Eksposisi Kisah Para Rasul
oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.
KISAH
RASUL 10:1-48
I)
Kornelius.
1) Ia adalah
seorang perwira Italia, dan itu berarti bahwa ia bukan orang Yahudi.
2) Ia adalah
seorang yang ‘hebat’, dan ini terlihat dari:
·
ia dikatakan sebagai saleh (ay 2).
·
ia takut kepada Allah (ay 2).
Memang orang saleh pasti adalah orang yang
takut kepada Allah, dan sebaliknya.
·
ia memberi sedekah kepada orang Yahudi (ay 2).
Ini
menunjukkan bahwa ia mempunyai kasih kepada sesama. Ini juga menunjukkan bahwa
sedikitnya ia adalah seorang simpatisan agama Yahudi.
·
ia senantiasa berdoa kepada Allah (ay 2).
·
ia selalu berusaha membawa orang lain kepada
Tuhan.
Ini
terlihat dari:
*
ay 2: seisi rumahnya juga takut kepada
Allah. Ini jelas terjadi karena pengaruh Kornelius.
*
ay 7: prajurit yang saleh. Ini juga
karena pengaruh Kornelius.
*
ay 24: ia memanggil sanak saudaranya dan
sahabat-sahabatnya untuk mendengar pesan Tuhan / Firman Tuhan.
Penerapan:
Apakah
saudara juga mempunyai beban untuk membawa orang kepada Tuhan?
II)
Petrus.
1) Petrus
adalah orang Yahudi, yang mempunyai kepercayaan Yahudi, yaitu:
·
Orang Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang
non Yahudi, dan bahkan tidak boleh masuk ke rumah orang non Yahudi
(ay 28). Kepercayaan ini didasarkan pada Ul 7:1-5 (tetapi sebetulnya
Ul 7:1-5 ini hanya ditujukan kepada orang Kanaan).
·
Hanya orang Yahudi yang bisa selamat, sedangkan
orang non Yahudi diciptakan sebagai bahan bakar di neraka (ay 34-35,45). Karena
itu tidak heran banyak orang Yahudi Kristen yang hanya memberitakan Injil
kepada sesama orang Yahudi (bdk. Kis 11:19).
Kepercayaan
seperti ini membuat Petrus belum siap untuk dipakai oleh Tuhan untuk
memberitakan Injil kepada Kornelius. Ia harus diajar lebih dulu, supaya ia bisa
membuang kepercayaannya yang salah ini.
2) Petrus diajar oleh Tuhan.
a) Melalui
penglihatan (ay 9-16).
·
Ay 9: Pada saat itu Petrus mau berdoa, dan
karena itu ia naik ke atas rumah. Mengapa naik ke atas rumah? Karena berdoa membutuhkan
kesunyian sehingga bisa lebih berkonsentrasi (bdk. Mark 1:35). Memang kalau
perlu kita bisa berdoa di tengah-tengah keramaian, tetapi kalau dimungkinkan,
kita harus mencari tempat yang sunyi. Ini bertentangan dengan banyak cara
doa yang se-dang ngetrend jaman ini,
seperti:
*
orang yang berteriak ‘Amin’, atau ‘Haleluya’,
atau ‘Glory’ dsb dengan suara keras di tengah-tengah suatu persekutuan
doa.
*
doa yang diiringi musik.
*
sebagian jemaat berdoa, sebagian lain
menyanyi.
*
‘doa
bersuara’, yaitu sekelompok orang yang berdoa dimana setiap orang berdoa
dengan membuka suara dengan keras (Awas, saya tidak memaksudkan orang yang
berdoa secara pribadi, sambil mengeluarkan suara. Yang ini tentu tidak
apa-apa). Saya berpendapat bahwa ini adalah sesuatu yang salah karena:
Þ
Seharusnya suasana doa adalah sunyi / tenang.
Tetapi kalau kita melakukan ‘doa bersuara’ ini, maka kita sengaja membuat
ribut. Ini menyebabkan banyak orang tidak bisa berdoa dalam suasana seperti
itu. Kalau saudara sendiri bisa berdoa dalam suasana seperti itu, jangan
beranggapan bahwa semua orang juga harus bisa berdoa dalam suasana seperti itu!
Þ
Ini adalah perwujudan dari egoisme, karena
orang yang melakukan ‘doa bersuara’ itu tidak mempedulikan orang-orang lain
yang tidak bisa berdoa dalam suasana seperti itu. Bandingkan dengan
Fil 2:4 - “janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga”.
Þ
Itu sebetulnya bukanlah suatu persekutuan
doa, karena sekalipun semua orang berdoa untuk topik yang sama, tetapi doanya
bisa berbeda. Misalnya: kalau semua berdoa tentang hamba Tuhan, maka bisa
saja yang satu berdoa untuk kesehatannya, sedangkan yang lain berdoa untuk
kerohaniannya. Lebih dari itu doa dari orang-orang itu bahkan bisa
bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya hamba Tuhan itu punya anak
yang nakal, maka bisa saja orang yang satu berdoa supaya hamba Tuhan itu diberi
kesabaran menghadapi anaknya itu, tetapi orang yang lain berdoa supaya hamba
Tuhan itu diberi ketegasan untuk mendisiplin anak itu. Atau pada waktu
mendoakan jemaat yang sakit, yang seorang berdoa supaya orang yang sakit itu
disembuhkan, tetapi orang yang lain, yang menganggap bahwa penyakit itu merupakan
hukuman / hajaran Tuhan, berdoa supaya Tuhan tidak menyembuhkan tetapi mempertobatkan
orang itu. Dengan demikian terlihat bahwa sebetulnya mereka hanya berdoa
bersama-sama, bukan melakukan persekutuan doa!
Þ
Itu bertentangan dengan tradisi persekutuan
doa yang diajarkan oleh Kitab Suci.
1Kor 14:16
berbunyi: “Sebab, jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah
orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan ‘amin’ atas
pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan?”
Ayat
ini memang bukan mempersoalkan ‘doa bersuara’, tetapi ‘doa dengan menggunakan
bahasa roh’. Tetapi dari ayat ini kita bisa mempelajari tradisi persekutuan doa
dalam Kitab Suci. Mengapa doa dengan bahasa roh tidak boleh dilakukan dalam
suatu persekutuan? Karena dengan demikian orang yang hadir tidak bisa
mengaminkannya. Jadi dari sini terlihat bahwa tradisi Kitab Suci dalam
melakukan persekutuan doa adalah: satu orang yang memimpin doa dengan suara
keras, sedangkan yang lain mengaminkannya. Supaya saudara tidak menganggap
bahwa saya memutar-balikkkan Kitab Suci, dan menafsirkannya semau saya sendiri,
maka saya memberikan komentar Calvin tentang 1Kor 14:16 ini.
Calvin:
“Paul’s expression, however, intimates,
that some one of the ministers uttered or pronounced prayers in a distinct
voice, and that the whole assembly followed in their minds the words of that
one person, until he had come to a close, and they all said Amen - to intimate,
that the prayer offered up by that one person was that of all of them in
common” (= ungkapan Paulus menunjukkan bahwa salah seorang
pendeta menaikkan doa dengan suara yang jelas dan seluruh jemaat mengikuti
dalam pikiran mereka kata-kata dari orang itu, sampai ia selesai, dan mereka
semua berkata Amin - untuk menunjukkan bahwa doa yang dinaikkan oleh satu orang
itu adalah doa mereka semua).
Bandingkan
juga dengan: 1Taw 16:36 (nyanyi diakhiri dengan kata ‘amin’ oleh seluruh
jemaat), Maz 106:48 (doa diakhiri dengan kata ‘amin’ oleh seluruh umat),
dan Ul 27:15-26 (pembacaan Firman Tuhan diakhiri dengan kata ‘amin’ oleh
seluruh bangsa).
Tetapi ada orang yang mengatakan bahwa ada
orang yang tidak bisa berkonsentrasi dalam doa kalau hanya ada 1 orang yang
berdoa dan ia hanya mengaminkan. Saya menjawab: memang harus diakui kalau
pemimpin doa berdoa tidak karuan / berbelit-belit, maka kita akan sukar berkonsentrasi.
Karena itu harus dipilih pemimpin doa yang baik. Kalau dengan pemimpin doa yang
baik tetap ada orang yang tidak bisa berkonsentrasi, maka saya berpendapat
tentu ada sesuatu yang tidak beres dengan orang itu. Doa seperti ini adalah
yang diajarkan oleh Kitab Suci. Kalau ia tidak bisa berdoa dengan cara yang
diajarkan oleh Kitab Suci, maka pasti dia yang salah.
Þ
Itu menimbulkan kekacauan / ketidaktertiban
yang jelas tidak dikehendaki oleh Tuhan dalam suatu kebaktian.
1Kor 14:27,30-31
mengatakan bahwa dalam suatu pertemuan jemaat, kalau orang yang berbahasa roh
ataupun bernubuat harus satu per satu. Mengapa? Karena Allah menghendaki
ketertiban dan keteraturan dalam ibadah / kebaktian (1Kor 14:33,40). Aneh
kalau ada orang yang mau menggunakan ayat-ayat ini untuk menyerang orang Pentakosta
/ Kharismatik yang berbahasa roh secara bersama-sama, tetapi tidak menggunakan
ayat-ayat ini untuk melarang ‘doa bersuara’. Padahal kekacauan yang ditimbulkan
adalah sama.
Ada
orang yang keberatan dengan apa yang saya katakan ini, karena menurut mereka
dalam Kis 4:24 dilakukan doa bersuara seperti itu.
Kis 4:24
- “Ketika
teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama
kepada Allah, katanya: ‘Ya Tuhan, ...”.
Tetapi
ini salah, karena kata Yunani yang diterjemahkan ‘bersama-sama’ itu adalah
HOMOTHUMADON, yang berarti ‘dengan satu hati / pikiran’. Jadi, yang ditunjukkan
oleh Kis 4:24 ini adalah kesatuan hati mereka dalam berdoa, bukan ‘doa bersuara’
(Jika ingin tahu lebih jelas tentang penafsiran ayat ini, lihat ‘Kisah Rasul’ jilid 1).
·
Ay 10 (NIV): ‘he fell into a trance’ (= ia mengalami trance).
Ada
orang yang menggunakan bagian ini sebagai dasar dari Toronto Blessing. Mereka mengatakan bahwa dalam mengalami Toronto Blessing, orang-orang itu
mengalami trance seperti Petrus di sini.
Untuk menjawab ini kita
perlu tahu apa arti dari kata trance
ini?
*
Kata ‘trance’
itu kalau dilihat dalam kamus Inggris - Indonesia oleh John M. Echols dan
Hassan Shadily, diartikan sebagai ‘keadaan tak sadarkan diri’, ‘lupa daratan’,
atau ‘kerasukan’.
*
Sedangkan Webster’s New World Dictionary
menambahkan arti “a state resembling
sleep, in which consciousness may remain although voluntary movement is lost,
as in catalepsy or hypnosis” (= suatu keadaan menyerupai tidur, dimana
kesadaran bisa tetap ada tetapi tidak ada gerakan yang disadari / disengaja,
seperti dalam hal orang yang terkena ayan atau hipnotis).
*
Selanjutnya perlu diketahui bahwa kata bahasa
Inggris ‘trance’ dalam ayat-ayat itu
diterjemahkan dari kata bahasa Yunani EKSTASIS. Dari kata Yunani ini diturunkan
kata bahasa Inggris ecstasy, yang
artinya adalah ‘kegembiraan yang meluap-luap’.
Tetapi
Petrus tidak berada dalam keadaan tidak sadar, ataupun kegembiraan yang
meluap-luap. Ia mengalami hal itu pada saat ia sedang berdoa. Dan pada saat ia
mengalami hal itupun ia tidak lalu rebah, pingsan, bergerak-gerak tak terkendali
seperti orang sakit ayan, bergulung-gulung di lantai, tertawa terbahak-bahak,
dsb. Singkatnya, Petrus sama sekali tidak mirip dengan orang yang terkena
Toronto Blessing! Sebaliknya ia tetap bisa berkomunikasi secara sadar dan wajar
dengan Tuhan!
Karena
itu saya tidak menerima ketiga arti di atas, dan saya menerima arti yang
diberikan oleh W. E. Vine dalam ‘An
Expository Dictionary of New Testament Words’ dimana ia mengartikan
‘EKSTASIS’ / ‘trance’ sebagai berikut: “a
condition in which ordinary consciousness and the perception of natural
circumstances were withheld, and the soul was susceptible only to the vision
imparted by God” (= suatu kondisi / keadaan dimana kesadaran dan penglihatan
/ daya memahami yang normal terhadap keadaan alamiah ditahan / disembunyikan,
dan jiwa orang itu hanya terbuka / bisa menerima penglihatan yang diberikan
oleh Allah).
Jadi
trance / EKSTASIS hanya merupakan
suatu keadaan dimana Allah menutup kesadaran seseorang terhadap hal-hal lain, supaya
orang itu bisa berkonsentrasi secara khusus hanya terhadap diri Allah dan apa
yang akan Allah berikan kepadanya (firman, penglihatan, dsb).
Ini
tentu tidak sama dengan apa yang terjadi dalam Toronto Blessing, dimana orang mengalami trance tanpa ada tujuan apa-apa dari Allah, dan bahkan menyebabkan
mereka itu justru mengabaikan khotbah / firman Tuhan secara total!
·
Ay 11-13 - ia menerima penglihatan. Ini jelas
adalah mujijat.
·
Ay 14: Petrus menolak.
*
Sikap ini ada bagusnya! Mengapa? Karena Petrus
tahu ada Firman Tuhan (Im 11 & Ul 14:3-20) yang bertentangan dengan apa
yang diperintahkan dalam penglihatan itu. Bandingkan sikap Petrus ini dengan
sikap orang-orang yang menerima ‘seadanya wahyu / ajaran’ tanpa mempedulikan
apakah ‘wahyu’ itu bertentangan dengan Kitab Suci / Firman Tuhan atau tidak!
bdk. Gal 1:6-9 2Kor 11:14.
Tetapi Petrus tidak mengerti bahwa Im 11
& Ul 14:3-20 adalah ceremonial
law (= hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan) yang sudah
dihapuskan setelah kematian / kebangkitan Kristus (bdk. Ef 2:15a - “sebab dengan
matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala
perintah dan ketentuannya”).
Catatan: Mat 5:17-19
menunjukkan bahwa hukum Taurat berlaku selama-lamanya, tetapi ini berlaku untuk
moral law (= hukum moral), seperti
jangan berzinah, jangan membunuh dsb. Sedangkan ceremonial law dihapus berdasarkan Ef 2:15a di atas.
Karena itu, hati-hatilah dengan ajaran yang
tetap memberlakukan ceremonial law!
Misalnya banyak hamba Tuhan / orang kristen saat ini yang percaya pada ajaran
tentang ‘lembu merah’ yang katanya akan dipakai untuk menyucikan Israel
/ bangsa Yahudi. Sekalipun ajaran tentang ‘lembu merah’ itu mempunyai dasar
Kitab Suci, yaitu dalam Bil 19, tetapi itu termasuk dalam ceremonial law yang jelas sudah tidak
berlaku lagi setelah Yesus mati / bangkit.
Di
atas telah saya berikan dasar penghapusan ceremonial
law, yaitu Ef 2:15. Kalau ini masih kurang, bacalah Ibr 10:1-18,
yang membandingkan korban binatang dalam Perjanjian Lama, dan korban Kristus
dalam Perjanjian Baru. Lalu perhatikan secara khusus:
Þ
Ibr 10:9b yang berbunyi: “Yang pertama
Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua”.
‘Yang pertama’ jelas menunjuk pada korban
binatang dalam Perjanjian Lama, sedangkan ‘yang kedua’ jelas menunjuk pada
korban Kristus.
Þ
Ibr 10:18 yang berbunyi: “Jadi apabila
untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban
karena dosa”.
Kalau saudara masih juga belum puas, bacalah
Ibr 8-9, dan perhatikan khususnya:
Þ
Ibr 8:7 - “Sebab, sekiranya perjanjian yang pertama
itu tidak bercacat, tidak akan dicari lagi tempat untuk yang kedua”.
Þ
Ibr 8:13 - “Oleh karena Ia berkata-kata tentang
perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang
telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada
kemusnahannya”.
Þ
Ibr 9:9-10 - “Itu adalah kiasan masa sekarang. Sesuai
dengan itu dipersembahkan korban dan persembahan yang tidak dapat
menyempurnakan mereka yang mempersembahkannya menurut hati nurani mereka,
karena semuanya itu, di samping makanan dan minuman dan pelbagai macam persembahan,
hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang hanya berlaku sampai
tibanya waktu pembaharuan”.
Semua ini jelas menunjukkan bahwa ceremonial law, termasuk korban dan
penyucian Perjanjian Lama sudah tidak berlaku lagi pada jaman Perjanjian Baru
sekarang ini.
Karena itu, kalau pada jaman sekarang (jaman
Perjanjian Baru) orang melakukan kembali ceremonial
law seperti itu, maka itu merupakan penghinaan terhadap pengorbanan
Kristus. Kalau hal ini dilakukan oleh bangsa Yahudi yang non kristen, maka
sekalipun ini tetap salah, tetapi ini tidak mengherankan, karena mereka memang
hidup dalam jaman Perjanjian Lama dan tidak mengakui Perjanjian Baru. Tetapi
kalau ada orang kristen, lebih-lebih pendeta kristen, yang menyetujui hal itu,
ini betul-betul kegilaan dan kesesatan! Tidak ada orang / bangsa manapun dalam
jaman Perjanjian Baru ini yang bisa disucikan dengan apapun (termasuk dengan
‘lembu merah’) selain dengan darah Kristus. Dengan kata lain, supaya seseorang
atau suatu bangsa (termasuk bangsa Israel / Yahudi) bisa disucikan, maka ia /
mereka harus percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan!
Mungkin ada orang yang menggunakan
Bil 19:10, yang menunjukkan bahwa itu adalah ‘ketetapan kekal’,
untuk menentang apa yang saya ajarkan di sini. Maka saya ingin mengingatkan
bahwa dalam Kel 17:11,13 sunat juga disebut sebagai ‘perjanjian kekal’!
Apakah saudara mau mengatakan bahwa jaman sekarang kita juga harus disunat?
Bdk. Gal 5:2-6 Gal 6:12-15. Calvin
menganggap bahwa yang kekal bukan pelaksanaan sunat itu, tetapi artinya. Juga
sunat merupakan TYPE / gambaran / bayangan dari baptisan, dan karenanya waktu
baptisan tiba maka sunat harus disingkirkan. Demikian juga dengan perayaan
Paskah Perjanjian Lama (Passover),
yang dalam Kel 12:14 disebutkan sebagai ‘ketetapan untuk selamanya’. Ini
merupakan TYPE / gambaran / bayangan dari Kristus (1Kor 5:7 - “Sebab anak
domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus”),
dan karena itu pada waktu Kristusnya datang, mati dan bangkit, maka hal ini
harus disingkirkan.
Jadi, sekalipun sunat dan Paskah disebut
perjanjian / ketetapan ‘kekal’, itu tidak berarti pelaksanaan sunat dan Paskah
itu kekal. Maka demikian juga dengan persoalan lembu merah!
*
Bagaimanapun, karena pada saat itu Petrus tahu
bahwa penglihatan itu datang dari Tuhan (perhatikan sebutan ‘Tuhan’ dalam
ay 14, yang menunjukkan bahwa ia tahu penglihatan itu datang dari Tuhan),
maka seharusnya ia taat (bandingkan dengan ketaatan Abraham dalam
mempersembahkan Ishak, padahal Abraham disuruh membunuh Ishak! - Kej 22).
·
Ay 15: jawaban Tuhan atas penolakan Petrus.
·
Ay 16: hal ini terulang sampai 3 x untuk
meyakinkan Petrus.
Awas!
Ini tidak berarti kalau ada penglihatan / mimpi yang terjadi sampai 3 x
itu pasti datang dari Tuhan!
Apa
sebetulnya arti dari penglihatan itu? Ay 9-16 memang bisa dijadikan dasar
untuk berkata bahwa Im 11 & Ul 14:3-20 dibatalkan, dan dengan
demikian orang kristen boleh makan daging binatang apapun (bandingkan ini
dengan kepercayaan Advent yang tetap memegang teguh larangan dalam Im 11
& Ul 14:3-20 itu). Tetapi arti yang terutama dari penglihatan itu
adalah: jangan menganggap orang non Yahudi sebagai orang najis, orang yang
tidak bisa diselamatkan, orang yang tidak perlu diinjili, dsb.
Petrus
masih tidak mengerti arti penglihatan itu. Tetapi bagusnya: ia ingin mengerti
(ay 17,19).
Penerapan:
Kalau
saudara berhadapan dengan Firman Tuhan yang sukar, apakah saudara ingin /
berusaha mengerti?
b) Melalui
utusan Kornelius, suara Roh Kudus dan cerita Kornelius.
·
Ay 17b-18: utusan Kornelius tiba.
·
Ay 20: Roh Kudus menyuruh Petrus pergi
dengan mereka.
·
Ay 22: dikatakan kepada Petrus bahwa
Kornelius adalah ‘seorang perwira’, dan ini menunjukkan bahwa ia bukan orang
Yahudi. Ini menyebabkan Petrus mulai mengerti arti dari penglihatan tadi, sehingga
ia mau pergi dengan mereka dan ia mengucapkan ay 28b-29.
·
Petrus mendengar cerita Kornelius
(ay 30-33) sehingga ia makin yakin akan pengertiannya (ay 34-35).
Kalau
kita melihat dan mengerti kontexnya, maka tentu kita tidak akan menafsirkan
bahwa kata-kata Petrus dalam ay 34-35 itu bertentangan dengan doktrin
Predestinasi, seperti yang dikatakan oleh Pdt.
dr. Yusuf B. S.! Kalau ay 34 ini mengatakan bahwa Allah ‘tidak membedakan
orang’, maka ini tidak berarti bahwa ‘Allah tidak melakukan predestinasi /
pemilihan’, tetapi bahwa ‘Allah tidak membedakan Yahudi dan non Yahudi’.
3) Petrus memberitakan Injil kepada
orang-orang non Yahudi itu (ay 36-43).
Penekanan
penginjilannya adalah:
·
ay 36: damai oleh Yesus.
·
ay 36: Yesus adalah Tuhan semua orang.
·
ay 38: Yesus memang hamba Allah yang
pelayananNya disertai dan diberkati Allah.
·
ay 39: kematian Yesus.
·
ay 40: kebangkitan Yesus.
·
ay 42: Yesus adalah Hakim.
·
ay 43: pengampunan dosa hanya karena iman
kepada Yesus.
Perhatikan
betapa ‘penuh dengan Yesusnya’ khotbah Paulus. Memang khotbah yang injili harus
penuh dengan Yesus, karena tujuannya adalah membawa orang kepada Yesus.
4) Petrus menyuruh mereka untuk
dibaptis (ay 48).
a) Mula-mula
dikatakan bahwa Roh Kudus turun ke atas mereka (ay 44).
Mengapa
mereka menerima Roh Kudus? Jelas karena pemberitaan Injil yang dilakukan oleh
Petrus, mereka menjadi percaya kepada Yesus (bdk. Kis 2:38 Gal 3:2).
b) Lalu mereka
menerima karunia bahasa roh (ay 45-46).
Bahasa
roh yang asli memang merupakan karunia dari Tuhan. Orang yang tidak
beriman tidak mungkin bisa menerimanya. Kalau mereka telah menerima karunia
bahasa roh yang asli maka itu memang membuktikan bahwa mereka sudah
beriman. Tetapi awas, ini tidak boleh dibalik. Jadi jangan mengatakan bahwa
orang yang beriman kepada Yesus pasti menerima karunia bahasa roh. Bandingkan
dengan Paulus sendiri yang pada waktu menerima Roh Kudus tidak berbahasa roh
(Kis 9:17-19).
c) Petrus
menyuruh mereka dibaptis (ay 47-48).
Adalah
sesuatu yang menarik bahwa Petrus sendiri tidak membaptis mereka. Ia menyuruh
orang lain untuk membaptis (pasti salah satu dari ke 6 orang yang menyertai dia
- bdk. ay 23 Kis 11:12).
Penutup:
Dengan demikian
Kornelius, yang adalah orang non Yahudi, menerima Injil, diselamatkan dan masuk
ke dalam gereja. Tidak ada orang yang tidak berhak mendengar Injil. Karena itu,
maukah saudara memberitakan Injil kepada semua orang? Jangan ada golongan /
bangsa yang saudara anak emaskan atau anak tirikan dalam pemberitaan Injil!
Beritakanlah Injil kepada semua orang!
email us at : gkri_exodus@lycos.com