Pasang Surut Islam Indonesia
Kaleidoskop seabad (1900-1999) dinamika umat Islam Indonesia. Ajang muhasabah sekaligus pijakan menjayakan Islam di masa depan
17 Juli 1905 Al-Jamiat al-Khairiyah, yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair, didirikan di Jakarta. Organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang keturunan Arab. Bidang yang digarap pertama kali adalah mendirikan sekolah dasar dan mengirimkan anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan pelajaran.
Menurut Deliar Noer, ketika itu Jamiat Khair telah menjadi sebuah organisasi modern dalam masyarakat Islam. Organisasi mereka telah dilengkapi dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat serta rapat-rapat berkala. Sekolah yang mereka dirikan pun sudah menggunakan kelas-kelas, bangku, papan tulis serta dilengkapi dengan kurikulum. Pelajaran yang disampaikan pun tidak melulu ilmu agama, tetapi juga meliputi berhitung, sejarah dan ilmu bumi.
Yang menarik, bahasa perantara di antara mereka adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, karena lingua franca di kalangan anak-anak Arab di Indonesia adalah bahasa Melayu atau bahasa daerah tempat mereka tinggal. Apalagi di sekolah itu juga ada murid-murid anak pribumi Indonesia. Bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya bahasa Inggris merupakan bahasa wajib.
16 Oktober 1905 berdiri Serikat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai oleh KH Samanhoeddi. Didirikan oleh para pedagang batik pribumi di Solo sebagai reaksi dari ulah para pedagang Tionghoa yang memandang rendah pedagang pribumi.
11 November 1912 SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, seorang berpendidikan pada jaman itu ikut bergabung dengan SDI atas ajakan H Samanhudi. Dalam kongresnya di Surabaya bulan Januari 1913 ditetapkan bahwa kegiatan SI bersifat menyeluruh untuk segenap pelosok tanah air.
Perubahan nama itu juga berimplikasi pada perubahan titik tekan pada aktivitas SDI/SI dari ekonomi ke politik. Pada tahun itu juga Sarekat Islam adalah satu-satunya gerakan politik nasionalis Indonesia. Boedi Oetomo yang lahir tahun 1908 bukanlah gerakan politik dan bukan Indonesia melainkan hanya priyayi Jawa saja. Dalam waktu singkat SI menjadi gerakan politik terbesar di Indonesia dan menjadi sumber inspirasi buat gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia sesudahnya.
18 November 1912 di Yogyakarta berdirilah salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia hingga saat ini, yakni Muhammadiyah. Didirikan oleh KH Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa anggota Boedi Oetomo.
Organisasi ini mempunyai maksud menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Muhammadiyah sangat gencar melakukan amar ma'ruf nahi munkar terutama memberantas praktek-praktek keagamaan masyarakat saat itu yang menurut Muhammadiyah penuh penyimpangan. Slogan mereka yang terkenal yaitu memberantas TBC (tachayul, bid'ah, churafat).
Muhammadiyah juga lahir sebagai reaksi terhadap missi dan zending yang semakin gencar setelah politik etis. Muhammadiyah lahir sebagai saingan missi dan zending dengan menggunakan sarana-sarana yang sama seperti sekolah dan balai-balai kesehatan yang kemudian menjadi rumah sakit Muhammadiyah.
11 Agustus 1915 di Jakarta berdiri organisasi Al Irsyad. Organisasi ini muncul karena pada tahun-tahun sebelumnya sering terjadi pertentangan antara golongan sayid (mengklaim sebagai keturunan Ali ra) dan bukan sayid antar sesama keturunan Arab dalam tubuh Jamiat Khair. Mereka yang bukan sayid kemudian mendirikan Jam'iyat al-Islam wal-Ersyad al-Arabia yang disingkat Al-Irsyad.
Para pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang. Tokoh yang sangat dihormati di kalangan pendiri dan kerap dimintakan fatwanya adalah Syaikh Ahmad Soorkatti, ulama asal Sudan yang datang ke Jakarta tahun 1911.
Al-Irsyad menekankan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat keturunan Arab, meski masyarakat pribumi Indonesia ada juga yang menjadi anggotanya. Kemudian Al-Irsyad meluaskan perhatian mereka pada persoalan-persoalan komplek, yang mencakup persoalan ummat Islam umumnya di Indonesia.
12 September 1923 di Bandung berdirilah organisasi modernis Islam Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini berdiri dalam sebuah kenduri pengajian tiga keluarga keturunan Palembang yang sudah lama menetap di Bandung. Pelopornya adalah Haji Zamzam (1894-1952) dan Haji Muhammad Yunus. Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan, bertujuan berusaha menyempurnakan kehidupan keagamaan berdasarkan ajaran agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Kini seiring dengan waktu organisasi ini tidak lagi melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy tetapi cenderung ke arah low profile yang bersifat persuasif edukatif. Dua orang anggotanya yang sangat terkenal adalah Ahmad Hasan yang lebih dikenal sebagai Hasan Bandung dan Mohammad Natsir.
23 September 1925 berdiri Jong Islamieten Bond (JIB) di Jakarta. Sjamsuridjal bersama Mohammad Roem dan Kasman Singodimedjo adalah pengurus dan aktivis Jong Java. Tapi lantaran di organisasi itu aspirasi keislaman mereka tidak dikehendaki sebagian anggota lain non-Muslim dan sekuler, maka Ketua Jong Java Sjamsuridjal meletakkan jabatan, lalu bersama sahabatnya mendirikan JIB.
JIB memiliki divisi perempuan yang bernama Jong Islamieten Bond Dames (JIBDA) serta organisasi kepanduan bernama Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij) yang dikomandani oleh Kasman Singodimedjo. JIB juga membentuk sebuah Lembaga Inti (Kern Lichaam) yang anggotanya terdiri dari mereka yang telah banyak mengetahui tentang Islam. Di antaranya yang menonjol adalah pemuda Mohammad Natsir. Dalam hal publikasi JIB memiliki majalah organisasi bernama Het Lich (An Nuur).
Bersama sejumlah organisasi kepemudaan lain JIB berpartisipasi dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928 di Jakarta yang menghasilkan Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau terkenal kemudian dengan nama Sumpah Pemuda.
31 Januari 1926 di Surabaya, didirikanlah organisasi keislaman yang berbasis massa pesantren dengan pemikiran yang tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama).
Pada masa itu perkembangan paham keagamaan di dalam negeri sering timbul pertentangan pendapat antara kaum tradisionalis dengan kaum modernis Islam. Pada saat kongres Al Islam (IV dan V), yang diselenggarakan di Yogyakarta dan Bandung untuk mencari input dalam menghadapi kongres Islam di Makkah, aspirasi kalangan pesantren sama sekali tidak tertampung. Karena materi usulan yang disampaikan KHA Wahab Hasbullah itu tidak masuk dalam agenda kongres Al-Islam di Indonesia, akhirnya atas prakarsa beliau pula para ulama pesantren mendirikan Komite Hijaz. Komite ini dibentuk bertujuan untuk menyampaikan aspirasi ulama pesantren kepada penguasa Arab Saudi agar tradisi bermadzhab tetap diberi kebebasan. Misi komite ini berhasil dan diterima oleh penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud. Setelah berhasil misinya, komite ini hendak membubarkan diri, namun KH Hasyim Asy'ari mencegahnya, justru menyarankan momentum ini dijadikan sebagai awal kebangkitan ulama. Maka, atas saran beliaulah pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya didirikanlah organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
21 September 1937 berdiri Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang merupakan federasi organisasi sosial Islam se-Indonesia. Para tokoh gerakan Islam ini adalah KH Mas Mansur dari Muhammadiyah, KH Muhammad Dahlan dan KHA Wahab Hasbullah dari NU serta Wondoamiseno dari SI. Tujuan utama organisasi ini adalah sebagai tempat bermusyawarah dan saling mengenal yang diharapkan dapat mewujudkan pergerakan Islam lahir maupun batin, mempererat persatuan kaum muslimin di dunia dan khususnya di Indonesia.
Umumnya pembentukan MIAI ini disambut dengan baik oleh organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Jumlah anggotanya pun bertambah, dari 7 organisasi pada tahun 1937 menjadi 21 organisasi pada tahun 1941. Kongres Al-Islam pertama yang diadakan oleh MIAI diselenggarakan di Surabaya tanggal 26 Feburari sampai 1 Maret 1938.
Pada bulan Oktober 1943, MIAI berganti nama menjadi Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).
9 April 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Dari 68 anggota, hanya 15 orang saja yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam, seperti KH Mas Masjkur, KH Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Mudzakkir dan H Agus Salim. Dalam kelompok ini pihak Islam modernis dan Islam konservatif bersatu memperjuangkan dasar negara Islam.
Sebagian besar anggota BPUPKI adalah dari kalangan nasionalis sekuler yang tegas-tegas menolak Islam sebagai dasar negara. Mereka terdiri dari antara lain Radjiman Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin serta Prof Supomo. Terjadi perdebatan seru antara kedua kelompok ini. Tetapi akhirnya kelompok Islam mengalah setelah dicapai kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama serta mengesahkan Undang-undang Dasar Negara RI.
14 November 1945 Presiden Soekarno mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri (PM) pertama kabinet parlementer. Meski bertentangan dengan UUD yang hanya memuat aturan kabinet presidensiil, praktek tersebut dijalankan dengan alasan untuk memudahkan perundingan dengan Belanda.
3 November 1945 atas saran Badan Pekerja KNIP, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Pemerintah No X yang mengijinkan dan mendorong rakyat mendirikan partai-partai politik. Maklumat ini disambut banyak pihak, termasuk kalangan Islam.
8 November 1945 menyambut Maklumat Wakil Presiden, para tokoh Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) di Yogyakarta bersepakat mendirikan sebuah partai yang mewadahi segenap kekuatan Islam, bernama Partai Politik Islam Indonesia Masjumi yang selanjutnya populer dengan nama Partai Masjumi.
7-8 November 1945 berlangsung Kongres Ummat Islam I di Yogyakarta yang menghasilkan kesepakatan pembentukan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, bernama Partai Masjumi. Ketua pertamanya Dr Soekiman. Dalam anggaran dasarnya tertulis jelas tujuan partai ini: terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi. Status sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia mulai rontok ketika pada bulan Juli 1945 unsur PSII meninggalkan Masjumi dan menyatakan dirinya kembali sebagai partai politik independen, kemudian disusul oleh Nahdhatul Ulama yang melalui kongresnya di Palembang tahun 1952 mengubah dirinya dari sebuah gerakan sosial keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.
5 Februari 1947 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta, oleh beberapa tokoh Islam yang diprakasai oleh Lafran Pane. Lafran dan kawan-kawannya melihat betapa perlunya memberi nafas keislaman bagi mahasiswa-mahasiswa Muslim, agar mahasiswa kelak tidak menjadi intelektual yang jauh dari agama. Sejak itu HMI menyebar di berbagai kampus di tanah air. HMI sempat menjadi organisasi pemuda sangat berpengaruh ketika bersama organisasi mahasiswa dan pelajar lain berperan sebagai gerakan oposisi terhadap pemerintahan Soekarno yang saat itu sangat dekat dengan PKI.
19 Desember 1948 Atas amanat Presiden dan Wakil Presiden dari Yogyakarta, Sjafrudin Prawiranegara membentuk pemerintah darurat yang kemudian disebut Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, serta membentuk kabinet sementara. Tokoh Partai Masjumi ini sendiri menjabat sebagai ketua kabinet merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Penerangan dan Urusan Luar Negeri. Sjafrudin Prawiranegara dibantu oleh enam orang anggota kabinet dari berbagai partai. Pemerintahannya ini berakhir tanggal 13 Juli 1949 setelah Soekarno dan Hatta dibebaskan Belanda.
14 Desember 1949 dilakukan pertemuan untuk permusyawaratan federal di Jalan Pegangsaan 56 Jakarta yang dihadiri perwakilan Pemerintah RI dan Pemerintah Negara-negara atau Daerah untuk menandatangani Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Keesokan harinya dilakukan pemilihan Presiden RIS yang kembali memilih Soekarno serta Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. RIS hanya berusia beberapa bulan. RIS bubar dan Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan setelah tercapai Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950 setelah sebelumnya Natsir mengajukan mosi integral di parlemen.
7 Agustus 1949 di Malangbong, Tasikmalaya, sekali lagi secara resmi Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Oktober 1950 terjadi pemberontakan di Kalimantan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar, seorang bekas Letda TNI, yang menyatakan sebagai bagian dari DI di bawah pimpinan Kartosuwirjo. Gerakan ini berhasil dipadamkan pada akhir tahun 1959 dengan ditangkapnya Ibnu Hadjar.
Januari 1952 Abdul Qahar Muzakkar juga menyatakan daerah Sulawesi Selatan merupakan bagian dari NII yang dipimpin SM Kartosuwirjo. Sebelumnya, pada bulan Agustus 1951 ia dan pasukannya telah lari ke wilayah pegunungan untuk melancarkan perlawanan terbuka kepada TNI dan pemerintah Soekarno. Gerakan perlawanan ini baru terhenti setelah Qahar diberitakan telah mati ditembak TNI pada bulan Februari 1965.
April l952 NU menyatakan keluar dari Partai Masyumi dan menjadi parpol tersendiri. Keluarnya NU ini karena perebutan kursi Menteri Agama antara kelompok Muhammadiyah dan NU. Adanya pelbagai kritik terhadap kebijaksanaan Wahid Hasyim menyebabkan terpilihnya pemimpin Muhammadiyah Faqih Usman sebagai Menteri Agama, sedangkan kalangan NU tetap menuntut jabatan ini untuk Wahid Hasyim.
20 September 1953 juga terjadi perlawanan DI/TII di Aceh, di bawah pimpinan Tengku Daud Beureueh. Perlawanan ini diawali dengan pernyataan Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah pimpinan SM Kartosuwirjo. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan dengan dilakukannya Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada bulan Desember 1962.
29 September 1955 sebanyak 39 juta rakyat Indonesia datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum multipartai pertama di Indonesia. Disusul pada tanggal 15 Desember 1955 dilakukan pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota Konstituante (lembaga pembuat konstitusi).
Pemilu saat itu dimenangkan empat partai besar PNI (20%), Partai Masyumi (20,9%), Partai NU (18,4 %) dan PKI (16,4%). Hasil bersihnya, partai-partai Islam memperoleh kurang dari 45% suara.
Pelantikan anggota DPR dilakukan pada tanggal 20 Maret 1956 sedangkan pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Persidangan dalam Konstituante berjalan sangat alot, terutama berkaitan dengan dasar negara. Dari beberapa kali pemungutan suara dalam sidang Konstituante 52% menghendaki dasar negara Pancasila dan 48% menghendaki negara Islam. Karena kedua belah pihak tidak dapat mencapai 2/3 suara sidang tidak berhasil mencapai kata putus hingga Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden tiga tahun kemudian (5 Juli 1959).
15 Februari 1958 Letnan Kolonel Achmad Husein memaklumkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Pemerintahan baru ini mendapat dukungan dari tokoh kharismatis Partai Masjumi Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap serta tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo. Berdirinya pemerintahan tandingan ini didorong oleh masalah otonomi dan serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dinilai tidak adil.
Dua hari kemudian Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah Letnan Kolonel DJ Somba menyatakan putus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan ini dikenal dengan nama Piagam Perjuangan Semesta (Permesta). Dan Permesta pun menyerah pada pemerintah pusat pada 29 Mei 1961.
5 Juli 1959 atas desakan Pangab Jenderal AH Nasution, Presiden Soekarno mencetuskan Dekrit Presiden. Isi dekrit itu adalah membubarkan Konstituante, kembali ke UUD 1945 dan pembentukan MPRS.
Dekrit tersebut diterima kalangan Islam, karena pemerintah Soekarno menyatakan kembali ke UUD 1945 yang menggunakan semangat Piagam Jakarta.
17 Agustus 1960 Partai Masjumi terpaksa membubarkan diri setelah mendapat tekanan dari pemerintahan Soekarno, Soekarno kemudian mengeluarkan Kepres No 200/1960 yang meresmikan pembubaran itu. Pembubaran ini dilatarbelakangi penolakan partai ini terhadap konsep kabinet berkaki empat (PNI, Masjumi, NU dan PKI) serta menentang ajaran Soekarno tentang Nasakom.
Pertentangan itu juga diperparah oleh penolakan tokoh-tokoh Partai Masjumi terhadap kebijakan politik Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin serta ketidaksukaan Soekarno terhadap sejumlah pimpinan Partai Masjumi yang terlibat PRRI. Menyusul pembubaran Partai Masjumi banyak tokoh Islam yang ditangkap dan dipenjara oleh rezim Soekarno. Di antara mereka adalah M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, As'at, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, Isa Anshary, EZ Muttaqien, Junan Nasution, Kasman Singodimedjo serta Hamka. Sebagian dijebloskan ke penjara karena fitnah PKI.
30 September 1965 terjadi peristiwa dramatis pembunuhan dan penculikan sejumlah perwira tinggi TNI AD yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G3OS). Belakangan diketahui G30S didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Aksi itu mendapat kecaman dan kutukan dari banyak kalangan. Tangal 8 Oktober 1965 sebanyak 500 ribu massa bersama 46 orpol dan ormas mengadakan demo besar di Taman Suropati Jakarta, menuntut pembubaran PKI. Tercatat di antara yang demo PII, HMI, Pemuda Ansor, NU, Muhammadiyah, Perti, Pemuda Muslim, Front Katolik serta GMKI.
25 Oktober 1965 berbagai organisasi mahasiswa anti PKI membentuk wadah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian diikuti kalangan pelajar dengan membentuk Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), kalangan pemuda dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan sejumlah kesatuan aksi lainnya.
10 Januari 1966 dengan dipelopori KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila memenuhi halaman gedung DPR-GR, mengajukan tiga tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya: pembubaran PKI, retool kabinet dan penurunan harga.
12 Maret 1966, dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret, Pangkopkamtib Letjend Soeharto menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI serta berbagai underbouwnya.
20 Juli - 5 Juli 1966 berlangsung SU MPRS IV. Di antara ketetapannya menegaskan pembubaran PKI serta meminta kepada Presiden Soekarno melengkapi laporan pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara yang dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden mengenai peristiwa G30S beserta epilognya.
7 - 12 Maret 1967 MPRS mengadakan Sidang Istimewa di Jakarta. Salah satu keputusannya adalah mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden pada SU MPR ke-V tanggal 21-30 Maret 1968 di Jakarta.
20 Februari 1967 berdiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta. Organisasi ini didirikan oleh para mantan aktivis Partai Masyumi seperti Moh Natsir, Anwar Harjono, Mohammad Roem dan Prawoto Mangkusasmito, dengan tujuan menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islamiyah di Indonesia. Dalam merealisasikan tujuannya, organisasi ini banyak mengirimkan dai ke berbagai pelosok tanah air, hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Belakangan juga turut mengirimkan da'i ke daerah transmigrasi untuk mengimbangi gerakan kristenisasi.
2 Januari 1974 UU No 1/1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden RI setelah disetujui oleh DPR. Sebelumnya RUU yang diajukan sejak bulan Juli 1973 ini sempat ditolak oleh kalangan Islam, karena dinilai sebagian isinya bertentangan dengan syariat agama. Dalam RUU itu tercantum pasal yang mensahkan perkawinan melalui kantor catatan sipil, meski tidak berlandaskan syariat agama. RUU itu juga membolehkan perkawinan pasangan yang berbeda agama. RUU kontan ditolak oleh berbagai ormas Islam, berupa demonstrasi penolakan RUU yang konsepnya dirancang CSIS itu. Puncaknya adalah pendudukan ruang sidang DPR oleh sekitar 500 orang pemuda Muslim yang terdiri dari GPI, IPM, IPNU, PII, dan lain-lain yang tergabung dalam wadah Badan Kontak Generasi Pelajar Islam. Menghadapi tolakan keras dari ummat Islam itu akhirnya dalam sidang DPR, wakil pemerintah bersedia menghapus pasal-pasal yang dianggap kontroversial.
15 Januari 1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar pertama kali yang dilakukan mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto. Bermula dari demonstrasi yang menuntut dominasi Jepang, berbuntut pada kerusuhan massal di ibukota negara yang dikenal dengan nama Peristiwa Lima Belas Januari (Malari).
26 Juli 1975 Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta oleh 53 orang ulama dan aktivis dari berbagai ormas Islam, seperti antara lain Muhammadiyah, NU, Al Irsyad Al Washilyah dan Al-Ittihadiyah. Terpilih sebagai Ketua Umum pertama Prof HAMKA. Salah satu fungsi penting yang diemban organisasi ini adalah memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan ummat Islam sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Di awal berdirinya, saat dipimpin ulama kharismatik Buya Hamka, MUI bisa menempatkan diri sebagai organisasi independen dan berwibawa serta menjadi alat kontrol efektif terhadap pemerintah. Hingga sempat menimbulkan hubungan tak harmonis dengan pemerintah Soeharto, terutama berkaitan dengan dikeluarkannya fatwa larangan mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Buntutnya, Buya Hamka terpaksa mundur dari jabatannya.
Era sesudah itu, MUI relatif dekat dengan pemerintah. Bahkan terkesan menjadi corong pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional seperti kebijakan keluarga berencana (KB) dan ekspor kodok.
Setelah kasus isu lemak babi di tahun 1988 yang meresahkan masyarakat, MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LPPOM). MUI juga kemudian memprakarsai berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diresmikan di Istana Bogor pada tanggal 30 Oktober 1991.
22 Maret 1978 MPR mensahkan Tap MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), meski Fraksi Persatuan Pembangun (FPP) sangat berkeberatan dan sempat melakukan walk out saat dilakukan voting. Sikap PPP ini membuat berang Pemerintah, sehingga Presiden Soeharto menuduh aksi itu sebagai bukti keraguan PPP terhadap kebenaran Pancasila. Selanjutnya Soeharto menginstruksikan ABRI agar waspada kepada pihak-pihak yang meragukan kebenaran Pancasila. Sejak itu Pemerintah gencar mensosialisasikan P4 melalui pelajaran PMP dan penataran-penataran.
Reaksi keras terhadap P4 dan PMP datang dari tokoh-tokoh Muslim, karena dalam implementasinya mengarah pada gagasan sinkretis yang bertentangan dengan aqidah Islam. Buahnya, sejumlah tokoh Islam seperti Abdul Qadir Djaelani dan Tony Ardi dipenjara dengan tuduhan subversif/makar.
27 Maret 1980 dalam Pembukaan Rapim ABRI di Pakanbaru serta dalam Perayaan HUT Kopassandha di Jakarta tanggal 16 April 1980, mulai mengeluarkan gagasan perlunya pemberlakukan asas tunggal Pancasila bagi seluruh kekuatan sosial politik, sekaligus mengajak ABRI meningkatkan kewaspadaan terhadap para pemimpin PPP.
17 Maret 1982 Dirjen Dikdasmen Prof Soedardji Darmoyuwono mengeluarkan Surat Keputusan bernomor 052/C/Kep/D.82 tentang pakaian seragam sekolah, yang melarang penggunan kerudung atau jilbab bagi siswi Muslimah. Akibatnya, tidak sedikit siswi yang dikeluarkan dari sekolah karena aturan ini, hingga berbuntut gugatan siswa ke pengadilan terhadap pemerintah.
12 September 1984 terjadi peristiwa berdarah yang kemudian disebut Peristiwa Tanjung Priok, di bagian utara kota Jakarta. Peristiwa ini menelan korban jiwa sekitar 400 orang ummat Islam, termasuk pimpinannya bernama Amir Biki, yang dibantai secara keji dengan menggunakan senjata otomatis oleh pihak militer. Peristiwa ini terjadi akibat gejolak politik yang sengaja direkayasa oleh pemerintah untuk menyudutkan ummat Islam dan membuat citra ummat Islam terkesan radikal. Bertindak sebagai Pangab/Pangkopkamtib ketika itu Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani (Benny Moerdani) dan sebagai Pangdam Jaya Mayjend Try Soetrisno. Kedua tokoh ini sampai sekarang masih melenggang-kangkung, tak terjamah pengadilan.
Lanjutan dari peristiwa ini banyak tokoh Islam ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan subversif, antara lain AM Fatwa, Ir Sanusi, Letjend HR Dharsono, Syarifin Maloko, Abdul Qadir Djaelani, Abu Oesmany Al-Hamidy serta Rahmat Basuki.
8-12 Desember 1984 Nahdhatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo yang salah satu keputusan pentingnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi tersebut. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PB NU yang baru pada muktamar kali itu.
Keputusan penting lainnya adalah pernyataan kembali ke Khitthah 1926, kembali sebagai organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat politik praktis serta memutuskan hubungan dengan semua partai politik. Yang terkena pukulan telak keputusan itu adalah PPP yang kelahirannya merupakan fusi dari empat partai Islam termasuk Partai NU. Karena sejak itu NU putus hubungan dengan PPP dan anggota NU bebas bergabung dengan partai manapun. Dalam rapat komisi muktamar itu, dari 36 anggotanya hanya ada 2 orang yang mendukung penerimaan asas tunggal Pancasila. Tetapi penolakan itu kandas dalam rapat pleno muktamar. Demikian juga Muhammdiyah dalam Muktamar di Surakarta menerima azas Pancasila.
24 Maret - 1 April 1986 berlangsung pembukaan Kongres HMI ke-16 di Padang. Berbeda dengan saat Kongres HMI ke-15 di Medan yang berhasil menolak pemberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi itu, pada kongres ini HMI memilih Saleh Khalid sebagai ketua umun dan terpaksa menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya demi menjaga kelangsungan hidupnya.
Sebelum kongres ke-16 berlangsung sudah ada lima cabang HMI yang menolak pemberlakuan asas tunggal tersebut dengan membentuk Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) HMI pada tanggal 15 Maret 1986 di Jakarta. Tetapi kelompok ini tidak mendapat ijin untuk turut serta dalam kongres di Padang. Menanggapi keputusan kongres tersebut, MPO HMI membuat pengurus PB HMI tandingan di bawah kepemimpinan Eggy Sudjana pada tanggal 17 April 1986 di Yogyakarta. Selanjutnya, HMI yang menerima asas tunggal disebut HMI Dipo (diambil dari nama Jalan Diponegoro, tempat sekretariat mereka) dan yang menolak asas tunggal disebut HMI MPO.
10 Desember 1987 keluar vonis dari Menteri Dalam Negeri berupa SK Mendagri No 120/1987 yang berisi pelarangan aktivitas Pelajar Islam Indonesia (PII) lantaran ormas pelajar itu menolak mengganti asas organisasinya dari asas Islam menjadi asas tunggal Pancasila sampai tenggat waktu 17 Juni 1987. Sejak itu PII menjadi organisasi terlarang yang bergerak di bawah tanah.
23 Mei 1988 Pemerintah dalam hal ini Mendikbud Fuad Hasan mengajukan RUU Pendidikan Nasional (RUU PN) yang pasal-pasalnya merugikan kepentingan pendidikan Islam, antara lain karena RUU ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk lembaga pendidikan keagamaan. Dalam RUU ini juga tidak diatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, sesuai agama yang dianut anak didik.
Reaksi pertama disampaikan oleh Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat yang menolak RUU tersebut. Akhirnya RUU itu berhasil disetujui setelah dilakukan koreksi sesuai aspirasi masyarakat.
1989 adalah tahun dimulainya Operasi Jaring Merah oleh di Aceh untuk menumpas aksi pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sekaligus dimulainya Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM).
Sejak itu ribuan pasukan TNI tambahan diterjunkan di Bumi Rencong ini untuk memerangi GAM. Aksi militer yang kejam dan melanggar HAM dari kedua belah pihak telah menghasilkan banyak korban rakyat sipil yang tidak bersalah.
Upaya penyelidikan Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa di tahun 1998 menghasilkan data temuan sementara 871 orang tewas di tempat kejadian perkara (TKP) karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan mati, 550 orang hilang tak diketemukan lagi, 368 orang cedera karena penyiksaan, 120 korban dibakar rumahnya serta 102 orang perempuan diperkosa akibat pelaksaan DOM selama sembilan tahun (1989-1998). Banyak pihak percaya, korban sesungguhnya dua atau kali lipat dari temuan itu.
7 Desember 1990 Sekitar 500 orang pakar dan cendekiawan berkumpul di Universitas Brawijaya, Malang, menghadiri Simposium Nasional Cendekiawan Muslim dengan tema Membangun Masyarakat Indonesia Abad 21. Puncak dari acara itu adalah terbentuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dengan Menristek Prof BJ Habibie sebagai Ketua Umumnya.
Kehadiran ormas ini yang menandakan berakhirnya rasa curiga dan permusuhan pemerintah Soeharto kepada ummat Islam kemudian melahirkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Kalangan Islam yang selama ini dimusuhi oleh Pemerintah, tentu saja mendukung berdirinya ICMI, karena dengan begitu usaha dakwah ummat Islam dapat lebih leluasa bergerak. Dalam usaha mentransformasikan missinya, ICMI mendirikan lembaga kajian bernama Center for Information and Development Studies (CIDES), koran harian Republika, Yayasan Orbit, dan Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk).
29 Maret 1998 Sekitar 200 pimpinan lembaga dakwah kampus (LDK) se-Indoneia seusai mengikuti acara forum silaturahmi LDK ke-10 di Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur mencetuskan Deklarasi Malang sebagai tanda kelahiran Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Fahri Hamzah dari UI terpilih sebagai ketua umumnya yang pertama.
Beberapa hari sesudahnya KAMMI melakukan gebrakan pertama dengan menggelar Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat di halaman Masjid Al Azhar Jakarta, menghadirkan sekitar 20 ribu mahasiswa, pelajar, buruh, pedagang, dan ibu-ibu rumah tangga, menuntut pemerintahan Soeharto segera melakukan reformasi sesuai tuntutan mahasiswa.
20 Mei 1998 bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, di Istana Negara Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya setelah berbulan-bulan didemo mahasiswa dan diultimatum oleh Pimpinan MPR. Pada hari yang sama Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden RI ke-3, menggantikan Soekarno.
Beberapa hari sebelumnya ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR.
26 Juni 1998 Prof Deliar Noer mendeklarasikan berdirinya Partai Ummat Islam (PUI) sebagai partai pertama yang berasaskan Islam. Sesudah itu menyusul berdiri pula 12 partai Islam lainnya seperti Partai Bulan Bintang (PBB) tanggal 26 Juli 1998, Partai Keadilan (PK) tanggal 9 Agustus 1998, Partai Nahdhatul Ummat (PNU) tanggal 16 Agustus 1998 dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU) 25 Oktober 1998.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di masa pemerintahan Soeharto dipaksa berasastunggal Pancasila, pada muktamarnya yang terakhir kembali kepada asas Islam dan kembali menggunakan lambang Ka'bah.
PB NU memilih tidak mendirikan partai Islam, tetapi mendeklarasikan partai berasaskan Pancasila bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu pula Muhammadiyah memilih tidak mendirikan partai, tetapi mengijinkan ketua umum Dr Amien Rais sebagai Ketua Umum partai berasaskan Pancasila bernama Partai Amanat Nasional (PAN).
10 November 1998 berlangsung Sidang Istimewa MPR. Salah satu putusan terpentingnya adalah pencabutan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang P4 serta pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal orsospol dan ormas.
19 Januari 1999 tepat di hari raya Idul Fitri tahun lalu, di saat kaum Muslim Ambon sedang beristirahat usai bersilaturahmi dengan sanak famili, mendadak warga Muslim di daerah Batu Merah diserbu warga Nasrani bersenjata parang panjang dan panah berapi. Ratusan rumah, pasar, pertokoan dan sarana pendidikan musnah terbakar. Ratusan nyawa melayang, puluhan ribu penduduk mengungsi. Sejak itu kerusuhan menjalar ke seantero pula Ambon. Bahkan kemudian menjalar pula ke pulau-pulau di sekitarnya. Senjata yang digunakan pun sudah berupa senapan mesin dan bom rakitan. Meski Gus Dur dan Megawati telah berkunjung ke sana bulan silam, kerusahan masih belum berhenti juga.
(Irfan S. Awwas )