'Piagam
Jakarta' sebagai Kompromi
Sementara, tiada rotan,
akarpun jadi
Menawarkan syariat Islam di Indonesia untuk saat ini, bisa membuat orang lain terbelalak. Ummat Islam yang belum siap, langsung menjadi bulan-bulanan, dan tawaran itu akan dikalahkan sebelum bertanding. Padahal, melihat serangkaian krisis yang terjadi, bagi yang memahami esensi dan hakikat hukum Allah, gampang untuk menyimpulkan bahwa persoalannya bermula pada penyimpangan atas sunnatullah.
Krisis moral telah menjadi biang kehancuran di mana. Setelah manusia tidak takut dosa, maka segala macam penyelewengan bisa mereka lakukan. Selain di Indonesia, di Russia yang dilanda krisis, utangan IMF dikorupsi pejabatnya. Di negara yang sedang tidak krisispun, bukan berarti penyelewengan tidak ada. Hanya belum memuncak hingga Allah masih memberi toleransi saja.
Sebagai langkah awal, ummat Islam Indonesia cukup memperjuangkan dikembalikannya Piagam Jakarta untuk diberlakukan. Di sana disebutkan, sila pertama dari dasar negara adalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya.'
Dengan landasan ini, bisa dilakukan kontrol antar kaum muslimin sendiri. Juga, aturan-aturan Islam bisa dibakukan secara kelembagaan, karena pelaksanaan syariat Islam itu membutuhkan juklak dan juknis yang lengkap. Kesimpangsiuran seperti antara pajak dan zakat, niscaya akan bisa diselesaikan.
Pencantuman 'kewajibaan melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya' sebenarnya juga tidak perlu dianggap merugikan kaum non-Muslim. Sebab aturan itu hanya mengikat ummat Islam, dan tidak disebut bagaimana kaum di luar Islam harus bersikap. Bahkan, mungkin ada di antara kaum muslimin memilih keluar dari agamanya, karena merasa terbelenggu oleh aturan itu.
Penentangan terhadap pemberlakuan syariat itu pasti akan terjadi. Tapi ummat Islam tidak perlu lagi takut-takut. Sebab dalam kenyataannya, mereka mayoritas. Toh, dihapuskannya 7 kata itu juga tidak bisa mencegah terjadinya disintegrasi, sebagaimana saat ini. Persatuan Indonesia, tidak terletak di situ, melainkan pada sistem pemerintahan yang lebih mengakomodasi kepentingan daerah.
Jadi, apa lagi yang perlu ditakuti?
Simak juga: