Surah an-Nisaa: 89

Perintah-perintah yang masih ditunggu implementasinya

“Mereka (kaum munafik) ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah kepada Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan pula menjadi penolong.”

 

Sejarah

Ayat di atas merupakan serangkaian ayat yang turun berkaitan dengan sikap kaum munafik yang bersekutu dengan golongan kafir. Diriwayatkan, di saat hijrah, banyak orang munafik yang kembali dengan alasan kondisinya tidak memungkinkan. Ada yang mengatakan tertimpa demam Madinah. Persoalan ini kemudian menjadi bahan diskusi hangat di kalangan ummat Islam. Alasan itu masuk akal, tetapi sulit diterima. Sebab, hijrah merupakan keharusan dan konsekuensi bagi mereka yang menyatakan beriman, tapi tiba-tiba ada alasan baru. Sementara banyak pula yang sudah melaksanakan hijrah tetapi tidak ditimpa apa-apa.

Maka sikap ummat Islam terpecah antara yang memaklumi dan menolak. Mereka yang menolak langsung menyebut kelompok yang kembali itu sebagai munafik, sementara yang bisa memaklumi masih menganggapnya ummat Islam biasa. Maka Allah segera menurunkan ayat ini, sebagai penegasan sikap. Mereka yang kembali itu bukan hanya munafik, tetapi telah membawa diri kepada kekafiran karena menentang perintah Nabi. Secara tegas diperintahkan kepada ummat Islam untuk tidak mempercayai mereka, menjadikan mereka kawan, bantu-membantu, dan sebaliknya bila bertemu hendaklah mereka dibunuh saja.

Perintah menawan dan membunuh itu diulang lagi pada ayat 91 dari surah an-Nisaa' ini, yang ditujukan kepada kelompok lain yang akan melakukan hal serupa. Kelompok munafik itu, menurut ayat Allah, hanya mencari selamat, baik ketika berada di antara kaum muslimin maupun di saat bersama kaum kafirin. Perintah ini berlaku apabila kelompok itu tidak menyatakan perdamaian dan tidak mencegah tangannya dari memusuhi ummat Islam.

Membunuh

Al-Qur'an, sesuai dengan pernyataan Allah di dalam surah al-Maaidah: 3 sebagai penutup wahyu, telah memenuhi semua kebutuhan hajat hidup manusia. `Pada hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu, dan telah Kucukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu,' begitu penggalan ayatnya. Itulah sebabnya hal-hal prinsip yang sudah dan akan terjadi, di sudut bumi mana pun, telah disediakan aturannya. Kaum ulama bilang, carilah jawaban atas segala masalahmu, di dalam al-Qur'an.

Tetapi perjalanan sejarah kaum muslimin, demikian juga pemahaman mereka, telah menggiring kepada suatu keadaan yang berbeda sehingga banyak ayat Allah sulit dilaksanakan. Bahkan, mereka mencari analoginnyapun kesulitan karena tidak pernah melihat contohnya, sejak lahir. Di antara yang sulit itu adalah pembicaraan al-Qur'an tentang sikap keras, baik kepada kaum munafik maupun golongan kafir.

Bagi mereka yang tidak mempelajari Islam secara memadai dan hanya membaca ayat-ayat yang keras-keras atau tegas, maka penafsiran mereka tentang Islam bisa melenceng. Atau, mereka bertanya-tanya dari sudut pandang negatif tentang kata Islam yang berarti damai, selamat, sejahtera.

Berkali-kali al-Qur'an menyebutkan kata seperti membunuh, bunuhlah, penggallah lehernya, perangilah. Tafsiran atas perintah ini, agar mendekati konteks yang benar harus dirangkai secara lengkap. Misalnya dalam berperang, disebutkan mereka mempunyai kemungkinan membunuh atau dibunuh. Bila dipahami bahwa pembicaraan itu dalam kaitan dengan perang mempertahankan agama Allah, maka menjadi biasa saja, jauh dari menyeramkan. Tetapi pelintiran serampangan bahwa ajaran Islam jauh dari konsep kasih sayang hanya karena ketegasan sikapnya, tidaklah fair.

Dan bila Islam tidak membicarakan mulai hal yang paling lemah lembut hingga yang paling keras, niscaya ajaran ini tidak bisa dikatakan sempurna, karena kedua kutub itu merupakan sikap yang sering diambil oleh manusia. Apalagi dengan konsern Islam akan perlunya segala sesuatu diletakkan pada koridor hukum, maka kelengkapan dan kesempurnaan hukum itu sendiri sangatlah penting. Sebuah negara yang tidak mengakui perlunya hukuman mati dengan alasan tidak manusiawi, justru tidak akan bisa adil menghukumi rakyatnya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah bertindak sadis, menghilangkan kawin-cerai-mati, waris, dan sebagainya. Lembaganya juga sudah dibentuk, yakni Pengadilan Agama.

Tetapi sebenarnya langkah ini, sekalipun tetap ada gunanya, bisa dipandang mengecilkan arti hukum Islam, karena diletakkan di bawah hukum nasional. Dan realitanya, untuk urusan selain kawin-cerai-mati, biasanya orang tetap memilih forum pengadilan umum.

Persoalan mendasar bagi ummat Islam sebenarnya adalah perlunya hukum Islam diterapkan secara keseluruhan, perdata maupun pidana. Sebab justru pada persoalan pidanalah, perbedaan perilaku maupun hasil dan efek dari hukum itu relatif berbeda. Hukum pidana Islam, yang lebih tegas dan jelas, akan menjadi kunci bagi terlaksananya ketertiban masyarakat. Di sanalah terletak ketentuan perlu tidaknya seorang pencuri dipotong tangannya, pezina dirajam, juga musuh agama dibunuh. Penjara, ditolerir oleh hukum Islam sebagai bentuk lain dari pengusiran, pendidikan, atau ganti yang disepakati oleh pihak yang menuntut balas.

Tidak adanya kepastian diterapkannya hukum Islam, menjadikan banyak perintah al-Qur'an tidak bisa dilakukan. Bagaimana mungkin perintah untuk membunuh orang munafik, yang membangkang dan mengancam ummat Islam bisa dipenuhi, kalau landasan Islam tidak digunakan? Justru mereka yang mengeksekusi akan disebut melanggar hukum, yang berarti harus dihukum.

Hukum rajam pun demikian. Sekarang dikesankan begitu sadisnya cara Islam menyelesaikan kasus perzinaan. Apalagi setelah budaya zina menjadi budaya global, yang penyebarannya didukung oleh kemajuan teknologi maupun proteksi penguasa banyak negara. Zina yang begini merajalela sehingga hampir menjadi sikap hidup mayoritas manusia, tentu akan dibela mati-matian oleh supporternya ketika hendak diberantas. Lantas, bagaimana perintah Allah yang telah tertulis itu akan bisa jalan? Tidakkah pengingkaran itu menjatuhkan dosa massal bagi segenap kaum muslimin? Bagaimana pula mekanisme pertaubatan oleh mereka yang sudah telanjur melakukan zina?

Sebenarnya tidak ada alasan yang cukup kuat bagi siapapun, termasuk penguasa dan aparatnya maupun parlemen, untuk menolak penerapan hukum Islam. Pelarangan yang mengakibatkan penegak hukum Islam justru akan melanggar hukum (nasional) itu, bolehlah disebut sebagai melanggar hak asasi. Secara lebih ekstrem dikatakan, yang dilanggar bukan saja hak asasi manusia untuk melaksanakan hukum menurut keyakinannya, tetapi juga hak Tuhan untuk membuat hukum. Apakah manusia tidak takut disebut demikian?

Hukum dan ketatanegaraan

Pencermatan atas perintah-perintah Allah seperti di atas, bila dilanjutkan secara lebih mendalam, akan mengarahkan ummat Islam kepada kebutuhan primer terhadap berlakunya hukum Islam. Bahkan, lebih jauh kepada wacana tentang negara Islam, manakala hukum Islam tidak bisa disahkan di dalam sebuah negara `biasa'.

Seperti perintahkan Allah dalam surah an-Nisaa' di atas, “Tawanlah dan bunuhlah mereka...” Belum lagi perintah yang lain di dalam surah al-Anfaal dan at-Taubah yang tak kalah tegas. Untuk bisa menawan, atau menahan, jelas dibutuhkan landasan dan aparat. Bila penahanan dan penangkapan boleh dilakukan oleh siapa saja, maka negara akan kacau-balau. Terjadi tangkap-menangkap yang tak terkendali, alias saling culik.

Agar ada alasan yang kuat, maka landasan hukumnya harus disahkan. Lalu di sana diaturlah teknis dan mekanismenya, berikut aparatnya. Baru dengan cara demikian mekanisme hukum bisa disebut lebih tertib.

Mungkin ada yang beralasan, penangkapan dan penahanan toh sudah menjadi hal biasa, dan saat ini juga telah jelas hal-hal apa yang bisa mengakibatkan seseorang ditangkap. Tetapi justru sebab-sebab seseorang bisa ditangkap itulah yang berbeda di dalam hukum Islam. Tindak subversi bagi Islam lebih lengkap, karena mencakup tindak-tindak yang membahayakan agama.

Penggunaan hukum Islam juga memberikan tambahan kejelasan bila suatu saat negara mengambil kebijakan drastis, misalnya perang. Sekarang ini, alasan seseorang terlibat dalam peperangan hanyalah rasa nasionalisme, membela tanah air. Seperti tentara Indonesia yang berperang di Timor Timur, setelah Timtim lepas ada yang menjadi bingung, ke mana nilai amalnya dulu. Sikap membela pemerintah saat itu yang dianggap benar, kini ternyata dipersalahkan oleh dunia internasional.

Akan lain masalah bila peperangan itu dilandaskan atas aturan agama, yang memang berdimensi dunia maupun akhirat. Peperangan yang dilakukan, hanya dikarenakan agama Allah terancam, atau hak-hak kaum muslimin direnggut, atau terjadi tindak kezhaliman terhadap sesama manusia. Pembelaan terhadap hal seperti ini bersifat universal, terbebas dari keraguan akan terjadinya perubahan persepsi, karena esensinya adakah membela kebenaran. Dan lagi, pelaku maupun pendukungnya mengaitkan sikap dengan Allah, sang pencipta manusia sendiri. Penilaiannya bersifat abadi.

Al-Qur'an memang tidak pernah menyebutkan istilah negara Islam sehingga terjadi banyak penolakan atasnya. Karena itu yang penting adalah bagaimana hukum Islam dilaksanakan, dan negara memfasilitasi, demi menyelamatkan manusia dari dosa bersama.