Meluruskan Kerancuan Istilah Fundamentalisme Islam

Belakangan ini kita mengenal istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis". Istilah ini cukup populer dalam dunia media massa, baik yang berskala nasional maupun internasional. Istilah "fundamentalisme Islam" atau "Islam fundamentalis" ini banyak dilontarkan oleh kalangan pers terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer semacam Hamas, Hizbullah, Al-Ikhwanul Muslimin, Jemaat Islami, dan Hizbut Tahrir Al-Islamy. Penggunaan istilah fundamentalisme yang 'dituduhkan' oleh media massa terhadap gerakan-gerakan kebangkitan Islam kontemporer tersebut, disamping bertujuan memberikan gambaran yang 'negatif' terhadap berbagai aktivitas mereka, juga bertujuan untuk menjatuhkan 'kredibilitas' mereka di mata dunia. Apa sesungguhnya makna istilah fundamentalisme? Bagaimana asal-usul istilah tersebut, dan siapakah sebenarnya kaum "fundamentalisme" itu? Insya Allah, artikel ini akan membahasnya secara mendalam. Istilah 'ushuliyah' (fundamentalisme) dengan makna yang populer dalam dunia media massa tersebut, adalah berasal dari Barat, dan berisikan pengertian dengan tipologi Barat pula. Sementara, istilah 'ushuliyah' dalam bahasa Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, mempunyai pengertian-pengertian lain yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh wacana pemikiran Barat yang saat ini dipergunakan oleh banyak orang. Perbedaan pemahaman dan substansi dalam mempergunakan istilah yang sama, merupakan sesuatu yang sering terjadi dalam banyak istilah yang dipergunakan oleh bangsa Arab dan kaum muslimin, serta secara bersamaan dipergunakan pula oleh karangan Barat, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam melihat istilah yang sama itu. Hal ini banyak menimbulkan kesalahpahaman dan kekeliruan dalam kehidupan budaya, politik, dan media massa kontemporer yang padanya perangkat-perangkat komunikasi mencampuradukkan berbagai istilah yang banyak, yang sama istilahnya, namun berbeda-beda pengertian, latar belakang dan pengaruhnya. Istilah yasar (kiri) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang upahan, orang-orang fakir, dan miskin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan orang lain. Sementara, dalam pemahaman Arab dan Islam, istilah itu menunjukkan kepada orang-orang kaya raya, orang-orang yang berkecukupan, dan oang-orang yang menikmati kehidupan enak. Istilah yamin (kanan) misalnya. Dalam wacana pemikiran Barat istilah ini dipergunakan untuk menunjukkan orang-orang kuno, terbelakang dan kaku. Sementara, dalam wacana pemikiran Arab dan Islam, dipergunakan untuk menunjukkan keadaan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, sehingga mereka datang kepada Tuhan mereka pada hari Perhitungan, memegang buku catatan berbuatan-perbuatan mereka yang baik dengan tangan kanan, atau juga bermakna kekuatan, ketegaran, dan ketenangan. Oleh karena itu, Imam Abdul Hamid bin Badis (1307-1359 H) berdoa kepada Allah SWT dengan doanya, "Ya Allah jadikanlah aku di dunia termasuk kelompok orang-orang yasar (kiri) dan jadikanlah aku di akhirat termasuk kelompok orang-orang yamin (kanan)". Tentunya sesuai dengan pemahaman pemikiran Islam, bukan pemahaman pemikiran Barat. Asal Usul Fundamentalisme di dunia Barat Fundamentalisme di dunia Barat pada awalnya merupakan gerakan Kristen Protestan Amerika yang berlabuh pada abad kesembilan belas Masehi, dari barisan gerakan yang lebih luas, yaitu "Gerakan Millenium". Gerakan ini mengimani kembalinya Almasih A.S. secara fisik dan materi ke dunia untuk yang kedua kalinya, guna mengatur dunia ini, selama seribu tahun sebelum datangnya hari perhitungan manusia. Prototipe pemikiran yang menjadi ciri khas fundamentalisme ini adalah penafsiran Injil dan seluruh teks agama secara literal dan menolak secara utuh seluruh bentuk penakwilan atas teks-teks manapun, walaupun teks-teks itu berisikan metafor-metafor rohani dan simbol-simbol sufistik, serta memusuhi kajian-kajian kritis yang ditulis atas Injil dan Kitab Suci. Dari penafsiran Injil secara literal ini, orang-orang fundamentalis Protestan mengatakan akan datangnya Almasih kembali secara fisik untuk mengatur dunia selama seribu tahun yang berbahagia karena mereka menafsirkan "mimpi Yohana" (kitab Mimpi 20-1-10) secara literal. Ketika fundamentalisme Kristen itu menjadi sebuah sekte yang indipenden pada awal abad ke-20, terkristallah dogma-dogma yang berasal dari penafsiran literal atas Injil itu melalui seminar-seminarnya, lembaga-lembaganya, serta melalui tulisan-tulisan para pendetanya yang mengajak untuk memusuhi realita, menolak perkembangan, dan memerangi masyarakat-masyarakat sekuler yang baik maupun yang buruk sekaligus. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah. Oleh karenanya, mereka meninggalkan universitas-universitas dan mendirikan lembaga-lembaga tersendiri bagi pendidikan anak-anak mereka. Mereka juga menolak sisi-sisi positif kehidupan sekuler, apalagi sisi negatifnya, seperti aborsi, pembatasan kelahiran, penyimpangan seksual, dan kampanye-kampanye untuk membela "hak-hak" orang-orang yang berperilaku seperti itu dari barang-barang yang memabukkan, merokok, dansa-dansi, hingga sosialisme. Itu semua adalah "fundamentalisme" dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen. Makna Istilah Ushuliyah dalam Wacana Pemikiran Islam. Dalam visi Arab dan dalam wacana pemikiran Islam, kita tidak menemukan dalam kamus-kamus lama, baik kamus bahasa maupun kamus istilah, disebutnya istilah ushuliyah "fundamentalisme". Kita hanya menemukan kata dasar istilah itu yaitu al-ashlu dengan makna 'dasar sesuatu' dan 'kehormatan'. Bentuk pluralnya adalah ushul (QS Al-Hasyr : 5) (Ash-Shaaffat :64). Al-ashlu juga bermakna 'akar' (QS Ibrahim : 24). Al-ashlu juga disebut bagi undang-undang atau kaidah yang berkaitan dengan furu' (parsial-parsial) dan masa yang telah lalu. Seperti yang diungkapkan dalam rediaksional ulama ushul fikih, "Asal segala sesuatu adalah boleh atau suci." Dan, "ushul" adalah prinsip-prinsip yang telah disepakati atau diterima. Bagi ulama ushul fikih, kata al-ashlu disebut dengan beberapa makna. Pertama, 'dalil'. Dikatakan bahwa asal masalah ini adalah Al-Kitab dan Sunnah. Kedua, 'kaidah umum'. Dan ketiga, 'yang rajih' atau 'yang paling kuat' dan 'yang paling utama'. (Lihat kitab Lisanul Arab, Ibnu Manzhur, Kairo : Darul Ma'arif) Dalam peradaban Islam telah terbangun ilmu-ilmu ushuluddin, yaitu ilmu kalam, tauhid, dan ilmu fikih akbar. Juga ilmu ushul fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan kajian-kajian yang dipergunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan hukum-hukum syara' praktikal dari dalil-dalil perinciannya. Serta ilmu ushul hadits atau mushthalah hadits. Demikianlah warisan keilmuan Islam dan peradabannya, serta kamus-kamus bahasa Arab yang tidak mengenal istilah ushuliyah (fundamentalisme) dan pengertian-pengertian yang dikenal Barat atas istilah ini. Hingga dalam pemikiran Islam kontemporer yang sebagian ulamanya menggunakan istilah ushuliyah dalam kajian-kajian ilmu fikih, kita dapati ia bermakna, "Kaidah-kaidah pokok-pokok syari'at yang diambil oleh ulama ushul fikih dari teks-teks yang menetapkan dasar-dasar tasyri'iyah (legislasi) umum, serta pokok-pokok tasyri'iyah general seperti : (1) tujuan umum syari'at, (2) apa hak Allah dan apa hak mukalaf, (3) apa yang menjadi obyek ijtihad, (4) nasakh hukum, serta (5) ta'arud (pertentangan) dan tarjih (pemilihan salah satu probabilitas hukum)." Semua istilah-istilah itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan substansi-substansi istilah fundamentalisme (ushuliyah) yang dikenal oleh peradaban Barat dan pemikiran Kristen. Terlepas dari pemahaman itu, apakah dalam aliran-aliran pemikiran Islam dan mazhab-mazhabnya --baik yang lama maupun yang baru-- terdapat aliran pemikiran atau mazhab yang menyikapi teks-teks suci seperti sikap orang-orang fundamentalis Barat, yakni menggunakan penafsiran literal atas Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolak segala metafor dan takwil atas sesuatu nash (teks), meskipun zahir teks itu jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil akal? Hingga dapat dikatakan bahwa sikap aliran atau mazhab ini terdapat nash-nash Islami yang suci adalah sama persis dengan aliran fundamentalis Kristen terhadap Injil dan "kitab suci" mereka? Sehingga, kemudian dapat membenarkan kebenaran "fundamentalisme Islam" dengan pengertian Barat yang negatif terhadap istilah "fundamentalisme" ini? Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah sama sekali tidak ada. Seluruh aliran pemikiran Islam yang lama, baik sekelompok kecil dari ahli atsar, ash-habul-hadits, kaum zhahiriyah, maupun kelompok besar mayoritas dari ahli ra'yi, seluruhnya menerima majas (metafor) dan takwil terhadap banyak nash-nash suci. Sehingga hampir tercapai ijma bahwa nash-nash yang tidak dapat ditakwilkan, yang dalam istilah ushul fikih disebut "nash" adalah sedikit, sementara sebagian besar dari nash-nash itu dapat menerima pendapat, takwil, dan ijtihad. Sedangkan, perbedaan di antara aliran-aliran pemikiran Islam itu adalah dalam kadar penakwilan itu: ada yang membatasi diri dalam melakukan penakwilan, ada yang sedang-sedang saja, ada yang secara berani melakukan penakwilan. Namun, penakwilan itu sama sekali tidak ditolak oleh mazhab-mazhab Islam. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm 210-232, Kuwait, 1972) Berikut ini beberapa definisi tentang "penakwilan" yang dikemukakan oleh para pemikir Islam : 1. Ibnu Rusyd (1126-1198 M) Dalam kitab Fashul Maqal Fima Bainal-Hikmati wasy-Syar'iah min al-Ittishal mendefinisikan "penakwilan" sebagai : "Mengeluarkan arti (dilalah) dari dilalah hakiki ke dilalah majasi, tanpa melanggar kaidah bahasa Arab dalam proses itu. Seperti menanamkan sesuatu dengan : yang mirip dengannya, sebabnya, yang setelahnya, yang mengiringinya, dan hal-hal lain yang dimasukkan dalam pendefinisian macam-macam kalam majasi." 2. Imam Al-Ghazali (1058-1111M) Beliau telah meluaskan skup takwil yang dapat diterima itu menjadi lima tingkat terhadap keberadaan sesuatu yang dibicarakan oleh nasih itu. Kelima tingkatan itu adalah : wujud zati (hakiki), wujud hissi (indrawi), wujud khayali (imajinatif), wujud aqli (akal), dan wujud syibhi (keserupaan). Dengan tingkatan-tingkatan penakwilan yang lima ini, orang yang melakukan penakwilan itu adalah masuk dalam lingkup tashdiq (pembenaran terhadap agama) dan keimanan, dan darinya tertolak tuduhan mendustakan agama atau kezindikan. Imam Al-Ghazali mengatakan : "Setiap orang yang meletakkan suatu redaksional hadits dan suatu nash dari Al-Qur'an, pada salah satu tingkat takwil ini maka ia termasuk orang yang membenarkan agama. Karena, pendustaan adalah mengingkari seluruh makna-makna dalam semua tingkatan ini, dan mengklaim bahwa semua yang diberitakan oleh nash-nash adalah dusta semata. Dan, itu adalah kekafiran dan kezindikan. Sementara orang-orang yang melakukan penakwilan tidak menjadi kafir selama ia menetapi kaidah-kaidah penakwilan. Kemudian beliau menegaskan, bahwa seluruh mazhab Islam telah menggunakan takwil. Katanya, "Seluruh kelompok Umat Islam pada akhirnya terpaksa menggunakan takwil. Dan kelompok yang amat membatasi diri dari menggunakan takwil adalah Ahmad bin Hambal (780-885 M). Sementara, kalangan Asy'ariyah dan Muktazilah, karena keduanya lebih mendalam dalam kajian rasio, maka mereka banyak melakukan penakwilan terhadap makna-makna zahir teks dalam masalah-masalah akhirat, kecuali sedikit. Dan, Muktazilah adalah kelompok yang paling banyak menggunakan penakwilan." 3. Imam Muhammad Abduh (1849-1905M) Beliau menjadikan "pendahuluan atas akal atas zhahir syara' ketika terjadi benturan antara keduanya" sebagai pokok dari pokok-pokok Islam. Ia berkata, "Pemeluk Islam telah sepakat kecuali seditkit orang yang tidak memikirkannya bahwa jika ada pertentangan antara akal dan naql maka diambil pemahaman yang ditunjukkan oleh akal. Kemudian, bagian naql itu dilakukan dua jalan pendekatan : pertama, jalan penerimaan atas keabsahan naql itu, sambil mengakui ketidakmampuan diri untuk memahaminya, serta menyerahkan masalah itu kepada ilmu Allah SWT. Dan, jalan yang kedua adalah menakwilkannya, sambil memperhatikan kaidah-kaidah bahasa Arab dakan menakwilkannya, sehingga maknanya sesuai dengan apa yang dipahami oleh akal." 4. Imam Hasan Al-Banna (1908-1949 M) Beliau menafikan kemungkinan perbedaan, "Dalil-dalil berdasarkan nazhar syar'i (kacamata syar'i) dengan nazhar aqli (kacamata akal) dalam hal-hal yang qath'i. Oleh karena itu, hakikat ilmiah tidak akan berbenturan dengan kaidah syari'at yang tetap. Sementara, yang zhanni (samar-samar) darinya ditakwilkan sesuai dengan yang qath'i (pasti). Sedangkan, jika keduanya zhanni maka nazhar syar'i lebih utama untuk diikuti, hingga nazhar alki membuktikan kekuatannya atau ia lenyap. Islam yang hanif (lurus) dapat menjelaskan masalah ini dengan tuntas, ia menyatukan antara keimanan yang ghaib dan menggunaan akal. Dan kepada model pemikiran yang menyatukan antara dua kal ini: yang ghaib dan yang ilmiah, kami mengajak manusia." (Hasan Al-Banna, Risalah Ta'lim hlm 271) Demikianlah sikap para pemikir Islam terhadap majas (metafor) takwil, dan penafsiran literal terhadap nash-nash, yang sama sekali tidak mengandung pengeritan "fundamentalisme", seperti yang dikenal oleh Kristen Barat. Oleh karena itu, tidak ada satu pun mazhab-mazhab Islam yang hanya membatasi diri pada makna literal nash-nash dan menolak seluruh bentuk takwil, sehingga dapat dinamakan sebagai kelompok "fundamentalisme" dengan pengertian Barat atas istilah itu. Dan karena kondisi "kontemporer Islam" tidak berbeda dengan "generasi awal Islam" maka aliran-aliran pemikiran Islam baik modern maupun kontemporer, tidak pernah melahirkan aliran yang sama dengan "fundamentalisme" Kristen Barat. Dengan demikian, kita menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pemahaman dan pengertian istilah "fundamentalisme" seperti dikenal oleh Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam warisan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kontemporer. Kaum 'fundamentalis' di Barat adalah orang-orang yang kaku, dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum ushuliyin dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fikih yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka yang adalah ahli penyimpulan hukum, pengambilan dalil, ijtihad dan pembaruan. Fakta ini menjadikan kasus istilah ushuliyah (fundamentalisme) sebagai satu contoh dari sekian contoh kerancuan pemikiran yang timbul dari sikap yang tidak membedakan antara pemahaman-pemahaman yang berbeda -- dan kadang-kadang bertentangan -- yang diciptakan oleh peradaban-peradaban yang berbeda atas suatu istilah yang sama, yaitu dipergunakan oleh anggota-anggota peradaban yang berbeda itu. Sedangkan, istilah "fundamentalisme" dengan pengertian Barat adalah sesuatu yang asing dari realitas Islam, yang dijejalkan oleh kekuatan "agresi media massa". Karena, fundamentalisme di Barat bermakna 'orang-orang kaku', sementara dalam warisan intelektual Islam menunjukkan kaum yang ahli tajdid (pembaruan), ijtihad, dan penyimpulan hukum. *** Agung Primamorista primamoristaagung@tpj.co.id