Negara Madani atau Negara Madinah?
SOLUSI ACEH MASA DEPAN
oleh Al Chaidar*

Dalam sebuah surat di tahun 1953, seorang pengamat politik, Boyd R. Compton, menuliskan sesuatu yang tak terduga tentang Aceh:

"Sungguhkah keadaan Aceh rawan pada saat ini? Daud Beureueh menandaskan, desas-desus tentang ketidakpuasan yang pecah di Aceh itu, dihembuskan oleh kaum feodal yang kehilangan kekuasaan selama revolusi."

"Selain itu, adalah ngawur pikiran bahwa Daud Beureueh mau menerima posisi rendahan di bawah Kartosuwirjo Darul Islam. Sulit pula dibayangkan para tokoh kuat PUSA menyingkir ke pegunungan untuk melancarkan kampanye gerilya gelap melawan pemerintah. Posisi runding mereka dalam berhadapan langsung dengan pemerintah pusat sekarang ini cukup kuat untuk menegaskan keinginan-keinginan secara damai. Namun, tentu saja, tidak ada kepastian bahwa pimpinan PUSA berpikir demikian."

"Saya menyatakan, kedamaian dan ketenangan di Aceh agaknya lebih bersifat tak nyaman ketimbang memperlihatkan kegelisahan terbuka. Saya memperoleh kesan umum dari kunjungan singkat ini, bahwa Daud Beureueh dan tokoh-tokoh PUSA memegang kontrol kuat atas pengikut mereka; ketenteraman di Aceh mungkin sekadar menunjukkan bahwa umat Islam Aceh mentaati perintah para pemimpin mereka dan menunggu semacam perkembangan lebih lanjut. Seandainya benar demikian, alternatif-alternatif di Aceh agaknya adalah perdamaian yang terus berlanjut, atau jihad suci menegakkan Negara Islam besar-besaran dan terkoordinasi di masa datang yang cukup jauh."

Laporan di atas menggambarkan sebuah keadaan Aceh di masa lalu dalam periode yang sedang berubah. Mungkin tidaklah terlalu jauh berbeda jika sekarang gambaran yang sama akan muncul kembali.

Untuk menelusuri akar perdebatan konsep negara madani atau masyarakat madani dan negara madinah, maka kita perlu memahami adanya pembelahan kaum intelektual yang menjadi "sumur watershed" sumber berbagai inspirasi. Di samping kelompok kaum cendekiawan yang merupakan sumber dari pemikiran politik dalam masa kini, ada suatu kelompok penting lain yang terdiri atas orang-orang yang terikat pada partai-partai politik.

Dengan pesatnya perubahan masyarakat serta nilai-nilai sosial, banyak sekali orang, terutama kaum muda yang telah mendapat pendidikan modern, mencari jawaban berdasarkan ideologi berupa kepercayaan-kepercayaan baru, alasan-alasan kuat guna menjawab tantangan-tantangan yang diajukan oleh kepercayaan-kepercayaan yang mereka warisi dari keluarga serta kelompok-kelompok mereka. Dan dalam periode ini, mereka dapat menjumpainya dalam partai-partai politik.

Maka persaingan antara partai-partai tersebut merupakan pertarungan ideologis sistem-sistem gagasan. Namun, persaingan sebenarnya terdapat dalam lapangan pertempuran di gunung-gunung yang dilakukan para pejuang, kaum mujahidin dan sebagainya. Kalau di Aceh, lapangan perjuangan ini dinamakan sebagai glee (hutan rimba); dan orang-orang-orang yang melakukan perjuangan ini dinamakan ureung glee (orang yang bergerilya di hutan) atau ureung ateuh.

Pertempuran di gunung-gemunung itu hampir tak menyiratkan konsep wacana ideologi apa yang mereka perjuangkan. Mungkin sekadar mensimplifikasi persoalan, maka konsep negara yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang jauh berbeda atau berlawanan dengan konsep yang selama ini dijalankan oleh Republik Indonesia. Maka, dengan segala keterbatasan itu pula kami mencoba melihatnya dengan wacana konsep Negara Islam atau Negara Madinah dan wacana konsep Negara Sekuler atau Negara Madani.

Untuk memulai wacana tentang Negara Madinah ini, yang berbeda hampir 180 derajat dengan Negara atau Masyarakat Madani, maka perlu ada sedikit penjelasan teoritis tentang hal ini. Berdasarkan disertasi Prof Dr Muhammad Thahir Azhary, saya melihat umat Islam Indonesia, melalui partai-partai politik Islam, perlu menghidupkan lagi pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui otoritasnya, baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Dalam bukunya Muqaddimah, ia merumuskan teorinya tentang negara dan tipologinya.

Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan (al mulk). Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu 1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional, dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) atau negara modern.

Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter (despotisme) dan cenderung kepada "hukum rimba". Di sini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat leher rakyat yang tertindas, sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Ia menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban (uncivilized state).

Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) negara "Republik" ala Plato (siyasah madaniyah). Negara Madani yang disebutkan terakhir adalah sebentuk negara sekuler yang dipertahankan oleh orang-orang Islam yang bekerja sama bahu-membahu dengan orang-orang kafir dalam membentuk suatu "negara musyrik".

Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan syari'ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagaimana dikutip oleh Thahir Azhary, menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam (Islamic nomocracy). Karakteristik siyasah diniyah atau Negara Hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan al- Qur'an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalah ijma' ulama dan qiyas. Sehingga Negara Nomokrasi Islam atau Negara Islam adalah Negara Ulama. Waqar Ahmad Husaini mencatat, nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Husaini bahkan menggunakan istilah "Negara Syari'ah" untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara yurisprudensi sebagai syari'ah.

Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antara siyasah diniyah, siyasah 'aqliyah, dan siyasah madaniyah ialah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah 'aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu. Negara semacam ini dapat kita lihat pada negara-negara demokrasi Barat di Eropa maupun Amerika pada umumnya. Pada siyasah madaniyah (Republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Negara Madani ini bisa kita lihat pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno (1959-1965). Sedangkan archetype Negara Islam terbaik adalah konsep siyasah diniyah. Yang pernah didirikan dan diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo adalah nomokrasi Islam berdasarkan konsepsi siyasah diniyah ini. Negara Diniyah inilah yang dicoba pertahankan oleh para pejuang dan syuhada Islam Indonesia di masa lalu, bukan Negara Madani yang notabene adalah Negara Sekuler atau dalam sebutan yang lebih emosional adalah Negara Syaitan. Dari ketiga tipe negara yang termasuk ke dalam bentuk mulk siyasi itu, maka secara teoritis Ibnu Khaldun lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah sebagai "satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen".

Negara Islam seperti itulah yang menjadi cita-cita ideal seluruh umat manusia. Berdasarkan kerangka teoritis nomokrasi Islam (rechstaat) dari Ibnu Khaldun tentang siyasah diniyah yang merupakan tipe ideal dari mulk siyasi, maka perdebatan tentang Negara Islam sudah waktunya untuk dibuka kembali. Jika partai-partai politik Islam luput dengan perdebatan tentang hal ini, maka kehadirannya akan kehilangan signifikansi. Dan, lebih dari itu, secara ideologis partai-partai Islam tidak memihak sedikit pun pada Islam jika tidak mengemukakan konsep Negara Madinah ini dan implementasinya di Indonesia. Saya yakin, tidak ada seorang tokoh partai politik Islam pun yang pernah mendengar tentang konsep Negara Diniyah atau Negara Madinah atau konsep Negara Madani ini sebelumnya. Karena dari banyak pernyataan-pernyataan mereka, mengindikasikan bahwa mereka tidak punya wawasan sedikit pun tentang sistem kenegaraan. Kalau aspirasi dan suara umat diserahkan pada orang-orang yang seperti tokoh-tokoh partai politik Islam sekarang ini, maka itu artinya sama dengan menyerahkan jiwa-raga kepada singa dan buaya. Maka, tidaklah berlebihan, --dengan menggunakan konsep teoritis Samuel Huntington, the clash of civilization (perbenturan atau pertarungan peradaban) antara peradaban "madani" dan peradaban "madinah"-- jika sekarang ini kita sebut sebagai pertarungan ideologis antara konsep ideologi negara sekuler dan negara Islam, antara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik sekuler, antara partai politik dan front pembebasan atau seccesionist movement.

Bukankah Allah swt dalam surah al-Balad sudah bertanya secara ironis dalam firman-Nya "Wa Hadaynahu Najdaini" (Dan Kami telah tunjukkan kepadamu dua jalan (negara) (QS 90:10). Tapi manusia-manusia sekuler di Indonesia tidak pernah mau menempuh jalan (negara) yang mendaki lagi sukar. Mereka maunya langsung menghadapi jihad besar (melawan hawa nafsu) dan tidak mau pergi ke jihad kecil (bertempur melawan tentara syaitan). Padahal jihad besar dilaksanakan setelah pasukan-pasukan Rasulullah sukses memenangkan jihad kecil. Bagaimana pun harus disadari oleh semua mukmin bahwa Islam mewajibkan kita semua untuk beriman, berhijrah ke negara-Nya dan berjihad mempertahankan tegaknya negara kurnia Allah swt: di sini dan kini.

Tentu saja uraian ringkas ini belum memberikan bekas yang mendalam bagi pergulatan pemikiran politik umat manusia. Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan struktur "terbaik" yang pernah ada. Dan tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Padahal ada satu konsep lagi yang pantas dibahas idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah.

* Penulis buku 'Reformasi Prematur' dan 'Aceh Bersimbah Darah'

Dikutip dari http://www.hidayatullah.com