KARTO MASIH BERDENYUT
-----
Pengarang
muda ini ghirah dengan revolusi Darul Islam. Sangat merangsang membaca
perjuangan ummat masa datang.
-----
Sehari
menjelang kemerdekaan RI, mengapa Soekarno-Hatta mening-galkan Jakarta,
menghindar ke Re-ngasdengklok? Itu hanya salah satu pertanyaan yang muncul
dari buku Al Chaidar bertajuk "Pengantar Pemikiran Politik Proklamator
Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo setebal 257 halaman dan diterbitkan
DarulFalah, Jakarta (1999).
Ternyata, Soekarno dan tokoh lainnya termasuk yang "senantiasa setia menjaga necisnya pakaian dari kotoran dan debu perjuarigan", ketika itu menduga akan meletus pemberontakan PETA dan Heiho, sehingga merasa perlu menghindar ke Rengasdengklok. Pemberontakan itu ternyata tidak terjadi. Yang terjadi adalah ":..hari-hari menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam" (hal.65). Bahkan, 13-14 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah menyiapkan naskah proklamasi yang diedarkannya kepada para elite pergerakan.
Tak
mengherankan bila para pemuda (nasionalis sekuler) ,''menculik" Soekarrio-Hatta,
membawanya ke Jakarta, dan mendesak keduanya memproklamasikan kemerdekaan
RI untuk mendahului upaya Kartosoewirjo yang nyaris mendeklarasikan kemerdekaan
Negara Islam Indonesia. Akhirnya, jadilah
Bung
Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. "Soekarno membacakan pernyatan
kemerdekaan tersebut, tanpa salam dan ucapan basmalah sedikit punyang keluar
dari mulutnya di hadapan sekelompok. orang yang relatif sedikit jumlahnya
di luar rumahnya sendiri di Pegangsaan Timur." Teks proklamasi itu pun
didasarkan pada teks proklamasi ala Kartosoewirjo yang pernah
disosialisasikan.
Sejarah mencatat, kemerdekaan itu tidak membawa berkah. Salah satu buktinya adalah kehidupan perekonomian yang semakin morat-marit sejak masa proklamasi. Terbukti pula adanya, antara lain, pertarungan politik antara nasionalisme sekuler dengan komunisme, di awal-awal kemerdekaan. Rong-rongan politik lainnya.datang pula dari pihak Belanda, pada 21 Juni 1947, yang"...dengan karakter 'Yahudi'-nya melanggar persetujuan Linggarjati yang mengakui pemerintah RI di Jawa, Madura, dan Sumatera" (hal. 68).
Bahkan, Soekarno yang didewakan bertahun-tahun akhirnya tersungkur dari pentas politik bagai pesakitan. Kekuasaan Soekarno yang begitu besar tiba-tiba saja dirampas "fundamentalis Kejawen"; yang belakangan juga terjerembab dari singgasana kekuasaannya.
Buku karya A1 Chaidar yang amat kaya dengan catatan kaki ini memang ditujukan untuk "mengungkap manipulasi sejarah Darul Islam/DI-TII semasa Orde Lama dan Orde Baru", sebuah upaya mengoreksi sejarah. Buku ini banyak menjelaskan kasus sensitif; yang hanya bergema di kalangan terbatas.
Toh Al Chaidar, disadari atau tidak, tampak begitu asyik-masyuk, emosi dan ghirahnya terhanyut oleh semangat (masa lalu) revolusi Darul Islam almarhum Kartosoewiryo. A1 Chaidar pun antusias. mengajak umat mendukung institusi warisan almarhum Kartosoewirjo yang menurutnya masih eksis hingga kini.
Bacalah kata pengantar yang ia tulis sen-diri, dengan mengutip sikap Yusuf Qardha-wy, "Bergabunglah ke dalam daulah Islam yang baru, yang dipimpin langsung Rasulullah S.A.W:.." Dan menjadikannya dasar hukum untuk mengajak umat Islam mendukung daulah yang dipimpin oleh almarhum Kartosoewirjo, yang saat ini konon masih berdenyut. Apalagi, menurut A1 Chaidar, "…Setelah Rasulullah S.A.W. mendirikan Negara Madinah, tidak ada satu orang pun yang menapak tilas semangat jihad Rasulullah S.A.W. di Indonesia ini selain S.M. Kartosoewirjo...'' . (hal. x).
Dibandingkan dengan karya serupa yang pernah disusun Holk H. Dengel (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995) yang menyuguhkan biografi Kartosoewirjo dan melakukan pembahasan ideologis, buku Al Chaidar lebih jauh dari itu. Ia memposisikan dengan terang benderang sejarah Darul Islam (dan Kartosoewirjo) di tengah-tengah konflik politik nasional ketika itu.
Buku ini akan lebih lengkap bila misalnya,detik-detik proklamasi dan sekaligus berdirinya Negara Islam versi Kartosoewirjo diungkap lebih trans-paran. Misalnya, berjalan dan bertahan berapa lama Negara Islam yang diproklamasikan S.M. Kartosoewirjo, serta dimana situs bersejarah "basis masyarakat dan "pemerintahan" Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo itu berada.
Buku ini memiliki greget perjuangan yang cukup adekuat urifuk merangsang publik mengetahui sejarah masa lalu Darul Islam. Terlepas dari realibilitas da'i validitas informasinya, kita bertanya kritis: Seberapa jauh manfaat yang bisa diambil untuk kepentingan perjuangan umat Islam masa mendatang?
UMAR
ABDUH
Aktif
pada lembaga penelitian dan pengkajian lslam di Jakarta.Memahami Kembali
Sejarah Darul Islam di Indonesia
POLITIK HIJRAH SANG IMAM
-----
Lewat
dua buku ini, sosok Kartosoewrijo seakan tampil kembali.
-----
"Kecerdasan S.M. MARIJAN Kartosoewirjo, berdasarkan hasil evaluasi psikologi, adalah bertaraf tinggi. Mutunya tidak bertitik berat pada kemampuan akademis semata-mata, rnelainkan juga pada penggunaan fungsi-fungsi intelektual yang ada padanya." Kalimat-kalimat yang tertera dalam buku "Menelusuri Perjalanan Jihad S.M. Kartosoe-wirjo" itu dikutip dari hasil observasi dan interview petugas Kodam Siliwangi terhadap Kartosoewirjo pada tahun 1962.
Buku itu, juga buku yang ditulis Al Chaidiar, ingin membuktikan bahwa tokoh kelahiran Cepu, 1905, itu bukanlah seorang pemberontak. Melainkan seorang pemikir intelektual yang konsisten dengan ide-idenya. Kedua buku itu mencoba menyingkap tabir sejaruh seorang pemikir generasi pra kemerdekaan negeri ini.
Kata kunci dalam memahami Kartosoewirjo adalah "politik hijrah". Dalam tradisi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), partai yang pernah dipimpin Kartosoewirjo, politik hijrah adalah pelenyapan struktur kolonial. Garis politik ini pertama kali dirumuskan pada kongres pertama PSII, tahun 1923-1924.
Politik
hijrah yang non-kooperatif itu sempat menimbulkan konflik serius di tubuh
PSII: antara kubu Kartosoewirjo-Abikoesno dan kubu Mohammad Roem-Agus Salim.
Abikoesno yang menjadi Ketua Dewan Ek-sekutif berkukuh dengan sikup non-koope-rasi
sernentara Dewan Partai yang dipimpin Agus Salim cenderung pada sikap terbuka
untuk bekerja sama dengan penguasa Belanda. Salim dan
Roem
khawatir kalau politik non-kooperasi diteruskan, PSII akan mengalami kerugian
forum politik. Dalam pandangan Roem-Agus Salim, politik non-kooperasi akan
merugikan rakyat, karena partai tidak lagi mewakili kepentingan rak-yat,
tapi hanya demi kepentingan partai.
Pada tahun 1935 Abikoesno dan Kartosoewirjo meletakkan jabatan mereka di PSII untuk memberi kesempatan Agus Salim melaksanakan referendum atas sikap non-koo-perasi partai. Namun, tampaknya arus utama di tubuh partai justru lebih condong kepada Abikoesno-Kartosoewijo. Ini terbukti saat Kongres PSII, Juli 1936, mcreka kembali terpilih sebagai ketua dan wakil partai. Pada kongres ini pula, Abikoesno memberi kesempatan pada Kartosoewirjo untuk menguraikan secara terperinci konsep politik hijrah partai. Kartosoewirjo lantas mengurakan pemikirannya dalam bentuk brosur dua jilid.
Dalam brosur itu pemikiran Kartosoewirjo semakin matang dan menemukan orisinalitasnya. Pilihan-pilihan yang dilakukan Kartosoewiijo pada masa-masa PSII ini menunjukkan preferensi dan minatnya yang akan rnenjadi kenyataan dengan proklamasi Negara Islam Indonesia. Bahkan, boleh dibilang, proklamasi NII dan perseteruannya dengan Republik Indonesia hanyalah konsekuensi yang harus diambil oleh Kartosoewirjo dan para pengikutnya.
Memproklamasikan NII
Tapi, akhirnya, Kartosoewirjo pun kelihatan terlalu konsisten di mata Abikoesno yang memandang politik hijrah lebih sebagai taktik perjuangan ketimbang prinsip atau ideologi partai. Ketika ia bergabung dalam Gabungan Politik lndonesia (GAPI) --suatu federasi antar partai-- Kartosoewirjo menentangnya. Tuntutan GAPI, yaitu pembentukan parlemen Indonesia, dipandang Kartosoewirjo sebagai sikap kooperasi dengan corak lain. Kartosoewirjo secara konsisten tetap bertahan dengan politik hijrahnya.
Kartosoewirjo
kemudian dipecat dari partai. Lantas, ia pun membentuk Komite Pembela Kebenaran
(KPK) PSII. Dengan menggunakan Anggaran Dasar PSII, ia menganggap KPK PSlI
sebagai satu-satunya PSII yang benar. Namun, ia tidak lantas berkutat dengan
masalah-masalah organisasional. Lebih jauh ia membentuk "Institut Shuffah".
Dengan lembaga ini, Kartosoewirjo mengantisipasi masa depan dengan mendidik
kader-kader muda. Yang menarik para kader ini tidak hanya diajarkan masalah
agama dan politik, juga diajari dasar-dasar kemiliteran. Agaknya, ketika
Negara Islam Indonesia
diproklamasikan
pada tahun 1948 dan Tentara lslam Indonesia dibentuk, anggotaTentara Islam
Indonesia banyak berasal dari lembaga ini.
Bersama para pengikut dan kader-kadernya, Kartosoewirjo selalu menolak apa pun perjanjian antara pihak Indonesia dan pihak Belanda semasa revolusi fisik. Keyakinannya untuk melakukan suatu jihad tehadap Belanda, pilihan yang membawanya hampir 15 tahun berkelana di pelosok hutan dan gunung.
Sayangnya,
kedua penulis kurang mengeksplorasi lebih jauh konflik antara kubu Salim-Roem
dan kubu Kartosoewirjo-Abi-koesno. Keberatan Salim-Roem terhadap politik
hijrah sebenarnya jauh lebih padat dan berisi ketimbang seperti yang digambarkan
oleh Chaidar. Saat mengomentari keberatan Roem
terhadap
"politik hijrah", misalnya, Chaidar menulis: "Beginilah sikap orang-orang
Islam kita yang tidak menghar-gai ide-ide cemerlang yang tumbuh di sekelilingnya."
(hal. 46).
Padahal, konflik di antara kedua kubu di PSII itu merupakan awal mula pemisahan besar-besaran antara dua arus besar dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Salim-Roem, dan juga Soekarno, adalah pewaris-pewaris utama cita-cita nasionalisme yang sudah tertanam dalam diri Tjokroaminoto, sementara Kartosoewirjo lebih mewarisi Islamisme, arus lain yang juga sudah diwariskan dari Tjokroaminoto. Akan halnya arus pemikiran sosialisme Tjokroaminoto diwarisi oleh Semaun.
Sejarah kemudian mencatat Kartosoe-wirjo akhirnya tertangkap pada 4 Juni 1962 di sebuah gubuk tersembunyi di hutan Gu-nung Rakutak yang gelap. Ajal pun menjem-putnya ketika pemerintah Indonesia menjatuhkan hukuman mati pada September 1962. Tapi, lewat kedua buku ini, seakan Sang Imam hadir kembali.
EKO
YULISTYO A.F.
VERSI LAIN SOAL DI / TII
-----
Gerakan Darul Islam selama
ini dicap sebagai musuh bangsa paling berbahaya. Buku ini berupaya meluruskannya.
-----
Dalam sejarah politik nasional,
nama S.M. Kartosuwiryo diguratkan dengan tinta agak gelap. Bahkan ia diidentikkan
dengan gambar kelam yang ada kalanya bernuansa mistis. Buku-buku sejarah
nasional memosisikan Kartosuwiryo sebagai orang yang "bermimpi' mendirikan
negara baru. Hal ini berlangsung hingga sekarang. Buku ini menyodorkan
sisi lain soal Kartosuwiryo. Di situ dikatakan bahwa Kartosuwiryo bukanlah
tokoh yang garang atau misterius. Ia lahir dari keluarga yang jelas. Begitu
juga pendidikan formal, profesi, dan keterkait-annya dengan tokoh-tokoh
nasional seperti Abikusno, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Agus Salim,
H.O.S. Cokroaminoto, dan bahkan Soekarno.
Gambaran kelam soal Kartosuwiryo, menurut penulis buku ini, muncul dari situasi yang disemaikan pemerintahan Soekarno. Sebab utamanya karena Soekarno yang berpaham komunis merasa terancam kedudukannya. Maka dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim dalam Negara Islam Indonesia (NII).
Konspirasi Soekarno dengan ulama NU sehingga ia menerima julukan "waliyyul amri ad-dharuri bisy-syaukah", juga merupakan rekayasa Soekarno untuk meredam kecenderungan masyarakat kepada konsep negara Kartosuwiryo. Untuk memenuhi syarat sebagai "waliyyul amri", Bung Karno mendirikan masjid Baiturrahim di Istana Negara. Prakteknya, masjid itu didirikan sebagai simbol semata agar rakyat menilainya sebagai pemimpin yang taat menjalankan ajaran-ajaran Islam (hlm. 115).
Sikap permusuhan terhadap Islamisme seperti itu terus berkembang dan meluas, tidak saja di kalangan sipil tapi juga di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada masa Orde Baru (orde militerisme), Islamisme agaknya dipandang lebih berbahaya daripada sekularisme, komunisme atau misionaris Kristen dan Yahudi. Bahkan Seminar TNI Angkatan Darat (Agustus 1966) di Bandung malah bersikap antipati, menganggap gerakan Darul Islam (DI) atau NII sebagai musuh bangsa nomor satu, baru menyusul PKI.
Buku ini tidak saja mengungkapkan riwayat singkat S.M. Kartosuwiryo, tetapi juga garis perjuangannya, dan dinamika internal yang muncul di dalam proses mensosialisasikan dasar-dasar perjuangannya. Keberpihakan buku ini kepada kebenaran sejarah tampak cukup kental dan jelas. Itu selain karena penulisnya merupakan salah seorang aktivis angkatan muda DI, juga karena dalam penulisan buku ini para aktivis DI yang masih hidup dijadikan narasumber.
Meski tidak diniatkan untuk merevisi sejarah, setidak-tidaknya melalui berbagai fakta yang mencengangkan, buku ini telah bersikap kritis terhadap tonggak sejarah pergerakan nasional Indonesia. Kemapanan "fakta" sejarah sebagaimana diungkapkan buku sekolahan dengan entengnya digugat. Misalnya, dikatakan bahwa Budi Utomo (BU) bukan partai politik pertama, tapi Syarikat Islam (SI pertama kali bernama Syarikat Dagang Islam) yang lahir pada 1905.
BU juga bukan partai rakyat yang menentang penjajah Belanda, melainkan golongan kaum priyayi yang menjadi anak mas dan bekerja sama dengan Belanda. Anggota BU tidak ada yang masuk penjara, dibuang ke Digul, atau yang ditembak mati oleh Belanda. Sementara tokoh-tokoh SI berdesak-desak masuk penjara yang sempit, ditembak mati atau dibuang ke Digul (Irian Barat). BU bukan bersifat nasional, tapi regional dan anggotanya terbatas pada suku bangsa tertentu saja Jawa dan Madura (hlm: 133).
Bagaimana dengan sosok dan kepribadian Kartosuwiryo sendiri? Penulis buku ini mencatat bahwa postur tubuh Kartosuwiryo sedang, rambutnya ikal, dan bicaranya pelan tapi jelas. Tidak banyak bicara. Apabila berjalan menundukkan kepala, tenang tanpa gaya (hlm. 24). Kartosuwiryo juga digambarkan sebagai tokoh yang tak haus kekuasaan. Buktinya, pada pembentukan Kabinet Amir Syarifuddin pada 13 Juli 1947, dia pernah ditawari jabatan wakil menteri pertahanan oleh pemerintah RI. Namun itu ditolaknya, malah ia lebih memilih melanjutkan perjuangan mengenyahkan Belanda dengan bergerilya di hutan-hutan (hlm. 55).
Sikap istiqamah yang ditunjukkan Kartosuwiryo terhadap cita-cita perjuangan yang telah digariskannya patut diteladani oleh siapa saja (para aktivis) yang menyebut dirinya sebagai orang pergerakan, apa pun ideologinya. Dan mereka bisa menarik manfaat setelah membaca buku ini, dengan terlebih dahulu mengenyampingkan naluri sektarian yang ada pada dirinya.
M. UMAR ALKATIRI
Pemerhati masalah sosial
dan politik. (Agus Kusnaeni)