitif yang memerlukan kemampuan fisik. Sebut misalnya masalah cara berdiskusi. Cara berdiskusi termasuk dalam knowledge, tetapi hanya bisa dijalankan apabila mempunyai mulut yang bisa berbicara. Di sini perlu dibedakan antara psikomotor dengan kognitif yang memerlukan gerakan khusus. Karena itulah pendekatan yang sering muncul adalah berdasarkan kognisi apa yang akan diperkenalkan, dan bukan berdasarkan gerakan apa yang akan dilakukan.
Termasuk dalam kerangka pengertian strategi adalah bagaimana memanfaatkan sepenuhnya sumber-sumber yang terdapat di sekitar pendidikan. Sumber belajar itu bisa berupa media maupun peralatan yang dipergunakan dalam pelaksanaan kurikulum. Lebih detilnya tentang pendekatan, metode, dan media / peralatan, terdapat pada naskah tentang perencanaan instruksional.
6. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi adalah langkah untuk menentukan keberhasilan suatu proses belajar mengajar, sekaligus menemukan kelemahan yang ada pada proses tersebut untuk diperbaiki. Terdapat banyak model untuk evaluasi ini. Tetapi di sini akan dipergunakan model CIPP dari David Stufflebeam.
Menurut model ini, yang harus dievaluasi itu ada empat macam :
Yaitu penilaian terhadap keadaan yang melingkupi proses belajar mengajar. Keadaan yang termasuk konteks adalah yang berasal dari lingkungan.
Yaitu proses pengenalan terhadap keadaan peserta sebelum proses dilakukan. Tanpa mengukur hal ini, tak akan diketahui keberhasilan suatu proses.
Yaitu penilaian terhadap jalannya proses belajar mengajar, apakah berjalan dengan baik.
Yaitu penilaian terhadap berhasil tidaknya peserta mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Inilah yang paling terkenal.
Evaluasi jenis a dan b biasanya dilakukan dengan melihat kepada formulir pendaftaran. Disinilah letak pentingnya formulir itu. Dengannya diketahui posisi awal pra-proses. Sedangkan evaluasi proses dilakukan dengan meng-observasi proses menurut kriteria-kriteria tertentu. Misalnya, perlu ditetapkan kriteria jalannya retorika yang baik. Misalnya berdasarkan banyaknya bicara, kualitas pembicaraan, dan sebagainya. Disini diperlukan form-form observasi untuk tiap jenis proses belajar, atau untuk tiap bahan pelajaran / latihan.
Adapun yang terkenal dan paling penting adalah evaluasi terhadap produk / hasil. Karena hasil belajar adalah tujuan yang telah ditetapkan, maka instrumennya juga ditetapkan berdasarkan domain apa yang menjadi tujuan proses tersebut.
EVALUASI DOMAIN KOGNITIF
Evaluasi untuk domain ini dilakukan dengan mengukur tingkat kognisi / pengetahuan dari peserta seusai kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua tipe evaluasi kognitif :
Essay : - Terbatas / tertutup
- Umum / terbuka
Objektif : - Pilihan ganda
- Pencocokan
- Isian singkat
- Benar salah
Melalui observasi terhadap tindakan atau perilaku dari peserta itu
Masing-masing instrumen di atas mempunyai kelebihan dan kelemahan, karena itu perlu dipilih sesuai dengan karakteristik materi atau sesuai dengan tingkat kognisinya. Untuk tingkat kognisi makin meningkat, maka instrumen yang diperlukan makin menuju essai terbuka.
EVALUASI TERHADAP DOMAIN AFEKTIF
Sangat sukar untuk mengukur atau menilai sikap dan kejiwaan seseorang. Karena itu yang paling tradisional, evaluasi terhadap sikap dilakukan dengan pengamatan kepada tindak-tanduk peserta seusai proses. Tetapi ini memerlukan waktu yang lama. Karena itulah dikembangkan instrumen-instrumen untuk mengukur sikap.
Beberapa instrumen yang banyak digunakan untuk keperluan ini adalah :
Berupa isian / pilihan terhadap alternatif, alternatif sikap tertentu. Dengan kuesioner bisa diketahui tingkat apresiasi seseorang terhadap suatu nilai atau fenomena tertentu
Skala sikap berupa suatu skala untuk menilai sikap seseorang terhadap suatu nilai. Biasanya terdapat lima pilihan, yaitu setuju, sangat setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju, dan ragu-ragu. Contoh skala sikap adalah yang biasa didapat pada pelajaran PSPB di sekolah.
Instrumen ini mirip dengan skala sikap. Hanya saja sikap ditunjukkan dengan satuan-satuan. Misalnya dengan memberikan angka 0 - 10 sebagai pertanda tingkat sikap, misalnya kesetujuan. Bila anda melihat angket GAMAIS tentang dunia kemahasiswaan, itu berupa skala penilaian. Skala yang digunakan bisa juga bukan angka, melainkan lambang, atau simbol atau kata. Misalnya Fair, Good, Poor, dan Excelent. Atau bentuk-bentuk lain.
Pengukuran terhadap sikap ini bisa saja dilakukan oleh peserta langsung, tetapi ada juga yang bisa dilakukan oleh guru / pemandu setelah melakukan observasi.
EVALUASI DOMAIN PSIKOMOTOR
Evaluasi terhadap kemampuan psikomotor juga sulit dilakukan dan sangat bervariasi. Untuk mengukur refleks misalnya, adalah dengan dicoba. Untuk mengukur kepandaian melempar cakram, adalah dengan observasi terhadap gerakan, dan ukuran terhadap jauh lemparan. Jadi, sangat bervariasi bergantung jenis motoriknya.
Tetapi, apabila dijelajahi, terdapat beberapa yang bisa dijadikan instrumen / metode, yaitu :
Di sini berarti dilakukan uji terhadap kemampuan peserta secara langsung. Peserta diminta melakukan suatu tindakan tertentu dan dinilai hasilnya.
Untuk keterampilan dan komunikasi nonverbal, bisa juga dilakukan dengan observasi. Peserta melakukan suatu tindakan, lalu guru / pemandu mencatat dan memberikan nilai. Cara memberikan nilai bisa menggunakan skala penilaian.
Demikianlah gambaran tentang evaluasi di dalam kurikulum. Hasil evaluasi bisa beragam, sesuai tujuan evaluasi. Bisa berupa nilai, atau bisa saja hanya berupa keterangan-keterangan tentang keadaan proses, atau produk.
Untuk merancang suatu kurikulum dan menyajikannya dalam suatu sajian tertentu, maka dianjurkan langkah-langkah berikut :
Di dalam merumuskan tujuan, perlu diperhatikan apa yang ingin didapat oleh peserta seusai proses. Dalam perumusan tujuan, perlu diingat :
Berikut ini contoh perumusan tujuan yang baik :
"Peserta memahami konsep situasional leadership dan mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari".
Tujuan yang dirumuskan di dalam kurikulum adalah tujuan umum yang tidak bisa langsung dilakukan pengamatan atau pengukuran.
Dalam menyusun materi perlu diperhatikan dua hal : scope dan sequence-nya. Artinya materi dibatasi pada masalah tertentu dan diurutkan sesuai jalan logiknya. Materi ini di samping dituliskan strukturnya, perlu juga diberikan uraian singkatnya.
Metode atau strategi yang dipilih dirincikan. Untuk suatu tujuan atau materi tertentu bisa saja digunakan beberapa metode, demikian juga sebaliknya.
Fotmatnya adalah sebagai berikut :
No |
Tujuan |
Materi |
Uraian |
Waktu |
Metode |
Evaluasi |
Referensi |
|
|
|
|
|
|
|
|
Apabila anda telah memasukkan hasil desain anda ke dalam format di depan, maka selesailah sudah langkah pembuatan kurikulum. Tetapi, sesudah itu, untuk apa kurikulum tersebut ? Adalah sebagai pedoman ketika menjalankan proses belajar mengajar. Kurikulum itu masih perlu dirinci ke dalam satuan kegiatan instruksional. Tulisan lengkap tentang hal itu pada naskah lain.
Bandung, 20-21 Juni 1989
Back to "Life Skill"