Eksposisi Surat Yakobus
oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.
YAKOBUS
4:11-12
I)
Apakah fitnah itu?
1) ‘Fitnah’
dalam bahasa sehari-hari:
a) Memfitnah berarti menceritakan
sesuatu yang jelek (tetapi yang tidak benar) tentang orang lain, dengan tujuan
menjatuhkan orang itu. Ini adalah sesuatu yang sering sekali terjadi, seperti:
·
istri
Potifar memfitnah Yusuf (Kej 39:6-20).
·
Ziba
memfitnah Mefiboset (2Sam 16:1-4
2Sam 19:24-27).
·
tokoh-tokoh
Yahudi memfitnah Yesus (Mat 26:59-61).
·
orang-orang
Yahudi memfitnah Stefanus (Kis 6:13-14).
b) Memfitnah juga bisa terjadi pada
saat saudara menceritakan half truth
(= setengah kebenaran).
Memang tidak setiap kali kita menceritakan
sesuatu, kita harus menceritakan seluruh kebenaran. Tetapi seringkali, kalau
kebenaran tidak diceritakan seluruhnya tetapi hanya sebagian saja, itu bisa
merugikan / menjatuhkan nama orang lain. Dalam hal ini, sekalipun hal yang kita
ceritakan itu bukan dusta, tetapi kita tetap memfitnah orang yang kita
ceritakan itu.
Misalnya kalau saudara bertemu dengan
saya pada waktu saya pergi ke bioskop dengan istri saya dan seorang wanita
lain, dan saudara lalu menceritakan kepada orang-orang lain bahwa saya pergi
dengan seorang wanita lain (tanpa menceritakan tentang ikut sertanya istri
saya), maka itu jelas adalah half truth
yang bersifat memfitnah!
Karena itu kalau saudara ingin
menceritakan sesuatu maka pikirkanlah lebih dulu, apakah dengan membuang
bagian-bagian tertentu saudara tidak sedang menjelekkan nama orang lain.
c) Memfitnah juga bisa terjadi kalau
saudara menceritakan seluruh kebenaran, tetapi dengan nada dan mimik wajah yang
berbeda dengan keadaan aslinya. Misalnya: kalau si A berkata kepada saudara:
‘si B itu gendeng’. Ia mengatakan hal itu dengan wajah tersenyum, dan tidak
betul-betul bermaksud memaki si B. Tetapi saudara lalu menyampaikan hal itu kepada
si B dengan berkata: ‘Si A berkata: kamu itu gendeng!!’, dengan nada membentak
dan wajah yang marah, maka sebetulnya saudara sedang memfitnah si A!
Karena itu setiap kali saudara menceritakan
tentang apa yang dikatakan oleh orang lain, perhatikanlah apakah nada dan mimik
wajah saudara sesuai dengan aslinya!
2) ‘Fitnah’
dalam bahasa Yunaninya:
Dalam ay 11, kata Yunani yang
diterjemahkan ‘memfitnah’ adalah KATALALEITE yang sebetulnya berarti ‘berbicara
menjatuhkan orang lain’, atau ‘berbicara menentang orang lain’.
Lambat laun ada arti tambahan dalam
kata Yunani ini, sehingga artinya menjadi ‘berbicara tentang orang lain di
belakang mereka dengan cara menghina / merendahkan’ [Catatan: kata Yunani
KATALALEITE digunakan dalam Maz 50:20 dan Maz 101:5 versi Septuaginta /
LXX (= Perjanjian Lama yang diterjemahkan ke bahasa Yunani)].
3) ‘Fitnah’
dalam Yak 4:11-12:
Kelihatannya ‘memfitnah’ di sini
mempunyai arti yang khusus / berbeda. Ini terlihat dari:
a) Ay 11a: ‘memfitnah saudaranya atau
menghakiminya’.
Jadi, memfitnah diartikan menghakimi.
b) Ay 11b: tindakan itu dianggap sebagai
‘mencela hukum dan menghakiminya’. Kalau memang yang dimaksud adalah memfitnah
biasa, bagaimana mungkin tindakan itu dianggap sebagai mencela hukum dan
menghakiminya?
Yang dimaksud dengan memfitnah di sini
adalah: mencela orang (baik di depan maupun di belakang orang itu) karena ia
tidak hidup sesuai dengan prinsip hidup kita / pandangan kita, padahal Kitab
Suci tidak melarang tindakan orang itu.
Kalau kita mencela seseorang karena ia
hidup tidak sesuai dengan Kitab Suci, maka itu tentu tidak apa-apa. Tetapi
kalau kita mencela orang karena ia tidak hidup sesuai pandangan / prinsip kita
yang tidak ada dalam Kitab Suci, maka itu adalah memfitnah yang dimaksudkan
oleh Yakobus di sini.
Contoh:
·
orang
Farisi mengecam murid-murid Yesus karena mereka makan dengan tangan yang tidak
dibasuh (Mat 15:1-2).
·
orang
Farisi mengecam murid-murid Yesus karena mereka memetik gandum dan memakannya,
pada hari Sabat (Mat 12:1-2).
·
gereja /
pendeta tertentu yang mengecam orang yang menonton bioskop / TV, memakai blue jean, kaos bergambar naga, berenang
dsb.
·
orang
yang mengecam hamba Tuhan yang tertawa terbahak-bahak, atau yang makan di
warung, dsb.
·
orang
yang mengecam laki-laki yang mau menikah dengan perempuan yang lebih tua /
lebih tinggi.
·
orang
yang mengecam perempuan yang mau menikah dengan laki-laki yang miskin.
Perhatikan bahwa kecaman-kecaman di
atas ini semuanya tidak punya dasar Kitab Suci. Dasarnya hanyalah tradisi atau
selera dari si pengecam belaka!
II)
Mengapa tidak boleh memfitnah?
1) Tindakan itu adalah tindakan yang
mencela hukum dan menghakiminya dan itu tidak menjadikan kita sebagai penurut
hukum (ay 11).
Kalau pandangan kita tidak ada dalam
Kitab Suci, atau tidak sesuai dengan Kitab Suci, tetapi toh kita pakai sebagai
standard dalam mengecam orang lain, maka secara implicit itu berarti bahwa kita beranggapan bahwa ‘Firman Allah /
hukum itu salah; anggapan saya yang benar’. Karena itu maka tindakan ini
disebut sebagai tindakan yang mencela hukum dan menghakiminya.
2) Hanya
ada 1 Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Allah sendiri (ay 12).
Kalau pandangan kita tidak ada dalam
Kitab Suci, tetapi tetap kita pakai sebagai dasar / standard untuk mengecam
orang lain, maka itu sama saja dengan kalau kita membuat hukum baru.
Dan pada saat kita menggunakan
pandangan kita untuk mengecam orang lain, maka kita menjadikan diri kita hakim.
Padahal Allah adalah satu-satunya
Pembuat hukum dan Hakim. Kita tidak berhak membuat hukum maupun menjadi hakim!
III)
Bagaimana supaya tidak memfitnah.
1) Kita
harus menjunjung tinggi otoritas Firman Allah dalam hidup kita.
Ay 11 menunjukkan bahwa kita
seharusnya menjadi ‘penurut hukum’. Ini berarti kita tunduk pada hukum / Firman
Allah, dan menjunjung tinggi otoritasnya dalam hidup kita!
Kalau saudara adalah orang yang
menjunjung tinggi otoritas Firman Allah dalam hidup saudara, maka saudara tidak
akan memfitnah lagi, karena:
a) Orang yang menjunjung tinggi
otoritas Firman Allah, tidak akan menilai orang lain berdasarkan pandangannya
sendiri, tetapi akan menilainya berdasarkan Firman Allah.
b) Orang yang menjunjung tinggi otoritas
Firman Allah akan membandingkan pandangan / prinsip hidupnya dengan Firman
Allah, dan mengubahnya / menyesuaikannya dengan Firman Allah.
2) Kita harus mengakui otoritas Allah
sebagai Pembuat hukum dan Hakim (ay 12).
Dengan demikian kita tidak akan mencipta
hukum sendiri ataupun menghakimi orang lain menurut pandangan kita sendiri.
3) Sadarilah
siapa diri saudara (ay 12).
Kita adalah:
a) Orang yang tidak mempunyai hak
untuk membuat hukum dan meng-hakimi.
b) Orang yang berdosa, sehingga kita
juga adalah terdakwa, bukan hakim.
John Wesley berkata:
“I am a poor, weak, dying worm” (= aku adalah
cacing yang miskin, lemah dan mau mati).
Kalau saudara mempunyai pandangan yang
benar dan rendah hati tentang diri saudara sendiri, maka saudara tidak akan
memfitnah!
4) Kasihilah
sesama saudara.
Dalam ay 11 sekalipun Yakobus
menegur, tetapi ia tetap menyebut mereka dengan istilah ‘saudara’ yang jelas
menunjukkan kasih.
Kalau kita ada kasih, maka kita tidak
akan memfitnah / menghakimi!
Lakukanlah ke 4 hal di atas, maka
saudara tidak akan memfitnah lagi!
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com