SISTEM DAN WATAK
Disalin dari kolom "Syazarot" pada majalah Inthilaq No.6 / Th. I Edisi 1 Mei 1993
Semua anak-anaknya marah. Tapi ia hanya bisa menangis. Ia mengerti kenapa mereka marah. Mereka terpaksa harus turut merasakan pahitnya sebuah pertaubatan. Sejak ia jadi khalifah, anak-anaknya tak pernah lagi menikmati hidangan enak.
Pilihan itu memang pahit. Tapi itulah jalan satu-satunya. Ia tak rela "menggembirakan" anak-anaknya dengan kenikmatan dunia, bila itu harus ia tebus dengan api neraka. Itu hanya sebagian kecil dari kisah panjang "Keadilan Sosial" dalam sejarah hidup Umar bin Abdul Aziz. Hanya dalam dua tahun lima bulan, separoh penduduk bumi yang berada di bawah naungan khilafahnya, tak lagi berstatus penerima zakat. Mengagumkan.
Keadilan sosial rupanya bukan sekadar sebuah sistem. Amerika dengan segala kecanggihan teknologinya, tak berhasil menghapus 14% angka orang miskin di negaranya. Sebelum mengkristal sebagai kenyataan, benang keadilan sosial sebenarnya berawal dan berujung pada dua titik ; sistem dan watak.
Sebuah sistem akan menjadi realitas, jika ia menjelma sebagai watak dalam diri inspiratornya. Keadilan sosial bukan sekadar sistem distribusi. Tapi lebih dari itu, ia adalah watak dari decision maker sebuah komunitas.
Di atas panggung realitas, pementasan sebuah sistem menuntut konsekuensi watak tertentu. Dan sebagai sistem, keadilan sosial menuntut watak amanah, tajarrud, waro', mas-uliyah (bertanggung jawab), dan lainnya. Kekuatan sebuah sistem tidak hanya terletak pada kebenaran yang dikandungnya, tapi juga pada pribadi yang melakukannya. Kebenaran sebuah sistem akan cair di tangan manusia-manusia korup.
Kaidah sosial inilah yang mengikat erat watak waro' dan tajarrud Umar bin Abdul Aziz dengan makna keadilan sosial. Atau mas-uliyah Umar bin Abdul Aziz dengan pemerataan. Atau jihad Shalahuddin Al-Ayyubi dengan qiadah (kepemimpinan) historis kaum muslimin.
Dalam sejarah, tak ada yang pernah berhasil menerapkan sebuah sistem apapun, selama sistem itu belum menjelma jadi watak pendukung sistem tersebut. Sebab tanpa watak, kecerdasan setani manusia selalu sanggup memberi "pembenaran" terhadap setiap kesalahan yang dilakukannya. Manusia yang berwatak keadilan sosial, mendapatkan motivasi, cara dan kontrol atas tindakannya secara internal. Proses itu berlangsung dalam sebuah mekanisme iman yang terpola dalam watak-watak seperti mas-uliyah, amanah, tajarrud, waro', zuhud dan lainnya.
Keadilan sosial yang mengakar dalam mekanisme internal seperti ini, seringkali memunculkan manusia-manusia baru yang lebih ideal dari idealisme hukum.
Back to "Pendidikan Politik di Indonesia"