Orang Yahudi & Kepercayaannya
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Dalam Perjanjian Lama, Allah memilih bangsa Israel dan
memberikan tanah Kanaan kepada mereka. Ada beberapa hal yang perlu diketahui
tentang pemilihan ini:
1) Allah
memilih mereka bukan karena mereka adalah bangsa yang besar, atau karena mereka
itu baik / saleh. Pemilihan Allah sepenuhnya tergantung kehendak Allah sendiri.
Ul 9:6 - “Jadi ketahuilah, bahwa
bukan karena jasa-jasamu TUHAN, Allahmu, memberikan kepadamu negeri yang baik
itu untuk diduduki. Sesungguhnya engkau bangsa yang tegar tengkuk!’”.
Ul 7:7 - “Bukan karena lebih banyak
jumlahmu dari bangsa manapun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih
kamu - bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa?”.
2) Sebagai
bangsa pilihan, kepada mereka diberikan Firman Tuhan / hukum Taurat /
Perjanjian Lama.
Ro 3:1-2 - “(1) Jika
demikian, apakah kelebihan orang Yahudi dan apakah gunanya sunat? (2) Banyak
sekali, dan di dalam segala hal. Pertama-tama: sebab kepada merekalah
dipercayakan firman Allah”.
3) Pemilihan
terhadap Israel ini bertujuan untuk melahirkan Mesias / Yesus ke dalam dunia
ini supaya bisa menebus dosa manusia, dan pemilihan ini belum tentu
menyelamatkan mereka.
Tetapi ternyata pemilihan ini menyebabkan mereka menjadi
sombong, dan dalam persoalan keselamatan ada beberapa hal yang mereka andalkan
/ banggakan:
a) Faktor
keturunan Abraham.
Karena itu Yohanes Pembaptis berkata kepada orang-orang
Farisi dan orang-orang Saduki: “(7) Tetapi waktu ia
melihat banyak orang Farisi dan orang Saduki datang untuk dibaptis, berkatalah
ia kepada mereka: ‘Hai kamu keturunan ular beludak. Siapakah yang mengatakan
kepada kamu, bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka yang akan datang? (8)
Jadi hasilkanlah buah yang sesuai dengan pertobatan. (9) Dan janganlah
mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami!
Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari
batu-batu ini! (10) Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon
yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam
api” (Mat 3:7-10).
Juga Tuhan Yesus sendiri berkata: “(11) Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur
dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam
Kerajaan Sorga, (12) sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam
kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi.’” (Mat 8:11-12).
b) Faktor
kebangsaan, sebagai bangsa Israel / Yahudi, bangsa yang dipilih oleh Tuhan,
dengan sunat sebagai tanda.
Pada waktu Paulus masih ada dalam agama Yahudi, ia
mempunyai kebanggaan tentang hal-hal ini. Ini terlihat dari:
Fil 3:4-6 - “(4) Sekalipun aku juga ada
alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain
menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: (5) disunat
pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang
Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, (6)
tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum
Taurat aku tidak bercacat”.
Gal 2:15 - “Menurut kelahiran kami
adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain”.
Ada seorang penafsir yang mengatakan bahwa setiap pagi
seorang Yahudi laki-laki bersyukur kepada Allah bahwa:
·
Ia dilahirkan sebagai
laki-laki dan bukan perempuan.
·
Ia adalah orang merdeka dan
bukannya budak.
·
Ia adalah orang Yahudi dan
bukannya Gentiles (non-Yahudi).
Penafsir yang sama bahkan mengatakan bahwa orang-orang
Yahudi berpendapat bahwa Allah menciptakan orang-orang non Yahudi dengan tujuan
menjadikannya sebagai bahan bakar di neraka!
Tetapi Firman Tuhan menentang kebanggaan Yahudi ini, dan
ini terlihat dari:
¨
Ro 9:6b - “Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang
Israel”.
¨
Ro 2:28-29 - “(28) Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah
Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara
lahiriah. (29) Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak
keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara
hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah”.
¨
Ro 10:9-12 - “(9) Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah
Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari
antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan. (10) Karena dengan hati orang
percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan. (11)
Karena Kitab Suci berkata: ‘Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan
dipermalukan.’ (12) Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang
Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya
bagi semua orang yang berseru kepadaNya”.
Jadi, seperti sudah ditekankan di atas tadi, saya tekankan lagi
di sini, bahwa setelah kematian dan kebangkitan Kristus, maka tidak ada lagi
perbedaan antara Yahudi dan non Yahudi. Semua hanya bisa selamat melalui iman
kepada Yesus Kristus.
c) Ketaatan
/ perbuatan baik, khususnya sunat dan ketaatan terhadap adat istiadat Musa.
Ada banyak ayat Kitab Suci yang menunjukkan bahwa agama
Yahudi memang mengajarkan keselamatan karena perbuatan baik / sunat, seperti:
·
Ro 9:30-10:3 - “(9:30) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini:
bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah beroleh
kebenaran, yaitu kebenaran karena iman. (9:31) Tetapi: bahwa Israel,
sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan kebenaran, tidaklah sampai
kepada hukum itu. (9:32) Mengapa tidak? Karena Israel mengejarnya bukan
karena iman, tetapi karena perbuatan. Mereka tersandung pada batu
sandungan, (9:33) seperti ada tertulis: ‘Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion
sebuah batu sentuhan dan sebuah batu sandungan, dan siapa yang percaya
kepadaNya, tidak akan dipermalukan.’ (10:1) Saudara-saudara, keinginan hatiku
dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (10:2) Sebab aku
dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk
Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (10:3) Sebab, oleh karena mereka
tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk
mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada
kebenaran Allah”.
·
Fil 3:4-9 yang menceritakan
kesaksian Paulus pada waktu ia masih berada dalam agama Yahudi, berbunyi
sebagai berikut: “(4) Sekalipun aku juga ada
alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain
menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: (5) disunat
pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani
asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, (6) tentang
kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat
aku tidak bercacat. (7) Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku,
sekarang kuanggap rugi karena Kristus. (8) Malahan segala sesuatu kuanggap
rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada
semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan
menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, (9) dan berada dalam
Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan
dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah
anugerahkan berdasarkan kepercayaan”.
·
Kis 15:1-2 - “(1) Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan
mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: ‘Jikalau kamu tidak disunat
menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat
diselamatkan.’ (2) Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan
membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas
serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan
penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu”.
Tetapi Kitab Suci mengajarkan keselamatan hanya karena
iman. Ini berlaku dalam Perjanjian Lama (setelah kejatuhan Adam) maupun dalam
Perjanjian Baru.
¨
Perjanjian Lama.
Kej 15:6 - “Lalu percayalah
Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai
kebenaran”.
Hab 2:4 - “Sesungguhnya, orang yang
membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan
hidup oleh percayanya”.
¨
Perjanjian Baru.
Ef 2:8-9 - “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu
bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu:
jangan ada orang yang memegahkan diri”.
Gal 2:16 - “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena
melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus
Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh
karena melakukan hukum Taurat. Sebab: ‘tidak ada seorangpun yang dibenarkan’
oleh karena melakukan hukum Taurat”.
Ro 3:24,27-28 - “dan oleh kasih karunia Allah telah dibenarkan
dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. ... Jika
demikian, apa dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan perbuatan? Tidak,
melainkan berdasarkan iman! Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena
iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”.
Ro 9:30-32 - “Jika
demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini: bahwa bangsa-bangsa lain yang
tidak mengejar kebenaran, telah memperoleh kebenaran, yaitu kebenaran karena
iman. Tetapi: bahwa Israel, sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan
kebenaran, tidaklah sampai kepada hukum itu. Mengapa tidak? Karena Israel
mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan”.
Fil 3:7-9 - “Tetapi
apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena
Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus
Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah
melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh
Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranKu sendiri karena mentaati
hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus,
yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan”.
Text Kitab Suci lain yang
bisa dibaca: Gal 3:6-11 Kis
15:1-21.
Ada 2 hal penting yang ingin saya tambahkan dalam
persoalan ini:
1. Manusia
tidak bisa diselamatkan karena perbuatan baik. Mengapa?
a. Karena
manusia tidak bisa baik.
Kita sering memutuskan untuk berubah menjadi baik, tetapi
gagal. Misalnya saya dulu malas, dan sering berjanji untuk menjadi rajin,
tetapi terus malas.
Disamping itu, kalaupun dalam hal tertentu kita bisa
berubah menjadi baik, tetapi:
·
kebaikan itu cuma kebaikan
lahiriah, hati / pikiran kita tetap kotor / berdosa. Misalnya: tidak berzinah
tetapi melakukan pikiran cabul. Pergi berbakti / berdoa tetapi pikirannya
ngelantur.
·
kebaikan itu ada pamrihnya.
Misalnya: menolong orang miskin supaya dirinya masuk surga. Ini adalah kebaikan
yang bersifat egois, dan pada dasarnya bukanlah suatu kebaikan.
·
kita tidak baik dalam
banyak hal yang lain. Misalnya: bisa jujur, tetapi sering sombong; atau bisa
sabar tetapi sering munafik / berdusta, dan sebagainya.
Bdk. Yes 64:6 yang menyatakan bahwa ‘segala kesalehan kita
seperti kain kotor’.
b. Kalaupun
manusia bisa baik, bagaimana dengan dosa-dosanya pada masa yang lalu? Perbuatan
baik tidak bisa menghapuskan dosa (Gal 2:16,21).
Gal 2:16a - “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena
melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus”.
Gal 2:21b - “... sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah
kematian Kristus”.
Illustrasi:
Seseorang ditangkap polisi karena melanggar peraturan lalu lintas dan 1 minggu
setelahnya harus menghadap ke pengadilan. Dalam waktu satu minggu itu ia lalu
banyak berbuat baik untuk menebus dosanya. Ia menolong tetangga, memberi uang
kepada pengemis, dsb. Pada waktu persidangan, ia membawa semua orang kepada
siapa ia sudah melakukan kebaikan itu sebagai saksi. Pada waktu hakim bertanya:
‘Benarkah saudara melanggar peraturan lalu lintas?’, ia lalu menjawab: ‘Benar
pak hakim, tetapi saya sudah banyak berbuat baik untuk menebus dosa saya. Ini
saksi-saksinya’. Sekarang pikirkan sendiri, kalau hakim itu waras, apakah hakim
itu akan membebaskan orang itu? Jawabnya jelas adalah ‘tidak’! Jadi terlihat
bahwa dalam hukum duniapun kebaikan tidak bisa menutup / menebus / menghapus
dosa! Demikian juga dengan dalam hukum Tuhan / Kitab Suci!
Juga kita perlu ingat bahwa Allah tidak bisa bermurah
hati / mengampuni seseorang begitu saja.
Pikirkan hal ini: kalau saudara salah jalan, lalu seorang
polisi menghentikan saudara. Saudara lalu minta maaf, dan polisi itu lalu
melepaskan saudara begitu saja. Apakah polisi itu baik? Kalau saudara berkata
‘ya’, maka saya bertanya lagi: bagaimana kalau ada pencopet tertangkap oleh
polisi itu, dan lalu dilepaskan begitu saja karena ia minta maaf? Bagaimana
kalau perampok, pembunuh, pemerkosa, dsb, semua dilepaskan begitu saja? Jelas
bahwa polisi yang melepaskan begitu saja para pelanggar hukum itu, bukanlah
polisi yang baik!
Demikian juga kalau Allah mengampuni begitu saja orang-orang
berdosa, Ia juga bukan Allah yang baik, dan jelas bahwa Ia adalah Allah yang
tidak adil. Allah yang adil harus menjatuhkan hukuman pada saat melihat dosa.
Hukuman bisa ditunda, tetapi harus tetap dijatuhkan.
Allah hanya bisa bermurah hati / mengampuni dosa seseorang,
karena Kristus telah memikul hukuman orang itu.
Maz 103:10 - “Tidak dilakukanNya kepada
kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalasNya kepada kita setimpal
dengan kesalahan kita”.
Kalau ayat ini dipisahkan dari penebusan Kristus, maka
ayat ini menunjukkan bahwa Allah itu tidak adil. Kalau Allah itu adil, Ia harus
menghukum setimpal dengan dosa / kesalahan orang itu.
Tetapi dengan adanya penebusan Kristus, maka Allah bisa
melakukan hal itu terhadap orang-orang yang percaya kepada Kristus, dan Ia
tetap adil. Karena apa? Karena hukuman tetap dijatuhkan, tetapi dipikul oleh Kristus,
yang tidak lain adalah Allah sendiri. Kalau Ia memberikan hukuman itu kepada
orang / makhluk lain, misalnya kepada malaikat, maka Ia tidak adil. Tetapi
kalau Ia sendiri yang memikul hukuman itu, tidak ada orang yang berhak
menyalahkan Dia.
Kesimpulan: penebusan Kristus mutlak harus ada dan diterima oleh
seseorang kalau ia ingin diselamatkan / masuk surga.
2. Iman
yang sejati pasti menyebabkan perubahan hidup ke arah yang positif.
Pertanyaan yang sering ditujukan kepada orang kristen
yang mempercayai keselamatan hanya oleh iman, adalah: bagaimana kalau seseorang
percaya kepada Kristus, lalu ia sengaja terus hidup dalam dosa?
Jawabannya mudah sekali: itu tidak mungkin bisa terjadi.
Mengapa? Karena iman yang sejati / sungguh-sungguh pasti diikuti oleh
pertobatan dari dosa / perubahan hidup (Yak 2:17,26). Mengapa demikian?
Karena orang yang betul-betul percaya kepada Yesus, pasti menerima Roh Kudus
(Ef 1:13-14), yang merupakan Pribadi ketiga dari Allah Tritunggal, dan Roh
Kudus itu akan menguduskan / menyucikan hidup orang itu (Gal 5:22-23),
kalau perlu dengan menghajarnya (Ibr 12:5-11).
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dirinya adalah
orang percaya, tetapi hidupnya tidak berubah, maka itu menunjukkan bahwa ia
tidak mempunyai Roh Kudus. Dan kalau ia tidak mempunyai Roh Kudus, itu berarti
ia belum percaya.
Sekalipun iman yang sejati pasti diikuti oleh adanya ketaatan /
perbuatan baik / pengudusan, tetapi yang menyebabkan kita diselamatkan adalah
imannya, dan sama sekali bukan perbuatan baiknya.
Illustrasi:
sakit ® obat ® sembuh ®
olah raga / bekerja
dosa ® iman ® selamat ®
taat / berbuat baik
Apa yang menyebabkan sembuh? Tentu saja obat, bukan olah
raga / bekerja. Olah raga / bekerja hanya merupakan bukti bahwa orang itu sudah
sembuh. Karena itu kalau seseorang berkata bahwa ia sudah minum obat dan sudah
sembuh, tetapi ia tetap tidak bisa berolah raga / bekerja, maka pasti ada yang
salah dengan obatnya.
Demikian juga dengan orang berdosa. Ia selamat karena
iman, bukan karena perbuatan baik. Tetapi kalau seseorang berkata bahwa ia
sudah beriman dan sudah selamat, tetapi dalam hidupnya sama sekali tidak ada
perbuatan baik / ketaatan, maka pasti ada yang salah dengan imannya.
Untuk memperjelas perbedaan antara keselamatan oleh
perbuatan baik dan keselamatan oleh iman saja, di sini saya akan menceritakan
sebagian kehidupan dari Martin Luther (tokoh Reformasi), khususnya bagaimana ia
menemukan keselamatan oleh iman saja.
¨
Pada waktu Martin Luther
menjadi seorang biarawan dalam Gereja Roma Katolik, ia berusaha mati-matian
untuk hidup sesuai dengan ajaran gereja Katolik pada waktu itu, yang memang
menekankan keselamatan karena perbuatan baik. Ia berusaha untuk mendapatkan
keselamatan melalui usahanya sendiri dengan membuang dosa, berbuat baik, dsb.
Tetapi ia tidak pernah merasakan damai, sukacita atau ketenangan. Ia
terus-menerus dihantui oleh perasaan berdosa yang luar biasa hebatnya, dan
pemikiran tentang Allah yang suci, adil, bahkan bengis sangat menakutkan
baginya.
¨
Philip Schaff: “If there was ever a sincere, earnest, conscientious monk, it
was Martin Luther. His sole motive was concern for his salvation. To this
supreme object he sacrificed the fairest prospects of life. He was dead to the
world and was willing to be buried out of the sight of men that he might win
eternal life. His latter opponents who knew him in convent, have no charge to
bring against his moral character except in certain pride and combativeness,
and he himself complained of his temptations to anger and envy” (= Jika pernah ada seorang
biarawan yang tulus dan sungguh-sungguh, maka itu adalah Martin Luther.
Motivasi satu-satunya adalah perhatian untuk keselamatannya. Untuk tujuan
tertinggi ini ia mengorbankan harapan terbaik hidupnya. Ia mati terhadap dunia,
dan rela dikubur terhadap pandangan manusia supaya ia bisa mendapatkan hidup
yang kekal. Penentang-penentangnya, yang mengenalnya di biara, tidak mempunyai
tuduhan terhadap karakter moralnya kecuali dalam hal kesombongan tertentu dan
kesukaannya melawan, dan ia sendiri mengeluh tentang pencobaan-pencobaan yang
ia alami terhadap kemarahan dan iri hati)
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113-114.
¨
Philip Schaff: “He assumed the most menial offices to subdue his pride: he
swept the floor, begged bread through the streets, and submitted without murmur
to the ascetic severities” (= Ia menerima jabatan-jabatan yang paling rendah untuk
menundukkan kesombongannya: ia mengepel lantai, mengemis roti di jalan-jalan,
dan tunduk tanpa menggerutu pada kekerasan / kesederhanaan hidup pertapa) - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal
115.
¨
Philip Schaff: “He said twenty-five Paternosters with the Ave Maria in each of
the seven appointed hours of prayer. He was devoted to the Holy Virgin ... He
regularly confessed his sins to the priests at least once a week. At the same
time a complete copy of the Latin Bible was put into his hands for study, ...
At the end of the year of probation Luther solemnly promised to live until
death in poverty and chastity according to the rules of the holy father
Augustin, to render obedience to Almighty God, to the Virgin Mary, and to the
prior of the monastery. ... His chief concern was to become a saint and to earn
a place in heaven. ‘If ever,’ he said afterward, ‘a monk got to heaven by
monkery, I would have gotten there’. He observed with minutest details of
discipline. No one surpassed him in prayer, fasting, night watches,
self-mortification” [= Ia mengucapkan 25 x doa Bapa Kami dengan Salam Maria dalam
setiap dari 7 jam doa yang ditetapkan. Ia berbakti kepada Perawan yang Kudus
... Ia mengaku dosa secara rutin kepada imam / pastor sedikitnya sekali
seminggu. Pada saat yang sama suatu copy Alkitab Latin yang lengkap ada di
tangannya untuk dipelajari, ... Pada akhir dari tahun percobaan Luther berjanji
dengan khidmat / sungguh-sungguh untuk hidup sampai mati dalam kemiskinan dan
kesederhanaan / kesucian menurut peraturan-peraturan bapa kudus Agustinus, taat
kepada Allah yang mahakuasa, kepada Perawan Maria, dan kepada kepala biara. ...
Perhatiannya yang terutama adalah untuk menjadi orang suci dan mendapatkan
tempat di surga. ‘Jika ada,’ katanya belakangan, ‘seorang biarawan mencapai
surga melalui kebiarawanan, Aku sudah sampai di sana’. Ia menjalankan disiplin
dengan sangat terperinci. Tidak seorangpun melampaui dia dalam doa, puasa, jaga
malam (?), mematikan diri sendiri] - ‘History
of the Christian Church’, vol VII, hal 115-116.
¨
Kenneth Scott Latourette: “He sought by the means set forth by the Church and the monastic
tradition to make himself acceptable to God and to earn salvation of his soul.
He mortified his body. He fasted, sometimes for days on end and without a
morsel of food. He gave himself to prayers and vigils beyond those required by
the rule of his order. He went to confession, often daily and for hours at a
time. Yet assurance of God’s favour and inward peace did not come and the
periods of depression were acute” (= Ia mencari melalui cara-cara yang
dinyatakan oleh Gereja dan tradisi biara untuk membuat dirinya sendiri diterima
oleh Allah dan mendapatkan keselamatan jiwanya. Ia mematikan dirinya. Ia
berpuasa, kadang-kadang selama berhari-hari tanpa makanan sedikitpun. Ia
menyerahkan dirinya untuk berdoa dan berjaga-jaga melebihi apa yang dituntut
oleh peraturan ordonya. Ia mengaku dosa, seringkali setiap hari dan untuk
berjam-jam dalam satu kali pengakuan. Tetapi keyakinan akan perkenan Allah dan
damai di dalam tidak datang dan ia mengalami masa depresi yang parah) - ‘A History of Christianity’, vol II, hal 705.
¨
Philip Schaff: “But he was sadly disappointed in his hope to escape sin and
temptation behind the walls of the cloister. He found no peace and rest in all
his pious exercises. The more he seemed to advance externally, the more he felt
the burden of sin within. He had to contend with temptations of anger, envy,
hatred and pride. He saw sin everywhere, even in the smallest trifles. The
Scriptures impressed upon him the terrors of divine justice. He could not trust
in God as a reconciled Father, as a God of love and mercy, but trembled before
him, as a God of wrath, as a consuming fire. He could not get over the words:
‘I, the Lord thy God, am a jelous God’” (= Tetapi ia sangat kecewa
dalam harapannya untuk lepas dari dosa dan pencobaan di balik tembok-tembok
biara. Ia tidak mendapatkan damai dan ketenangan dalam semua hal-hal saleh yang
ia lakukan. Makin ia kelihatan maju secara lahiriah, makin ia merasa beban dosa
di dalam. Ia harus berjuang melawan pencobaan untuk marah, iri, kebencian, dan
kesombongan. Ia melihat dosa dimana-mana, bahkan dalam hal-hal yang paling
remeh. Kitab Suci memberikan kesan kepadanya tentang keadilan ilahi. Ia tidak
bisa percaya kepada Allah sebagai Bapa yang diperdamaikan, sebagai Bapa yang
kasih dan berbelas kasihan, tetapi gemetar di hadapanNya, sebagai Allah yang
murka, sebagai api yang menghanguskan. Ia tidak bisa mengatasi kata-kata: ‘Aku,
Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu’)
- ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 116.
¨
R. C. Sproul: “He entered the confessional and stayed for hours every day. On
one occasion Luther spent six hours confessing the sins he had committed in the
last day!” (= Ia masuk ke dalam ruang pengakuan dosa dan berada di sana
berjam-jam setiap hari. Pada suatu kali Luther menghabiskan waktu 6 jam untuk
mengaku dosa-dosa yang ia lakukan pada hari terakhir) - ‘The Holiness of God’, hal 114.
¨
Pengakuan dosa Luther ini
menyebabkan Staupitz menjadi marah dan berkata:
“‘Look here,’ he said, ‘if
you expect Christ to forgive you, come in with something to forgive -
parricide, blasphemy, adultery - instead of all these peccadilloes. ... Man,
God is not angry with you. You are angry with God. Don’t you know that God
commands you to hope?’” (= ‘Lihatlah,’ katanya, ‘Jika kamu berharap supaya Kristus
mengampuni kamu, datanglah dengan sesuatu untuk diampuni - pembunuhan orang
tua, penghujatan, perzinahan - dan bukannya semua dosa-dosa remeh ini. ...
Bung, Allah tidak marah kepadamu. Kamu yang marah kepada Allah. Tidak tahukah
kamu bahwa Allah memerintahkan kamu untuk berharap?’) - R. C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114,
dimana ia mengutip dari Roland Bainton, dalam bukunya ‘Here I Stand’.
¨
Pada tahun 1505, sebagai
seorang pastor muda ia memimpin misa untuk pertama kalinya. Pada waktu ia
mengangkat roti dan mengucapkan kata-kata “Ini adalah
tubuhKu”, ia mengalami rasa takut yang
luar biasa karena ia merasakan dirinya penuh dosa di hadapan Allah yang tak
terbatas dalam kekudusanNya.
Pertobatan Martin Luther:
Þ
Seorang biarawan tua
menghibur Luther dalam kesedihan dan keputus-asaannya, dan mengingatkan dia
tentang kata-kata Paulus bahwa orang berdosa dibenarkan oleh kasih karunia
melalui iman. Juga Johann von Staupitz, yang adalah teman baik, sekaligus
penasehat dan bapa rohani Luther, mengarahkan Luther dari dosa-dosanya kepada
apa yang Kristus lakukan di kayu salib, dari hukum Taurat kepada salib, dan
usaha berbuat baik kepada iman. Ia juga yang mendorong Luther untuk belajar
Kitab Suci. Melalui bantuan biarawan tua dan Staupitz, dan khususnya melalui
penyelidikannya terhadap surat-surat Paulus, perlahan-lahan Luther sadar bahwa
orang berdosa bisa dibenarkan bukan karena mentaati hukum, tetapi hanya karena
iman kepada Yesus Kristus.
Þ
Philip Schaff: “He pondered day and night over the meaning of ‘the
righteousness of God’ (Rom. 1:17), and thought that it is the righteous
punishment of sinners; but toward the close of his convent life he came to the
conclusion that it is the righteousness which God freely gives in Christ to
those who believe in him. Righteousness is not acquired by man through his own
exertions and merits; it is complete and perfect in Christ, and all the sinner
has to do is to accept it from Him as a free gift” [= Ia merenungkan siang
dan malam tentang arti dari ‘kebenaran Allah’ (Ro 1:17), dan mengira bahwa itu
adalah hukuman yang adil terhadap orang-orang berdosa; tetapi menjelang akhir
dari kehidupan biaranya ia sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah kebenaran
yang Allah berikan dengan cuma-cuma dalam Kristus kepada mereka yang percaya
kepadaNya. Kebenaran tidak didapatkan oleh manusia melalui usaha dan kebaikan /
jasanya sendiri; kebenaran itu lengkap dan sempurna dalam Kristus, dan semua
yang harus dilakukan oleh orang berdosa adalah menerimanya dari Dia sebagai
pemberian cuma-cuma] - ‘History of
the Christian Church’, vol VII, hal 122.
Catatan:
Ro 1:17 - “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang
bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang
benar akan hidup oleh iman.’”.
Þ
Cerita tentang
pertobatannya agak simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia
sungguh-sungguh bertobat dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya
akan keselamatan / pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Ro 1:17
itupun melalui pergumulan hebat dan cukup lama. Karena itu, pada tahun 1510,
sekalipun ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum
betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan
agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan
penghiburan untuk jiwanya dengan melakukan perjalanan ini.
Þ
Philip Schaff: “He ascended on bended knees the twenty-eight steps of the
famous Scala Santa (said to have been transported from the Judgment Hall of
Pontius Pilate in Jerusalem), that he might secure the indulgence attached to
his ascetic performance since the days of Pope Leo IV. in 850, but at every
step the word of the Scripture sounded as a significant protest in his ears:
‘The just shall live by faith’ (Rom. 1:17). Thus at the very height of his
medieval devotion he doubted its efficacy in giving peace to the troubled
conscience” [= Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga dari
Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah dipindahkan
dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa memastikan
pengampunan dosa yang dicantelkan pada pelaksanaan pertapaannya sejak jaman
Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata Kitab Suci
terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan hidup oleh
iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya ia
meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal
129.
Þ
Tetapi, setelah ia
betul-betul mengerti dan percaya, maka kegagalannya dalam mencapai ‘keselamatan / pembenaran melalui perbuatan baik’, dan pengalamannya dalam mendapatkan ‘keselamatan / pembenaran karena iman’, menyebabkan ia sangat membenci doktrin ‘keselamatan karena perbuatan baik’. Ia berkata:
“The most damnable and
pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that
somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy
God”
(= Ajaran sesat yang paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda
pikiran manusia adalah gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya
sendiri cukup baik sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci) - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’,
hal 31-32.
Agama Yahudi
sama sekali tidak sama dengan kristen, dan bahkan bisa disebut sebagai anti
kristen. Karena itu, kalau orang-orang Yahudi itu tidak mau bertobat dan
percaya kepada Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan, mereka akan dibinasakan
dalam neraka. Tetapi ingat bahwa ini bukan hanya berlaku untuk mereka, tetapi
juga untuk semua orang dari bangsa manapun.
-AMIN-
email
us at : gkri_exodus@lycos.com