oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.
I. Ahazia mengenali orang itu sebagai Elia.
Dari penggambaran para utusannya tentang orang itu, Ahazia tahu bahwa itu adalah Elia (ay 7-8).
Ay 8: ‘pakaian bulu’.
KJV: ‘He was a hairy man’ (= Ia adalah seorang yang berbulu).
Ada 2 hal yang perlu dijelaskan:
Catatan: saya sangat meragukan penafsiran dari bagian yang saya garis-bawahi. Tetapi penekanan saya dalam kutipan ini hanyalah bahwa Elia bukanlah manusia berbulu, dan pakaian bulu maupun ikat pinggang kulit yang ia pakai bukanlah pakaian yang mewah.
Fred H. Wight: "There were and are today two kinds of girdles. One, a common variety, is of leather, usually six inches broad and furnished with clasps. This was the kind of girdle worn by Elijah (2Kings 1:8), and by John the Baptist (Matt. 3:4). The other, a more valuable variety, is of linen (See Jer. 13:1), or sometimes of silk or embroidered material" [= Dulu dan sekarang ada dua macam ikat pinggang. Pertama, jenis yang umum, adalah dari kulit, biasanya lebarnya 6 inci dan dilengkapi dengan jepitan / gesper. Ini adalah jenis ikat pinggang yang dipakai oleh Elia (2Raja 1:8), dan oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:4). Yang lain adalah jenis yang lebih berharga / mahal, terbuat dari lenan (lihat Yer 13:1), atau kadang-kadang dari sutera atau bahan sulaman] - ‘Manners and Customs of Bible Lands’, hal 93.
Hal lain yang mendukung
pandangan bahwa pakaian Elia ini bukanlah pakaian mewah, adalah bahwa Yohanes
Pembaptis berpakaian seperti dia (Mat 3:4), dan pakaian Yohanes Pembaptis
jelas bukanlah pakaian indah atau mewah. Ini terlihat dari kata-kata Yesus
kepada orang banyak tentang Yohanes Pembaptis: "Untuk apakah
kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin kian kemari?
Atau untuk apakah kamu pergi? Melihat orang yang berpakaian halus? Orang
yang berpakaian indah dan yang hidup mewah, tempatnya di istana raja.
Jadi untuk apakah kamu pergi? Melihat nabi? Benar, ..."
(Luk 7:24b-26a).
Pulpit Commentary: "He has defied God when in health; now he defies him from a bed of sickness" (= Ia telah menentang Allah pada waktu ia sehat; sekarang ia menentangNya dari ranjang kesakitan) - hal 9.
Pulpit Commentary: "Even on his death-bed he shows no such compunction as occasionally visited his father Ahab (1Kings 21:27)" [= Bahkan di atas ranjang kematiannya ia tidak menunjukkan penyesalan seperti yang kadang-kadang mengunjungi ayahnya, Ahab (1Raja 21:27)] - hal 13.
b. Ditinjau dari sudut Elia, bahaya mengancamnya karena ia memberitakan kebenaran dari Tuhan.
Pulpit Commentary: "It was not the first time Elijah’s life had been threatened by royal sinners. When a man is fearless in rebuking sin, he must expect the hatred of impenitent sinners. Smooth words may win a fleeting popularity, but the friendship of this world is enmity against God" (= Ini bukan pertama kalinya nyawa Elia diancam oleh raja yang berdosa. Pada waktu seseorang tidak mempunyai rasa takut dalam menegur dosa, ia harus mengharapkan kebencian dari orang berdosa yang tidak bertobat. Kata-kata yang sopan / ramah mungkin bisa memenangkan kepopuleran yang singkat / cepat berlalu, tetapi persahabatan dengan dunia ini adalah permusuhan terhadap Allah) - hal 9.
Bandingkan dengan kata-kata Paulus dalam Gal 4:16 - "Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?".
Contoh: beberapa
minggu yang lalu dalam khotbah saya menyinggung kesesatan Pdt. Yohanes
Bambang dari GKI dalam bukunya ‘Tuhan ajarlah aku’. Ternyata dalam kebaktian
saat itu ada seorang dari GKI yang baru pertama kali datang di sini, dan
ia lalu menanyakan kepada seorang jemaat: ‘Apa salahnya Yohanes Bambang?’.
Jemaat itu, yang mengetahui bahwa si penanya adalah orang GKI, lalu menjawab:
‘O, bukunya Yohanes Bambang itu salah sedikit’. Saya lalu menegur
jemaat itu dan mengatakan bahwa kalau buku itu salahnya banyak, tetapi
demi kesopanan / supaya orang itu tidak tersinggung, kita lalu mengatakan
bahwa buku itu salahnya sedikit, maka kita tidak mengatakan kebenaran,
dan kita menyesatkan orang itu. Memang kalau kita menyatakan kebenaran,
ada kemungkinan orangnya marah, tetapi itulah resikonya mengatakan kebenaran!
b. Kecaman terhadap Elia atas tindakannya di sini.
Catatan: Kata-kata yang saya garis-bawahi itu hanya ada dalam manuscript-manuscript tertentu, dan pada umumnya dianggap sebagai suatu penambahan, karena kalimat itu tidak ada dalam manuscript-manuscript yang kuno yang yang lebih dipercaya. Tetapi sekalipun kata-kata itu sebetulnya tidak ada, hampir bisa dipastikan bahwa Yohanes dan Yakobus ingin menurunkan api dari langit, karena mereka teringat akan peristiwa Elia ini, dan ingin menirunya. Perlu juga diperhatikan bahwa mereka baru melihat pemuliaan terhadap Yesus di atas gunung, dimana Musa dan Elia muncul dan bercakap-cakap dengan Yesus (Luk 9:28-36). Peristiwa ini membuat mereka ingat akan Elia dan hal-hal yang pernah dilakukannya, termasuk penurunan api dari langit dalam 2Raja 1 ini.
"‘It was,’ remarks Archbishop Trench, ‘as if he had said, Ye are mistaking and confounding the different standing-points of the old and new covenants, taking your stand upon the old - that of an avenging righteousness, when you should rejoice to take it upon the new - that of a forgiving love’" (= ‘Itu adalah’, kata Uskup Trench, ‘seakan-akan Ia (Yesus) telah mengatakan: Engkau (para murid) salah dan mencampur-adukkan kedudukan yang berbeda dari Perjanjian Lama dan Baru, mengambil pandangan dari Perjanjian Lama - yaitu tentang kebenaran yang membalas dendam, pada waktu engkau seharusnya dengan sukacita mengambil pandangan dari Perjanjian Baru - yaitu tentang kasih yang mengampuni) - hal 7.
Adam Clarke: "Some have blamed the prophet for destroying these men, by bringing down fire from heaven upon them. But they do not consider that it was no more possible for Elijah to bring down fire from heaven, than for them to do it. God alone could send the fire; and as he is just and good, he would not have destroyed these men had there not been a sufficient cause to justify the act. ... No entreaty of Elijah could have induced God to have performed an act that was wrong in itself. ... God led him simply to announce on these occasions what he himself had determined to do" (= Sebagian orang menyalahkan sang nabi karena menghancurkan orang-orang ini dengan menurunkan api dari langit kepada mereka. Tetapi mereka tidak mempertimbangkan bahwa sama tidak mungkinnya bagi Elia maupun bagi mereka untuk melakukan hal itu. Hanya Allah yang bisa mengirimkan api itu; dan karena Ia itu adil / benar dan baik, maka Ia tidak akan menghancurkan orang-orang ini seandainya di sana tidak ada alasan yang cukup untuk membenarkan tindakan itu. ... Tidak ada permohonan dari Elia yang bisa menyebabkan / membujuk Allah untuk melakukan suatu tindakan yang salah. ... Allah hanya memimpinnya untuk mengumumkan pada peristiwa-peristiwa ini apa yang Ia sendiri telah tentukan untuk dilakukan) - hal 482.
Adam Clarke: "This is the literal meaning of the original; and by it we see that Elijah’s words were only declarative, and not imprecatory" (= Ini adalah arti hurufiah dari kata bahasa aslinya; dan dari hal ini kita melihat bahwa kata-kata Elia hanya merupakan pernyataan, dan bukan suatu doa untuk mendatangkan kutukan / bencana) - hal 482.
Tetapi salah satu penafsir dari Pulpit Commentary menentang pandangan Adam Clarke ini. Ia berpendapat bahwa Elia memang meminta api turun dari langit, dan bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu menunjukkan bahwa Elia tidak bersalah.
Pulpit Commentary: "The LXX render, KATABESETAI PUR - ‘fire will come down;’ and so some moderns, who are anxious to clear the prophet of the charge of cruelty and bloodthirstiness which have been brought against sin. But there is no need of altering the translation. Elijah undoubtedly ‘commanded fire to come down from heaven’ (Luke 9:54), or, in other words, prayed to God that it might come down, and in answer to his prayer the fire fell. ... He had no power of himself to do either good or harm. He could but pray to Jehovah, and Jehovah, in his wisdom and perfect goodness, would either grant or refuse his prayer. If he granted it, the punishment inflicted would not be Elijah’s work, but his. To tax Elijah with cruelty is to involve God in the charge. God regarded it as a fitting time for making a signal example, and, so regarding it, he inspired a spirit of indignation in the breast of his prophet, who thereupon made the prayer which he saw fit to answer" (= LXX / Septuaginta menterjemahkan KATABESETAI PUR - ‘api akan turun’; dan dengan demikian beberapa orang modern, yang sangat ingin untuk membersihkan sang nabi dari tuduhan kekejaman dan kehausan akan darah yang telah dibawanya terhadap dosa. Tetapi tidak diperlukan suatu perubahan terjemahan. Tidak diragukan bahwa Elia ‘memerintahkan api turun dari langit’ (Luk 9:54), atau dengan kata lain, berdoa kepada Allah supaya api turun, dan sebagai jawaban terhadap doanya api turun. ... Ia tidak mempunyai kuasa dari dirinya sendiri untuk melakukan yang baik ataupun yang buruk. Ia hanya bisa berdoa kepada Yehovah, dan Yehovah, dalam hikmat dan kebaikanNya yang sempurna, akan mengabulkan atau menolak doanya. Jika Ia mengabulkannya, hukuman yang diberikan bukanlah pekerjaan Elia, tetapi pekerjaanNya. Menuduh Elia dengan kekejaman berarti melibatkan Allah dalam tuduhan itu. Allah menganggapnya sebagai saat yang tepat untuk membuat contoh tanda, dan karena Ia beranggapan demikian, Ia mengilhamkan roh kemarahan dalam dada dari nabiNya, yang lalu menaikkan doa yang Ia anggap cocok untuk dijawab) - hal 3.
Maz 34:8 - "Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka".
Jelas bahwa perwira ketiga ini sudah mendengar tentang nasib dari ke 2 perwira yang terdahulu dengan anak buahnya, dan karena itu ia datang kepada Elia dengan hormat dan dengan merendahkan diri.
Sikap hormat dan merendahkan diri dari perwira ketiga ini menyebabkan Elia tidak meminta api turun dari langit lagi, dan Tuhan memerintahkan Elia untuk tidak takut, dan pergi bersama perwira ketiga itu menghadap raja. Ini menunjukkan:
Peristiwa ini, dan juga peristiwa penghukuman mati kedua perwira terdahulu dengan 100 anak buahnya, menunjukkan bahwa Tuhan menghendaki hormat kepada hambaNya. Sikap tidak hormat kepada hamba Tuhan identik dengan sikap tidak hormat kepada Tuhan (bdk. Bil 12:1-10, khususnya ay 8nya; Luk 10:16).
b. Selama ini, termasuk dalam meminta api turun dari langit tadi, Elia memang bertindak sesuai dengan pimpinan dari Tuhan.
Adam Clarke:
"This is an additional proof that Elijah was then acting under
particular inspirations: he had neither will nor design of his own. He
waited to know the counsel, declare the will, and obey the command, of
God" (= Ini merupakan bukti tambahan bahwa pada saat itu Elia bertindak
di bawah ilham-ilham khusus: ia tidak mempunyai kehendak atau rencana dari
dirinya sendiri. Ia menunggu untuk mengetahui rencana, menyatakan kehendak,
dan mentaati perintah, dari Allah) - hal
482.
Ada penafsir yang mengatakan bahwa mungkin sekali Elia ikut dan menghadap ini dalam keadaan diborgol. Saya berpendapat bahwa ini adalah penafsiran bodoh yang sama sekali tidak sesuai dengan kontex, dimana terlihat dengan jelas dalam seluruh kontex ini bahwa Tuhan menjaga martabat / kewibawaan dari hambaNya (Catatan: dalam kontex lain, bisa saja seorang hamba Tuhan diborgol).
Juga kata ‘menghadap’ yang digunakan oleh Kitab Suci Indonesia rasanya agak terlalu meninggikan Ahazia dan merendahkan Elia. Terjemahan sebenarnya adalah: ‘Dan ia bangun dan pergi dengannya kepada raja’.
Memang sebetulnya kedudukan hamba Tuhan adalah sangat tinggi di hadapan Tuhan, lebih tinggi dari seorang raja.
Untuk menggambarkan tingginya kedudukan seorang pengkhotbah, ada orang yang mengatakan:
Ada penafsir yang membandingkan Ahazia, yang adalah raja duniawi, tetapi dalam keadaan sakit, takut mati, hidup dalam kegelapan berhala, dengan Elia, yang sekalipun miskin (terlihat dari pakaian sederhana yang ia pakai - ay 8), tetapi saleh, mendapat firman dari Tuhan dan dengan wibawa yang luar biasa menyampaikannya kepada Ahazia (ay 3,4,6,16).
Pulpit Commentary: "Which is the better, do you think - a throne or a godly character? Fools only prefer the former; the man of sense, thoughtfulness, and reflection would say the latter" (= Menurutmu yang mana yang lebih baik, sebuah takhta atau karakter / sifat yang saleh? Hanya orang tolol memilih yang pertama; orang yang mempunyai akal yang sehat, penuh pertimbangan dan pemikiran akan memilih yang terakhir) - hal 12.
b. Elia menyampaikan secara langsung kepada Ahazia Firman Tuhan yang tadi sudah disampaikannya kepada para utusan Ahazia (ay 16).
c. Saya berpendapat bahwa ay 17 (kematian Ahazia) tidak terjadi segera setelah Elia mengucapkan Firman Tuhan itu, karena memang tidak dikatakan bahwa Ahazia langsung mati setelah mendengar Firman Tuhan.
Semua orang berdosa harus memikirkan bahwa lambat atau cepat mereka semua akan mati seperti Ahazia ini. Bagaimana mempertanggungjawabkan dosa-dosanya, kalau tidak mempunyai Yesus sebagai Juruselamat?