TAK banyak
yang tahu seperti apa batang tubuh kelompok Negara Islam Indonesia (NII)
alias N Sembilan ini. Begitu susah dilacak dan dibongkar, karena gerak-gerik
mereka amat eksklusif. Mereka dengan sadar dan sengaja menarik diri dari
pergaulan. Selain karena gerakan mereka selalu diincar petugas, mereka
juga menganggap, ideologi agama merekalah yang paling benar. Di luar mereka,
salah. Itu sebabnya, jaring-jaring kelompok ini amat rapi dan rahasia.
Investigasi
Tajuk
selama dua pekan terakhir ini hanya bisa menangkap sebagian dari mata rantai
operasi kelompok ini. Ini pun tidak seragam. Di lapangan,
Tajuk
menemukan istilah yang berbeda untuk setiap tempat. Tentang pengajian misalnya.
Di Medan (Sumut), menurut Sarkamin (nama samaran), pengajian N Sebelas
memiliki beberapa tingkatan. Yang paling dasar namanya Thaifah, yang terdiri
dari Thaifah 1 sampai 12. Masing-masing Thaifah mempunyai anggota paling
sedikit 50 orang. Antara satu Thaifah dan Thaifah lainnya tidak pernah
bertemu, apalagi saling kenal.
Di atas
Thaifah, ada tingkatan baru namanya Kahfi, yang terdiri dari Kahfi 1 sampai
15. Setiap Kahfi memiliki anggota paling sedikit 1.000 orang. Sama halnya
dengan Thaifah, antara Kahfi satu dan yang lainnya tidak saling kenal.
Sarkamin, yang mengaku berada pada Thaifah 12, tidak mengenal siapa saja
kerabatnya di Thaifah lainnya. Dia bergabung dengan N Sebelas bulan Juli
1997 karena ajakan temannya, M. Shaltut, yang kini tengah belajar di Mesir.
Temannya ini pernah kuliah di IAIN Medan Jurusan Syariah sampai semester
kedua, sebelum akhirnya melanjutkan kuliahnya di Mesir.
Sejauh ini, Sarkamin baru sekali masuk Gua. Ini sebutan bagi tempat pengajian, yang digelar kelompok ini. Kisah perjalanan ke sana sama seperti anggota lainnya. Sarkamin dijemput dengan mobil Kijang di rumahnya. Di dalam mobil, sudah ada empat anggota lain dengan mata tertutup kain hitam. Ia sendiri mencoba tidak menutup mata. Namun, 20 menit menjelang lokasi, ia dipaksa memejamkan mata. Saat terakhir melihat keluar, dia memastikan mobilnya masuk dari Jalan Gajahmada. Setelah itu tak jelas ke mana mobil itu bergerak. Tiba-tiba telah sampai ke tujuan. Gua dimaksud ternyata sebuah rumah mewah. Namun dia tidak tahu di mana rumah itu berada. "Seingat saya, ketika keluar keesokan harinya, mobil keluar dari Jalan Dr. Mansur, USU Medan," katanya. Yang memberi pelajaran saat pengajian adalah para guru. Menurut Sarkamin, setiap guru yang mengajar di kelompok ini diberi gaji. Tidak harus orang dalam kelompok. Siapa dia, sepanjang punya pandangan yang sama dengan N Sebelas dan memahami Alquran secara hierarki, bisa diangkat sebagai guru. Ustaz Hasyim Darori (bukan nama asli) termasuk yang pernah ditawari kelompok ini jadi guru. Imbalan gaji amat menggiurkan, Rp 8 juta setiap bulan. Namun tawaran itu ditolaknya. Menurut Hasyim kepada Tajuk, tawaran itu datang karena pergaulannya yang luas – termasuk dengan orang-orang di kelompok N Sebelas. Karena itu, ia mengenal dengan baik beberapa amir N Sebelas yang berada di Jakarta. Di antaranya, K.H.Ahmad Syamsuri yang menetap di Bogor. Di Jakarta, katanya, kelompok ini menggerakkan roda organisasinya di beberapa tempat, seperti di sekitar Pasar Cipulir dan Tanah Abang. Saat ini, menurut cerita Sarkamin, N Sebelas tengah menata dan merampungkan struktur organisasi nasional yang lebih solid. Sejauh ini, katanya, ada empat daerah yang telah rampung menyusun struktur pemerintahan, yaitu Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Sumatra Barat. Sementara daerah lainnya, termasuk Sumatra Utara, masih dalam penggodokan. Kendati belum semuanya siap, kata Sarkamin, susunan struktur pemerintahan pusat telah terbentuk. Susunannya persis sama dengan pemerintahan negara merdeka: ada presiden, menteri, dan pejabat tinggi lainnya. Mereka yang masuk dalam struktur mendapat fasilitas mobil ataupun sepeda motor. Fasilitas ini disesuaikan dengan jabatan seseorang dalam struktur pemerintahan. Seorang gubernur, wali kota, atau bupati, misalnya, dikasih fasilitas mobil. Sementara jabatan setingkat camat sampai lurah memakai sepeda motor. Organisasi mereka memang sampai tingkatan paling bawah. Kurang lebih sama dengan organisasi pemerintahan kita sekarang. Tingkatan RT dan RW juga dikenal di sini, selain yang besar-besar tadi. Tingkatan dari level paling bawah sampai yang tertinggi, yaitu presiden, memakai nama-nama nabi, seperi: Daud, Musa, Ibrahim. Tingkatan yang paling tinggi adalah Adam. Info ini diceritakan Ridha, mahasiswa semester akhir salah satu PTN terkemuka di Bandung. Ia pernah bergabung dengan NII tahun 1995, namun belakangan dia memilih keluar. Katanya, jumlah tingkatan semuanya ada tujuh. Alasannya, langit ada tujuh lapis. Tak jelas apakah istilah dan tingkatan ini masih berlaku sampai sekarang. Sementara, di lingkungan aparat keamanan, masih kata Sarkamin, separo dari kekuatan TNI/Polri yang ada di Indonesia sudah menyatakan dirinya bergabung dengan N Sebelas. Walhasil, pemerintahan yang tengah dibangun kelompok ini bakal langsung eksis jika saatnya kelak memerintah. N Sebelas tak susah-susah menyusun itu semua, katanya, karena eksistensi kelompok ini sudah ada sejak lama. Hanya di bawah permukaan. Ketika Tajuk menanyakan ke mana orientasi kelompoknya, Sarkamin menjawab sambil menunduk, "Ya, ini N Sebelas-nya Kartosoewirjo." Sesaat kemudian, pria ini memandang wartawan Tajuk dengan tajam, tanpa senyum. Untung pembicaran segera beralih ke topik lain. Sehingga pertemuan dengan kepala sekolah pada salah satu Madrasah Ibtidaiyah di Jalan Denai Ujung ini langsung cair dan mengalir. Adanya hubungan kelompok ini dengan Kartosoewiryo ikut diperkuat oleh Rosidah (samaran). Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang ini pernah terlibat di N Sebelas. Ketika awal mula berkenalan, ia diajak kumpul di suatu tempat bersama 24 anggota lainnya. Selain diberi tahu apa dan bagaimana NII, mereka lalu dibaiat secara bersama-sama untuk tidak mengkhianati negara. Dalam hal ini NII. Sebelumnya, mereka diminta membaca syahadat dan beberapa ayat dalam Alquran. Ada satu hal lagi. "Kata mereka, NII ini adalah kelanjutan dari DI/TII-nya Kartosoewirjo," tutur Rosidah. Seperti halnya anggota lainnya, Rosidah acapkali terlibat dalam kegiatan NII. Di antaranya di daerah Blimbing, Tlogomas, Dieng, Njoyo, Pendem, dan Arjosari. Rosidah tak tahu di mana persisnya lokasi kegiatan, karena ia dibawa ke lokasi itu dengan mata tertutup. Markas mereka memakai nama pos daerah. Misalnya, Pos Paiton, Pos Sukodono, Pos Malang, dan lain-lain. Pusat kegiatan, kala Rosidah aktif di NII, ada di sekitar Pendem. Ketuanya berusia 40-an tahun, beraksen Jawa Barat. Rosidah juga mengakui, organisasi kelompok ini amat rapi. Ada camat, bupati, wali kota, dan sebagainya. Rosidah sendiri, sebelum keluar, menempati posisi sebagai anggota Paswalda (Pasukan Pengawal Daerah). Tugasnya merekrut anggota baru. Tingkatan Rosidah ketika masih bergabung sudah cukup tinggi. Lambat laun dia naik jenjang dari daur (tingkatan) 1 ke daur 4. Di NII dikenal ada sembilan tingkatan. Tak jelas apa bedanya antara daur dan Thaifah atau Kahfi seperti yang dikenal di kalangan NII Medan. Kalau struktur di tingkat bawah sudah susah dikuak, level menengah ke atasnya apalagi. Boro-boro untuk bisa bertemu sang guru besar. Di Medan, Ustaz Hasyim Darori dan seorang temannya, bernama Imran, mau bermurah hati membantu Tajuk bertemu dengan guru besar N Sebelas. Guru dimaksud adalah Sabaruddin Sagala, tinggal di Simpang Limun Medan. Sayang sekali, Senin (15/11) malam sekitar pukul 20.00 WIB, Sabarudin tak ada di rumah. Istrinya yang bermarga Br Bintang bilang, suaminya pergi ke Tebing Tinggi untuk mengaji. Pembicaraan malam itu akhirnya berlangsung dengan istrinya. Br Bintang bercerita, keluarganya berasal dari Dairi. Sejak tahun 1970-an mereka pindah ke Medan. Dari perkawinannya dengan Sabaruddin, mereka dikarunia delapan orang anak. Di sela-sela pembicaraan, setidaknya dua kali telepon berdering menanyakan Sabaruddin. Dari Sibolga dan Medan. "Biasalah, urusan ngaji," si istri menjawab telepon. Kamis (18/11) pagi, sekitar pukul 10.00 WIB, Tajuk menghadiri pengajian yang disampaikan Sabaruddin di sebuah rumah di Jalan Serdang Medan. Pengajian pagi itu sifatnya baru tahap pengenalan kepada dua orang yang ingin menjadi muridnya. Selama diskusi berlangsung, pria itu tidak pernah menyinggung N Sebelas. Apalagi mengakui bahwa dirinya guru besar N Sebelas. "Siapa bilang, saya guru besar N Sebelas? Saya dari Darussalam." Begitupun, katanya, antara N Sebelas dan Darussalam tak jauh bedanya. "Yang membedakan Darussalam dengan N Sebelas hanya salat." Ibadah di Darussalam, prinsipnya harus dilaksanakan bila seruan itu sudah sampai ke semua orang. "Namun demikian, belum tentu syariat itu sudah sampai pada setiap orang," katanya. Sabaruddin mengakui pernah mengikuti N Sebelas. Sebelumnya, dia pernah belajar tarikat di banyak tempat, pernah pula jadi dukun. Dalam diskusi itu, dia lebih banyak memakai istilah lembaga untuk menjelaskan tempatnya berhimpun. "Kepemimpinan dalam lembaga ini berjenjang. Setiap orang akan mengenal pemimpinnya sesuai tingkatannya. Karena itu, pemimpin yang di atas akan diketahui bila mengikuti proses jamaah." Jamaah, kata Sabaruddin, baru bisa mengetahui pemimpinnya setelah negara mereka merdeka. Negaranya sekarang sudah ada. Pemimpinnya pun, mulai dari tingkat paling bawah (RT) sampai imam (presiden), sudah ada. "Siapa pun orangnya, lihat saja nanti setelah negara merdeka," kata Sabaruddin kepada kedua murid barunya. Kapolda Sumut Brigjen Sutiyono berjanji akan menindak tegas segala bentuk aliran yang bisa meresahkan masyarakat. "Kita akan tindak tegas kalau memang pengajian itu ada. Itu sudah kriminal," katanya, ketika dimintai konfirmasi Tajuk soal adanya pengajian yang digelar N Sebelas. Tim Tajuk (http://www.tajuk.com/edisi20_th2/)
Simak juga : Aliran Bau Duit Kelompok "N Sebelas" |