HERMENEUTICS : Ilmu Penafsiran Alkitab
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Kata ‘Hermeneutics’ berasal dari kata bahasa Yunani HERMENEUO,
yang berarti ‘menjelaskan’, ‘menafsirkan’, atau ‘menterjemahkan’.
Jadi, Hermeneutics adalah ilmu yang mengajarkan prinsip-prinsip,
hukum-hukum, dan metode-metode penafsiran Alkitab.
1) Karena
adanya Historical Gap.
Ini timbul karena adanya perbedaan waktu. Penulis Kitab Suci hidup
pada jaman dulu, dan kejadian-kejadian yang ditulisnya juga terjadi pada jaman
dulu, dan semua ini tentu sangat berbeda dengan jaman sekarang.
Orang tua sering berkata kepada anaknya: ‘Dulu saya ....’.
Tetapi dulu memang berbeda dengan sekarang!
Dulu nabi-nabi berjalan kaki karena tidak ada mobil; haruskah
pendeta jaman sekarang juga demikian? Dulu puji-pujian menggunakan rebana,
gambus, kecapi, dsb karena belum ada piano, organ dsb; haruskah puji-pujian
jaman sekarang meniru mereka? Dulu anggur dan minyak sering dipakai sebagai
obat (Mark 6:13
Luk 10:34
Yes 1:6), dan karenanya Paulus dan Yakobus menganjurkannya
(1Tim 5:23 Yak 5:14).
Haruskah kita sekarang, setelah ada obat-obatan modern yang lebih manjur, tetap
mengikuti anjuran mereka?
2) Karena
adanya Cultural Gap (perbedaan
kebudayaan).
Mereka adalah bangsa yang berbeda, dan tinggal di tempat yang
berbeda, dan mempunyai kebiasaan-kebiasaan / tradisi yang berbeda pula dengan
kita.
Kebiasaan orang di Amerika dan Indonesia pada jaman yang sama sudah
banyak berbeda, misalnya:
·
tentang peluk cium.
·
tentang menyapa dengan kata-kata ‘How are you’.
·
pengucapan ‘I
love you’ antara suami dengan istri.
Tentu kita di Indonesia tidak bisa begitu saja mengimport
tradisi Amerika tersebut.
Demikian juga kebiasaan / kebudayaan orang-orang jaman Kitab
Suci tidak bisa begitu saja ditiru, seperti:
¨
penggunaan tudung kepala bagi perempuan dalam
kebaktian (1Kor 11:5-6,13-15).
¨
Sarai menamai [NIV: called (= menyebut / memanggil)] Abraham tuannya (1Pet 3:6).
¨
pertemuan di pintu gerbang kota (Rut 3:1).
¨
perendahan / pengabaian terhadap perempuan.
3) Karena
adanya Linguistic Gap (perbedaan
bahasa).
Kitab Suci ditulis dalam bahasa Ibrani, Yunani dan Aramaic.
Tidak mungkin bisa menterjemahkan bahasa-bahasa itu dengan sempurna ke dalam
bahasa kita, karena adanya perbedaan dalam persoalan:
a) Grammar (= Tata bahasa).
·
Adanya Tenses
(seperti: past tense, future tense, perfect tense, dsb).
Mungkin tidak ada bahasa dalam dunia ini yang lebih njlimet tensesnya dibandingkan dengan bahasa
Yunani. Ini menyebabkan pada waktu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, maka tenses bahasa Inggrisnya tidak mencukupi
sehingga tidak bisa menterjemahkan dengan tepat. Lebih-lebih kalau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang boleh dikatakan tidak mengenal tenses.
·
Adanya gender
/ jenis kelamin dari kata.
Dalam bahasa
Ibrani setiap kata benda dan kata sifat mempunyai jenis kelamin, atau laki-laki
atau perempuan, sedangkan dalam bahasa Yunani bahkan ada 3 macam, yaitu
laki-laki, perempuan dan netral. Pada waktu diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris atau Indonesia, maka semua ini hilang, padahal jenis kelamin ini bisa
mempengaruhi penafsiran.
b) Vocabulary / perbendaharaan kata yang
tidak ada.
Kalau kita menterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, kita
akan sering mengalami kesukaran dalam hal ini, yaitu tidak adanya kata yang
cocok, yang artinya betul-betul sama.
Sebagai contoh, kata bahasa Yunani ‘PRAUS’ yang diterjemahkan
‘lemah lembut’ / ‘meek’
(Mat 5:5), padahal ‘lemah lembut’ / ‘meek’
mempunyai perbedaan arti dengan PRAUS. Kata PRAUS ini tidak mempunyai
terjemahan yang tepat, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Illustrasi: kalau mau menterjemahkan kata bahasa Jawa ‘ketlusupen’ ke dalam bahasa Indonesia,
kita juga tidak akan menemukan kata yang tepat. Kita harus menjelaskannya
dengan beberapa kalimat.
c) Ungkapan-ungkapan
seperti pada:
·
Mat 26:25,64 - kata-kata ‘Engkau telah
mengatakannya’ artinya adalah ‘ya’.
·
Yos 7:19 dan Yoh 9:24 - istilah ‘give glory to the Lord / God’ (NIV) /
‘berilah kemuliaan kepada Tuhan / Allah’ merupakan suatu desakan untuk
bersumpah.
·
Luk 14:26 - ‘membenci’ berarti ‘kurang
mengasihi / mengasihi lebih sedikit’.
Illustrasi: kalau kita mendengar seseorang menceritakan
/ mengatakan sesuatu dan kita sama sekali tidak bisa mempercayai kebenaran
kata-katanya, maka kita mungkin akan berkata: ‘Gombal’. Ini merupakan suatu
ungkapan, yang artinya kira-kira adalah ‘omong kosong’. Bagi kita ini bisa
dimengerti, tetapi bagaimana kiranya bagi orang asing yang baru belajar bahasa
Indonesia? Apakah ia tidak bingung mendengar ungkapan ini?
Ketiga hal ini bisa ‘menghalangi’ kita untuk mengerti Kitab
Suci. Dengan Hermeneutics, sebagian halangan bisa diatasi. Tentu saja disamping
itu kita juga harus belajar tentang latar belakang jaman dahulu, bahasa asli
Kitab Suci, dsb.
1) Kalau
seseorang tidak menerima Alkitab sebagai Firman Allah, maka tidak ada gunanya
ia belajar Hermeneutics. Orang yang mulai dari suatu kesesatan, tidak bisa
diharapkan akan mencapai suatu kebenaran.
Sayangnya, ada banyak orang / ‘hamba Tuhan’ yang tidak
mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah.
2) Macam-macam
pandangan tentang Alkitab.
a) Pandangan
Liberal.
Golongan Liberal beranggapan bahwa ‘Kitab Suci bukanlah Firman Allah’,
atau bahwa ‘Kitab Suci mengandung Firman Allah’.
Kalau dikatakan bahwa ‘cincin ini mengandung emas, maka artinya
adalah bahwa cincin ini tidak terbuat dari emas murni, tetapi ada campuran
logam lain. Demikian juga kalau dikatakan bahwa ‘Kitab Suci mengandung Firman
Allah’, maka itu berarti bahwa dalam Kitab Suci ada bagian-bagian yang adalah
Firman Allah, dan ada juga bagian-bagian yang bukan Firman Allah. Dan
bagian-bagian yang bukan Firman Allah itu tentu saja bisa salah.
Contoh:
1. Dalam
Majalah ‘PENUNTUN’ terbitan GKI Jawa Barat, vol 2, No 6, Januari - Maret 1996,
ada artikel yang berjudul ‘Keselamatan dalam pandangan Yesus’, ditulis oleh
Pdt. Jahja Sunarya, S. Th., dan dalam artikel itu ada kata-kata sebagai
berikut:
“Jelas, betapa
berartinya peranan penulis dalam menampilkan Yesus. Jika demikian, apakah tidak
mungkin penulis telah menambahi atau mengurangi, bahkan keliru dalam
menafsirkan / mengerti, pengajaran Yesus? Jawabnya tentu saja mungkin.
Sebab ternyata injil yang tertua, yaitu injil karangan Markus, ditulis sekitar
tahun 60. Itu berarti injil ini ditulis setelah sekitar tahun 30 (tigapuluh)
saat peristiwa Yesus terjadi. Kita dapat membayangkan kesulitan Markus
ketika menyusun Injilnya. Ia harus memilah-milah kisah-kisah lisan yang
ada dan ingatan-ingatan yang tidak beraturan untuk menyajikannya dalam wujud
tulisan yang memiliki alur logika yang jelas dan teratur”
- hal 181.
2. Dalam
Majalah ‘Kairos’, bulan Mei 1994,
ada surat pembaca dari Robert Setio Ph. D. (yang sekarang menjadi pendeta GKI)
yang mengatakan sebagai berikut:
“Liputan Kairos
tentang proses pembuatan Alkitab dalam edisi bulan Maret yang baru lalu
merupakan sumbangan yang berharga bagi umat Kristen di Indonesia (GKI) yang,
dalam bayangan saya, jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali mendengar
‘rahasia’ tersebut. Liputan tersebut sekaligus juga merupakan peringatan
bagi golongan tertentu yang begitu saja menyamakan Firman Allah dengan Alkitab.
Bukankah proses terjadinya Alkitab itu rumit dan melalui seleksi serta
penafsiran yang bisa jadi memiliki motif politik / ideologis?”
- hal 5.
Golongan Liberal memang mempunyai ciri khas merendahkan otoritas
Kitab Suci, baik dalam hidup, kepercayaan, maupun ajaran mereka. Karena itu
kalau saudara bertemu dengan orang (khususnya hamba Tuhan!) yang dengan gampang
mengabaikan / mengesampingkan / menyalahkan Kitab Suci, saudara perlu
berhati-hati, karena mungkin sekali itu adalah orang dari golongan Liberal.
Kalau saudara bertemu dengan orang yang mengatakan bahwa ‘Kitab Suci
hanya mengandung Firman Allah’, maka tanyakanlah
pertanyaan-pertanyaan ini:
·
Kalau memang ‘Alkitab hanya mengandung Firman
Allah’, lalu bagian mana yang adalah Firman Allah, dan bagian mana yang bukan
Firman Allah?
·
Apa kriteria yang engkau pakai untuk
menentukan bagian yang satu sebagai Firman Allah dan bagian yang lain sebagai
bukan Firman Allah? Dan dari mana engkau mendapatkan kriteria seperti itu?
·
Dengan otoritas apa / siapa engkau bisa
menetapkan bagian yang satu sebagai Firman Allah dan bagian yang lain sebagai
bukan Firman Allah? Bukankah seharusnya Kitab Suci yang adalah Firman Allah
itulah yang menghakimi manusia (Yoh 12:47-48), dan bukan manusia yang
menghakimi Kitab Suci?
b) Pandangan
Liberal yang terselubung.
Satu hal lagi yang perlu diwaspadai adalah orang / gereja
Liberal yang slogannya tetap benar, yaitu ‘Alkitab / Kitab Suci adalah Firman
Allah’, tetapi:
1. Penguraian
slogan itu bertentangan dengan slogannya.
Dengan kata lain, slogannya benar, yaitu bahwa ‘Alkitab adalah
Firman Allah’, tetapi pada waktu slogan itu diuraikan / dijabarkan, maka
terlihat bahwa maksudnya sama sekali bukanlah bahwa ‘Alkitab adalah Firman
Allah’.
Contoh:
a. Dalam
Majalah ‘PENUNTUN’ yang dikeluarkan oleh GKI Jawa Barat, vol. 1, No. 2,
Januari - Maret 1995, hal 116, bagian ‘Pengantar Redaksi’, ada kata-kata
sebagai berikut: “Tulisan yang menyoroti tema sajian ini disiapkan oleh
Pendeta. .... Sementara ia menegaskan bahwa firman Allah itu senantiasa lebih
luas dari Alkitab, ia pun menekankan bahwa Alkitab itu betul-betul firman
Allah yang sampai kepada manusia dalam matra ganda, yang tidak tercampur
tetapi juga tidak terpisah, yaitu matra ilahi adikodrati dan matra insani
kodrati. Dengan pendekatan seperti ini, ia berusaha menempatkan posisinya
seimbang di antara kalangan yang menekankan bahwa Alkitab adalah firman Allah
dan kalangan yang menegaskan bahwa Alkitab mengandung firman Allah”.
Selanjutnya dalam artikel berjudul ‘Alkitab dan Firman Allah’
yang ditulis oleh Pdt. Eka Darmaputera, Ph. D. dalam majalah tersebut di atas,
dikatakan sebagai berikut:
“Kalau
Anda bertanya kepada saya: ‘Apakah saya percaya Alkitab adalah Firman Allah?’,
maka dengan segera dan tanpa ragu saya akan menjawab, ‘Ya, saya percaya dengan
segenap hati!’. Saya pun sungguh-sungguh berharap agar setiap warga jemaat dan
setiap pendeta (khususnya, seluruh anggota dan pendeta GKI) juga
mengaminkannya. Apa sebab? Sebab itu pula yang kita ‘amin’ kan sebelum kita
menerima baptisan dan pentahbisan kita !” (hal 121).
Dilihat dari kata-kata ini, maka kelihatannya Pendeta. tersebut
mempunyai pandangan / slogan yang injili. Tetapi dalam bagian lain dari artikel
yang sama ia berkata sebagai berikut:
·
“Apakah sisi lain dari kebenaran yang harus kita pahami?
Yaitu ini: bahwa sekalipun kita mengamini bahwa ‘Alkitab adalah firman Allah’, itu samasekali tidak berarti bahwa Alkitab adalah
identik dengan firman Allah, atau
bahwa firman Allah adalah identik
dengan Alkitab! TIDAK! ... Yang ingin saya kemukakan adalah, bahwa ‘Alkitab’
dan ‘Firman Allah’ adalah dua pengertian yang berbeda. Tidak identik. Saya
percaya dengan segenap hati bahwa ‘Alkitab adalah firman Allah’, namun itu tidak berarti bahwa saya percaya ‘firman
Allah identik dengan Alkitab’” (hal 122).
·
“Firman Allah, secara teologis, adalah Yesus Kristus,
bukan Alkitab!” (hal 123).
·
“Dengan demikian, yang ingin saya katakan adalah: Alkitab
tetap mempunyai otoritas tertinggi bagi orang kristen dalam pemahaman dan
ajaran imannya, tanpa mengidentikkan Alkitab itu dengan firman Allah sendiri” (hal 123).
·
“Penulis-penulis Alkitab adalah manusia-manusia seperti
kita, yang di samping keterbatasan-keterbatasan pribadinya, juga dibentuk oleh
lingkungan sosio-kultural mereka dan oleh tingkat perkembangan peradaban serta
ilmu pengetahuan di zaman mereka. Keterbatasan manusiawi ini memang dapat
teratasi sekiranya Tuhan hanya memakai mereka sebagai ‘benda-benda’ mati,
seperti pena atau pensil yang kita pakai untuk menuliskan kehendak kita. Namun
jelas sekali, Tuhan tidak memakai mereka dengan cara seperti itu. Sebab
sekiranya cara itulah yang dipakai oleh Tuhan, maka pastilah seluruh Alkitab paling
sedikit akan mempunyai gaya bahasa dan mempergunakan kosa kata yang sama.
Ternyata tidak! Perhatikan betapa berbedanya bentuk dan gaya kitab Kejadian
dengan kitab Tawarikh, antara kitab Imamat dan kitab Mazmur, antara kitab
Yesaya dan kitab Kidung Agung, dan sebagainya. Perhatikan pula gaya yang amat
pribadi dari surat-surat Paulus. Itu berarti Tuhan memakai para penulis itu
dengan seluruh kepribadian mereka, dengan segala kelebihan dan ... keterbatasan
mereka! Benar bahwa Alkitab itu diwahyukan oleh Allah. Namun wahyu itu
disampaikan kepada kita melalui manusia. Manusia yang dipakai oleh Allah bukan
sebagai pena atau pensil, melainkan sebagai pribadi-pribadi yang hidup.
Keadaannya dapat Anda bayangkan demikian. Anda ingin menyampaikan sebuah berita
dukacita kepada seseorang yang mengalami musibah ditinggalkan kekasihnya secara
tiba-tiba oleh karena kecelakaan. Namun Anda tidak menyampaikan berita ini
secara langsung kepada yang bersangkutan. Anda meminta pertolongan beberapa
orang untuk menyampaikan berita itu. Apa yang terjadi? Orang-orang itu akan
menyampaikan berita yang sama. Tetapi sekaligus, berita yang sama itu akan
disampaikan dalam bentuk dan cara yang amat berbeda-beda. Saya bayangkan, pasti
tidak ada seorangpun yang secara langsung akan mengatakan: ‘Hei, Bung, kekasih
Anda mati kecelakaan sore tadi!’. Masing-masing akan menambahkan bumbu-bumbu
dan bunga-bunga untuk berita yang satu itu, sesuai dengan gaya mereka
masing-masing. ... Kalau kita membaca Alkitab, kita harus menerima
kedua-duanya. Disitu kita berhadapan dengan yang sepenuhnya ilahi dan sekaligus
yang sepenuhnya manusiawi, dan menghargai yang manusiawi sebagai sarana
untuk berjumpa dengan yang ilahi. Di dalam dan melalui yang terbatas dan
tidak sempurna, Allah mau menyatakan kehendakNya yang kudus, kekal, mutlak
dan universal. Itulah sebabnya Alkitab tidak hanya dibaca, apalagi sekedar
untuk dipajang! Alkitab adalah firman Allah yang harus senantiasa kita
gumuli, kita pelajari, kita cermati. Supaya ketika kita membaca Alkitab, kita
berjumpa dengan Firman Allah!” (hal 128-129).
b. Hal
yang serupa juga dilakukan oleh Pendeta Yohanes Bambang Mulyono, S. Th. dari
GKI yang menulis buku yang berjudul ‘Tuhan ajarlah aku’.
Ada bagian-bagian dari buku itu yang seolah-olah menunjukkan bahwa ia percaya
bahwa ‘Alkitab adalah Firman Allah’, misalnya:
·
“kita juga tidak
setuju dengan paham liberalisme yang menolak Alkitab sebagai firman Allah” (hal 28).
·
“Oleh karena itu
penulisan Alkitab merupakan hasil inspirasi dan pengilhaman Roh Kudus sendiri
(bdk. 2Tim 3:16)” (hal 131).
·
“Sebagai jemaat
Allah kita mengakui kewibawaan Alkitab sebagai Firman Allah yang menuntun
kepada keselamatan dan menjadi dasar normatif bagi kehidupan serta tingkah laku
kita” (hal 211).
Tetapi dalam bagian lain dari bukunya ia menunjukkan ‘warna
asli’nya, karena ia berkata:
¨
“Oleh karena itu
firman Allah sejati tidak pernah hanya merupakan suatu kumpulan ayat-ayat
dalam Kitab Suci. Pendewa-dewaan kumpulan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebenarnya
sama saja dengan pemberhalaan. Iman kristen menyadari, bahwa firman Allah
sejati menjelma menjadi Yesus Kristus yang adalah Anak Allah. Artinya firman
Allah sejati tidak pernah menjelma menjadi sebuah ‘buku yang turun dari sorga’” (hal 77).
¨
“Atas dasar
pemikiran yang demikian, theologia Alkitab tidak pernah mendudukkan Alkitab
sejajar dengan Firman Allah sendiri. Alkitab adalah alat yang
dipakai oleh Allah untuk menyampaikan firmanNya. Sedangkan firman Allah yang
sejati (realitas obyektif-ilahi) menjelma menjadi manusia yang kelihatan dan
yang menyejarah. Sebab itu sikap penghargaan kita yang tinggi terhadap Alkitab
sebagai alat dari firman Allah tidak boleh melebihi penghargaan kita kepada
Yesus Kristus. Jadi Alkitab berada di bawah kuasa pribadi Yesus Kristus, tidak
boleh sebaliknya!” (hal 214).
Dari kedua contoh di atas ini kita bisa melihat bahwa kalau
dalam suatu khotbah / tulisan seorang pendeta terdapat suatu kalimat /
kata-kata yang benar / injili, itu belum menjamin bahwa ia pasti bukan orang
Liberal.
2. Prakteknya
berbeda dengan slogannya.
Dengan kata lain, sekalipun slogannya benar, yaitu ‘Alkitab
adalah Firman Allah’, tetapi ternyata prakteknya sama sekali tidak menunjukkan
kepercayaan terhadap Alkitab sebagai Firman Allah.
Contoh: ada ‘hamba Tuhan’ / gereja yang menyebut
Alkitab sebagai Firman Allah, tetapi dalam prakteknya mereka tidak
menekankan pengajaran Alkitab, dan bahkan sering tidak menggubris
Alkitab, dan bahkan menginjak-injak Alkitab, misalnya dengan mau
melakukan pemberkatan nikah kristen dengan non kristen, atau bahkan secara
terang-terangan mengijinkan pelaksanaan hal ini dalam tata gereja mereka,
padahal hal ini jelas bertentangan dengan 2Kor 6:14 - “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang
yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan
kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”.
Karena itu, kalau saudara
bertemu dengan seorang pendeta / pengkhotbah / gereja yang mempunyai slogan yang
benar, jangan terlalu cepat percaya. Selidikilah lebih jauh / teliti bagaimana
pendeta / pengkhotbah / gereja itu menguraikan slogannya, dan selidikilah juga
apakah prakteknya sesuai dengan slogannya.
Mana yang lebih
berbahaya: ‘Liberalisme yang terang-terangan’ atau ‘Liberalisme yang
terselubung’? Jawabannya jelas adalah ‘Liberalisme yang terselubung’. Sama
seperti uang palsu yang makin mendekati aslinya tentu lebih membahayakan dari
pada uang palsu yang tidak terlalu mirip dengan uang aslinya, demikian juga
Liberalisme yang terselubung, yang lebih mirip dengan ajaran yang Alkitabiah /
Injili, tentu lebih berbahaya dari pada Liberalisme yang terang-terangan, yang
terlihat pertentangannya secara menyolok dengan ajaran yang Alkitabiah /
Injili.
c) Pandangan
Neo-Orthodox.
Tokoh dari pandangan ini adalah Karl Barth, yang mengajar /
beranggapan bahwa Kitab Suci menjadi / adalah Firman Allah, kalau
Allah memakainya untuk berbicara kepada kita (atau, kalau kita merasakan Allah
berbicara kepada kita melalui FirmanNya). Tetapi kalau Allah tidak
memakainya untuk berbicara kepada kita (atau, kalau kita tidak merasakan bahwa
Allah berbicara kepada kita melalui FirmanNya), maka Kitab Suci bukanlah Firman
Allah.
Jadi Kitab Suci adalah Firman Allah secara subyektif, bukan
secara obyektif.
Ini jelas juga merupakan ajaran yang sesat, karena kalau
demikian, Firman Allah tidak bisa menghakimi manusia pada akhir jaman (bdk.
Yoh 12:47-48 Ro 2:12),
karena manusia yang tidak merasa bahwa Allah menegur dosanya, sebetulnya tidak
pernah menerima teguran dari Firman Allah.
Ada ajaran populer dalam kalangan Kharismatik yang mirip dengan
ajaran Neo-Orthodox ini, yaitu ajaran tentang ‘RHEMA’. Orang-orang Kharismatik
membedakan kata-kata Yunani ‘RHEMA’ dan ‘LOGOS’ (yang sebetulnya keduanya
berarti ‘kata’ / ‘firman’) dengan cara sebagai berikut:
1. John F.
MacArthur, Jr., seorang anti Kharismatik, dalam bukunya yang berjudul ‘The Charismatics’, hal 69, berkata
bahwa Charles Farah, seorang profesor di Oral Roberts University mengatakan
sebagai berikut: “LOGOS is the
objective, historic word and RHEMA is the personal, subjective word” (= LOGOS
adalah firman yang bersifat sejarah dan obyektif dan RHEMA adalah firman yang
bersifat pribadi dan subyektif).
Dan
dalam buku yang sama hal 70 John F. MacArthur, Jr. berkata bahwa Charles Farah
juga berkata bahwa:
·
“The LOGOS
becomes RHEMA when it speaks to you” (= LOGOS menjadi RHEMA kalau itu berbicara
kepadamu).
·
“The LOGOS is
legal while the RHEMA is experiential” [= LOGOS itu bersifat hukum (?) sedangkan
RHEMA adalah sesuatu yang dialami].
·
“The LOGOS does
not always become the RHEMA, God’s word to you’”(= LOGOS tidak
selalu menjadi RHEMA, firman Allah bagimu).
2. Orang
Kharismatik sering berkata: ‘Kalau RHEMAnya turun ...’.
Ini
berarti bahwa ia mendapat suatu pimpinan / perintah secara pribadi dari Tuhan,
langsung kepada hati / pikirannya. Dan RHEMA yang turun itu bisa berupa ayat
Kitab Suci ataupun tidak.
Dasar Kitab Suci yang dipakai oleh orang-orang Kharismatik:
·
Luk 3:2 - ‘datanglah firman (RHEMA) Allah kepada
Yohanes’.
·
Mark 14:72 dan Mat 26:75 (dua ayat
ini paralel) - Petrus teringat akan kata-kata (RHEMA) Tuhan Yesus.
·
Juga Luk 24:8 dan Kis 11:16 menggunakan kata
RHEMA.
Kesalahan ajaran ini:
a. Mark 14:72
dan Mat 26:75 paralel dengan Luk 22:61, tetapi, kalau Mark 14:72
dan Mat 26:75 menggunakan RHEMA, maka Luk 22:61 ternyata menggunakan LOGOS!
Demikian
juga, kalau Luk 24:8 dan Kis 11:16 menggunakan kata RHEMA, maka
Kis 20:35 menggunakan LOGOS, padahal ketiga ayat ini sama-sama berbicara
tentang seseorang yang teringat akan kata-kata Yesus!
Dari
contoh-contoh ini terlihat bahwa LOGOS dan RHEMA digunakan secara interchangeable (= bisa dibolak-balik)
dan tidak ada batasan yang terlalu jelas antara RHEMA dan LOGOS!
Karena
itu membedakan RHEMA dan LOGOS seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Kharismatik, adalah sesuatu yang tidak berdasar!
b. Orang-orang
Kharismatik berkata bahwa kalau firman itu berbicara kepada kita, maka LOGOS
itu berubah menjadi RHEMA.
Tetapi
dalam Kis 2:41 4:4 8:14 11:1 13:48
sekalipun firman itu jelas berbicara kepada orang-orang itu (karena mereka
bertobat), tetapi toh digunakan kata LOGOS dan bukannya RHEMA!
Demikian
juga 1Pet 1:23 menggunakan kata LOGOS, padahal firman di sini adalah
firman yang melahirbarukan (ini lahir baru dalam arti luas)!
c. Ajaran yang
berkata “The LOGOS does not always become the RHEMA,
God’s word to you” (= LOGOS tidak selalu menjadi RHEMA, firman Allah
bagimu), jelas sekali berbau ajaran sesat Neo Orthodox, karena ajaran
Neo Orthodox juga berkata bahwa kata-kata dalam Kitab Suci hanya menjadi firman
Allah kalau berbicara kepada kita.
d. Ajaran
Kharismatik tentang RHEMA ini berbahaya, karena ini menyebabkan banyak orang
lalu mencari RHEMA tersebut dalam hati mereka, sehingga lalu mengabaikan Kitab
Suci!
Memang
Roh Kudus bisa mengingatkan kita akan Firman Tuhan (Yoh 14:26), tetapi
kalau kita tidak pernah belajar / mengerti Kitab Suci / Firman Tuhan, maka
tidak ada sesuatu yang bisa Ia ingatkan kepada kita! Karena itu, belajar Kitab
Suci dengan sungguh-sungguh dan tekun haruslah menjadi prioritas dalam hidup
kita!
d) Pandangan
Orthodox.
Kitab Suci adalah Firman Allah secara obyektif. Jadi, apakah
Kitab Suci itu diberitakan atau tidak, didengar oleh manusia atau tidak, dimengerti
atau tidak, ditaati atau tidak, Kitab Suci tetap adalah Firman Allah. Dan pada
waktu manusia mendengar pemberitaan Kitab Suci, apakah ia merasakan Allah
menggunakannya untuk berbicara kepadanya atau tidak, Kitab Suci itu tetap adalah Firman Allah.
Inilah pandangan yang benar yang harus kita terima.
3) Bukti
bahwa Alkitab adalah Firman Allah.
a) Pengakuan
dari dalam Alkitab sendiri.
1. Dalam
Alkitab berulang-ulang dikatakan ‘Allah berfirman’.
Contoh: Yer 1:2,4,7.
2. Dalam
Alkitab berulangkali dikatakan bahwa Allah menyuruh orang menuliskan FirmanNya.
Contoh: Kel 34:27 Yer 30:1-2
Wah 1:11,19.
3. Ro 3:1-2
secara jelas menyebutkan bahwa Alkitab (Perjanjian Lama) adalah Firman Allah
(yang dipercayakan kepada orang Israel / Yahudi).
Ro 3:1-2 - “Jika demikian,
apakah kelebihan orang Yahudi dan apakah gunanya sunat? Banyak sekali, dan di
dalam segala hal. Pertama-tama: sebab kepada merekalah dipercayakan firman
Allah”.
4. Kata-kata
nabi / penulis Perjanjian Lama dianggap sebagai kata-kata Tuhan / Roh Kudus.
Contoh:
·
bandingkan Yes 7:14 dengan Mat 1:22.
Yes 7:13-14 - “Lalu berkatalah
nabi Yesaya: ... Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu
pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan
seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel”.
Mat 1:22-23 - “Hal itu terjadi
supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: ‘Sesungguhnya, anak
dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan
menamakan Dia Imanuel’ - yang berarti: Allah menyertai kita”.
·
bandingkan Maz 95:7b-9 dengan
Ibr 3:7.
b) Bukti-bukti
lain.
1. Alkitab
bisa bersatu dan harmonis, padahal Alkitab ditulis dalam jangka waktu 1500-1600
tahun, oleh kurang lebih 40 orang, yang:
·
hidup pada jaman yang berbeda.
·
mempunyai latar belakang yang berbeda (ada
yang petani, gembala, nabi, nelayan, raja, dsb).
·
banyak yang tidak kenal satu sama lain.
Illustrasi:
Kalau saya memberikan 40 buku kepada 40 orang dan menyuruh
mereka menuliskan suatu karangan sesuka hati mereka, maka hasilnya pasti tidak
akan bisa dikumpulkan menjadi satu buku. Mengapa? Karena isinya pasti akan
bertentangan satu sama lain, atau sama sekali tidak berhubungan satu sama lain.
Tetapi kalau saya mengontrol / mengarahkan 40 orang itu,
misalnya dengan menyuruh si A mengarang tentang mata manusia, si B tentang
telinga manusia, si C tentang jantung manusia, si D tentang paru-paru manusia
dst, maka besar kemungkinan hasilnya bisa dibukukan menjadi satu, menjadi buku
biologi.
Jadi, kalau hasil dari 40 penulis Alkitab itu bisa dibukukan
menjadi suatu buku yang bersatu dan harmonis, maka pastilah ada ‘Satu Orang’
yang menguasai / mengontrol dan mengarahkan ke 40 penulis tersebut. Dan
siapakah yang bisa menguasai / mengontrol dan mengarahkan 40 orang yang hidup
dalam jangka waktu 1500-1600 tahun? Hanya ada ‘Satu Orang’ yang bisa melakukan hal itu, dan itu adalah
Allah sendiri.
2. Alkitab
tidak bisa habis dipelajari.
Kalau saudara mempelajari buku lain, bagaimanapun tebalnya buku
itu, maka pada suatu saat buku itu akan habis dipelajari dan saudara tidak akan
bisa menambah pengetahuan apa-apa lagi dari buku itu. Tetapi Alkitab sudah
dipelajari oleh jutaan manusia selama ribuan tahun, dan tidak ada seorangpun
yang bisa tamat belajar Alkitab!
Ada yang mengatakan bahwa kalau buku lain itu seperti bak, yang
sekalipun besar, tetapi kalau terus diambili airnya, maka airnya akan habis.
Tetapi Alkitab seperti sebuah sumber, yang sekalipun terus diambili airnya,
tidak akan pernah habis.
Kalau saudara belajar Alkitab, sekalipun makin lama saudara akan
makin banyak mengerti tentang Alkitab, tetapi anehnya saudara akan melihat
bahwa makin banyak juga hal-hal yang belum saudara mengerti tentang Alkitab.
Manusia tidak bisa mempelajari Alkitab secara tuntas, apalagi
mengarangnya!
3. Semua
nubuat / ramalan dalam Alkitab terjadi dengan tepat.
Manusia bisa meramal dengan:
·
ilmu pengetahuan.
Misalnya: ramalan cuaca, ramalan akan terjadinya gerhana,
ramalan dari dokter tentang umur seseorang (yang sudah sakit berat).
·
kuasa gelap.
Ini macamnya banyak sekali, seperti penggunaan jailangkung,
cucing, ramalan dengan melihat garis tangan (guamia), dsb.
Tetapi ramalan-ramalan itu pasti kadang-kadang meleset.
Tetapi semua nubuat / ramalan dalam Kitab Suci terjadi dengan
tepat. Memang ada nubuat / ramalan yang belum terjadi, seperti nubuat tentang
kedatangan Kristus untuk keduakalinya. Tetapi tidak ada satupun nubuat yang
meleset.
Contoh: Maz 22:1,8,9,16,17,19 Yes 7:14 Mikha 5:1
Yes 53:3-7,9 Mat 24:2
dll.
Ini membuktikan bahwa semua nubuat itu berasal dari Tuhan!
4. Alkitab
tahu bahwa bumi ini bulat, dan tidak disangga oleh tiang-tiang, jauh sebelum
manusia mengetahuinya (Yes 40:22
Ayub 26:7).
Yes
40:22a - “Dia
yang bertakhta di atas bulatan bumi”.
Ayub 26:7
- “Allah
membentangkan utara di atas kekosongan, dan menggantungkan bumi pada
kehampaan”.
Dulu manusia beranggapan bahwa bumi ini datar seperti meja.
Manusia baru mengetahui bahwa bumi ini bulat pada abad 15, tepatnya pada tahun
1492 (Columbus). Tetapi hal itu ternyata sudah tertulis dalam Kitab Yesaya
(abad 7 SM, atau lebih dari 2000 tahun sebelum Columbus!), dan bahkan
dalam kitab Ayub yang lebih kuno lagi! Dari mana penulis-penulis Alkitab itu
mengetahui hal itu? Pada saat itu tidak ada seorang manusiapun yang tahu
tentang hal itu. Jelas bahwa mereka mengetahui hal itu dari Allah!
5. Alkitab
tetap terpelihara sampai sekarang padahal:
·
Alkitab adalah buku yg paling kuno. Tidak ada
buku yang setua Alkitab. Kitab Kejadian sudah berusia 3500 tahun!
·
Banyak orang menyerang Alkitab untuk
menghancurkannya. Ada serangan yang bersifat fisik, dan ada serangan yang
berupa ajaran-ajaran sesat, misalnya:
*
Seorang bernama Tom Paine menulis buku yang
berjudul ‘The Age of Reason’ yang
menyerang Alkitab, dan ia meramalkan bahwa bukunya akan laris di seluruh dunia
sedangkan Alkitab hanya akan dijumpai di museum. Tetapi kenyataannya, sekarang
Alkitab bisa dijumpai di mana-mana dan buku ‘The
Age of Reason’ itu yang hanya bisa dijumpai di museum.
*
Seorang bernama Voltaire mengatakan: 100 tahun
setelah kematianku, Alkitab hanya akan ada di museum. Ternyata 100 tahun
setelah kematiannya, tempat dimana ia mengucapkan kata-kata itu jatuh ke tangan
‘Geneva Bible Society’, dan ruangan
itu diisi penuh dengan Alkitab dari lantai sampai langit-langitnya.
Tetap terpeliharanya Alkitab, sekalipun diserang selama ribuan
tahun, menunjukkan secara jelas bahwa Allah melindungi buku karanganNya itu!
6. Alkitab
bisa ‘berbicara’ kepada kita!
Kesaksian:
·
Yes 40:27-31 Yes 41:8-10 berbicara
kepada saya pada waktu Sekolah Theologia di Amerika.
·
Pada waktu saya dipanggil Tuhan, keluarga saya
mengatai saya sebagai gila, karena meninggalkan ITS tingkat V untuk menjadi
hamba Tuhan. Ternyata pada saat teduh bersama dengan keluarga, ayat yang
diambil oleh buku saat teduhnya adalah dari Kis 26:24 (“Sementara Paulus mengemukakan semuanya itu untuk mempertanggung-jawabkan
pekerjaannya, berkatalah Festus dengan suara keras: ‘Engkau gila, Paulus!
Ilmumu yang banyak itu membuat engkau gila.’”), dan lalu renungannya berkata: ‘Orang kristen sering dianggap
gila oleh dunia, tetapi sebetulnya bukan orang kristen yang gila, tetapi
dunialah yang gila’.
4) Konsekwensi
dari Alkitab sebagai Firman Allah.
Satu hal yang perlu ditekankan adalah: kalau kita memang percaya
bahwa Alkitab adalah Firman Allah, kita juga harus percaya bahwa Alkitab adalah
satu-satunya Firman Allah. Memang semua agama mempunyai Kitab Sucinya
sendiri-sendiri, dan setiap agama mengakui Kitab Sucinya sebagai Firman Allah.
Tetapi, karena Kitab Suci dari agama yang satu bukan hanya berbeda tetapi
bahkan bertentangan dengan Kitab Suci dari agama yang lain, maka tidak
mungkin semua Kitab Suci - Kitab Suci itu adalah Firman Allah. Allah itu esa,
dan Ia tidak berbicara dengan lidah yang bercabang. Karena itu, hanya ada satu
Kitab Suci saja yang betul-betul adalah Firman Allah. Kalau kita mengakui
Alkitab kita sebagai Firman Allah, maka kita tidak boleh mengakui Kitab Suci
agama lain juga sebagai Firman Allah, dan karena itu kita juga tidak boleh
menggunakan Kitab Suci agama lain sebagai dasar ajaran kita. Ini adalah sesuatu
yang logis, bukan sikap fanatik yang picik / extrim dsb!
1) Kanon
dan pengkanonan Alkitab.
Kita harus tahu kitab-kitab mana yang termasuk dalam Alkitab dan
kitab-kitab mana yang tidak termasuk dalam Alkitab. Alkitab yang kita akui
terdiri dari 66 kitab, yaitu 39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab
Perjanjian Baru, dan hanya kitab-kitab ini yang boleh dijadikan dasar ajaran.
Tentang kanon Perjanjian Lama tidak ada persoalan, karena pada
jaman Yesus hidup di dunia ini, kanon Perjanjian Lama itu sudah lengkap, dan
Yesus tidak mengubahnya sehingga dianggap sebagai menyetujuinya. Tetapi kanon
Perjanjian Baru agak sukar untuk menentukan dan melalui proses cukup lama.
‘Eerdmans’
Family Encyclopedia of the Bible’: “Although there is little direct evidence from the
earliest years, we have a good idea of how the New Testament took on its
present shape. The first gatherings of Christians probably followed the
practice of the Jewish synagogues and had regular readings from the Old
Testament during their meetings. Since they were worshipping Jesus Christ, it
was natural to them to add an account of some part of his life and teaching. At
first this may have been in the form of a first-hand account from someone who
had known Jesus during his lifetime. But then, as the churches grew in numbers,
and as the eye-witnesses began to die, it became necessary to write these
stories down. This was the way the four Gospels (Matthew, Mark, Luke and John)
came into being, and they obviously had an important place in the worship and
life of the early churches. Then the apostles and other leaders had written a
number of letters to various churches and individuals. Since these often gave
general guidance on Christian life and beliefs, their usefulness for the whole
church was soon recognized. Acts was accepted because it continued the story
from Luke’s Gospel. It preserved the only full account of the beginnings of
Christianity. We know that by the year AD 200 the church was officially using
the four Gospels - and no others, although fictitious tales about Jesus and
writings by other Christian leaders who came after the apostles were in
circulation. But the mainstream church clearly accepted only the Gospels of
Matthew, Mark, Luke and John as their authority for the life and teaching of
Jesus. By this time, too, Paul’s letters were generally accepted as of equal
importance with the Gospels. It was only later that the remaining books of the
New Testament became generally accepted. Revelation, for example, was certainly
read in the second century. But not until the third century was it circulating
widely. Hebrews was read towards the end of the first century, but took longer
to become accepted in the Western churches. It was not generally acknowledged
by the church in the West until the fourth century, partly because of doubts as
to whether Paul wrote it. It took longer, too, for 2Peter, 2 and 3 John, James
and Jude to be accepted by the church as basic Scripture. Perhaps this was
because of questions about the content of these books. The New Testament books
were mainly used at first for public reading. If they were unsuitable for this
purpose, their usefulness must have seemed limited. It is clear that no
church council arbitrarily decided that certain books composed the New
Testament. Rather, over a period of time, the church discovered that certain
writings had a clear and general authority, and were helpful and necessary for
their growth. At the Council of Laodicea (AD 363) and the Council of
Carthage (AD 397) the bishops agreed on a list of books identical to our New
Testament, except that at Laodicea Revelation was left out” [= Sekalipun
hanya ada sedikit bukti langsung dari tahun-tahun yang paling awal, kita
mempunyai gagasan yang baik tentang bagaimana Perjanjian Baru mendapatkan bentuknya
yang sekarang ini. Pertemuan (kebaktian) mula-mula oleh orang-orang Kristen
mungkin mengikuti praktek dari sinagog-sinagog Yahudi dan mempunyai pembacaan
biasa / teratur dari Perjanjian Lama dalam pertemuan / kebaktian mereka. Karena
mereka menyembah Yesus Kristus, maka adalah wajar bagi mereka untuk menambahkan
suatu cerita tentang beberapa bagian dari kehidupan dan ajaranNya. Mula-mula
ini mungkin ada dalam bentuk cerita tangan pertama dari orang yang telah
mengenal Yesus selama masa hidupNya. Tetapi lalu, karena gereja bertumbuh dalam
jumlah, dan karena para saksi mata itu mati, maka menjadi perlu untuk
menuliskan cerita-cerita itu. Inilah yang menyebabkan adanya keempat Injil
(Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes), dan keempat Injil ini jelas mendapatkan
tempat yang penting dalam penyembahan dan kehidupan dari gereja-gereja
mula-mula. Lalu rasul-rasul dan pemimpin-pemimpin menulis sejumlah surat kepada
berbagai-bagai gereja dan individu. Karena surat-surat ini sering memberikan
bimbingan umum tentang kehidupan dan kepercayaan Kristen, kegunaan surat-surat
ini untuk seluruh gereja segera diakui. Kitab Kisah Rasul diterima karena kitab
itu melanjutkan cerita dari Injil Lukas. Kitab ini memelihara satu-satunya
cerita lengkap tentang permulaan kekristenan. Kita tahu bahwa pada tahun 200 M.
gereja secara resmi menggunakan 4 Injil - dan tidak ada yang lain, sekalipun
cerita-cerita fiksi tentang Yesus dan tulisan-tulisan dari pemimpin-pemimpin
Kristen lain, yang datang setelah rasul-rasul, ada dalam peredaran. Tetapi
aliran utama gereja secara jelas menerima hanya Injil-injil Matius, Markus,
Lukas dan Yohanes sebagai otoritas mereka untuk kehidupan dan ajaran Yesus.
Pada saat ini, juga, surat-surat Paulus secara umum diterima dan dianggap sama
pentingnya dengan Injil-injil tersebut. Baru belakangan maka sisa kitab-kitab
dari Perjanjian Baru diterima secara umum. Kitab Wahyu, misalnya, pasti dibaca
pada abad kedua. Tetapi baru pada abad ketiga kitab ini beredar secara luas.
Surat Ibrani dibaca pada akhir abad pertama, tetapi membutuhkan waktu lebih
lama untuk diterima dalam gereja-gereja Barat. Surat Ibrani ini tidak diakui
secara umum oleh gereja di Barat sampai abad keempat, sebagian disebabkan
karena keraguan apakah Paulus menulisnya atau tidak. Juga 2Petrus, 2 dan 3
Yohanes, Yakobus, dan Yudas, membutuhkan waktu lebih lama untuk diterima oleh
gereja sebagai Kitab Suci dasar. Mungkin ini disebabkan karena
pertanyaan-pertanyaan tentang isi dari kitab-kitab ini. Kitab-kitab Perjanjian
Baru mula-mula digunakan pada umumnya untuk pembacaan di depan umum. Jika
mereka tidak cocok untuk tujuan ini, kebergunaan mereka pasti kelihatan
terbatas. Adalah jelas bahwa tidak ada sidang gereja yang memutuskan secara
mutlak bahwa kitab-kitab tertentu membentuk Perjanjian Baru. Tetapi sebaliknya,
dalam jangka waktu tertentu, gereja mendapatkan bahwa tulisan-tulisan tertentu
mempunyai otoritas yang jelas dan umum, dan membantu dan penting untuk
pertumbuhan mereka. Pada sidang gereja Laodikia (tahun 363 M.) dan sidang
gereja Carthage (tahun 397 M.) para uskup menyetujui suatu daftar kitab-kitab
yang identik dengan Perjanjian Baru kita kecuali bahwa pada sidang gereja
Laodikia kitab Wahyu dihapuskan / tidak dipertimbangkan]
- hal 68.
Catatan: sekalipun kelihatannya penentuan kanon Perjanjian
Baru agak meragukan dan boleh dikatakan bersifat subyektif, tetapi perlu
diingat bahwa Tuhan, yang adalah pengarang sesungguhnya dari Kitab Suci, pasti
memimpin gereja dalam proses kanonisasi Perjanjian Baru tersebut.
2) Ada
orang / golongan / gereja yang menambahi Kitab Suci, seperti:
a) Gereja
Roma Katolik yang menambahi Alkitab dengan kitab-kitab Apocrypha /
Deutrokanonika.
Mula-mula
ada 15 kitab Apocrypha yang ditambahkan kepada Alkitab oleh orang Roma
Katolik, yaitu:
·
Kitab Esdras yang pertama.
·
Kitab Esdras yang kedua.
·
Tobit.
·
Yudit.
·
Tambahan-tambahan pada kitab Ester.
·
Kebijaksanaan Salomo.
·
Yesus bin Sirakh.
·
Barukh.
·
Surat dari nabi Yeremia.
·
Doa Azarya dan Lagu pujian ketiga pemuda.
·
Susana.
·
Bel dan naga.
·
Doa Manasye.
·
Kitab Makabe yang pertama.
·
Kitab Makabe yang kedua.
Catatan:
Dalam Kitab Suci Roma Katolik bahasa Indonesia, no 10,11,12 dijadikan satu
kitab, yaitu ‘Tambahan-tambahan pada kitab Daniel’.
Tetapi
3 dari kitab-kitab Apocrypha ini akhirnya ditolak oleh Council of Trent, yaitu no 1, no 2 dan no 13, dan karena itu
akhirnya hanya 12 kitab Apocrypha yang dimasukkan ke dalam Alkitab mereka.
Loraine
Boettner mengatakan bahwa:
¨
Kitab Esdras yang kedua ditolak karena di
dalamnya ada penolakan terhadap doa untuk orang mati (2Esdras 7:105) - ‘Roman Catholicism’, hal 80.
¨
Sebetulnya ada lebih banyak lagi kitab-kitab
Apocrypha yang lain, tetapi semua ini tidak pernah dimasukkan ke dalam Kitab
Suci Roma Katolik. Mengapa? Loraine Boettner menjawab:
“The Council of Trent evidently selected only books that
would help them in their controversy with the Reformers, and none of these gave
promise of doing that” (= Council of Trent dengan jelas menyeleksi hanya
buku-buku yang akan membantu mereka dalam pertentangan dengan para Reformator,
dan tidak ada satupun dari buku-buku itu menjanjikan mereka untuk melakukan hal
itu) - ‘Roman Catholicism’,
hal 87.
Ke
12 kitab-kitab Apocrypha ini tebalnya kira-kira 2/3 Perjanjian Baru. Dahulu,
semua kitab-kitab ini diletakkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
dan disebut dengan nama Deutrokanonika (= kanon yang kedua). Tetapi pada tahun
1992, Roma Katolik mengeluarkan ‘The
Catechism of the Catholic Church’ (= Katekisasi Gereja Katolik), dimana
diputuskan bahwa kitab-kitab Deutrokanonika itu diselipkan ke sela-sela
kitab-kitab Perjanjian Lama, dan dianggap sebagai Perjanjian Lama!
‘The Catechism of the Catholic Church’,
nomer 120, berbunyi sebagai berikut:
“It was by the apostolic Tradition that the Church
discerned which writings are to be included in the list of the sacred books.
This complete list is called the canon of Scripture. It includes 46 books
for the Old Testament (45 if we count Jeremiah and Lamentations as one) and
27 for the New. The Old Testament: Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers,
Deuteronomy, Joshua, Judges, Ruth, 1 and 2 Samuel, 1 and 2 Kings, 1 and 2
Chronicles, Ezra and Nehemiah, Tobit, Judith, Esther, 1 and 2
Maccabees, Job, Psalms, Proverbs, Ecclesiastes, the Song of Songs, the
Wisdom of Solomon, Sirach (Ecclesiasticus), Isaiah, Jeremiah,
Lamentations, Baruch, Ezekiel, Daniel, Hosea, Joel, Amos, Obadiah,
Jonah, Micah, Nahum, Habakkuk, Zephaniah, Haggai, Zachariah and Malachi” [= Oleh
Tradisi rasulilah Gereja membedakan tulisan-tulisan mana yang harus dimasukkan
dalam daftar kitab-kitab kudus. Daftar lengkap ini disebut kanon Kitab Suci. Itu
mencakup 46 kitab untuk Perjanjian Lama (45 jika kita menghitung Yeremia
dan Ratapan sebagai 1 kitab) dan 27 kitab untuk Perjanjian Baru. Perjanjian
Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, 1
dan 2 Samuel, 1 dan 2 Raja-Raja, 1 dan 2 Tawarikh, Ezra dan Nehemia, Tobit,
Yudit, Ester, 1 dan 2 Makabe, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung
Agung, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh,
Yehezkiel, Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk,
Zefanya, Hagai, Zakharia, dan Maleakhi].
‘The Catechism of the Catholic Church’,
nomer 138, berbunyi sebagai berikut:
“The Church accepts and venerates as inspired the 46
books of the Old Testament and the 27 books of the New” (= Gereja
menerima dan menghormati 46 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27
kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai diilhamkan).
Catatan:
bandingkan dengan Perjanjian Lama yang kita akui yang hanya terdiri dari 39
kitab!
Kristen
Protestan menolak kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika ini dengan alasan:
1. Dalam
Perjanjian Baru, ada kira-kira 260 kutipan langsung dari Perjanjian Lama, dan
juga ada kira-kira 370 penggunaan bagian-bagian Perjanjian Lama yang tidak
merupakan kutipan langsung. Ini menunjukkan bahwa baik Yesus maupun rasul-rasul
mengakui otoritas Perjanjian Lama sebagai Firman Allah, dan menggunakannya
sebagai dasar hidup, iman dan ajaran mereka. Tetapi baik Yesus maupun
rasul-rasul tidak pernah mengutip dari kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika
tersebut sebagai dasar ajaran mereka, padahal kitab-kitab Apocrypha /
Deutrokanonika itu sudah ada / beredar pada jaman Tuhan Yesus hidup di dunia
ini. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui kitab-kitab Apocrypha itu
sebagai Firman Allah!
2. Penulis
kitab-kitab Apocrypha itu sendiri tidak menunjukkan dirinya sebagai penulis
Firman Tuhan yang diberikan Allah kepada manusia.
Untuk
itu bandingkan Wah 22:18-19 yang terletak pada akhir Kitab Suci /
Perjanjian Baru dengan 2Makabe 15:37b-38 yang terletak pada akhir dari
kitab-kitab Deutrokanonika:
Wah 22:18-19
berbunyi: “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan
nubuat dari kitab ini: Jika seorang menambahkan sesuatu kepada
perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya
malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang
mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah
akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus seperti yang
tertulis di dalam kitab ini”.
Dari
Wah 22:18-19 ini terlihat dengan jelas otoritas dari tulisan rasul Yohanes
ini sebagai Firman Tuhan yang tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi.
Sekarang
bandingkan dengan 2Makabe 15:37b-38 yang ber-bunyi: “Maka aku
sendiripun mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka
itulah yang kukehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah
saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku”.
Ini
sama sekali tidak menunjukkan orang yang menuliskan Firman Tuhan di bawah
pengilhaman Roh Kudus! Perhatikan kata-kata ‘kukehendaki’
dan ‘hanya
itulah yang mungkin bagiku’. Bagaimana kita bisa
mempercayai otoritas tulisan seperti ini, sedangkan penulisnya sendiripun tidak
yakin akan kebenaran tulisannya!
3. Dalam
kitab-kitab Apocrypha itu ada kesalahan-kesalahan, seperti:
*
Yudit 1:1,7 menyebut Nebukadnezar sebagai
raja Asyur di Niniwe, sedangkan kita tahu bahwa sebetulnya Nebukadnezar adalah
raja Babilonia (Daniel 4:4-6,30).
*
Tobit 5:13 menceritakan tentang seorang
malaikat yang bernama Rafael, yang berdusta dengan memperkenalkan dirinya
sebagai ‘Azarya bin Ananias’, atau ‘Azarya anak laki-laki dari Ananias’.
Bagaimana
mungkin kitab-kitab yang mengandung kesalahan seperti itu bisa disetingkatkan
dengan Kitab Suci / Firman Tuhan?
4. Dalam
kitab-kitab Apocrypha ada doktrin ‘salvation
by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik) yang sesat / tidak
alkitabiah.
Contoh:
*
Tobit 4:10 - “Memang sedekah melepaskan dari maut dan
tidak membiarkan orang masuk ke dalam kegelapan”.
*
Tobit 12:9 - “Memang sedekah melepaskan dari maut dan
menghapus setiap dosa”.
*
Tobit 14:10-11a - “Nak, ingatlah
kepada apa yang telah diperbuat Nadab kepada bapa pengasuhnya, yaitu Ahikar.
Bukankah Ahikar hidup-hidup diturunkan ke bagian bawah bumi? Tetapi Allah telah
membalas kelaliman Nadab ke atas kepalanya sendiri. Ahikar keluar menuju
cahaya, sedangkan Nadab turun ke kegelapan kekal, oleh karena ia telah berusaha
membunuh Ahikar. Karena melakukan kebajikan maka Ahikar luput dari jerat maut yang dipasang baginya oleh
Nadab. Sedangkan Nadab jatuh ke dalam jerat maut yang juga membinasakannya.
Makanya anak-anakku, camkanlah apa yang dihasilkan oleh sedekah dan apa yang
dihasilkan oleh kelaliman”.
*
Sirakh 3:3 - “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan
dosa”.
Doktrin
‘Salvation by works’ (= keselamatan
karena perbuatan baik) yang sesat / tidak alkitabiah ini jelas bertentangan
dengan ayat-ayat di bawah ini:
Ro 3:27-28
- “Jika
demikian, apa dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan perbuatan? Tidak,
melainkan berdasarkan iman! Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena
iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”.
Gal 2:16a
- “Kamu
tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum
Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus”.
Gal 2:21b
- “...
sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus”.
Ef 2:8-9
- “Sebab
karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu,
tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang
memegahkan diri”.
b) Gereja-gereja
Kharismatik yang mengajar berdasarkan pengalaman, nubuat, Tuhan bicara, dsb.
Memang
secara sah / resmi mereka hanya mengakui 66 kitab dalam Alkitab kita sebagai
Firman Allah, tetapi dalam prakteknya banyak dari mereka yang mengajar
berdasarkan hal-hal lain di luar Alkitab, seperti pengalaman, nubuat, Tuhan
bicara, mimpi, penglihatan dan sebagainya.
·
pengalaman.
Memang
tidak salah seseorang menyaksikan / mensharingkan
apa yang ia alami, asal ia tidak menjadikan hal itu sebagai rumus, seakan-akan
semua orang harus mengalami apa yang ia alami. Pengalaman seseorang hanya boleh
dijadikan rumus, yang harus juga dialami oleh orang lain, kalau pengalaman itu
mempunyai dasar Kitab Suci. Misalnya Kitab Suci jelas mengajar bahwa orang yang
percaya kepada Yesus akan mendapatkan damai / sukacita (Mat 11:28 Yoh 14:27 Gal 5:22). Kalau seseorang bertobat / percaya kepada Yesus,
dan ia lalu mengalami damai / sukacita, maka pengalaman itu boleh dijadikan
rumus. Tetapi kalau seseorang sakit dan berdoa dan lalu sembuh, ini boleh disharingkan tetapi tidak boleh dijadikan
rumus, karena Tuhan tidak menjanjikan untuk menyembuhkan semua orang kristen
yang sakit.
Tetapi,
dalam kalangan Kharismatik, ada banyak pengalaman yang tidak mempunyai dasar
Kitab Suci yang lalu dijadikan rumus, yang harus dialami oleh semua orang lain.
Ini boleh dikatakan menambahi Kitab Suci.
·
nubuat, Tuhan bicara, dsb.
Dalam
kalangan Kharismatik juga banyak hal-hal seperti ini, dan banyak dari mereka
tetap menerima ‘nubuat’ / ‘suara Tuhan’ itu sekalipun itu tidak sesuai dengan
Kitab Suci. Ini jelas juga merupakan penambahan terhadap Kitab Suci.
c) Penerimaan
Kitab Suci agama lain sebagai Firman Allah.
Di
atas telah dijelaskan bahwa kita tidak bisa menerima Kitab Suci kita sebagai
Firman Allah, dan juga menerima Kitab Suci - Kitab Suci agama lain sebagai
Firman Allah karena, Kitab Suci - Kitab Suci ini saling bertentangan satu sama
lain.
Kalau
seorang hamba Tuhan mengajar menggunakan Kitab Suci agama lain sebagai dasar, maka
tidak peduli Hermeneutics apa yang ia gunakan, tentu akan menghasilkan ajaran
yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan dari sudut kekristenan.
Catatan:
kalau suatu gereja / seorang pendeta menambahi Kitab Suci, maka biasanya gereja
/ pendeta itu juga akan mengurangi Kitab Suci, yaitu bagian-bagian Kitab Suci
yang bertentangan dengan apa yang ditambahkan kepada Kitab Suci oleh gereja /
pendeta tersebut.
3) Sebaliknya
juga ada orang yang bukan menambahi kanon Alkitab, tetapi menguranginya,
misalnya:
·
menolak Perjanjian Baru, seperti Yudaisme.
·
mengabaikan Perjanjian Lama.
Ini tentu juga akan menghasilkan ajaran-ajaran yang salah.
4) Dalam
persoalan kanon Alkitab ini 2 hal lagi yang perlu diketahui:
a) Dalam kebanyakan
(tidak semua) Mazmur, ayat pertama, atau sebagian dari ayat pertama, dan bahkan
kadang-kadang juga ayat kedua, sebetulnya tidak termasuk Kitab Suci. Karena itu
dalam Akitab bahasa Inggris, bagian itu diletakkan di atas, tanpa diberi nomer
ayat.
Misalnya:
Maz 3:1 Maz 4:1 Maz 32:1a Maz 52:1-2 Maz
54:1-2.
Bagian
ini, memang sering dipakai sebagai pembantu dalam penafsiran, yaitu untuk
mengetahui latar belakang mazmur itu. Tetapi perlu dicamkan bahwa bagian ini
tidak mutlak benar.
b) Dalam Alkitab
ada bagian-bagian diragukan / diperdebatkan keasliannya, seperti:
1. Mark
16:8b-20 (dalam Kitab Suci Indonesia).
Catatan:
TB2-LAI meletakkan bagian ini dalam tanda kurung besar / tegak.
Dalam
persoalan Mark 16 ini, ada 4 golongan manuscript:
·
Memuat Mark 16:1-8a, tetapi tidak memuat
Mark 16:8b dan Mark 16:9-20.
·
Memuat Mark 16:1-8a dan Mark 16:8b,
tetapi tidak memuat Mark 16:9-20.
·
Memuat Mark 16:1-8a dan
Mark 16:9-20, tetapi tidak memuat Mark 16:8b.
·
New
Geneva Study Bible mengatakan bahwa ada beberapa manuscript yang
memuat Mark 16:1-8a, Mark 16:8b, dan Mark 16:9-20.
Catatan:
dalam Mark 16 ini:
¨
NIV memberikan headnote sebagai berikut: “the
two most reliable early manuscripts do not have Mark 16:9-20” (= Dua
manuscript yang paling kuno dan paling bisa dipercaya tidak mempunyai Mark
16:9-20).
¨
NASB memberikan footnote: “Some of the
oldest mss. do not contain vv 9-20” (= Beberapa dari manuscript yang paling
kuno tidak mempunyai ay 9-20).
¨
Dalam RSV diberikan footnote / catatan kaki yang berbunyi sebagai berikut: “Some of the most ancient authorities bring the book to a
close at the end of verse 8. One authority concludes the book by adding after
verse 8 the following: But they reported briefly to Peter and those with him
all that they had been told. And after this, Jesus himself sent out by means of
them, from east to west, the sacred and imperishable proclamation of eternal
salvation. Other authorities include the preceding passage and continue with
verses 9-20. In most authorities verses 9-20 follow immediately after
verse 8; a few authorities insert additional material after verse 14” (= beberapa
otoritas / manuscript yang paling kuno mengakhiri kitab ini pada akhir ayat 8.
Satu otoritas / manuscript menyimpulkan kitab ini dengan menambahkan setelah
ayat 8 kata-kata ini: Tetapi mereka menyampaikan secara singkat kepada Petrus
dan mereka yang bersama dengan dia semua yang telah diceritakan kepada mereka.
Sesudah ini, Yesus sendiri memberitakannya dengan perantaraan mereka, dari
Timur ke Barat, proklamasi keselamatan yang kudus / sakral dan tak bisa binasa
itu. Otoritas / manuscript yang lain memasukkan bagian sebelumnya dan
melanjutkan dengan ayat 9-20. Dalam kebanyakan otoritas / manuscript
ayat 9-20 langsung menyusul ayat 8; sedikit otoritas / manuscript memasukkan
tambahan materi setelah ayat 14).
¨
The
New Scoffield Study Bible memberikan keterangan sebagai berikut: “Verses 9-20 are not found in the two most ancient
manuscripts, the Sinaiticus and Vaticanus; others have them with partial
omissions and variations. But the passage is quoted by Irenaeus and Hippolytus
in the second and third century” (= Ayat-ayat 9-20 tidak ditemukan dalam
dua manuscript yang paling kuno, Sinaiticus dan Vaticanus;
manuscript-manuscript yang lain mempunyai ayat-ayat ini dengan penghapusan
sebagian dan variasi-variasi / perbedaan-perbedaan. Tetapi bagian ini dikutip
oleh Irenaeus dan Hippolytus dalam abad kedua dan ketiga).
¨
New
Geneva Study Bible memberikan keterangan sebagai berikut: “Scholars differ regarding whether these verses were
originally part of this Gospel. Some important early Greek manuscripts lack
these verses, other manuscripts have vv 9-20 (known as the ‘longer Ending’),
and still others have a ‘Shorter Ending’ (roughly one verse long). A few
manuscripts have both the ‘Shorter Ending’ and the ‘Longer Ending’. Because of
these differences, some scholars believe that vv 9-20 were added later and not
written by Mark. On the other hand, the verses are cited by writers from the late
second century and are found in the overwhelming majority of existing Greek
manuscripts of the Gospel of Mark. For other scholars, these facts establish
the authenticity of the passage” [= Para ahli berbeda pendapat tentang
apakah ayat-ayat ini merupakan bagian orisinil dari Injil ini. Beberapa
manuscript Yunani kuno tidak mempunyai ayat-ayat ini, beberapa manuscript yang
lain mempunyai ayat-ayat 9-20 (dikenal sebagai ‘Akhiran yang panjang’), dan ada
lagi manuscript-manuscript yang lain yang mempunyai ‘Akhiran yang pendek’
(kira-kira panjangnya satu ayat). Sedikit manuscript mempunyai baik ‘Akhiran
yang pendek’ maupun ‘Akhiran yang panjang’. Karena perbedaan-perbedaan ini,
beberapa ahli percaya bahwa ayat-ayat 9-20 ditambahkan belakangan dan tidak ditulis
oleh Markus. Di lain pihak, ayat-ayat ini dikutip oleh penulis-penulis dari
akhir abad kedua dan ditemukan dalam kebanyakan manuscript Yunani dari Injil
Markus. Untuk para ahli yang lain, fakta-fakta ini menegakkan keaslian dari
bagian ini].
Pengertian
bahwa Mark 16:8b-20 merupakan bagian yang diperdebatkan keasliannya
merupakan hal yang penting, karena Mark 16:17-18 sering dipakai oleh
banyak orang Kharismatik untuk mengajarkan ajaran-ajaran yang extrim, misalnya
bahwa orang kristen harus berbahasa roh, bisa memegang ular berbisa dan minum
racun tanpa mendapat celaka, dsb. Tetapi ingat, bahwa bukan ini yang
menyebabkan banyak orang mencurigai bahwa bagian ini tidak asli. Yang
menyebabkan kecurigaan adalah adanya perbedaan manuscript.
2. Yoh
7:53-8:11.
Catatan:
TB2-LAI juga meletakkan bagian ini dalam tanda kurung besar / tegak.
Bahwa
bagian ini adalah suatu bagian yang diragukan keasliannya, terlihat dari:
·
Di atas Yoh 7:53, NIV menuliskan
kata-kata ini: “The earliest and
most reliable manuscripts do not have John 7:53-8:11” (=
Manuscript-manuscript yang paling kuno dan paling dapat dipercaya tidak
mempunyai Yoh 7:53-8:11).
·
NASB meletakkan seluruh bagian ini dalam tanda
kurung dan memberi catatan sebagai berikut: “John 7:53-8:11
is not found in most of the old manuscript” (Yoh 7:53-8:11 tidak ditemukan dalam
mayoritas manuscript kuno).
·
Footnote
/ catatan kaki RSV berkata sebagai berikut: “The
most ancient authorities omit 7.53-8.11; other authorities add the passage here
or after 7.36 or after 21.25 or after Luke 21.38 with variations of text” (=
Otoritas-otoritas yang paling kuno membuang 7:53-8:11; otoritas-otoritas yang
lain menambahkan bagian ini di sini atau setelah 7:36 atau setelah 21:25 atau
setelah Luk 21:38 dengan perbedaan-perbedaan text).
·
ASV meletakkan bagian ini dalam kurung dan
lalu memberikan catatan kaki sebagai berikut: “Most
of the ancient authorities omit John 7.53-8.11. Those which contain it vary
much from each other” (= Mayoritas otoritas-otoritas kuno menghapus
Yoh 7:53-8:11. Mereka yang mempunyainya berbeda banyak satu dengan yang
lainnya).
·
Dalam NEB (New English Bible), bagian ini
ditulis pada akhir dari Injil Yohanes, dan diberi footnote / catatan kaki yang berbunyi sebagai berikut: “This
passage, which in the most widely received editions of the New Testament is
printed in the text of John 7.53-8.11, has no fixed place in our ancient
manuscripts. Some of them do not contain it at all. Some place it after Luke
21.38, others after John 7.36, or 7.52, or 21.24” (= Bagian ini, yang dalam edisi Perjanjian
Baru yang paling banyak diterima dicetak dalam text dari Yoh 7:53-8:11, tidak
mempunyai tempat yang tetap / tertentu dalam manuscript-manuscript kita yang
kuno. Beberapa dari mereka tidak mempunyai bagian ini sama sekali. Beberapa
menempatkan-nya setelah Luk 21:38, yang lain setelah Yoh 7:36, atau 7:52, atau
21:24).
3. Yoh 5:3b,4.
Catatan:
TB2-LAI juga meletakkan bagian ini dalam tanda kurung besar / tegak.
Bahwa
bagian ini adalah bagian yang diragukan keasliannya, terlihat dari:
·
RSV dan NIV menghapus bagian ini dari textnya,
dan hanya menuliskannya pada footnote
(= catatan kaki).
·
NASB menuliskan bagian ini dalam textnya,
tetapi meletakkannya dalam tanda kurung.
4. Semua
ayat-ayat yang dalam Kitab Suci Indonesia diletakkan dalam tanda kurung besar
/ tegak ®
[.....].
Catatan:
bagian yang ada dalam tanda kurung biasa ® (.....), tidak
diragukan kebenarannya. Misalnya Yoh 1:38,42.
Contoh
bagian yang diletakkan dalam tanda kurung besar / tegak:
a. Mat 6:13b.
Perlu
diperhatikan bahwa ini adalah akhir dari Doa Bapa Kami yang sangat terkenal
itu!
b. Mat 17:21.
Pengertian
bahwa ayat ini merupakan ayat yang diragukan keasliannya merupakan hal yang cukup
penting karena ayat ini digunakan oleh banyak orang untuk mengajar bahwa kalau
kita mau mengusir setan kita harus berdoa dan berpuasa.
Ayat
paralel dari Mat 17:21, yaitu Mark 9:29 termasuk bagian Kitab Suci
yang asli, karena tidak ada dalam tanda kurung besar / tegak, tetapi Mark 9:29
ini hanya berbunyi: “JawabNya kepada mereka: ‘Jenis ini tidak dapat diusir
kecuali dengan berdoa’” (kata ‘berpuasa’
tidak ada!).
c. Mark 9:44,46.
d. Mark 11:26.
e. Mark 14:68c.
f. Mark 15:28.
g. Kis 8:37.
h. 1Yoh 5:7b-8a
- ini sering dipakai sebagai dasar dari Allah Tritunggal.
i. Dll.
Saya sendiri condong untuk tidak menerima bagian-bagian ini sebagai
Alkitab / Firman Allah. Memang sikap ini mempunyai resiko. Kalau bagian-bagian
itu memang adalah Alkitab, maka itu berarti saya mengurangi Alkitab. Tetapi
jangan lupa bahwa sikap menerima bagian-bagian itu sebagai bagian asli dari
Alkitab, juga mempunyai resikonya sendiri. Kalau bagian-bagian itu memang bukan
termasuk Alkitab, maka itu berarti mereka menambahi Alkitab.
Juga perlu diperhatikan
bahwa kalau saya menolak bagian-bagian ini sebagai Alkitab, ini sangat berbeda
dengan orang-orang Liberal yang menolak bagian-bagian tertentu sebagai Firman Allah.
Perbedaannya adalah dalam hal motivasi. Saya menolak bagian-bagian ini justru
karena saya sangat menghormati Alkitab dan karena itu saya tidak mau Alkitab
ditambahi dengan bagian-bagian yang sebetulnya tidak termasuk Alkitab. Tetapi
kalau orang Liberal menolak bagian tertentu dari Alkitab, itu terjadi karena
mereka tidak menghormati, bahkan sebaliknya meremehkan, Alkitab.
1) Yang
‘inerrant’ (= tidak ada salahnya),
adalah Kitab Suci asli (auto-graph),
yang sudah tidak ada lagi.
a) Manuscript-manuscript
/ naskah-naskah hasil salinan sudah tidak lagi inerrant, apalagi Kitab Suci yang sudah diterjemahan dari bahasa
asli ke bahasa lain.
Ini
menyebabkan kita tidak perlu goyah imannya pada waktu ada orang yang
membuktikan bahwa ada kontradiksi / kesalahan dalam Alkitab. Mengapa? Karena autograph sudah tidak ada lagi, sehingga
tidak ada orang yang bisa membuktikan bahwa auto-graphnya
yang salah atau mengandung kontradiksi. Kalau salinan / copy mengandung
kontradiksi / kesalahan, kita dengan mudah bisa berkata bahwa dalam hal itu
telah terjadi kesalahan penyalinan.
b) Ada
orang kristen / hamba Tuhan yang mempercayai bahwa Alkitab kita yang sekarang
inipun tidak ada salahnya. Ini adalah pandangan yang mungkin sekali tulus dan
bermotivasi benar (untuk membela Tuhan / Firman Tuhan / kekristenan), tetapi
bagaimanapun juga ini jelas merupakan pandangan yang salah dan bodoh! Hal ini
bisa dibuktikan dari adanya:
·
perbedaan-perbedaan antara manuscript yang
satu dan manuscript yang lain.
·
kontradiksi yang tidak mungkin bisa
diharmoniskan dalam Kitab Suci.
Misalnya: 2Taw 22:2 mengatakan bahwa Ahazia berusia 42
tahun pada waktu ia menjadi raja, tetapi bagian paralelnya, yaitu 2Raja 8:26,
mengatakan bahwa Ahazia berusia 22 tahun pada waktu ia menjadi raja. Ini
betul-betul kontradiksi yang tidak bisa diharmoniskan, dan semua orang yang
bisa menggunakan logika / akal sehatnya pasti setuju bahwa 2 kebenaran tidak
mungkin bisa bertentangan. Pada saat terjadi pertentangan antara 2 hal, maka
pasti salah satu salah atau bahkan kedua-duanya salah.
c) Mengapa
Allah tidak menjaga supaya copy-copy / manuscript-manuscript itu juga inerrant? William G. T. Shedd menjawab
pertanyaan ini sebagai berikut:
“Why did not God inspire the copyists as well as the
original authors? Why did he begin with absolute inerrancy, and end with
relative inerrancy? For the same reason that, generally, he begins with the
supernatural and end with the natural. For illustration, the first founding of
his church, in both the Old and New dispensations, was marked by miracles; but
the development of it is marked only by his operations in nature, providence
and grace. The miracle was needed in order to begin the kingdom of God in this
sinful world, but is not needed in order to its continuance and progress. And
the same is true of the revelation of God in his written Word. This must begin
in a miracle. The truths and facts of revealed religion, as distinguished from
natural, must be supernaturally communicated to a few particular persons
especially chosen for this purpose. Inspiration comes under the category of the
miracle. It is as miraculous as raising the dead. To expect, therefore, that
God would continue inspiration to copyists after having given it to prophets
and apostles, would be like expecting that because in the first century he
empowered men to raise the dead, he would continue to do so in all centuries” (= Mengapa
Allah tidak mengilhami para penyalin sama seperti para pengarang orisinil?
Mengapa Ia mulai dengan ketidakbersalahan yang mutlak dan mengakhiri dengan
ketidak-bersalahan yang relatif? Karena alasan yang sama dimana Ia biasanya
mulai dengan hal-hal supranatural dan mengakhiri dengan hal-hal yang natural / alamiah.
Sebagai ilustrasi: pendirian pertama dari gereja, baik dalam Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, ditandai oleh mujijat-mujijat; tetapi perkembangan gereja
hanya ditandai oleh pekerjaanNya dalam alam, providensia dan kasih karunia.
Mujijat itu dibutuhkan untuk memulai Kerajaan Allah dalam dunia yang berdosa
ini, tetapi itu tidak dibutuhkan untuk kelanjutan dan kemajuannya. Dan hal yang
sama juga benar untuk wahyu Allah dalam Firman tertulisNya. Ini harus dimulai
dengan mujijat. Kebenaran dan fakta dari agama yang diwahyukan, berbeda dengan
yang alamiah, harus diberikan secara supranatural kepada beberapa orang
tertentu yang dipilih secara khusus untuk tujuan ini. Pengilhaman termasuk
kategori mujijat. Itu sama mujijatnya dengan pembangkitan orang mati. Karena
itu, mengharapkan bahwa Allah terus mengilhami para penyalin setelah
memberikannya kepada nabi-nabi dan rasul-rasul, sama seperti mengharapkan bahwa
karena pada abad pertama Ia memberikan kuasa kepada manusia untuk
mem-bangkitkan orang mati, Ia akan terus melakukan hal itu dalam semua abad)
- ‘Calvinism: Pure and Mixed’, hal
135-136.
d) Satu
hal lagi yang ingin saya persoalkan adalah suatu pertanyaan yang mungkin sekali
akan muncul dalam persoalan ini, yaitu: apa gunanya kita mempercayai bahwa Alkitab
asli (autograph) itu inerrant / tidak ada salahnya, padahal autograph / Alkitab asli itu sudah tidak
ada lagi, dan manuscript-manuscript / naskah-naskah yang ada sudah tidak lagi inerrant? Bukankah itu menjadi sama saja
dengan kepercayaan bahwa autographnyapun
ada salahnya? Saya menjawab: tidak sama. Mengapa? Karena jika autographnya ada salahnya, maka kita
tidak mempunyai cara / jalan untuk mengetahui bagian mana yang salah dan bagian
mana yang benar. Tetapi jika manuscript yang salah, kita bisa mengetahui hal
itu, karena biasanya akan terjadi perbedaan manuscript yang satu dengan
manuscript yang lain.
e) Sekalipun
Kitab Suci kita yang sekarang ini ada salahnya, tetapi hal ini tidak perlu
menggoncangkan iman kita terhadap Kitab Suci, karena:
·
persentase kesalahan itu sangat kecil, mungkin
di bawah 1 %, dan dengan membanding-bandingkan manuscript-manuscript yang ada,
seringkali kita bisa tahu yang mana yang salah dan yang mana yang benar. Lihat
bagian tentang ‘Textual Criticism’ di bawah.
·
kita boleh percaya bahwa Allah pasti
melindungi FirmanNya dari kesalahan-kesalahan yang fatal. Apa dasar dari
keperca-yaan ini? Dasarnya adalah kebijaksanaan Tuhan. Tidak mung-kin Tuhan
membiarkan kesalahan besar / fatal masuk ke dalam FirmanNya!
f) Untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan yang ada dalam Kitab Suci, penting sekali untuk
membanding-bandingkan beberapa terjemah-an Kitab Suci, misalnya Alkitab
terjemahan baru, Alkitab terjemahan lama, TB2-LAI, Alkitab bahasa Inggris
(NASB, NIV, KJV, RSV, ASV, dll), Alkitab bahasa Jawa, Alkitab bahasa Belanda,
Alkitab bahasa Tionghoa, dsb. Dengan membandingkan terjemahan-terjemahan Kitab
Suci tersebut, kita dapat mendeteksi kesalahan-kesalahan itu dan mungkin
mengoreksinya.
Cara-cara lain yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan
buku-buku tafsiran, atau mengikuti Pemahaman Alkitab yang baik.
Perlu diingat bahwa kita tidak selalu bisa tahu penjelasan yang
pasti dari hal-hal yang kelihatannya bertentangan dalam Alkitab. Dalam hal ini
perhatikan 2 kutipan di bawah ini.
John
Murray: “Oftentimes,
though we may not be able to demonstrate the harmony of Scripture, we are able
to show that there is no necessary contradiction” (= Seringkali,
sekalipun kita tidak bisa menunjukkan keharmonisan Kitab Suci, kita bisa
menunjukkan bahwa di sana tidak harus terjadi kontradiksi)
- ‘Collected Writings of John Murray’,
vol I, hal 10.
E.
J. Young: “When therefore
we meet difficulties in the Bible let us reserve judgment. If any explanation
is not at hand, let us freely acknowledge that we do not know all things, that
we do not know the solution. Rather than hastily to proclaim the presence of an
error is it not the part of wisdom to acknowledge our ignorance?” (= Karena itu
pada waktu kita menjumpai problem dalam Alkitab baiklah kita menahan diri dari
penghakiman. Jika tidak ada penjelasan yang tersedia, baiklah kita dengan bebas
mengakui bahwa kita tidak mengetahui segala sesuatu, bahwa kita tidak
mengetahui penyelesaiannya. Dari pada dengan tergesa-gesa menyatakan adanya
kesalahan, tidakkah merupakan bagian dari hikmat untuk mengakui ketidak-tahuan
kita?) - ‘Thy Word Is Truth’,
hal 182.
Memang belajar Firman Tuhan itu tidak mudah. Tidak ada jalan
pintas. Tetapi asal saudara sungguh-sungguh rindu pada Firman Tuhan dan senantiasa
berdoa supaya Tuhan memimpin dan menolong saudara untuk mengerti FirmanNya,
maka saudara boleh yakin bahwa Dia, yang adalah gembala yang baik, pastilah
akan memimpin saudara pada jalan yang benar.
2) Dasar
dari kepercayaan terhadap ‘inerrancy of
the Bible’.
a) Kalau Kitab
Suci memang adalah Firman Allah, bagaimana Allah bisa salah dalam berbicara?
E.
J. Young: “We must
maintain that the original of Scripture is infallible for the simple reason
that it came to us directly from God Himself” (= Kita harus
mempertahankan bahwa Kitab Suci yang orisinil tidak ada salahnya karena alasan
yang sederhana dimana Kitab Suci itu datang kepada kita langsung dari Allah
sendiri) - ‘Thy Word Is Truth’,
hal 87.
Banyak
orang Liberal yang mengatakan bahwa karena Allah menuliskan firmanNya
menggunakan manusia, maka adanya faktor manusia ini memungkinkan, atau bahkan
memastikan, terjadinya kesalahan dalam Kitab Suci. Terhadap pandangan seperti
ini, ada 2 hal yang bisa diberikan sebagai jawaban:
·
perhatikan kata-kata E. J. Young yang berkata
sebagai berikut:
“If actual error is found in the Bible, it is God, not
the human writers, who is responsible for that error. From this conclusion
there is no escape” (= Jika betul-betul ada kesalahan ditemukan dalam
Alkitab, maka Allahlah, bukan para penulis manusia, yang bertanggung jawab
untuk kesalahan itu. Ini adalah kesimpulan yang tidak terhindarkan)
- ‘Thy Word Is Truth’, hal 182.
·
Sekalipun Allah menggunakan manusia dalam menuliskan
FirmanNya / Kitab Suci, itu tidak berarti bahwa Kitab Suci harus mengandung
kesalahan, karena:
*
Allah mahakuasa!
Tidak
bisakah Ia menggunakan manusia sedemikian rupa sehingga Kitab Suci betul-betul
tanpa salah? Dalam diri Yesus, yang juga mempunyai faktor manusia, Allah bisa
menjaga sehingga Yesus suci murni. Lalu mengapa ini tidak bisa Ia lakukan dalam
menulis FirmanNya?
*
Allah sudah mempersiapkan penulis manusia itu
sedemikian rupa sehingga ia menjadi alat yang cocok sempurna untuk menuliskan firmanNya.
Dengan demikian, sekalipun kepribadian, pengalaman, dan pemikiran dari penulis
itu masuk ke dalam Kitab Suci yang ia tuliskan, tetapi semua itu cocok sempurna
dengan yang Tuhan kehendaki, sehingga apa yang ia tuliskan betul-betul adalah
firman Allah.
E.
J. Young mengutip kata-kata B. B. Warfield sebagai berikut:
“As light that passes through the coloured glass of a
cathedral window, we are told, is light from heaven, but is stained by the
tints of the glass through which it passes; so any word of God which is passed
through the mind and soul of a man must come out discoloured by the personality
through which it is given, and just to that degree ceases to be the pure word
of God. But what if this personality has itself been formed by God into precisely
the personality it is, for the express purpose of communicating to the word
given through it just the colouring which it gives it? What if the colours of
the stained-glass window have been designed by the architect for express
purpose of giving to the light that floods the cathedral precisely the tone and
quality it receives from them? What if the word of God that comes to His people
is framed by God into the word of God it is, precisely by means of the
qualities of the men formed by Him for the purpose, through which it is given?” (= Sebagaimana
sinar yang melalui kaca berwarna dari jendela suatu katedral, adalah sinar dari
surga, tetapi dikotori oleh warna-warna dari kaca yang dilaluinya; begitu juga
dikatakan bahwa firman Allah yang melalui pikiran dan jiwa manusia pasti keluar
dengan dikotori oleh kepribadian melalui mana firman itu diberikan, dan sampai
pada tingkat itu berhenti menjadi firman yang murni dari Allah. Tetapi
bagaimana jika kepribadian ini telah dibentuk oleh Allah menjadi kepribadian
yang persis cocok sehingga mewarnai firman yang melaluinya sesuai tujuan Allah?
Bagaimana jika warna dari jendela dengan kaca berwarna telah direncanakan oleh
sang arsitek, dengan tujuan memberikan sinar yang memasuki katedral itu sifat
dan kwalitet yang diterimanya dari warna-warna itu, persis seperti yang
dikehendakinya? Bagaimana jika firman Allah yang datang kepada umatNya dibentuk
oleh Allah menjadi firman Allah, dengan memakai kwalitet dari orang-orang yang
dibentuk olehNya untuk tujuan itu, melalui siapa firman itu diberikan?)
- ‘Thy Word Is Truth’, hal 64.
William
G. T. Shedd: “The
infallibility of Scripture is denied upon the ground that it contains a human
element. The human is fallible and liable to error. If therefore the Bible has
a human element in it, as is conceded, it cannot be free from all error. This
is one of the principal arguments urged by those who assert the fallibility of
Scripture. This objection overlooks the fact, that the human element in the
Bible is so modified by the divine element with which it is blended, as to
differ from the merely ordinary human. The written Word is indeed Divine-human,
like the incarnate Word. But the human element in Scripture, like the human
nature in our Lord, is preserved from the defects of the common human, and
becomes the pure and ideal human. ... Those who contend that the Bible is
fallible because it contains a human element commit the same error, in kind,
with those who assert that Jesus Christ was sinful because he had a human
nature in his complex person. Both alike overlook the fact that when the human
is supernaturally brought into connection with the divine, it is greatly
modified and improved, and obtains some characteristics that do not belong to
it of and by itself alone” (= Ketidak-bersalahan Kitab Suci ditolak dengan dasar
bahwa Kitab Suci mengandung elemen manusia. Elemen manusia ini bisa salah.
Karena itu jika Alkitab mempunyai elemen manusia di dalamnya, seperti yang
memang kita akui, maka Kitab Suci tidak bisa bebas dari semua kesalahan. Ini
merupakan salah satu argumentasi utama yang diberikan oleh mereka yang
menegaskan kebersalahan Kitab Suci. Keberatan ini melupakan / mengabaikan fakta
bahwa elemen manusia dalam Alkitab begitu dimodifikasi oleh elemen ilahi dengan
apa elemen manusia itu dicampurkan, sehingga berbeda dengan semata-mata manusia
biasa. Firman yang tertulis memang adalah ilahi-manusiawi, seperti Firman yang
berinkarnasi. Tetapi elemen manusia dalam Kitab Suci, seperti hakekat manusia
dalam Tuhan kita, dijaga / dilindungi dari kesalahan dari manusia biasa / umum,
dan menjadi manusia yang murni dan ideal. ... Mereka yang berpendapat bahwa
Alkitab bisa salah karena Alkitab mengandung elemen manusia, melakukan
kesalahan yang sejenis, dengan mereka yang menegaskan bahwa Yesus Kristus
berdosa karena Ia mempunyai hakekat manusia dalam pribadiNya yang komplex.
Keduanya melupakan / mengabaikan fakta bahwa pada waktu elemen manusia itu
dihubungkan secara supranatural dengan elemen ilahi, maka elemen manusia itu
sangat dimodifikasi dan diperbaiki / ditingkatkan, dan mendapatkan beberapa
sifat yang tidak dimilikinya dari dan oleh dirinya sendiri)
- ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I,
hal 101,102,103.
b) Kalau Kitab
Suci mengandung kesalahan, mengapa Tuhan mela-rang kita mengubah Kitab Suci,
baik mengurangi maupun menam-bahi Kitab Suci? (Ul 4:2 Ul 12:32
Amsal 30:6 Mat 5:19 Wah 22:18-19). Bukankah seharusnya
bagian yang salah itu bisa diubah atau dibuang dan diganti dengan yang benar?
3) Apa
pentingnya kepercayaan terhadap ‘inerrancy
of the Bible’?
Kepercayaan ini penting karena kalau kita mempelajari Kitab Suci
dengan anggapan bahwa Kitab Suci itu mungkin ada salahnya, maka pada waktu kita
melihat ada 2 bagian dari Kitab Suci yang kelihatan bertentangan, kita akan mengambil
kesimpulan bahwa salah satu dari dua bagian itu adalah salah. Tetapi kalau kita
beranggapan bahwa Kitab Suci tidak ada salahnya, maka kita akan berusaha untuk
mengharmoniskan kedua bagian yang kelihatannya bertentangan itu.
Contoh: Luk 14:26 (harus ‘membenci’ keluarga),
kelihatannya bertentangan dengan Kel 20:12 (‘jangan membunuh’) dan
Mat 22:39 (‘kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri’). Ayat yang bisa
mengharmoniskan bagian-bagian tersebut adalah bagian paralel dari Luk 14:27 tersebut,
yaitu Mat 10:37 (tidak boleh mengasihi keluarga lebih dari Yesus).
William
G. T. Shedd: “One or the
other view of the Scriptures must be adopted; either that they were originally
inerrant and infallible, or that they were originally errant and fallible. The
first view is that of the church in all ages: the last is that of the
rationalist in all ages. He who adopts the first view, will naturally bend all
his efforts to eliminate the errors of copyists and harmonize discrepancies,
and thereby bring the existing manuscripts nearer to the original autographs.
By this process, the errors and discrepancies gradually diminish, and belief in
the infallibility of Scripture is strengthened. He who adopts the second view,
will naturally bend all his efforts to perpetuate the mistakes of scribes, and
exaggerate and establish discrepancies. By this process, the errors and
discrepancies gradually increase, and disbelief in the infallibility of
Scripture is strengthened” (= Salah satu dari pandangan-pandangan tentang Kitab
Suci ini harus diterima; atau Kitab Suci orisinilnya itu tidak bersalah, atau
Kitab Suci orisinilnya itu bersalah. Pandangan pertama adalah pandangan dari
gereja dalam segala jaman: pandangan yang terakhir adalah pandangan dari para
rasionalis dalam segala jaman. Ia yang menerima pandangan pertama, secara
alamiah akan berusaha untuk menyingkirkan kesalahan-kesalahan dari para
penyalin dan mengharmoniskan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian, dan dengan itu
membawa manuscript itu lebih dekat kepada autograph yang orisinil. Melalui
proses ini, kesalahan-kesalahan dan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian berkurang
secara bertahap, dan kepercayaan terhadap ketidakbersalahan Kitab Suci
dikuatkan. Ia yang menerima pandangan yang kedua, secara alamiah akan berusaha
untuk mengabadikan / meng-hidupkan terus-menerus kesalahan-kesalahan dari
ahli-ahli Taurat / para penyalin, dan melebih-lebihkan dan meneguhkan
ketidaksesuaian-ketidaksesuaian itu. Melalui proses ini, kesalahan-kesalahan
dan ketidak-sesuaian-ketidaksesuaian bertambah secara bertahap, dan
ketidak-percayaan kepada ketidakbersalahan Kitab Suci dikuatkan)
- ‘Calvinism: Pure and Mixed’, hal
137.
E.
J. Young: “It is perfectly
true that if we begin with the assumption that God exists and that the Bible is
His Word, we shall wish to be guided in all our study by what the Scripture
says. It is equally true that if we reject this foundational presupposition of
Christianity we shall arrive at results which are hostile to supernatural
Christianity. If one begins with the presuppo-sitions of unbelief, he will end
with unbelief’s conclusions. If at the start we have denied that the Bible is
God’s Word of if we have, whether consciously or not, modified the claims of
the Scriptures, we shall come to a position which is consonant with our
starting point. He who begins with the assumption that the words of the
Scriptures contain error will never, if he is consistent, come to the point of
view that the Scripture is the infallible Word of the one living and eternal
God. He will rather conclude with a position that is consonant with his
starting point. If one begins with man, he will end with man. All who study the
Bible must be influenced by their foundational presuppositions” (= Adalah
sesuatu yang benar bahwa jika kita mulai dengan anggapan bahwa Allah ada dan
bahwa Alkitab adalah FirmanNya, kita akan ingin untuk dipimpin dalam seluruh
pelajaran kita oleh apa yang Kitab Suci katakan. Juga adalah sesuatu yang sama
benarnya bahwa jika kita menolak anggapan dasar dari kekristenan ini, maka kita
akan sampai pada hasil yang bermusuhan terhadap kekristenan yang bersifat
supranatural. Jika seseorang mulai dengan anggapan dari orang yang tidak
percaya, ia akan berakhir dengan kesimpulan dari orang yang tidak percaya. Jika
sejak awal kita telah menolak bahwa Alkitab adalah Firman Allah, atau jika
kita, secara sadar atau tidak, mengubah claim / tuntutan dari Kitab Suci, kita
akan sampai pada suatu posisi yang sesuai dengan titik awal kita. Ia yang mulai
dengan anggapan bahwa kata-kata dari Kitab Suci mengandung kesalahan tidak akan
pernah, jika ia konsisten, sampai pada pandangan bahwa Kitab Suci adalah Firman
yang tak bersalah dari Allah yang hidup dan kekal. Sebaliknya ia akan
menyimpulkan dengan suatu posisi yang sesuai dengan titik awalnya. Jika seseorang
mulai dengan manusia, ia akan berakhir dengan manusia. Semua yang mempelajari
Alkitab pasti dipengaruhi oleh anggapan dasarnya)
- ‘Thy Word Is Truth’, hal 187.
4) Serangan
terhadap orang yang menolak ‘Inerrancy of
the Bible’.
Mungkin karena tidak bisa menjawab serangan yang menunjukkan
kontradiksi atau kesalahan dalam Alkitab, maka ada orang yang lalu mengambil
pandangan yang berkata bahwa Kitab Suci tidak ada salahnya kalau berbicara
tentang keselamatan dan iman Kristen, tetapi Kitab Suci mungkin ada salahnya
dalam persoalan sejarah, geografis, dan detail-detail
kecil yang lain.
Pandangan ini merupakan pandangan kompromi yang berbahaya
karena:
·
kesalahan-kesalahan dalam hal kecil / remeh
membuat kita meragukan kebenaran dari hal-hal yang besar.
·
sejarah sering menjadi dasar dari doktrin.
Misalnya:
*
doktrin tentang dosa asal didasarkan pada
fakta sejarah bahwa semua manusia berasal dari Adam.
*
doktrin penebusan dosa didasarkan pada fakta
sejarah tentang kematian Kristus.
*
doktrin kebangkitan orang mati didasarkan atas
fakta sejarah kebangkitan Kristus (1Kor 15:12-23).
Karena itu kalau ternyata fakta-fakta sejarah ini salah atau
bisa salah, maka itu berarti doktrin yang dibangun di atasnya juga salah atau
bisa salah.
E.
J. Young: “History and
faith cannot be divorced, the one from the other. Remove its historical basis
and faith vanishes. ... To say that what the Bible relates of history is
fallible, but what it relates of faith is infallible is to talk nonsense” (= Sejarah dan
iman tidak bisa diceraikan / dipisahkan satu dengan lainnya. Buanglah dasar
sejarahnya dan iman akan lenyap. ... Mengatakan bahwa apa yang Alkitab
ceritakan tentang sejarah bisa salah, tetapi apa yang Alkitab ceritakan tentang
iman tidak bisa salah, adalah omong kosong) - ‘Thy Word Is Truth’, hal 101.
Orang
yang mengatakan bahwa Kitab Suci (autographnya)
ada salahnya perlu menunjukkan bagaimana ia bisa tahu yang mana yang salah dan
yang mana yang benar, dan juga menjelaskan standard apa yang ia pakai untuk
menyatakan kesalahan Kitab Suci itu, dan apa dasarnya ia memakai standard itu.
Ia perlu ingat bahwa seharusnya Firman Tuhan itulah yang menghakimi kita
(Yoh 12:48), dan bukannya kita yang menghakimi Firman Tuhan!
Perhatikan
juga beberapa kutipan kata-kata E.
J. Young di bawah ini.
E.
J. Young: “if fallible
human writers have given to us a Bible that is fallible, how are we ourselves,
who most certainly are fallible, to detect in the Bible what is error and what
is not?” (= jika para penulis manusia yang bisa salah telah
memberikan kepada kita Alkitab yang bisa salah, bagaimana kita sendiri, yang
jelas juga bisa salah, bisa mendeteksi dalam Alkitab mana yang salah dan mana
yang tidak?) - ‘Thy
Word Is Truth’, hal 75.
E.
J. Young: “If God is the
Creator, and man a creature, there is no way in which man can set himself up as
a judge of what God has revealed. There is no independent standard which man
can drag in by which he can pass judgment upon the ‘reasonableness’ of God’s
revelation” (= Jika Allah adalah Pencipta, dan manusia adalah
makhluk ciptaan, maka tidak ada kemungkinan dimana manusia bisa menempatkan
dirinya sendiri sebagai hakim terhadap apa yang Allah nyatakan / wahyukan.
Tidak ada standard yang independen / bebas / berdiri sendiri yang bisa dibawa
oleh manusia dengan mana ia bisa menyampaikan penghakiman terhadap ‘logis’nya
penyataan / wahyu Allah) - ‘Thy
Word Is Truth’, hal 189.
E.
J. Young: “We are told
that the view of approaching the Bible which we are defending in this book is
old-fashioned and no longer tenable. Modern scholarship, it is asserted, has
shown that this traditional (we should say, Biblical) way of coming to the
Bible is no more possible. We must abandon such an old-fashioned approach to
the Scriptures. If this claim of modern theology is correct then, of course, it
follows that throughout the history of the Church men have been approaching the
Bible in the wrong way. They have come to the Bible as to the authoritative
Word of God and in the Bible they have found Jesus Christ the Saviour. They
were wrong, however; they should not have regarded the Bible as the final
authority. With the insights and contributions of modern scholarship, we have
now learned the correct approach to the Bible. There is, however, a question
which at this point should be raised. If we must now approach the Bible in a
way different from that which the Church has always used, how do we know that
in the future the way which now seems acceptable to us will not then have been
superseded by something more suitable to the men of that time? In the years
ahead the approach to the Bible which present-day scholarship advocates may be
entirely out of date. If it is then out of date, the scholars of that time will
presumably have to discover a method of approach which will be more relevant to
their day, more in keeping with their thoughts and attitudes. Should this be
the case, then it would clearly follow that the benefit and blessing which in
the past has seemed to come to mankind from the Bible, really was not derived
from the Bible itself but rather from man’s way of looking at the Bible
at any given time. For nearly two thousand years the old approach to the Bible
brought blessing. Today, we are told, this approach must go; it is not
scientific. Today, a new approach is requisite. Very well, this new approach
supposedly meets the needs of the present day. What, however, about the future?
In the future, will not some other approach to the Bible be necessary? If such
is the case, it is perfectly obvious that what brings help and blessing is not
the Bible itself but the approach to the Bible which we find relevant
for our own day. It is then not the Bible, but rather our way of looking at the
Bible that is of importance; not the Bible, but what we bring to the Bible.
Thus, in effect, the demand for a new approach to the Bible amounts to nothing
other than a demand that we bring to the Bible what seems to us to be relevant
to our time. This is subjectivism. He who rejects the Biblical view of
Scripture, no matter how much it may be disguised, has set up the human mind as
an arbiter to decide how the Bible is to be regarded” [= Dikatakan
bahwa pandangan untuk mendekati Alkitab yang kami pertahankan dalam buku ini
sudah kuno / ketinggalan jaman dan tidak lagi bisa dipertahankan. Ditegaskan
bahwa ilmu pengetahuan / kesarjanaan modern telah menunjukkan bahwa cara
tradisional (kami lebih suka menyebutnya ‘cara yang Alkitabiah’) untuk datang
kepada Alkitab tidak lagi memungkinkan. Kita harus meninggalkan pendekatan kuno
seperti itu terhadap Kitab Suci. Jika tuntutan dari theologia modern ini benar,
maka jelaslah bahwa dalam sepanjang sejarah Gereja orang-orang telah mendekati
Alkitab dengan cara yang salah. Mereka telah mendatangi Alkitab sebagai Firman
Allah yang mempunyai otoritas, dan dalam Alkitab mereka telah menemukan Yesus
Kristus, sang Juruselamat. Tetapi mereka salah; mereka sebenarnya tidak boleh
menganggap Alkitab sebagai otoritas yang terakhir / menentukan. Dengan
pengertian / pengetahuan dan sumbangan pemikiran dari ilmu pengetahuan /
kesarjanaan modern, sekarang kita telah belajar pendekatan yang benar terhadap
Alkitab. Tetapi di sini ada satu pertanyaan yang harus ditanyakan. Jika
sekarang kita harus mendekati Alkitab dengan suatu cara yang berbeda dengan
cara yang telah selalu dipakai oleh Gereja, bagaimana kita tahu, bahwa pada
masa yang akan datang, cara yang sekarang bisa kita terima tidak akan
digantikan oleh sesuatu yang lebih cocok untuk orang-orang pada jaman itu? Pada
masa yang akan datang, pendekatan terhadap Alkitab yang pada saat ini
dinasehatkan, mungkin sepenuhnya akan menjadi kuno / ketinggalan jaman. Jika
itu menjadi kuno, maka para ahli pada jaman itu mungkin akan menemukan suatu
metode pendekatan yang lebih relevan untuk jaman mereka, lebih sesuai dengan
pemikiran dan pendirian mereka. Jika ini adalah kasusnya, maka jelaslah bahwa
keuntungan dan berkat yang pada masa lalu kelihatannya datang kepada umat
manusia dari Alkitab, sebetulnya bukan didapatkan dari Alkitab itu sendiri
tetapi dari cara manusia memandang Alkitab pada satu saat tertentu.
Selama hampir 2000 tahun pendekatan lama terhadap Alkitab telah membawa berkat.
Sekarang dikatakan bahwa pendekatan ini harus dibuang; itu tidak sesuai dengan
ilmu pengetahuan. Sekarang dibutuhkan suatu pendekatan yang baru. Baiklah,
pendekatan yang baru ini dianggap cocok untuk jaman ini. Tetapi bagaimana
tentang masa yang akan datang? Pada masa yang akan datang, tidakkah diperlukan
suatu pendekatan yang lain terhadap Alkitab? Jika demikian kasusnya, maka
jelaslah bahwa apa yang membawa pertolongan dan berkat bukanlah Alkitab itu
sendiri tetapi pendekatan terhadap Alkitab yang kita anggap relevan
untuk jaman kita. Jadi yang penting bukanlah Alkitab, tetapi cara kita
memandang pada Alkitab; bukan Alkitab, tetapi apa yang kita bawa kepada
Alkitab. Jadi sebetulnya, tuntutan untuk adanya pendekatan yang baru terhadap
Alkitab tidak lain adalah suatu tuntutan bahwa kita membawa kepada Alkitab apa
yang kelihatan bagi kita sesuatu yang relevan dengan jaman kita. Ini adalah
subyektivitas. Ia yang menolak pandangan yang Alkitabiah tentang Kitab Suci,
tidak peduli bagaimana hal itu disamarkan, telah menjadikan pikiran manusia
sebagai wasit / hakim untuk memutuskan bagaimana Alkitab itu harus dilihat /
diperhatikan]
- ‘Thy Word Is Truth’,
hal 190-191
5) Penjelasan
lebih lanjut tentang arti ‘inerrancy of
the Bible’.
Dalam persoalan inerrancy ini perlu diingat beberapa hal yang
penting:
a. Tentang
bilangan, Kitab Suci sering memberikan:
·
hanya perkiraan saja. Misalnya: pada waktu
Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang laki-laki.
·
pembulatan. Misalnya: Kel 12:40
menyebutkan 430 tahun, tetapi Kej 15:13 dan Kis 7:6 menyebutkan 400 tahun.
Bilangan 400 ini mungkin merupakan pembulatan.
b. Pada
waktu mengutip, kutipan sering hanya diambil artinya lalu dikatakan dengan
kata-kata sendiri (paraphrased). Ini
pada umumnya terjadi pada waktu Yesus dan rasul-rasul, atau penulis Perjanjian
Baru mengutip Perjanjian Lama. Ini tidak terlalu berbeda dengan seorang
pengkhotbah yang mengutip ayat Kitab Suci dengan hanya mengambil artinya, atau
dengan menggunakan kata-katanya sendiri tetapi tidak mengubah arti ayat
tersebut.
c. Pada
waktu melukiskan sesuatu, Alkitab sering melukiskannya dari sudut peninjauan manusia,
atau bagaimana kelihatannya hal itu oleh manusia.
Misalnya:
·
Maz 19:5-7 dan Yos 10:12-13
seolah-olah menunjukkan bahwa mataharilah yang beredar / mengelilingi bumi.
Perlu diingat bahwa Kitab Suci bukanlah kitab ilmu pengetahuan, sehingga Kitab
Suci menuliskan peristiwa itu bukan dari sudut ilmu pengetahuan, tetapi dari
sudut penglihatan manusia. Karena mata manusia melihat bahwa matahari bergerak
mengelilingi bumi, maka Kitab Suci menuliskan demikian. Jadi dalam hal ini
tidak bisa dikatakan bahwa Kitab Suci bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
William
G. T. Shedd: “The inspired
writers were permitted to employ the astronomy and physics of the people and
age to which they themselves belonged, because the true astronomy and physics
would have been unintelligible. If the account of the miracle of Joshua had
been related in the terms of the Copernican astronomy; if Joshua had said,
‘Earth stand thou still,’ instead of, ‘Sun stand thou still’; it could not have
been understood” (= Penulis-penulis yang diilhami diijinkan untuk
menggunakan ilmu perbintangan dan fisika dari orang dan jaman mereka sendiri,
karena ilmu perbintangan dan fisika yang benar tidak akan dimengerti pada saat
itu. Jika cerita tentang mujijat Yosua diceritakan dengan istilah-istilah dari
ilmu perbintangan Copernicus; jika Yosua berkata: ‘Bumi berhentilah engkau’,
dan bukannya ‘Matahari berhentilah engkau’; itu tidak bisa dimengerti pada saat
itu) - ‘Shedd’s Dogmatic
Theology’, vol I, hal 104.
Shedd
lalu menambahkan:
“The modern astronomer himself describes the sun as
rising and setting” (= ahli ilmu perbintangan modern sendiri menggambarkan
matahari sebagai terbit dan terbenam) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I, hal 104.
Shedd
menambahkan lagi:
“The purpose of the scriptures, says Baronius, is ‘to
teach man how to go to heaven, and not how the heavens go.’” (= Tujuan dari
Kitab Suci, kata Baronius, adalah ‘untuk mengajar manusia tentang jalan ke
surga, dan bukannya bagaimana surga / langit berjalan’)
- ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I,
hal 104.
·
Kej 1:14-16 menunjukkan bahwa Allah
menciptakan benda-benda penerang, yaitu matahari, bulan dan bintang-bintang.
Jelas bahwa sebetulnya bulan bukanlah benda terang, karena bulan hanyalah
memantulkan sinar dari matahari, tetapi karena dari sudut mata manusia bulan
itu terang, maka Kitab Suci menggambarkannya sebagai benda penerang. Disamping
itu lalu dikatakan bahwa matahari dan bulan adalah benda penerang yang besar.
Secara implicit ini menunjukkan bahwa
bintang-bintang adalah benda penerang yang kecil. Padahal kita tahu bahwa
bintang-bintang itu jauh lebih besar dari pada bulan dan bahkan banyak yang
lebih besar dari matahari. Tetapi karena dari sudut mata manusia kelihatannya
matahari dan bulan lebih besar dari bintang-bintang, maka Kitab Suci lalu
menggambarkannya demikian. Lagi-lagi ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar
untuk mengatakan bahwa Kitab Suci salah atau bertentangan dengan ilmu
pengetahuan.
d. Pada
waktu Kitab Suci mencatat kata-kata setan atau manusia, yang adalah salah, itu
tidak berarti Kitab Sucinya salah / tidak inerrant.
Sekalipun kata-kata setan / manusia itu salah, tetapi mereka memang mengucapkan
kata-kata salah itu dan Alkitab mencatatnya secara akurat, dan karena itu
Alkitab tetap benar / inerrant.
E.
J. Young: “All that the
Bible-believing Christian asserts when he declares that the Bible is inerrant
is that the Bible in its statements is not contrary to fact. It records things
as they actually were” (= Semua yang ditegaskan oleh orang kristen yang percaya
Alkitab pada waktu ia menyatakan bahwa Alkitab tidak ada salahnya adalah bahwa
Alkitab dalam pernyataannya tidak bertentangan dengan fakta. Alkitab mencatat
hal-hal sebagaimana adanya hal-hal itu) - ‘Thy Word Is Truth’, hal 135.
Ini
adalah suatu usaha untuk menentukan kata-kata yang orisinil dari suatu text.
Hal ini perlu karena manuscript yang asli (autograph)
sudah tidak ada lagi, dan manuscript-manuscript / copy-copy sudah mengandung
kesalahan-kesalahan. Pada waktu menghadapi adanya perbedaan manuscript, maka
untuk mengetahui kata-kata yang orisinil harus dilakukan perbandingan
manuscript-manuscript yang ada.
Ada
2 rumus yang sering dipakai, yaitu:
a) Makin
kuno suatu manuscript, berarti makin dekat manuscript itu kepada autographnya, dan karenanya makin
manuscript itu dipercaya.
b) Bacaan
yang lebih sukar / lebih tidak masuk akal, lebih dipercaya.
Prinsip ini diambil berdasarkan suatu pemikiran logis bahwa penyalin
manuscript itu lebih mungkin untuk mengubah dari yang tidak masuk akal menjadi
yang masuk akal, dari pada mengubah dari yang masuk akal menjadi yang tidak
masuk akal.
Contoh:
a. Mat 6:13b
dan Mat 17:21 tidak ada dalam manuscript-manuscript yang kuno dan karena
itu dianggap sebagai tambahan yang tidak ada dalam autographnya.
b. Yoh 1:18 -
'Anak Tunggal Allah'.
Dalam
istilah / bagian ini terdapat textual
problem (= problem text, dimana ada perbedaan antara manuscript yang satu
dengan manuscript yang lain). Ada 4 golongan manuscript:
1. the only begotten
(= satu-satunya yang diperanakkan).
2. the only begotten Son
(= satu-satunya Anak yang diperanakkan).
3. the only begotten Son of God
(= satu-satunya Anak Allah yang diperanakkan).
4. only begotten God
(= satu-satunya Allah yang diperanakkan).
Kebanyakan
penafsir menganggap bahwa yang no 4. yang benar, dengan alasan:
·
ini didukung oleh manuscript yang paling kuno.
·
Ini merupakan bacaan yang ‘lebih sukar’, atau yang
lebih tidak masuk akal. Memang seperti sudah dikatakan di atas, kalau ada
perbedaan manuscript, biasanya bacaan yang lebih sukar / lebih tidak masuk akal
yang diterima, dengan suatu anggapan bahwa penyalin manuscript itu lebih
mungkin untuk mengubah dari yang tidak masuk akal menjadi masuk akal, dari pada
mengubah dari yang masuk akal menjadi yang tidak masuk akal.
Dalam
peristiwa ini, kalau yang benar adalah yang no 1. atau no 2. atau no 3., tidak
mungkin penyalin manuscript itu lalu mengubah menjadi yang no 4.. Sebaliknya,
kalau no 4. yang benar, mungkin sekali penyalin menganggap bacaan itu tidak
masuk akal sehingga ia mengubahnya menjadi no 1. atau no 2. atau no 3.
Ini mempelajari siapa yang mengarang suatu kitab, saat penulisan
suatu kitab, dan juga situasi pada saat penulisan suatu kitab. Dengan kata
lain, higher criticism ini
mempelajari latar belakang dari suatu kitab dari Kitab Suci. Kitab-kitab
tertentu seperti 1Korintus dan Galatia, tidak bisa dimengerti dengan baik /
benar tanpa mengetahui latar belakangnya.
Dalam penafsiran, hanya ada satu penafsiran yang benar, yaitu
yang sesuai dengan apa yang Allah maksudkan dengan text itu. Ada banyak orang
berkata: “Arti text itu adalah apa artinya menurut saya / bagi saya”. Kalau ini
benar, maka kita tidak punya hak untuk berkata bahwa ajaran-ajaran bidat-bidat
itu adalah sesat.
Karena itu, kita tidak bisa membahas suatu text dan lalu
menghasilkan banyak penafsiran, dan lalu berkata bahwa semua dipimpin Roh
Kudus. Jadi, kalau ada banyak aliran dalam kekristenan, jangan sekali-kali
berkata bahwa semua aliran ini dipimpin oleh Roh Kudus, dan mereka semua benar.
Dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa benar semua!
Jadi, kalau dalam suatu persoalan tertentu, misalnya tentang
bahasa roh, atau tentang kesembuhan, dimana golongan Protestan berbeda /
bertentangan dengan golongan Pentakosta / Kharismatik, maka hanya ada satu yang
bisa benar. Karena itu kalau saudara mendengar seseorang dari aliran yang
berbeda sedang mengajar / berkhotbah, jangan lalu berkata: ‘Oh itu pandangannya
aliran itu, ini pandangan aliran saya. Tetapi dua-duanya benar’. Ini sikap yang
salah. Saudara harus melihat argumentasi / dasar Kitab Suci orang itu beserta
penafsirannya, dan membandingkan dengan argumentasi / dasar Kitab Suci saudara
beserta penafsirannya, dan lalu mengambil kesimpulan yang mana yang benar.
Tetapi sekalipun hanya ada 1 penafsiran yang benar, tetapi
penerapannya bisa berbeda-beda / banyak misalnya: Ef 4:26 artinya: kita
tidak boleh menyimpan kemarahan / tidak boleh mendendam. Tetapi penerapannya
bisa berbeda-beda untuk setiap orang, tergantung ia sedang dendam kepada siapa.
Setelah mengerti hal-hal di atas, barulah kita bisa melakukan
EXEGESIS, yaitu penerapan dari prinsip-prinsip Hermeneutics, untuk bisa
mengerti suatu text dengan benar.
Kontras dengan Exegesis, adalah apa yang disebut Eisegesis, dimana orang justru memasukkan
suatu pandangan ke dalam text Kitab Suci. Contoh tentang Eisegesis:
1) Ajaran
Dr. Paul Yonggi Cho tentang Abraham yang melihat bahwa bintang-bintang dalam
Kej 15:5-6 berubah menjadi bayi-bayi. Dari sini ia lalu mendapatkan dasar bagi
ajarannya tentang ‘dimensi ke empat’, dimana orang harus membayangkan apa yang
diinginkannya dan dengan demikian ia akan memperoleh apa yang ia inginkan itu.
Tetapi jelas bahwa text Kitab Suci dalam Kej 15:5-6 itu tidak
pernah berkata bahwa bintang-bintang itu berubah menjadi bayi-bayi! Ini cuma
imaginasi tolol dari Dr. Paul Yonggi Cho!
2) Ajaran
tentang Toronto Blessing yang
didasarkan pada:
a) Ibr
1:9.
Kalau saudara membaca Ibr 1:9 ini maka sebetulnya saudara
tidak akan mendapatkan apapun yang berhubungan dengan Toronto Blessing. Tetapi orang yang memang mencari-cari dasar bagi Toronto Blessing, lalu memasukkan ajaran
itu ke dalam ayat tersebut. Jadi, hanya berdasarkan kata-kata ‘mengurapi Engkau
dengan minyak sebagai tanda kesukaan’ [NIV: ‘by
anointing you with the oil of joy’ (= dengan mengurapi Engkau dengan minyak
sukacita)], mereka lalu beranggapan bahwa Toronto
Blessing itu memang dari Allah.
Padahal kalau saudara perhatikan ayat itu, maka dengan mudah
saudara bisa melihat bahwa ayat itu berbicara tentang Yesus. Yesuslah yang
diurapi dengan minyak sukacita itu, dan karena itu Yesus memang hidup penuh
sukacita, tetapi Yesus tidak pernah tertawa terbahak-bahak tanpa bisa ditahan
selama berjam-jam seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang terkena Toronto Blessing!
b) Kej
21:6 - tertawanya Sarai.
Orang yang waras otaknya tentu tidak akan mendapatkan Toronto Blessing dari Kej 21:6 ini!
Text ini sama sekali tidak berhubungan dengan Toronto Blessing, karena dalam text ini Sarai tertawa secara
wajar. Ia tertawa karena senang atas kelahiran Ishak. Ini tentu berbeda
dengan tertawanya orang yang terkena Toronto
Blessing, karena orang-orang itu tertawa tanpa alasan.
3) Ajaran
tentang ‘nggeblak’ yang didasarkan pada Yoh 18:6. Sebelum munculnya gerakan
Kharismatik dengan phenomena nggeblaknya, tidak ada orang yang menafsirkan
Yoh 18:6 ini dengan cara seperti itu. Tetapi setelah phenomena nggeblak
itu muncul, orang lalu mencari-cari dasar Kitab Sucinya (yang sebetulnya tidak
pernah ada) dan lalu mendapatkan Yoh 18:6 ini. Lalu pandangan nggeblak itu
dimasukkan ke dalam Yoh 18:6 ini (EISEGESIS).
-o0o-
email us at : gkri_exodus@lycos.com