Bagaimana menaklukkan dan
membongkar fitnah/dusta/kepalsuan
Saksi-saksi palsu Yehuwa?
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Ada 4 point yang dipersoalkan oleh
Saksi-Saksi Yehuwa:
a) Bapa-bapa
gereja sebelum Sidang Gereja Nicea tidak mempercayai Tritunggal.
b) Sidang
Gereja Nicea tidak berbicara tentang Roh Kudus, dan karena itu tidak
mempersoalkan Tritunggal.
c) Peranan
Kaisar Konstantin dalam Sidang Gereja Nicea.
d) Pengakuan
Iman Nicea merupakan wujud perkembangan penuh dari kemurtadan yang telah
dinubuatkan oleh Yesus dan para rasul.
Mari kita membahas 4 point ini satu per satu.
a) Bapa-bapa
gereja sebelum Sidang Gereja Nicea tidak mempercayai Tritunggal.
Saksi-Saksi Yehuwa mengutip kata-kata dari bapa-bapa
gereja pada abad 2-3, yang tidak mempercayai keilahian / kekekalan Kristus, dan
juga kesetaraan Kristus dengan Bapa (‘Haruskah Anda Percaya Kepada
Tritunggal?’, hal 7). Ini mereka pakai sebagai bukti bahwa bapa-bapa gereja itu
tidak mempercayai Tritunggal.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Bapa-bapa pra-Nicea diakui sebagai guru-guru agama yang terkemuka
pada abad-abad permulaan setelah kelahiran Kristus. Apa yang mereka ajarkan patut diperhatikan. Justin Martyr,
yang meninggal kira-kira tahun 165 M., menyebut
pramanusia Yesus sebagai malaikat yang diciptakan yang ‘tidak sama dengan
Allah yang menciptakan segala perkara.’ Ia mengatakan bahwa Yesus lebih rendah
daripada Allah dan ‘tidak pernah melakukan sesuatu kecuali yang Pencipta ...
ingin ia lakukan dan katakan.’ Irenaeus, yang meninggal kira-kira tahun
200 M., mengatakan bahwa pramanusia Yesus keberadaannya terpisah dari Allah dan
lebih rendah daripada Dia. Ia memperlihatkan bahwa Yesus tidak setara dengan
‘Allah yang benar dan satu-satunya,’ yang ‘lebih tinggi di atas segala-galanya,
dan selain Dia tidak ada yang lain.’ Clement dari Alexandria, yang
meninggal kira-kira tahun 215 M., menyebut Yesus dalam keberadaannya sebelum
menjadi manusia sebagai ‘suatu ciptaan’ tetapi menyebut Allah sebagai ‘yang
tidak diciptakan dan tidak dapat binasa dan satu-satunya Allah yang benar.’ Ia
mengatakan bahwa sang Anak ‘adalah nomor dua setelah satu-satunya Bapa yang
mahakuasa’ tetapi tidak setara dengan Dia. Tertullian, yang meninggal
kira-kira tahun 230, mengajarkan keunggulan Allah. Ia berkata: ‘Sang Bapa berbeda
dari Anak (yang lain), karena Ia lebih besar; sebagaimana yang memperanakkan
berbeda dari dia yang diutus.’ Ia juga berkata: ‘Ada masanya ketika sang Anak
tidak ada. ... Sebelum semua perkara ada, Allah berada sendirian.’ Hippolytus,
yang meninggal kira-kira tahun 235, mengatakan bahwa Allah adalah ‘Allah yang
esa, Pribadi yang pertama dan satu-satunya Khalik dan Tuhan dari semua,’ ‘tidak
ada yang (memiliki umur yang sama) dengan Dia ... Tetapi Ia adalah Esa, berada
sendirian; yang, karena menghendakinya, membuat ada apa yang dulunya tidak
ada,’ seperti misalnya pramanusia Yesus yang diciptakan. Origen, yang
meninggal kira-kira tahun 250 M., mengatakan bahwa ‘sang Bapa dan Anak adalah
dua hakekat ... dua hal sehubungan dengan pokok dasar mereka,’ dan bahwa
‘dibandingkan dengan Bapa, (Anak) adalah terang yang sangat kecil.’” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Saksi-Saksi Yehuwa menambahkan: “Meringkaskan bukti
sejarah, Alvan Lamson mengatakan dalam The Church of the First Three Centuries: ‘Doktrin Tritunggal yang modern dan populer ... tidak mendapat
dukungan dari bahasa Justin (Martyr): dan pernyataan ini dapat diperluas
sehingga berlaku juga untuk semua Bapa pra-Nicea; yaitu untuk semua
penulis Kristen selama tiga abad setelah kelahiran Kristus. Memang, mereka
berbicara mengenai sang Bapa, Anak dan ... Roh kudus, tetapi tidak sebagai
(pribadi-pribadi) yang setara, tidak berjumlah satu zat, tidak sebagai Tiga
dalam Satu, dalam arti apapun yang sekarang diterima oleh para penganut Tritunggal.
Justru sebaliknyalah yang merupakan fakta.’”
- ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Saksi-Saksi Yehuwa mengutip
kata-kata R. P. C. Hanson: “Tidak
ada seorang teolog pun di Gereja Timur atau Barat sebelum pecahnya Kontroversi
Arius (pada abad keempat), yang dalam beberapa hal tidak menganggap Anak lebih
rendah kedudukannya daripada Bapak” - ‘Pencarian Manusia Akan Allah’, hal 275.
1. Bapa-bapa
gereja awal mempunyai theologia yang sangat cacat.
Mungkin saudara mengira bahwa sama seperti dalam cerita
silat, makin ke atas ilmunya makin hebat. Dan mungkin saudara mengira bahwa
karena bapa-bapa gereja ini makin dekat dengan rasul-rasul maka theologia
mereka pasti sangat hebat. Ini sama sekali salah!
Tentang bapa-bapa gereja pada abad 1-3, perlu diketahui
bahwa boleh dikatakan semua bapa-bapa gereja saat itu mempunyai theologia yang defective / cacat, ada yang cukup parah dan bahkan ada yang sangat
parah.
Mengapa demikian? Karena:
a. Pada
saat itu theologia belum berkembang.
Rasul-rasul tidak pernah meninggalkan Systematic Theology
ataupun rumusan-rumusan / formula-formula dalam persoalan Allah Tritunggal,
Kristologi dsb.
b. Juga
kalau rasul-rasul menulis suatu ajaran maka bagaimana orang-orang kristen pada
saat itu bisa memperoleh bahan tersebut? Waktu itu belum ada cetak mencetak,
foto copy dan sebagainya. Jadi harus disalin dengan tangan, atau disampaikan
dari mulut ke mulut, dan ini tentu sangat memungkinkan terjadinya kesalahan.
c. Untuk
bapa-bapa gereja yang hidup sebelum berakhirnya abad pertama, pada saat itu
Kitab Suci belum lengkap (Perjanjian Barunya), dan bagi bapa-bapa gereja yang
hidup setelah akhir abad pertama sampai abad ketiga, Kitab Suci (Perjanjian
Barunya) belum dipastikan kanonnya (mana yang termasuk Kitab Suci dan mana yang
tidak).
Tentang Justin Martyr, yang mati pada tahun 165 M.,
Philip Schaff berkata:
“he calls the canonical
Gospels, without naming the authors. ... He only quotes the words and acts of
the Lord. He makes use of Matthew and Luke, but very freely, and from John’s
Prologue ... he derived the inspiration of the Logos-doctrine, which is the
heart of his theology. He expressly mentions the Revelation of John. He knew
no fixed canon of the New Testament, and ... he nowhere notices Paul, but several
allusions to passages of his Epistles ... can hardly be mistaken” [= ia menyebut Injil kanonik, tanpa menyebut nama
pengarang-pengarangnya. ... Ia hanya mengutip kata-kata dan tindakan-tindakan
dari Tuhan (Yesus). Ia menggunakan Matius dan Lukas, tetapi dengan sangat bebas,
dan dari Pendahuluan Injil Yohanes ... ia mendapatkan ilham dari doktrin
tentang Logos, yang merupakan inti dari theologianya. Ia secara explicit
menyebutkan Wahyu Yohanes. Ia tidak mengetahui / mengenal kanon yang tetap
dari Perjanjian Baru, dan ... ia tidak pernah menyebutkan Paulus, tetapi
beberapa penyebutan tak langsung dari text-text dari surat-surat Paulus ...
hampir tidak bisa salah] - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 720.
Karena itu jangan heran kalau kepercayaan dan ajaran dari
bapa-bapa gereja yang mula-mula ini pada umumnya cacat, dan bahkan banyak yang
cacat secara serius, dan menurut ukuran jaman sekarang bisa dianggap sebagai
‘sesat’!
2. Sejarah
perkembangan bapa-bapa gereja.
Dalam bagian ini tujuan saya bukan hanya menunjukkan nama
dari bapa-bapa gereja, tetapi terutama menunjukkan betapa banyak cacat dalam
ajaran-ajaran mereka, bukan hanya dalam persoalan Kristologi dan Allah
Tritunggal, tetapi juga dalam hal-hal lain, bahkan dalam persoalan keselamatan.
a. The
Apostolic Fathers (Bapa-bapa Rasuli).
Louis Berkhof: “The
Apostolic Fathers are the Fathers who are supposed to have lived before the
last apostles died, of whom some are said to have been disciples of the
apostles” (= Bapa-bapa Rasuli adalah Bapa-bapa yang
dianggap masih hidup sebelum rasul-rasul yang terakhir mati, dan beberapa dari
mereka dikatakan adalah murid-murid dari rasul-rasul) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 37.
Louis Berkhof, ‘The History of Christian Doctrines’, hal 37, mengatakan bahwa yang termasuk ‘The Apostolic Fathers’ adalah:
·
Clement dari Roma (30-100
M.).
·
Ignatius (mati 117 M.).
·
Hermas (akhir abad 1 - awal
abad 2 M.).
·
Barnabas dari Alexandria
(akhir abad 1 - awal abad 2 M.).
·
Papias (60-130 M.).
·
Polycarp (69-160 M.).
Tentang theologia dari ‘The Apostolic Fathers’ ini Albert
H. Freundt Jr. mengatakan:
“There is not a great deal
of theological value to the Apostolic Fathers, except for illustrating the
state of mind of the early Church before theological controversy forced
systematic theological reflection. The writing is not on the level of the
inspired Apostles. There are many quotations from Scripture, but little insight
into its true meaning. Allegorization is the prevailing method of
interpreting scripture. There is an unhealthy preoccupation with martyrdom, a
misunderstanding of baptism, and an improper emphasis on good works. Pauline
emphases are being lost. Christianity is viewed largely as a way of life,
characterized by keeping of the law and good works. The view of baptism found
in the Shepherd led many persons in the Early Church to delay baptism until
late in life or even to their deathbeds. The doctrine of Christ is generally
strong and clear. Christ is held to be pre-existent, divine as well as human.
Christ is viewed as the medium of cleansing and redemption, but there is little
or no attempt to explain this. Forgiveness is connected with baptism; the rule
after that is obedience and good works. Even when Pauline phraseology is used,
there is a tendency to obscure the relation between faith and works, and to
view the Gospel as a ‘New Law’ to be obeyed” (= Tidak ada
nilai theologis yang besar dari Bapa-bapa Rasuli, kecuali untuk
mengilustrasikan keadaan pikiran dari Gereja mula-mula sebelum perdebatan
theologia memaksa pemikiran yang bersifat sistimatik theologia. Tulisan-tulisan
mereka tidaklah ada pada taraf yang sama seperti tulisan-tulisan dari
Rasul-rasul yang diilhami. Ada banyak kutipan dari Kitab Suci, tetapi sedikit
pengertian yang mendalam ke dalam artinya yang benar. Pengalegorian
merupakan metode yang umum untuk menafsirkan Kitab Suci. Ada suatu keasyikan /
kesenangan yang tidak sehat tentang mati syahid, suatu kesalah-pengertian
tentang baptisan, dan suatu penekanan yang tidak benar tentang perbuatan baik.
Penekanan dari surat-surat Paulus hilang. Kekristenan dipandang secara umum
sebagai suatu cara hidup, yang bercirikan pemeliharaan hukum Taurat dan
perbuatan-perbuatan baik. Pandangan tentang baptisan yang ditemukan dalam ‘the Shepherd’ memimpin banyak orang dalam Gereja mula-mula untuk menunda
baptisan sampai masa tua, atau bahkan sampai mereka berada di ranjang kematian
mereka. Doktrin tentang Kristus biasanya kuat dan jelas. Kristus dipercayai
sebagai ada sebelumnya, dan adalah ilahi maupun manusiawi. Kristus
dipandang sebagai medium / pengantara dari pembersihan dan penebusan, tetapi
hanya sedikit atau tidak ada usaha untuk menjelaskan hal ini. Pengampunan
dihubungkan dengan baptisan; peraturan setelah itu adalah ketaatan dan
perbuatan baik. Bahkan pada waktu ungkapan Paulus digunakan, ada suatu
kecenderungan untuk mengaburkan hubungan antara iman dan perbuatan baik, dan
untuk memandang Injil sebagai suatu ‘hukum Taurat yang baru’ yang harus
ditaati) - ‘Early Christianity’, hal 25-26.
Catatan:
Buku ‘Shepherd’ ditulis oleh Hermas, dan mengajarkan bahwa:
“At baptism all past sins
are forgiven. ... after baptism it is possible to repent and be forgiven only
once” (= Pada saat baptisan
semua dosa-dosa lalu diampuni. ... setelah baptisan hanya mungkin untuk
bertobat dan diampuni satu kali saja) -
Albert H. Freundt Jr., ‘Early Christianity’,
hal 25.
Philip Schaff: “Clement of Rome calls
‘God, the Lord Jesus Christ, and the Holy Spirit’ the object of the faith and
hope of the elect” (= Clement dari Roma
menyebut ‘Allah, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus’ sebagai obyek dari iman
dan pengharapan dari orang-orang pilihan)
- ‘History
of the Christian Church’, vol II, hal
568.
Kata-kata ini menunjukkan kepercayaan kepada Allah
Tritunggal.
Tentang surat yang ditulis oleh Polycarp, Philip Schaff
berkata:
“Of Christ it speaks in
high terms, as the Lord, who sits at the right hand of God to whom everything
in heaven and earth is subject; whom every living being serves; who is coming
to judge the quick and the dead; whose blood God will require of all, who
believe not on him. ... Polycarp, in the very first chapter, represents faith
and the whole salvation as the gift of free grace” (= Tentang Kristus, surat itu berbicara dengan istilah-istilah
yang tinggi / menghormat, sebagai Tuhan, yang duduk di sebelah kanan Allah,
kepada siapa segala sesuatu di surga dan di bumi tunduk; yang dilayani oleh
setiap makhluk hidup; yang akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan
yang mati; yang darahnya dituntut oleh Allah dari semua, yang tidak percaya
kepadaNya. ... Polycarp, dalam pasalnya yang pertama, menggambarkan iman dan
seluruh keselamatan sebagai pemberian dari kasih karunia yang cuma-cuma) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 666-667.
Dan Philip Schaff juga menuliskan doa terakhir dari
Polycarp pada waktu api yang membakar dirinya dinyalakan:
“Lord God Almighty, Father
of Thy beloved and blessed Son, Jesus Christ, ... I bless Thee for deigning me
worthy of this day and this hour that I may be among Thy martyrs and drink of
the cup of my Lord Jesus Christ, unto the resurrection of eternal life of soul
and body in the incorruption of the Holy Spirit. ... Wherefore I praise Thee
for all Thy mercies; I bless Thee, I glorify Thee, through the eternal
High-Priest, Jesus Christ, Thy beloved Son, with whom to Thyself and the Holy
Spirit, be glory both now and forever. Amen” (= Tuhan
Allah yang maha kuasa, Bapa dari AnakMu yang kekasih dan terpuji / diberkati,
Yesus Kristus, ... Aku memuji Engkau karena menganggap aku layak untuk hari dan
saat ini sehingga aku bisa ada di antara martir-martirMu dan meminum cawan dari
Tuhanku Yesus Kristus, kepada kebangkitan hidup kekal dari jiwa dan tubuh dalam
ketidak-busukan dari Roh Kudus. ... Untuk mana aku memuji Engkau untuk semua
belas kasihanMu; Aku memuji Engkau, aku memuliakan Engkau, melalui Imam Besar yang
kekal, Yesus Kristus, AnakMu yang kekasih, dengan siapa bagi diriMu sendiri
dan Roh Kudus, kemuliaan sekarang dan selama-lamanya. Amin) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 670.
Catatan:
kata-kata ini kelihatannya menunjukkan kepercayaan kepada Allah Tritunggal, dan
kekekalan Yesus.
Tentang Hermas, Philip Schaff berkata:
“He views Christianity as a
new law and lays chief stress on practice. ... He teaches not only merit, but
the supererogatory merit of good works and the sin-atoning virtue of martyrdom.
He knows little or nothing of the gospel, never mentioned the word, and has no
idea of justifying faith, although he makes faith the chief virtue and the
mother of virtues. He dwells on man’s duty and performance more than on God’s
gracious promises and saving deeds. In a word, his Christianity is thoroughly
legalistic and ascetic, and further off from the evangelical spirit than any
other book of the apostolic fathers. Christ is nowhere named, ... yet he
appears as ‘the Son of God,’ and is represented as pre-existent and strictly
divine” [= Ia memandang
kekristenan sebagai suatu hukum Taurat baru dan meletakkan penekanan utama pada
praktek / kehidupan. ... Ia mengajar bukan hanya jasa, tetapi jasa yang
melebihi tuntutan / standard dari perbuatan baik dan kematian syahid yang
bersifat menebus dosa. Ia tahu sangat sedikit, atau sama sekali tidak tahu, tentang
Injil, tidak pernah menyebut kata itu, dan tidak mempunyai pengertian tentang
iman yang membenarkan, sekalipun ia membuat iman sebagai sifat baik yang paling
utama dan ibu dari semua sifat baik / kebaikan. Ia lebih memikirkan kewajiban
dan perbuatan / prestasi manusia lebih dari janji-janji yang murah hati dan
tindakan yang menyelamatkan dari Allah. Singkatnya, kekristenannya sepenuhnya
bersifat legalistik / keselamatan karena perbuatan baik dan menekankan
pertapaan, dan lebih jauh dari roh injili dari pada buku lain manapun dari
bapa-bapa rasuli. Kristus tidak pernah disebutkan dimanapun, ... tetapi Ia
muncul / terlihat sebagai ‘Anak Allah’, dan digambarkan sebagai ‘pre-existent’
(ada sebelum lahir), dan digambarkan secara keras sebagai Allah / bersifat
ilahi] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 684.
Catatan: orang ini boleh dikatakan sangat
sesat dalam doktrin keselamatannya, karena ia menekankan keselamatan karena perbuatan
baik. Tetapi dalam hal Kristusnya, kelihatannya Ia tetap mempercayai kekekalan
dan keilahian Kristus!
Kita sudah melihat banyak pandangan
dari Schaff, dan sekarang kita akan melihat pandangan dari Louis Berkhof.
Louis Berkhof: “It
is frequently remarked that in passing from the study of the New Testament to
that of the Apostolic Fathers one is conscious of a tremendous change. There is
not the same freshness and originality, depth and clearness. And this is no
wonder, for it means the transition from truth given by infallible inspiration
to truth reproduced by fallible pioneers” (=
Sering dikatakan bahwa pada waktu beralih dari pelajaran tentang Perjanjian
Baru ke pelajaran dari Bapa-bapa Rasuli, seseorang sadar tentang adanya
perubahan yang sangat besar. Di sana tidak ada kesegaran dan keorisinilan,
kedalaman dan kejelasan yang sama. Dan ini tidak mengherankan, karena itu
berarti perpindahan dari kebenaran yang diberikan oleh pengilhaman yang tak
bisa salah kepada kebenaran yang direproduksi oleh pelopor-pelopor yang bisa
salah) - ‘The
History of Christian Doctrines’, hal 38.
Louis Berkhof: “Their
teachings are characterized by a certain meagreness. They are generally in full
agreement with the teachings of Scripture, are often couched in the very words
of the Bible, but add very little by way of explication and are not at all
systematized” (= Ajaran mereka bercirikan kemiskinan
tertentu. Mereka pada umumnya sesuai sepenuhnya dengan ajaran Kitab Suci,
sering dituliskan dalam kata-kata Kitab Suci sendiri, tetapi menambahkan sangat
sedikit sebagai penjelasan dan sama sekali tidak sistimatis) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 38-39.
Louis Berkhof: “The
canon of the New Testament was not yet fixed, and this explains why these early
Fathers so often quote oral tradition rather than the written word” (=
Kanon dari Perjanjian Baru belum ditentukan, dan ini menjelaskan mengapa
Bapa-bapa mula-mula ini begitu sering mengutip tradisi lisan dari pada firman
tertulis) - ‘The
History of Christian Doctrines’, hal 39.
Louis Berkhof: “They
testify to a common faith in God as the Creator and Ruler of the universe and
in Jesus Christ, who was active in creation and throughout the old
dispensation, and finally appeared in the flesh. While they use the scriptural
designation of God as Father, Son, and Holy Spirit, and also speak of Christ as
God and man, they do not testify to an awareness of the implications and
problems involved” (= Mereka menyaksikan tentang suatu iman
bersama kepada Allah sebagai Pencipta dan Penguasa dari alam semesta, dan
kepada Yesus Kristus, yang aktif dalam penciptaan dan sepanjang Perjanjian
Lama, dan akhirnya muncul dalam daging. Sementara mereka menggunakan penamaan
Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan juga berbicara tentang Kristus
sebagai Allah dan manusia, mereka tidak menyaksikan tentang suatu kesadaran
tentang pengertian dan problem yang tercakup) - ‘The History of Christian Doctrines’,
hal 40.
Louis Berkhof: “In
some cases the death of Christ is represented as procuring for men the grace of
repentance and as opening the way for new obedience, rather than as the ground
of man’s justification. This moralistic strain is, perhaps, the weakest point
in the teachings of the Apostolic Fathers. It was related to the moralism present
in the heathen world of that day and characteristic of the natural man as such,
and was bound to serve the interests of legalism” (=
Dalam beberapa kasus kematian Kristus digambarkan sebagai mendapatkan untuk
manusia kasih karunia pertobatan dan sebagai membuka jalan untuk ketaatan yang
baru, dan bukannya sebagai dasar dari pembenaran manusia. Kecenderungan
moralistik ini, mungkin merupakan titik terlemah dalam pengajaran dari
Bapa-bapa Rasuli. Itu berhubungan dengan moralisme yang ada di dunia kafir pada
jaman itu dan ciri dari manusia alamiah / duniawi, dan pasti melayani
kepentingan dari legalisme) - ‘The History of Christian Doctrines’, hal 40.
Louis Berkhof: “The
sacraments are represented as the means by which the blessings of salvation are
communicated to man. Baptism begets new life and secures the forgiveness of all
sins or of past sins only (Hermas and II Clement); and the Lord’s Supper is the
means of communicating to man a blessed immortality or eternal life” [=
Sakramen digambarkan sebagai cara dengan mana berkat-berkat keselamatan
diberikan kepada manusia. Baptisan melahirkan kehidupan yang baru dan
memastikan pengampunan dari semua dosa-dosa atau dosa-dosa lalu saja (Hermas
dan II Clement); dan Perjamuan Kudus merupakan cara memberikan kepada manusia
ketidak-bisa-binasaan yang diberkati atau kehidupan yang kekal] - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 40.
Louis Berkhof: “Man
is said to be justified by faith, but the relation of faith to justification
and the new life is not clearly understood. An anti-Pauline strain of legalism
becomes manifest at this point. Faith is simply the first step in the way of
life, on which the moral development of the individual depends. ... Not the
grace of God, but the good works of man sometimes appear in the foreground” (=
Manusia dikatakan dibenarkan oleh iman, tetapi hubungan iman dengan pembenaran
dan kehidupan yang baru tidak dimengerti secara jelas. Suatu kecenderungan pada
legalisme yang anti terhadap surat-surat Paulus menjadi nyata pada titik ini.
Iman adalah sekedar suatu langkah pertama dalam jalan kehidupan, pada mana
perkembangan moral dari individu itu tergantung. ... Bukan kasih karunia Allah,
tetapi perbuatan baik dari manusia kadang-kadang muncul di layar depan) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 40.
b. The
Apologists.
Adanya tekanan dari dalam dan luar
menyebabkan perlunya pembelaan terhadap kebenaran, dan dengan demikian
melahirkan theology. Bapa-bapa dari gereja mula-mula yang melakukan pembelaan
seperti ini disebut the Apologists, dan yang terpenting dari mereka adalah:
·
Justin
Martyr (tahun 100-165 M.).
·
Tatian.
·
Athenagoras.
·
Theophilus
of Antiokhia.
Tentang theologia dari ‘the Apologists’ ini Albert H.
Freundt Jr. mengatakan:
“The Word of God, the Logos
or rational element in God, which was God’s instrument in the creation of the
world, has been active from the beginning. ... They taught then the deity of
the Logos who became incarnate in Jesus Christ, but they fell short in one
respect from the orthodoxy of the later creeds. The Logos was pre-existent
as the source of reason and wisdom in mankind, but apparently did not believe
in the eternal personal existence of the Son of God until the incarnation” [= Firman Allah, sang Logos atau elemen rasionil dalam Allah,
yang adalah alat Allah dalam penciptaan alam semesta, telah aktif dari semula.
... Lalu mereka mengajarkan keilahian dari sang Logos yang berinkarnasi dalam
Yesus Kristus, tetapi tidak memadai dalam satu segi dari ke-orthodox-an dari
pengakuan-pengakuan iman belakangan. Logos ada sebelum inkarnasi sebagai
sumber dari akal dan hikmat dalam umat manusia, tetapi kelihatannya / jelas (mereka) tidak percaya pada keberadaan pribadi yang kekal dari Anak
Allah sampai inkarnasi] - ‘Early Christianity’,
hal 33.
Catatan: ini pasti tidak sama dengan
theologia dari Saksi-Saksi Yehuwa, karena Saksi-Saksi Yehuwa mempercayai bahwa
sebelum berinkarnasipun Yesus sudah adalah seorang pribadi.
Mereka lebih menekankan keilahian
Kristus dari pada kemanusiaanNya, tetapi pengertian mereka tentang Logos
defective / cacat.
Louis Berkhof: “The
Apologists did not have the biblical conception of the Logos, but one somewhat
resembling that of Philo. To them the Logos, as He existed eternally in God,
was simply the divine reason, without personal existence. ... God
generated the Logos out of His own Being and thus gave Him personal existence.
Essentially the Logos remains identical with God, but in view of His origin as
a person He may be called a creature” (=
Para Apologist ini tidak mempunyai konsep yang Alkitabiah tentang Logos, tetapi
konsep yang agak menyerupai konsep dari Philo. Bagi mereka Logos,
sebagaimana Ia ada secara kekal dalam Allah, hanyalah sekedar akal ilahi, tanpa
keberadaan pribadi. ... Allah memperanakkan Logos dari DiriNya sendiri,
dan lalu memberikan kepadaNya keberadaan yang bersifat pribadi. Secara hakiki
Logos itu tetap identik dengan Allah, tetapi mengingat asal usulNya sebagai
seorang pribadi Ia bisa disebut sebagai suatu makhluk ciptaan) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 58.
Philip Schaff: “Justin Martyr repeatedly places Father,
Son, and Spirit together as objects of divine worship among the Christians (though
not as being altogether equal in dignity)” [= Justin Martyr berulang-ulang menempatkan
Bapa, Anak, dan Roh bersama-sama sebagai obyek dari penyembahan ilahi di antara
orang-orang kristen (sekalipun tidak setara secara keseluruhan dalam
kewibawaan)] -
‘History of the Christian Church’, vol II, hal 569.
Catatan: perhatikan bagian ini! Kalau
Saksi-Saksi Yehuwa memang menganggap bapa-bapa gereja ini sebagai guru-guru
agama yang terkemuka, yang ajarannya harus diikuti, mengapa mereka tidak
mengikuti Justin Martyr dalam hal menjadikan Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai
obyek penyembahan? Mengapa mereka hanya menyembah Yehuwa / Bapa, dan melarang
orang untuk menyembah Yesus?
c. The Anti-Gnostic Fathers (=
Bapa-bapa yang menentang Gnosticisme, suatu ajaran sesat pada saat itu).
Setelah the Apologists muncul The
Anti-Gnostic Fathers, yaitu:
·
Irenaeus
(lahir tahun 140 M.).
·
Hippolytus (mati tahun 235 / 236 M.).
·
Tertullian
(lahir pada pertengahan abad kedua Masehi).
Irenaeus adalah murid dari Polycarp, yang mula-mula adalah
penatua, tetapi lalu menjadi bishop dari Lyons. Hippolytus dikatakan sebagai
murid dari Irenaeus.
Louis Berkhof: “The
Anti-Gnostic Fathers in general championed the doctrine of the resurrection of
the flesh, and based it on the resurrection of Christ and on the indwelling of
the Spirit. ... After the millennium there will be a new heaven and a new
earth, and the blessed will live in graded order in the mansions prepared
for them” (= Bapa-bapa penentang Gnosticisme ini
secara umum mendukung doktrin tentang kebangkitan daging, dan mendasarkannya
pada kebangkitan Kristus dan pada penghunian Roh. ... Setelah Kerajaan 1000
tahun akan ada langit yang baru dan bumi yang baru, dan orang-orang yang
diberkati akan hidup / tinggal dalam urut-urutan golongan dalam rumah-rumah
yang disediakan bagi mereka) - ‘The History of Christian Doctrines’, hal 68.
Catatan: ‘Bumi yang baru’ ini jelas
bertentangan dengan ajaran Saksi Yehuwa, yang mempercayai bahwa bumi yang lama
ini akan disempurnakan dan yang mereka sebut Firdaus.
3. Sekarang
saya ingin menyoroti kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa di atas bahwa: ‘Bapa-bapa pra-Nicea diakui
sebagai guru-guru agama yang terkemuka pada abad-abad permulaan setelah
kelahiran Kristus. Apa yang mereka
ajarkan patut diperhatikan’.
Ini adalah omong kosong, karena:
a. Saksi-Saksi
Yehuwa sendiri tidak sepenuhnya berpaut pada ajaran dari bapa-bapa pra-Nicea
itu. Misalnya:
·
Justin Martyr menjadikan
Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagai obyek penyembahan. Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa
tidak mengikuti dia dalam hal ini?
·
Jelas bahwa bapa-bapa
pra-Nicea itu semua mempercayai adanya neraka. Lalu mengapa Saksi-Saksi Yehuwa
tidak percaya neraka?
·
Juga saya tidak pernah
mendengar ada bapa gereja yang mempercayai bahwa yang akan masuk surga hanyalah
144.000 orang. Tetapi Saksi-Saksi Yehuwa mempercayai ajaran bodoh itu.
Bukankah itu berarti bahwa mereka ‘tidak mengakui’
bapa-bapa pra-Nicea itu sebagai ‘guru-guru agama yang
terkemuka’, dan tidak memperhatikan
ajaran mereka?
b. Sekalipun
bapa-bapa itu memang mempunyai kehebatannya masing-masing, tetapi dalam hal
kepercayaan dan ajarannya, banyak di antara mereka yang salah secara sangat
serius. Ini akan saya tunjukkan dengan lebih jelas di bawah.
c. Bapa-bapa
gereja itu sering bertentangan satu dengan yang lain, dan bahkan kadang-kadang
bertentangan dengan diri mereka sendiri (mengajarkan dua hal yang kontradiksi,
atau, berpindah dari pandangan satu ke pandangan lain). Kalau Saksi-Saksi
Yehuwa menganggap mereka sebagai guru-guru agama yang terkemuka, yang ajarannya
patut diperhatikan / diikuti, lalu ajaran yang mana yang mereka perhatikan /
ikuti, pada saat terjadi pertentangan seperti itu?
d. Dasar
ajaran yang sah adalah Kitab Suci / Firman Tuhan, bukan ajaran bapa-bapa gereja
atau siapapun. Kita hanya boleh mengikuti ajaran seseorang kalau ajarannya
sesuai dengan Kitab Suci / Firman Tuhan, dan kita harus menolak ajaran dari
siapapun, kalau ajarannya tidak sesuai, apalagi bertentangan, dengan Kitab Suci
/ Firman Tuhan.
Bdk. Gal 1:6-9 - “(6) Aku
heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia
Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, (7) yang
sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang
bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. (8) Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari
sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan
Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. (9) Seperti yang
telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang
yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu
terima, terkutuklah dia”.
4. Sekarang
saya akan menyoroti secara khusus bapa-bapa gereja pra-Nicea yang disebutkan
oleh Saksi-Saksi Yehuwa:
a. Justin
Martyr.
Saya mengutip ulang bagian kata-kata dari Saksi-Saksi
Yehuwa tentang Justin Martyr.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Justin Martyr, yang
meninggal kira-kira tahun 165 M., menyebut
pramanusia Yesus sebagai malaikat yang diciptakan yang ‘tidak sama dengan
Allah yang menciptakan segala perkara.’ Ia mengatakan bahwa Yesus lebih rendah
daripada Allah dan ‘tidak pernah melakukan sesuatu kecuali yang Pencipta ...
ingin ia lakukan dan katakan.’” - ‘Haruskah
Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Sekarang kita bandingkan kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa ini
dengan kata-kata dari pihak Kristen.
·
pandangan Justin Martyr
dalam persoalan keselamatan.
Albert H. Freundt Jr.:
“According to
Justin, by his sufferings and death Jesus redeemed us from ignorance and the
power of demons, and obtained forgiveness for those who repent, believe, and
keep his commandments. But forgiveness is bestowed in baptism, which is
spoken of as regeneration” (= Menurut
Justin, oleh penderitaan dan kematianNya, Yesus menebus kita dari
ketidak-tahuan / kebodohan dan kuasa dari setan-setan, dan mendapatkan
pengampunan untuk mereka yang bertobat, percaya, dan memegang / mentaati
perintah-perintahNya. Tetapi pengampunan diberikan dalam baptisan, yang
dikatakan sebagai kelahiran baru) - ‘Early
Christianity’, hal 33.
Philip Schaff: “like all the ante-Nicene
writers, he (Justin Martyr) had no clear insight into the distinction between the Old
Testament and the New, between the law and the gospel, and the justifying power
of faith. His theology is legalistic and ascetic rather than evangelistic and
free” [= seperti semua penulis
pra-Nicea, ia (Justin Martyr) tidak mempunyai pengetahuan / pengertian yang jelas tentang
perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, antara hukum Taurat dan
Injil, dan kuasa iman yang membenarkan. Theologianya adalah legalistic (menekankan keselamatan karena perbuatan baik) dan bersifat pertapaan, dan bukannya injili dan bebas] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 722.
Philip Schaff tentang pandangan dari Justin Martyr: “The Logos is the pre-existent, absolute, personal Reason, and
Christ is the embodiment of it, the Logos incarnate. ... The Logos endowed all
men with reason and freedom, which are not lost by the fall. He scattered seed
(spermata) of truth before his
incarnation, not only among the Jews, but also among the Greeks and barbarians,
especially among philosophers and poets, who are the prophets of the heathen.
Those who lived reasonably (oi[
meta logou biwsantej) and virtuously in obedience to this preparatory light were
Christians in fact, though not in name; while those who lived unreasonably (oi[ a]neu biwsantej) were Christless and
enemies of Christ. Socrates was a Christian as well as Abraham, though he did
not know it. None of the fathers or schoolmen has so widely thrown open the
gates of salvation. He was the broadest of broad churchmen” [= Logos adalah Akal / Pikiran yang bersifat pre-existent (ada sebelumnya), mutlak, pribadi, dan Kristus adalah perwujudan dariNya, Logos
yang berinkarnasi. ... Logos itu memberi semua manusia akal dan kebebasan, yang
tidak hilang oleh kejatuhan (Adam) ke dalam dosa. Ia menyebarkan benih (spermata) kebenaran sebelum inkarnasiNya, bukan hanya di antara
orang-orang Yahudi, tetapi juga di antara orang-orang Yunani dan barbar,
khususnya di antara ahli-ahli filsafat dan penyair, yang adalah nabi-nabi untuk
orang kafir. Mereka yang hidup secara masuk akal / sesuai dengan akal (oi[
meta logou biwsantej) dan dengan saleh dalam
ketaatan kepada terang persiapan ini, sebetulnya adalah orang Kristen,
sekalipun namanya tidak demikian; sementara mereka yang hidup tidak sesuai
dengan akal (oi[ a]neu biwsantej), tidak mempunyai Kristus dan adalah musuh-musuh Kristus.
Socrates adalah seorang Kristen sama seperti Abraham, sekalipun ia tidak
mengetahuinya. Tidak ada bapa-bapa gereja atau ahli-ahli theologia / penafsir
yang membuka pintu keselamatan selebar itu. Ia adalah yang paling liberal /
toleran dari orang-orang kristen yang liberal / toleran] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 723.
·
pandangan Justin Martyr
tentang Kristus dan Allah Tritunggal.
Saya mencari dalam beberapa buku sejarah - beberapa di antaranya
termasuk buku standard - yaitu buku sejarahnya Philip Schaff, Kenneth Scott
Latourette, Louis Berkhof, Albert Freundt Jr., dan bahkan dalam Encyclopedia
Britannica 2000, dan saya tidak bisa menemukan bahwa Justin Martyr
mempercayai bahwa Yesus, sebelum menjadi manusia, adalah malaikat ciptaan Allah,
sebagaimana yang dikatakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa.
Kenneth Scott Latourette: “Some, including the convert, Justin Martyr, ... held the Logos
to be ‘the second God.’ ... the Logos which had become flesh in Jesus Christ,
while not different in kind from God the Father, was a second God” (= Beberapa, termasuk petobat, Justin Martyr, ... mempercayai
Logos sebagai ‘Allah kedua’. ... Logos yang telah menjadi daging dalam Yesus
Kristus, sekalipun tidak berbeda dalam jenis dari Allah Bapa, adalah Allah
kedua) - ‘A History of Christianity’, vol I, hal 142-143.
Catatan:
saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan ‘Allah kedua’, apakah itu menunjuk kepada ‘Allah
sekunder’, atau menunjuk kepada ‘Pribadi kedua dalam Allah Tritunggal, yang juga adalah Allah’. Mungkin yang pertamalah yang dimaksudkan.
Philip Schaff: “The Christian faith of
Justin in God the Creator, and in his Son Jesus Christ the Redeemer,
and in the prophetic Spirit. ... Below the deity are good and bad
angels; the former are messengers of God, the latter servants of Satan, ...
eternal happiness as a reward of piety, eternal fire as a punishment of
wickedness” (= Iman Kristen dari
Justin adalah kepada Allah sang Pencipta, dan kepada AnakNya Yesus
Kristus sang Penebus, dan kepada Roh nubuatan. ... Dibawah Allah /
keAllahan ada malaikat-malaikat yang baik dan yang jahat; yang pertama adalah
utusan-utusan Allah, yang terakhir adalah pelayan-pelayan Setan, ...
kebahagiaan kekal sebagai upah dari kesalehan, api yang kekal sebagai hukuman
dari kejahatan) - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 723-724.
Catatan:
perhatikan bahwa Justin Martyr percaya pada neraka sebagai api yang kekal!
Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa tidak mempercayai adanya neraka, dan dengan demikian
tidak mengikuti ajaran dari ‘guru agama yang terkemuka’ ini?
Philip Schaff: “Christ is the Reason of reason, the
incarnation of the absolute and eternal reason. He is a true object of
worship. In his efforts to reconcile this view with monotheism, he at one
time asserts the moral unity of the two divine persons, and at another
decidedly subordinates the Son to the Father. Justin thus combines
hypostasianism, or the theory of the independent, personal (hypostatical)
divinity of Christ, with subordinationism; he is, therefore, neither Arian nor
Athanasian; but his whole theological tendency, in opposition to the heresies,
was evidently towards the orthodox system, and had he lived later, he would
have subscribed the Nicene creed. The same may be said of Tertullian and of
Origen” [=
Kristus adalah Akal dari akal, inkarnasi dari akal yang mutlak dan kekal. Ia
adalah suatu obyek penyembahan yang benar. Dalam usahanya untuk mendamaikan
pandangan ini dengan monotheisme, ia kadang-kadang menegaskan kesatuan moral
dari kedua pribadi ilahi, dan kadang-kadang dengan jelas menundukkan Anak
kepada Bapa / meletakkan Anak lebih rendah dari pada Bapa. Dengan cara itu
Justin mengkombinasikan hypostasianisme, atau teori tentang keilahian
Kristus yang bersifat pribadi dan tak tergantung, dengan subordinationisme
(pandangan yang
mengatakan bahwa Anak lebih rendah dari Bapa); karena itu, ia bukanlah Arian ataupun Athanasian; tetapi seluruh
kecenderungan theologianya, bertentangan dengan bidat-bidat, jelas mengarah
pada sistim ortodox, dan seandainya ia hidup belakangan, ia akan menganut
Pengakuan Iman Nicea. Hal yang sama bisa dikatakan tentang Tertullian dan
tentang Origen] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 549-550.
Philip Schaff: “So in Justin, the pioneer of scientific
discovery in Pneumatology as well as in Christology. He refutes the heathen
charge of atheism with the explanation, that the Christians worship the
Creator of the universe, in the second place the Son, in the third
rank the prophetic Spirit; placing the three divine hypostases in a
descending gradation of worship. ... he exalts the Spirit far above the sphere
of all created being, and challenges for the members of the divine trinity a
worship forbidden to angels” (= Begitulah dalam Justin, pelopor dari penemuan ilmiah dalam
Pneumatologi maupun dalam Kristologi. Ia menolak / membantah tuduhan orang
kafir tentang atheisme dengan penjelasan, bahwa orang-orang kristen menyembah Pencipta
dari alam semesta, di tempat yang kedua sang Anak, di ranking ketiga
Roh nubuatan; menempatkan ketiga pribadi ilahi dalam tingkatan
penyembahan yang menurun. ... ia meninggikan Roh jauh di atas semua makhluk
ciptaan, dan menuntut untuk anggota-anggota dari Tritunggal ilahi suatu
penyembahan yang dilarang untuk malaikat-malaikat) - ‘History of the
Christian Church’,
vol II, hal 561,562.
Philip Schaff: “Justin Martyr repeatedly places
Father, Son, and Spirit together as objects of divine worship among the Christians
(though not as being altogether equal in dignity)” [= Justin Martyr berulang-ulang
menempatkan Bapa, Anak, dan Roh bersama-sama sebagai obyek dari penyembahan
ilahi di antara orang-orang kristen (sekalipun tidak setara secara
keseluruhan dalam kewibawaan)] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 569.
Sekalipun Justin Martyr tidak menganggap bahwa ketiga
Pribadi itu betul-betul setara, dan dengan demikian doktrin Allah Tritunggalnya
cacat, tetapi ia menganggap ketiga Pribadi dalam Tritunggal itu sebagai obyek
penyembahan ilahi, dan ia mengatakan bahwa penyembahan seperti ini dilarang
untuk ditujukan kepada malaikat-malaikat! Berdasarkan hal ini, sukar dipercaya,
bahkan mustahil untuk dipercaya, bahwa ia menganggap pra manusia Yesus sebagai
malaikat, seperti yang dikatakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa!
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Justin Martyr’:
“one of the most important of the
Greek philosopher-Apologists in the early Christian church. His writings represent
the first positive encounter of Christian revelation with Greek philosophy and
laid the basis for a theology of history. A pagan reared in a Jewish
environment, Justin studied Stoic, Platonic, and other pagan philosophies and
then became a Christian in 132, possibly at Ephesus, near modern Selçuk,
Turkey. Soon after 135 he began wandering from place to place proclaiming his
newfound Christian philosophy in the hope of converting educated pagans to it.
He spent a considerable time in Rome. Some years later, after debating with the
cynic Crescens, Justin was denounced to the Roman prefect as subversive and
condemned to death. Authentic records of his martyrdom survive. Of the works
bearing Justin’s authorship and still deemed genuine are two Apologies and the Dialogue
with Trypho.
The first, or ‘Major Apology,’ was addressed about 150 to the Roman emperors
Antoninus Pius and Marcus Aurelius. In the first part of the First
Apology,
Justin defends his fellow Christians against the charges of atheism and
hostility to the Roman state. He then goes on to express the core of his
Christian philosophy: the highest aspiration of both Christianity and Platonic
philosophy is a transcendent and unchangeable God; consequently, an
intellectual articulation of the Christian faith would demonstrate its harmony
with reason. Such a convergence is rooted in the relationship between human
reason and the divine mind, both identified by the same term, logos (Greek: ‘intellect,’ ‘word’), which enables man to understand
basic truths regarding the world, time, creation, freedom, the human soul’s
affinity with the divine spirit, and the recognition of good and evil. Justin
asserts that Jesus Christ is the incarnation of the entire
divine logos and thus of these basic truths,
whereas only traces of truth were found in the great works of the pagan
philosophers. The purpose of Christ’s coming into the world was to teach men
the truth and save them from the power of demons. In the third part of the First
Apology,
Justin vividly describes the early Christians’ method of celebrating the
Eucharist and of administering Baptism. The Dialogue with Trypho is a discussion in which Justin
tries to prove the truth of Christianity to a learned Jew named Trypho. Justin
attempts to demonstrate that a new convenant has superseded the old covenant of
God with the Jewish people; that Jesus is both the messiah announced by the
Old Testament prophets and the preexisting logos through whom God revealed himself
in the Scriptures;
and that the gentiles have been chosen to replace Israel as God’s chosen
people. In his brief Second Apology Justin argues that the Christians
are being unjustly persecuted by Rome. Justin’s distinctive contribution to
Christian theology is his conception of a divine plan in history, a process of salvation structured by God, wherein the various
historical epochs have been integrated into an organic unity directed toward a
supernatural end; the Old Testament and Greek philosophy met to form the single
stream of Christianity. Justin’s concrete description of the sacramental
celebrations of Baptism and the Eucharist remain a principal source for the
history of the primitive church. Justin serves, moreover, as a crucial witness
to the status of the 2nd-century New Testament corpus, mentioning the first
three Gospels and quoting and paraphrasing the letters of Paul and 1 Peter; he
was the first known writer to quote from the Acts of the Apostles”.
Hanya bagian yang saya garis bawahi yang saya
terjemahkan. Terjemahannya adalah:
“Justin menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah inkarnasi dari
seluruh logos ilahi. ... Yesus adalah Mesias yang diumumkan oleh nabi-nabi
Perjanjian Lama, dan logos yang ada sebelumnya (preexisting), melalui siapa Allah
menyatakan diriNya sendiri dalam Kitab Suci”.
Kesimpulan tentang Justin Martyr: Baik dari buku sejarah, maupun dari Encyclopedia
Britannica 2000, sekalipun terlihat adanya pandangan-pandangan yang ‘sesat’,
khususnya doktrin keselamatan karena perbuatan baik, tetapi tidak ada
tanda-tanda sedikitpun bahwa Justin Martyr mempercayai bahwa pra-manusia Yesus
(Yesus sebelum inkarnasi) adalah seorang malaikat, seperti yang dikatakan oleh
Saksi-Saksi Yehuwa dalam kutipan di atas. Ini rupanya lagi-lagi merupakan suatu
dusta dari Saksi-Saksi (palsu) Yehuwa!
Sebagai tambahan, saya ingin memberikan informasi bahwa
Philip Schaff mengatakan bahwa ada tulisan-tulisan palsu yang dianggap sebagai
tulisan Justin Martyr, padahal sebetulnya bukan (hal 710,718). Mungkin Saksi
Yehuwa mengutip pandangan Justin Martyr dari tulisan-tulisan palsu ini.
b. Irenaeus.
Saksi-Saksi Yehuwa:
“Irenaeus, yang meninggal kira-kira tahun 200 M.,
mengatakan bahwa pramanusia Yesus keberadaannya terpisah dari Allah dan lebih
rendah daripada Dia. Ia memperlihatkan bahwa Yesus tidak setara dengan ‘Allah
yang benar dan satu-satunya,’ yang ‘lebih tinggi di atas segala-galanya, dan
selain Dia tidak ada yang lain.’” -
‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Sekarang kita bandingkan kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa ini
dengan kata-kata dari pihak Kristen.
Albert H. Freundt Jr.:
“Irenaeus
sought to be biblical and had a very definite theology centered in Christ. Christ
is co-eternal with the Father, and reveals him. Christ is true man and
true God. Christ is the second Adam who restores humanity to the position
lost in the Fall; only by the incarnation of the Word into the human race could
human beings reach their destiny as sons of God. Christ recapitulates the
history of the human race, so that his obedience undoes or replaces the
disobedience of man’s sin. Entering into our lot and condition he ransoms us by
his death. ... Baptism brings union with God” (= Irenaeus mencoba untuk menjadi Alkitabiah dan mempunyai
theologia yang sangat berpusatkan kepada Kristus. Kristus sama kekalnya
dengan Bapa, dan menyatakan Dia. Kristus adalah sungguh-sungguh manusia
dan sungguh-sungguh Allah. Kristus adalah Adam yang kedua yang memulihkan
manusia kepada posisi yang hilang dalam kejatuhan ke dalam dosa; hanya oleh
inkarnasi dari Firman ke dalam umat manusia maka manusia bisa mencapai tujuan
mereka sebagai anak-anak Allah. Kristus meringkas sejarah dari umat manusia,
sehingga ketaatanNya membalikkan atau menggantikan ketidaktaatan dari dosa
manusia. Dengan masuk ke dalam bagian kehidupan dan kondisi kita Ia menebus
kita oleh kematianNya. ... Baptisan menyebabkan persatuan dengan Allah) - ‘Early Christianity’,
hal 40.
Louis Berkhof: “He
merely asserts that the Logos existed from all eternity and was instrumental
in revealing the Father; and then takes his real starting-point in the
historically revealed Son of God. Through the incarnation the Logos became the
historical Jesus, and thereafter was at once true God and true man” (=
Ia hanya menegaskan bahwa Logos ada sejak kekekalan dan merupakan alat
dalam menyatakan Bapa, dan lalu mengambil titik-mulai dalam Anak Allah yang
dinyatakan dalam sejarah. Melalui inkarnasi Logos menjadi Yesus dalam sejarah,
dan sesudah itu adalah sekaligus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh
manusia) - ‘The
History of Christian Doctrines’, hal 64-65.
Philip Schaff: “Irenaeus and Hippolytus,
who labored in the West, though they were of Greek training, reached the
position, that Christ must be one with the Father, yet personally distinct
from him. It is commonly supposed that they came nearer the HOMO-OUSION
than the Greeks” [= Irenaeus dan
Hippolytus, yang berkerja di Barat, sekalipun mereka berasal dari pendidikan
Yunani, mencapai suatu posisi, bahwa Kristus harus satu dengan Bapa, tetapi
secara pribadi berbeda dari Dia. Pada umumnya dianggap bahwa mereka datang
lebih dekat pada HOMO-OUSION (= dari zat
yang sama) dari pada orang-orang Yunani] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 553.
Philip Schaff: “Irenaeus, after Polycarp, the most
faithful representative of the Johannean school, keeps more within the limits
of the simple biblical statements, and ventures no such speculations as the
Alexandrians, but is more sound and much nearer the Nicene standard” (= Irenaeus, setelah Polycarp, wakil yang
paling setia dari pandangan Yohanes, lebih menjaga di dalam batasan-batasan
dari pernyataan-pernyataan sederhana dari Alkitab, dan tidak mengajukan
spekulasi-spekulasi seperti golongan Alexandria, tetapi lebih sehat dan jauh
lebih dekat kepada standard Nicea) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 553.
Philip Schaff: “The Son, though begotten of the Father,
is still like him, distinguished from the created world, as increate,
without beginning, and eternal. All this plainly shows that Irenaeus is much
nearer the Nicene dogma of the substantial identity of the Son with the Father,
than Justin and the Alexandrians” (= Anak, sekalipun diperanakkan oleh Bapa, adalah tetap seperti Dia,
dibedakan dari dunia / alam semesta yang diciptakan, sebagai tidak dicipta /
ada secara kekal, tanpa permulaan, dan kekal. Semua ini dengan jelas
menunjukkan bahwa Irenaeus jauh lebih dekat dengan dogma Nicea tentang kesamaan
hakekat dari Anak dengan Bapa, dari pada Justin dan orang-orang Alexandria) - ‘History of the
Christian Church’,
vol II, hal 554.
Catatan: kata ‘increate’ diartikan oleh Webster’s New World
Dictionary sebagai ‘not created’ (= tidak dicipta), atau ‘existing eternally’ (= ada secara kekal).
Apakah Irenaeus beranggapan bahwa
Anak itu lebih rendah dari Bapa? Philip Schaff menjelaskan sebagai berikut:
Philip Schaff: “If, as he does in several passages, he
still subordinates the Son to the Father, he is certainly inconsistent; and
that for want of an accurate distinction between the eternal Logos and the
actual Christ. Expressions like, ‘My Father is greater than I,’ which apply
only to the Christ of history, he refers also, like Justin and Origen, to the
eternal Word. ... Apart from his frequent want of precision in expression, he
steers in general, with sure biblical and churchly tact, equally clear of both
extremes, and asserts alike the essential unity and the eternal personal
distinction of the Father and the Son” (= Jika, seperti ia lakukan dalam beberapa text, ia tetap meletakkan
Anak lebih rendah dari Bapa, ia jelas tidak konsisten; dan itu karena kurangnya
suatu pembedaan yang akurat antara Logos yang kekal dan Kristus yang
sesungguhnya. Ungkapan seperti, ‘BapaKu lebih besar dari pada Aku’, yang hanya
berlaku untuk Kristus dari sejarah, ia arahkan juga, seperti Justin dan Origen,
kepada Firman yang kekal. ... Terpisah dari kekurang-akuratannya yang sering
dalam hal ungkapan, ia mengarahkan secara umum, dengan taktik Alkitabiah yang
pasti dan cocok untuk gereja, secara sama menyingkirkan kedua extrim, dan menegaskan
dengan cara yang sama kesatuan hakiki dan perbedaan pribadi yang kekal dari
Bapa dan Anak)
- ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 554.
Kesimpulan tentang Irenaeus: secara umum jelas bahwa Irenaeus
tidak mengajar seperti yang dikatakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa. Memang ia
mempunyai ketidak-konsistenan dalam beberapa text, tetapi secara umum ia jelas
mempercayai bahwa:
·
Yesus
itu kekal, sama kekalnya dengan Bapa.
·
Yesus
tidak dicipta.
·
Yesus
adalah Allah sungguh-sungguh / sepenuhnya.
·
Yesus
sehakekat dengan Bapa.
Dan dalam persoalan Roh Kudus,
inilah pandangan Irenaeus menurut Philip Schaff.
Philip Schaff: “he was far from conceiving the Spirit a
mere power or attribute; he considered him an independent personality, like the
Logos” (=
ia jauh dari mengerti / menganggap Roh sebagai sekedar suatu kuasa atau sifat;
ia menganggap Dia sebagai kepribadian yang bebas / tak tergantung, seperti
Logos) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 564.
Catatan: ini lagi-lagi bertentangan dengan
dengan ajaran Saksi-Saksi Yehuwa tentang Roh Kudus. Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa
tidak mengikuti ajaran dari guru agama yang terkemuka ini?
c. Clement
dari Alexandria.
Saksi-Saksi Yehuwa:
“Clement dari Alexandria, yang meninggal kira-kira tahun
215 M., menyebut Yesus dalam keberadaannya sebelum menjadi manusia sebagai
‘suatu ciptaan’ tetapi menyebut Allah sebagai ‘yang tidak diciptakan dan tidak
dapat binasa dan satu-satunya Allah yang benar.’ Ia mengatakan bahwa sang Anak
‘adalah nomor dua setelah satu-satunya Bapa yang mahakuasa’ tetapi tidak setara
dengan Dia” - ‘Haruskah Anda Percaya
Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Catatan:
ada 2 orang yang bernama Clement. Untuk membedakan, maka nama kota mereka
diikutkan dalam nama mereka. Yang satu adalah Clement dari Roma, seorang bapa
rasuli, dan yang lain adalah Clement dari Alexandria, yang kita bicarakan di
sini.
Sekarang kita bandingkan kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa ini
dengan kata-kata dari pihak Kristen.
·
Clement dari Alexandria
jelas mempunyai pandangan-pandangan kacau / sesat, seperti terlihat dari
kutipan-kutipan di bawah ini.
Albert H. Freundt Jr.: “Clement saw the Word, or Logos, as
the source of all truth in humanity. Christ became man to give the supreme
revelation that through him they might receive immortality. To Clement the
greatest human problems were ignorance and error, rather than sin. He was
optimistic about human destiny. He taught that Christ preached in Hades for
those who died without the opportunity of repentance here, as well as for the
righteous through the law and philosophy, both Jews and Gentiles who dies
before the coming of Christ”
[= Clement melihat bahwa Firman, atau Logos, sebagai sumber dari semua
kebenaran dalam kemanusiaan. Kristus menjadi manusia untuk memberikan wahyu /
penyataan yang tertinggi bahwa melalui Dia mereka bisa menerima
ketidak-binasaan. Bagi Clement problem terbesar dari manusia bukan dosa tetapi
ketidak-tahuan dan kesalahan (error). Ia optimis tentang nasib manusia. Ia mengajar bahwa Kristus
berkhotbah di Hades untuk mereka yang mati tanpa kesempatan bertobat di sini,
dan juga bagi orang-orang benar melalui hukum Taurat dan filsafat, baik
orang-orang Yahudi maupun orang-orang non Yahudi yang mati sebelum kedatangan
Kristus] - ‘Early Christianity’, hal 42.
Louis Berkhof: “According
to both Clement and Origen the process of purification, begun in the life of
the sinner on earth, is continued after death. ... Clement asserts that the
heathen have an opportunity to repent in hades and that their probation does
not end until the day of judgment” (= Baik menurut Clement
mapun Origen proses pemurnian yang dimulai dalam kehidupan orang berdosa di
bumi, dilanjutkan setelah kematian. ... Clement menegaskan bahwa orang kafir
mempunyai kesempatan untuk bertobat di hades dan bahwa masa percobaan mereka
tidak berakhir sampai hari penghakiman) - ‘The History of Christian Doctrines’, hal 75.
Catatan: Bagian ini bertentangan dengan
ajaran Kristen, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Saksi Yehuwa. Apakah
Saksi-Saksi Yehuwa menjadikan Clement sebagai guru agama yang terkemuka, yang
mereka perhatikan, dalam hal ini?
·
pandangan
Clement dari Alexandria tentang Yesus Kristus dan Allah Tritunggal.
Louis Berkhof: “He
stresses the personal subsistence of the Logos, His oneness with the Father,
and His eternal generation; but also represents Him as the divine reason, and as
subordinate to the Father. He distinguishes between the real Logos of God
and the Son-Logos who appeared in the flesh” [=
Ia menekankan keberadaan yang bersifat pribadi dari Logos, kesatuanNya dengan
Bapa, dan kelahiranNya secara kekal (eternal generation); tetapi juga menggambarkan Dia sebagai
akal ilahi, dan sebagai lebih rendah dari Bapa. Ia membedakan antara
Logos yang sungguh-sungguh dari Allah dan Logos-Anak yang muncul dalam daging] - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 72.
Philip Schaff: “Clement of Alexandria speaks in the very
highest terms of the Logos, but leaves his independent personality obscure. He
makes the Logos the ultimate principle of all existence, without beginning, and
timeless” (=
Clement dari Alexandria berbicara dalam ungkapan-ungkapan yang sangat tinggi
tentang Logos, tetapi membiarkan kepribadianNya yang bebas kabur. Ia membuat
Logos sumber / asal usul yang terakhir dari semua keberadaan, tanpa awal /
permulaan, dan tanpa waktu) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 551.
Catatan: Bagian ini menunjukkan bahwa
Clement dari Alexandria mempercayai kekekalan Yesus. Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa
tak memperhatikan ajaran dari ‘guru agama yang terkemuka’ ini?
Philip Schaff: “he calls the Holy Spirit the third member
of the sacred triad, and requires thanksgiving to be addressed to him as to the
Son and the Father” (=
ia menyebut Roh Kudus anggota ketiga dari tritunggal yang kudus, dan
memerintahkan / menuntut pengucapan syukur ditujukan kepada Dia seperti kepada
Anak dan Bapa) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 563.
Catatan: bagian ini menunjukkan adanya doa
kepada Anak, dan kepada Roh Kudus. Jelas ia menganggap Roh Kudus sebagai
seorang pribadi. Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa tak mengikuti ajaran dari guru
agama yang terkemuka ini, mengingat Saksi-Saksi Yehuwa melarang doa kepada
Yesus, dan menganggap Roh Kudus bukan sebagai pribadi?
Kesimpulan tentang Clement dari
Alexandria: ia
memang mempunyai pandangan-pandangan sesat, bahkan tentang Kristus dan Allah
Tritunggal, karena ia mempercayai bahwa Anak itu lebih rendah / tidak setara
dengan Bapa. Tetapi saya tidak bisa menemukan dalam buku-buku sejarah, bahwa ia
mempercayai Yesus Kristus sebagai ‘suatu ciptaan’, seperti yang dikatakan oleh
Saksi-Saksi Yehuwa.
d. Tertullian.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Tertullian, yang
meninggal kira-kira tahun 230, mengajarkan keunggulan Allah. Ia berkata: ‘Sang
Bapa berbeda dari Anak (yang lain), karena Ia lebih besar; sebagaimana yang
memperanakkan berbeda dari dia yang diutus.’ Ia juga berkata: ‘Ada masanya
ketika sang Anak tidak ada. ... Sebelum semua perkara ada, Allah berada
sendirian.’” - ‘Haruskah Anda Percaya
Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Sekarang kita bandingkan kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa ini
dengan kata-kata dari pihak Kristen.
·
Tertullian mempunyai
pandangan salah / sesat dalam persoalan keselamatan.
Louis Berkhof (tentang Tertullian): “he
exalts the mercy of God. At the same time a certain legalism pervades his
teaching. He speaks of satisfaction made for sins committed after baptism by
repentance or confession. By fasting and other forms of mortification the
sinner is able to escape eternal punishment” (=
ia meninggikan belas kasihan Allah. Pada saat yang sama suatu legalisme tertentu
tersebar / sangat banyak terdapat dalam ajarannya. Ia berbicara tentang
penebusan yang dibuat untuk dosa-dosa yang dilakukan setelah baptisan oleh
pertobatan atau pengakuan. Dengan berpuasa dan bentuk-bentuk lain dari pematian
daging, orang berdosa itu bisa lolos dari hukuman kekal) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 66.
Catatan: ini bukan hanya menunjukkan ada
kesesatan dalam ajarannya, tetapi juga ada ajaran-ajaran yang bertentangan satu
sama lain.
·
pandangan Tertullian
tentang Kristus dan Allah Tritunggal.
Albert H. Freundt Jr.:
“His theology
left its mark on later theology, using terminology for the first time which has
become part of the theological vocabulary, such as: Trinity, one substance,
three persons, satisfaction, merit, New Testament, rule of faith, sacrament,
etc. Tertullian spoke of the divine substance as shared by the three persons
of the Trinity, but he followed the Apologists in not attributing to the Son an
eternal personal existence” (=
Theologianya meninggalkan bekas / tandanya pada theologia belakangan,
menggunakan istilah-istilah untuk pertama kalinya yang telah menjadi bagian
dari perbendaharaan kata theologia, seperti: Tritunggal, satu hakekat / zat,
tiga pribadi, pemuasan / penebusan, jasa / sesuatu yang layak untuk mendapatkan
pahala, Perjanjian Baru, peraturan iman, sakramen, dsb. Tertullian berbicara
tentang hakekat / zat ilahi yang dimiliki bersama-sama oleh tiga pribadi dari
Tritunggal, tetapi ia mengikuti para Apologists dengan tidak memberikan kepada
Anak keberadaan pribadi yang kekal)
- ‘Early
Christianity’, hal 40-41.
Louis Berkhof: “Tertullian
was the first to assert the tri-personality of God and to use the word
‘Trinity’. In opposition to the Monarchians he emphasized the fact that the
three Persons are of one substance, susceptible
of number with division. Yet he did not reach the proper trinitarian
statement, since he conceived of one Person as subordinate to others” (=
Tertullian adalah yang pertama yang menegaskan tiga kepribadian dari Allah dan
menggunakan kata ‘Tritunggal’. Untuk menentang Monarchianisme, ia menekankan
fakta bahwa tiga Pribadi itu adalah dari zat yang satu, memungkinkan bilangan dengan pembagian. Tetapi ia tidak mencapai
pernyataan berkenaan dengan Tritunggal yang benar, karena ia menganggap satu
Pribadi sebagai lebih rendah dari Pribadi-pribadi yang lain) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 63.
Catatan:
saya tak mengerti apa maksud dari bagian yang saya beri garis bawah ganda itu.
Louis Berkhof: “He stresses
the fact that the Logos of the Christians is a real subsistence, an independent
Person, who was begotten by God and thus proceeded from Him, ... by
self-projection, just as a root projects a tree. There was a time when he
was not. He emphasizes the fact that the Logos is of the same substance
with the Father, and yet differs from Him in mode of existence as a distinct
Person. He did not come into existence by
partitioning but by self-unfolding.
The Father is the whole substance, but the Son is only a part of it,
because He is derived. Tertullian did not entirely get away from the
idea of subordination. ... He too conceived of the Logos as originally
impersonal reason in God, become personal at the time of creation” (=
Ia menekankan fakta bahwa Logos dari orang-orang Kristen adalah suatu
keberadaan yang sungguh-sungguh, suatu Pribadi yang berdiri sendiri / tak
tergantung, yang diperanakkan oleh Allah dan karena itu keluar dari Dia,
... oleh suatu tindakan menonjolkan / mengeluarkan diri sendiri, sama seperti
suatu akar mengeluarkan / menonjolkan sebuah pohon. Ada saat dimana Ia tidak
ada. Ia menekankan fakta bahwa Logos itu adalah dari zat / hakekat yang
sama dengan Bapa, tetapi berbeda dari Dia dalam cara keberadaan sebagai seorang
Pribadi yang berbeda. Ia tidak menjadi ada
dengan pembagian, tetapi dengan menyatakan diri. Bapa adalah seluruh zat /
hakekat, tetapi Anak hanya sebagian darinya, karena Ia diturunkan /
didapatkan. Tertullian tidak sepenuhnya lolos dari gagasan tentang
kelebih-rendahan (maksudnya pribadi yang satu lebih rendah
dari pribadi yang lain). ... Ia juga menganggap Logos
mula-mula sebagai akal yang tidak berpribadi dalam Allah, dan menjadi Pribadi
pada saat penciptaan) - ‘The History of Christian Doctrines’, hal 65.
Catatan:
*
bagian yang saya beri
garis-bawah ganda saya tidak mengerti artinya.
*
bagian yang saya beri
garis-bawah tunggal itu merupakan kepercayaan yang salah. Dan kata-kata “There
was a time when he was not” (= Ada saat dimana Ia tidak ada) dikutuk dalam Pengakuan
Iman Nicea (tahun 325 M.)
Kesimpulan tentang Tertullian: dalam hal ini kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa mungkin
memang bisa dipertanggung-jawabkan. Tetapi Tertullian bukanlah standard kita.
Dan perlu diperhatikan bahwa Tertullian juga mengajarkan hal yang bertentangan
dengan pandangan Saksi-Saksi Yehuwa, karena ‘Ia
juga menganggap Logos mula-mula sebagai akal yang tidak berpribadi dalam Allah,
dan menjadi Pribadi pada saat penciptaan’ (lihat
bagian terakhir dari kutipan yang terakhir). Saksi-Saksi Yehuwa beranggapan
bahwa Anak sudah adalah seorang pribadi sebelum penciptaan.
e. Hippolytus.
Saksi-Saksi Yehuwa:
“Hippolytus, yang meninggal kira-kira tahun 235,
mengatakan bahwa Allah adalah ‘Allah yang esa, Pribadi yang pertama dan
satu-satunya Khalik dan Tuhan dari semua,’ ‘tidak ada yang (memiliki umur yang
sama) dengan Dia ... Tetapi Ia adalah Esa, berada sendirian; yang, karena
menghendakinya, membuat ada apa yang dulunya tidak ada,’ seperti misalnya
pramanusia Yesus yang diciptakan” -
‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Sekarang kita bandingkan kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa ini
dengan kata-kata dari pihak Kristen.
Philip Schaff: “Irenaeus and Hippolytus,
who labored in the West, though they were of Greek training, reached the
position, that Christ must be one with the Father, yet personally distinct
from him. It is commonly supposed that they came nearer the HOMO-OUSION
than the Greeks” [= Irenaeus dan
Hippolytus, yang berkerja di Barat, sekalipun mereka berasal dari pendidikan
Yunani, mencapai suatu posisi, bahwa Kristus harus satu dengan Bapa, tetapi
secara pribadi berbeda dari Dia. Pada umumnya dianggap bahwa mereka datang
lebih dekat pada HOMO-OUSION (= dari zat
yang sama) dari pada orang-orang Yunani] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 553.
Philip Schaff: “With equal energy
Hippolytus combated Patripassianism, and insisted on the recognition of
different hypostases with equal claim to divine worship. Yet he, too, is
somewhat trammelled with the subordination view” [= Dengan energi yang sama Hippolytus memerangi
Patripassianisme, dan berkeras pada pengakuan pribadi-pribadi yang berbeda
dengan tuntutan penyembahan ilahi yang sama. Tetapi ia juga, agak dibatasi
oleh pandangan yang menganggap Anak lebih rendah dari Bapa] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 555.
Catatan:
·
‘Patripassianisme’ artinya
‘Bapa yang menderita’. Ini adalah nama lain dari Sabellianisme, yang menganggap
bahwa Allah itu terdiri dari satu pribadi, dengan 3 perwujudan. Karena itu,
yang berinkarnasi sebagai Yesus adalah Bapa sendiri. Dan yang menderita dan
mati di salib, juga adalah Bapa sendiri.
·
Sekalipun Hippolytus masih
dipengaruhi oleh pandangan yang menganggap Anak lebih rendah dari Bapa, tetapi
perhatikan bahwa ia menuntut penyembahan yang sama kepada Bapa dan Anak.
Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa tidak menuruti ‘guru agama yang terkemuka’ ini?
Philip Schaff: “He (Hippolytus) puts into his mouth as his
last words: ‘These steeds drag my limbs after them; drag Thou, O Christ, my
soul to Thyself.’” (= Ia mengeluarkan
kata-kata ini sebagai kata-kata terakhirnya: ‘Kuda-kuda ini menyeret
kaki-kakiku di belakang mereka; tariklah O Kristus, jiwaku kepadaMu sendiri’) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 760.
Catatan:
jelas bahwa Bapa gereja ini berdoa kepada Kristus pada saat mau mati (dalam
keadaan diseret oleh kuda-kuda liar). Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa tak mau
memperhatikan bapa gereja ini, dan sebaliknya melarang orang untuk berdoa
kepada Yesus Kristus?
Philip Schaff: “On the subject of the
trinity he assails Monarchianism, and advocates the hypostasian theory with a
zeal which brought down upon him the charge of ditheism” (= Tentang pokok tritunggal, ia membantah / menyerang
Monarchianisme, dan menganjurkan teori yang berhubungan dengan pribadi dengan
suatu semangat yang membawa kepadanya tuduhan tentang ditheisme) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 764.
Catatan:
·
Monarchianisme adalah
ajaran yang menekankan ketunggalan Allah (Allah dianggap tunggal mutlak).
·
Ditheisme adalah ajaran
yang mempercayai adanya 2 Allah.
Kesimpulan tentang Hippolytus: sekalipun pandangannya ada cacatnya, tetapi relatif tak
terlalu besar dibandingkan dengan bapa-bapa gereja yang lain. Ia jelas jauh
lebih dekat kepada kekristenan dari pada kepada Saksi Yehuwa. Saya tidak bisa
menemukan dalam buku-buku sejarah bahwa Hippolytus mengatakan bahwa Kristus
dicipta, seperti yang dikatakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa.
f. Origen.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Origen, yang meninggal
kira-kira tahun 250 M., mengatakan bahwa ‘sang Bapa dan Anak adalah dua hakekat
... dua hal sehubungan dengan pokok dasar mereka,’ dan bahwa ‘dibandingkan
dengan Bapa, (Anak) adalah terang yang sangat kecil.’” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
Sekarang kita bandingkan kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa ini
dengan kata-kata dari pihak Kristen.
·
Origen adalah murid dari
Clement dari Alexandria. Kalau Clement dari Alexandria sudah mempunyai
pandangan-pandangan yang kacau dan sesat, maka Origen lebih lagi. Mungkin ia
adalah bapa gereja yang paling sesat, dengan pandangan-pandangan yang sangat
brengsek. Ini terlihat dari kutipan-kutipan di bawah ini.
Albert H. Freundt Jr.:
“He believed
in the pre-existence of souls, and the fall is traced to this pre-existent
state. Origen is the first universalist, believing that ultimately everyone,
including the devil and his angels, will be brought back to God” (= Origen adalah universalist yang pertama, yang mempercayai
bahwa pada akhirnya setiap orang, termasuk setan dan malaikat-malaikatnya, akan
dibawa kembali kepada Allah) - ‘Early
Christianity’, hal 43.
Louis Berkhof: “According
to both Clement and Origen the process of purification, begun in the life of
the sinner on earth, is continued after death. ... Origen teaches that at death
the good enter paradise or a place where they receive further education, and
the wicked experience the fire of judgment which, however, is not to be
regarded as a permanent punishment, but as a means of purification. ... Origen
maintains that God’s work of redemption will not cease until all things are
restored to their pristine beauty. The restoration of all things will even
include Satan and his demons. Only a few people enter upon the full blessedness
of the vision of God at once; the great majority of them must pass through a
process of purification after death” (= Baik menurut Clement
mapun Origen proses pemurnian yang dimulai dalam kehidupan orang berdosa di
bumi, dilanjutkan setelah kematian. ... Origen mengajarkan bahwa pada kematian,
orang-orang baik / saleh masuk ke Firdaus atau suatu tempat dimana mereka
menerima pendidikan lanjutan, dan orang jahat mengalami api penghukuman yang,
bagaimanapun, tidak dianggap sebagai hukuman kekal, tetapi sebagai cara / jalan
dari pemurnian. ... Origen mempertahankan bahwa pekerjaan penebusan Allah tidak
akan berhenti sampai segala sesuatu dipulihkan kepada keindahan mereka yang
asli. Pemulihan dari segala sesuatu bahkan akan mencakup setan / iblis dan
roh-roh jahatnya. Hanya sedikit orang yang masuk ke dalam keadaan diberkati
sepenuhnya, yaitu melihat Allah, dengan segera / langsung; mayoritas dari
mereka harus melewati suatu proses pemurnian setelah kematian) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 75.
Louis Berkhof: “Origen
recognizes the fact that the salvation of believers is dependent on the
sufferings and death of Christ. Christ delivers them from the power of the
devil, and does this by practising deceit on Satan. He offers Himself to Satan
as a ransom, and Satan accepts the ransom with realizing that he would not be
able to retain his hold on Christ, the Sinless One. ... The redemptive
influence of the Logos extends beyond this life. Not only men who have lived on
earth and died, but all fallen spirits, not excluding Satan and his evil
angels, are brought under redemptive influences. There will be a restitution of
all things” (= Origen mengakui fakta bahwa
keselamatan dari orang-orang percaya tergantung pada penderitaan dan kematian
Kristus. Kristus membebaskan mereka dari kuasa setan, dan melakukan ini dengan
mempraktekkan penipuan kepada Setan. Ia menawarkan DiriNya sendiri kepada Setan
sebagai suatu tebusan, dan Setan menerima tebusan itu dengan menyadari bahwa ia
tidak akan bisa mempertahankan pegangannya pada Kristus, Yang Tidak Berdosa.
... Pengaruh penebusan dari Logos diperluas sehingga melampaui hidup ini. Bukan
hanya manusia yang hidup di bumi dan mati, tetapi semua roh-roh yang jatuh, tak
terkecuali Setan dan semua malaikat-malaikat jahatnya, dibawa kebawah suatu
pengaruh penebusan. Akan ada suatu pemulihan dari segala sesuatu) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 74.
Catatan:
pandangan universalisme ini, yang menganggap bahwa akhirnya semua akan selamat,
termasuk setan, jelas sangat bertentangan dengan ajaran Kristen, tetapi juga
dengan ajaran Saksi Yehuwa. Apakah Saksi-Saksi Yehuwa menganggap Origen sebagai
guru agama yang terkemuka, dan menuruti ajarannya, dalam hal ini?
·
pandangan Origen tentang
Kristus dan Allah Tritunggal.
Albert H. Freundt Jr.:
“He
contributed to the formulation of the doctrine of the Trinity. He taught the
eternal generation of the Son from the Father, but so subordinated the Son
and the Spirit to the Father as almost to dissolve the Divine unity” (= Ia memberikan sumbangsih kepada pembentukan dari doktrin
Tritunggal. Ia mengajarkan ‘the eternal generation of the Son from the Father’, tetapi ia begitu melebih-rendahkan Anak dan Roh terhadap
Bapa sehingga hampir membubarkan kesatuan Ilahi) - ‘Early Christianity’,
hal 43.
Philip Schaff: “Origen ... On the one hand
he brings the Son as near as possible to the essence of the Father; ... he
already applies the term HOMO-OUSIOS to the Son, thus declaring him coequal in
essence or nature with the Father. ... But on the other hand he distinguishes
the essence of the Son from that of the Father; speaks of a difference of
substance; and makes the Son decidedly inferior to the Father, calling him,
with reference to John 1:1, merely qeoj without the article, that is, God in a relative or secondary
sense (Deus de Deo), also deuteroj
qeoj, but the
Father God in the absolute sense, o[ qeoj (Deus per se), or au]toqeoj, also the fountain and root of the divinity. Hence, he also taught,
that the Son should not be directly addressed in prayer, but the Father through
the Son in the Holy Spirit. This must be limited, no doubt, to absolute
worship, for he elsewhere recognizes prayer to the Son and to the Holy Spirit” [= Origen ... Di satu sisi ia membawa Anak sedekat mungkin
kepada hakekat dari sang Bapa; ... ia sudah menerapkan istilah HOMO-OUSIOS
(hakekat yang sama) kepada Anak, dan dengan cara itu menyatakan Dia setara
dalam hakekat dengan Bapa. ... Tetapi di sisi yang lain ia membedakan hakekat
dari Anak dengan hakekat dari Bapa; berbicara tentang suatu perbedaan zat; dan
membuat Anak dengan pasti lebih rendah dari Bapa, menyebut Dia, berkenaan
dengan Yoh 1:1, semata-mata THEOS tanpa kata sandang, yaitu Allah dalam arti
relatif atau sekunder (Deus de Deo), juga DEUTEROS THEOS (Allah kedua), tetapi Bapa Allah dalam
arti mutlak, HO THEOS (Deus per se), atau AUTOTHEOS (Allah dari dirinya sendiri), juga sumber
dan akar dari keilahian. Karena itu, ia juga mengajar, bahwa doa tidak seharusnya
ditujukan kepada Anak, tetapi kepada Bapa melalui Anak dalam Roh Kudus. Tidak
diragukan, ini harus dibatasi pada penyembahan / ibadah yang mutlak, karena di
tempat lain ia mengakui doa kepada Anak dan kepada Roh Kudus] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 551,552,553.
Catatan:
dari sini terlihat bahwa banyak ajaran Origen yang bertentangan sendiri satu
dengan yang lain.
Philip Schaff: “he (Origen) ... was the
first to teach expressly the eternal generation of the Son, yet he may be
almost as justly considered a forerunner of the Arian heteroousion, or at least of the semi-Arian homoiousion, as of the Athanasian homoousion” [= ia (Origen) ... adalah yang pertama mengajar secara explicit
doktrin ‘the eternal
generation of the Son’, tetapi ia hampir bisa
dianggap sebagai seorang pendahulu dari istilah HETEROOUSION dari Arianisme,
atau setidaknya dari istilah HOMOIOUSION dari semi-Arianisme, maupun dari
istilah Athanasius HOMOOUSION] - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 791.
Catatan:
*
Heteroousion = dari zat yang berbeda.
*
Homoiousion = dari zat yang mirip / serupa.
*
Homoousion = dari zat yang sama.
Louis Berkhof: “Origen
says that the one God is primarily the Father, but He reveals himself and works
through the Logos, who is personal and co-eternal with the Father, begotten of
Him by one eternal act. ... though he recognizes the full divinity of the Son,
he uses expressions that point to subordination. While he speaks of eternal
generation, he defines the phrase in such a way as to teach not merely an
economic but an essential subordination of the Son to the Father. He sometimes
calls the Son THEOS DEUTEROS. ... Origen’s view of the third Person is further
removed from the Catholic doctrine than his conception of the Second Person. He
speaks of the Holy Spirit as the first creature made by the Father through the
Son. The Spirit’s relation to the Father is not as close as that of the Son.
... He possesses goodness by nature, renews and sanctifies sinners, and is an
object of divine worship” [= Origen berkata bahwa satu Allah itu
terutama adalah Bapa, tetapi Ia menyatakan diriNya sendiri dan bekerja melalui
Logos, yang adalah seorang pribadi, dan sama kekalnya dengan Bapa, diperanakkan
dari Dia oleh satu tindakan kekal. ... sekalipun ia mengakui keilahian penuh
dari Anak, ia menggunakan ungkapan-ungkapan yang menunjuk kepada keadaan yang
lebih rendah. Sekalipun ia berbicara tentang eternal generation, ia
mendefinisikan ungkapan itu dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mengajarkan
bukan semata-mata ketundukan demi keteraturan, tetapi ketundukan /
kelebih-rendahan secara hakiki dari Anak terhadap Bapa. Ia kadang-kadang
menyebut Anak THEOS DEUTEROS (Allah sekunder). ... Pandangan Origen tentang pribadi
ketiga bergeser lebih jauh lagi dari doktrin Katolik dari pada pandangannya
tentang Pribadi Kedua. Ia berbicara tentang
Roh Kudus sebagai makhluk ciptaan pertama yang dibuat oleh Bapa melalui Anak.
Hubungan Roh dengan Bapa tidak sedekat dengan Bapa dengan Anak. ... Ia (Roh
Kudus) memiliki kebaikan secara alamiah, memperbaharui dan
menguduskan orang-orang berdosa, dan merupakan obyek penyembahan ilahi] - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 72.
Catatan:
*
Bagian
yang saya beri garis bawah tunggal menunjukkan bahwa Origen mempercayai Roh
Kudus sebagai seorang Pribadi, yang bahkan harus dijadikan obyek penyembahan.
Mengapa Saksi-Saksi Yehuwa tidak memperhatikan ajaran Origen dalam hal
ini, dan sebaliknya, hanya menganggap Roh Kudus sebagai tenaga aktif Allah, yang
bukan merupakan seorang pribadi, dan yang tentunya bukan merupakan obyek
penyembahan?
*
Bagian
yang saya beri garis bawah ganda adalah suatu ajaran yang bertentangan baik
dengan kekristenan maupun dengan Saksi Yehuwa. Tetapi mengingat bahwa Saksi-Saksi
Yehuwa menganggap Origen sebagai Bapa gereja, yang adalah guru yang terkemuka,
yang ajarannya harus diperhatikan, maka perlu dipertanyakan: mengapa
Saksi-Saksi Yehuwa tidak menyesuaikan ajarannya dengan ajaran Origen di sini?
Louis Berkhof (tentang Origen): “in
later life he was condemned for heresy. ... Part of his teachings were
afterwards declared heretical” (= dalam hidupnya belakangan ia dikecam
sebagai orang sesat. ... Sebagian dari ajarannya dinyatakan sebagai ajaran
sesat setelah itu)
- ‘The History of Christian Doctrines’, hal 71.
Philip Schaff juga mengatakan bahwa belakangan dalam
Sidang Gereja di Konstantinople (tahun 543 M.) ajaran Origen dikecam sebagai
ajaran sesat (‘History of the Christian Church’, vol II, hal 791).
Kesimpulan tentang Origen: Ia memang sesat, dan mempunyai
banyak pandangan sesat. Ajarannya tentang Kristus dan Allah Tritunggal saling
bertentangan sendiri. Dan ajarannya ada yang bertentangan dengan ajaran Saksi
Yehuwa. Saksi-Saksi Yehuwa sendiri tidak mengikuti pandangan dari ‘guru agama
terkemuka’ ini; lalu mengapa mereka mengharuskan kita untuk mengikutinya?
5. Adanya
ajaran / kepercayaan sesat dalam kalangan bapa-bapa gereja pra-Nicea tidak
berarti bahwa mereka tidak mempunyai ajaran / kepercayaan yang benar / baik.
Sebetulnya ajaran yang benar tentang Kristologi dan
tentang Allah Tritunggal, sudah ada dalam bapa-bapa gereja ini, tetapi mungkin
tidak ada yang mempunyainya secara keseluruhan. Jadi seandainya ajaran-ajaran
tersebut dikelompokkan dalam 10 kelompok, maka mungkin bapa gereja A
mempercayai pandangan kelompok 1,5,9,10; bapa gereja B mempercayai pandangan
kelompok 2,4,7,8; bapa gereja C mempercayai pandangan kelompok 3,5,6,10, dst.
Jadi seluruh pandangan yang benar tentang Kristologi dan Allah Tritunggal,
sudah ada, tetapi terpencar-pencar dalam diri dari banyak bapa-bapa gereja.
Baru pada saat Sidang Gereja Nicea, yang melahirkan Pengakuan Iman Nicea dan
selanjutnya, maka ajaran / kepercayaan tentang Kristologi dan Allah Tritunggal
yang benar betul-betul menjadi solid dalam seluruh gereja yang benar.
6. Claim Saksi Yehuwa bahwa sebelum Sidang Gereja Nicea tidak ada
bapa gereja yang mempercayai keilahian penuh dari Kristus atau kesetaraan dari
pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal, atau adanya hanya satu hakekat / zat
dalam Allah Tritunggal, adalah salah.
Untuk menyegarkan ingatan saudara tentang claim dari Saksi-Saksi Yehuwa itu, saya mengutip ulang
kata-kata Saksi-Saksi Yehuwa di sini:
·
“Meringkaskan bukti
sejarah, Alvan Lamson mengatakan dalam The Church of the First Three Centuries: ‘Doktrin Tritunggal yang modern dan populer ... tidak mendapat
dukungan dari bahasa Justin (Martyr): dan pernyataan ini dapat diperluas
sehingga berlaku juga untuk semua Bapa pra-Nicea; yaitu untuk semua
penulis Kristen selama tiga abad setelah kelahiran Kristus. Memang, mereka
berbicara mengenai sang Bapa, Anak dan ... Roh kudus, tetapi tidak sebagai
(pribadi-pribadi) yang setara, tidak berjumlah satu zat, tidak sebagai Tiga
dalam Satu, dalam arti apapun yang sekarang diterima oleh para penganut
Tritunggal. Justru sebaliknyalah yang merupakan fakta.’” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 7.
·
“Tidak
ada seorang teolog pun di Gereja Timur atau Barat sebelum pecahnya Kontroversi
Arius (pada abad keempat), yang dalam beberapa hal tidak menganggap Anak lebih
rendah kedudukannya daripada Bapak” - ‘Pencarian Manusia Akan Allah’, hal 275.
Catatan:
yang ini adalah kutipan
Saksi-Saksi Yehuwa dari kata-kata R. P. C. Hanson.
Untuk membuktikan kesalahan dari kata-kata / claim Saksi-Saksi Yehuwa ini, mari kita memperhatikan beberapa
orang / bapa gereja di bawah ini.
a. Gregory
Thaumaturgus.
Philip Schaff berbicara tentang Gregory Thaumaturgus,
yang adalah murid dari Origen. Merupakan sesuatu yang luar biasa bahwa murid
dari bapa gereja yang paling sesat itu ternyata bisa mempunyai pengertian /
theologia yang sangat bagus! Gregory Thaumaturgus ini menghadiri Sidang Gereja
Antiokhia tahun 265 M., yang mengecam Paul dari Samosata (yang adalah seorang
Unitarian, yang menentang kepribadian dari Logos maupun Roh Kudus).
Philip Schaff: “Gregory of Nyssa and
Basil, who made him (Gregory Thaumaturgus) also a champion of the Nicene orthodoxy before the Council
of Nicæa” [= Gregory dari Nyssa dan
Basil, yang menganggap dia (Gregory
Thaumaturgus) juga sebagai seorang
pembela / pendukung dari keorthodoxan Nicea sebelum Sidang Gereja Nicea] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 797-798.
Philip Schaff: “Gregory (Thaumaturgus) was supposed to have
anticipated the Nicene dogma of the trinity” [= Gregory (Thaumaturgus) dianggap mengantisipasi
dogma Tritunggal dari Nicea] - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 801.
Philip Schaff juga menuliskan ‘The Declaration of Faith’ (= Pernyataan dari Iman), yang dikatakan bahwa ini
dinyatakan kepada Gregory Thaumaturgus melalui suatu
penglihatan, yang ia katakan sebagai:
“It is certainly a very
remarkable document and the most explicit statement of the doctrine of the
Trinity from the ante-Nicene age” (= Itu jelas
merupakan dokumen yang sangat luar biasa / hebat dan merupakan pernyataan yang
paling explicit tentang doktrin dari Tritunggal dari jaman sebelum Nicea) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 798.
Bagian akhir dari ‘The Declaration of Faith’ itu bunyinya adalah:
“There is therefore nothing
created or subservient in the Trinity, nor superinduced, as though not before
existing, but introduced afterward. Nor has the Son ever been wanting to the
Father, nor the Spirit to the Son, but there is unvarying and unchangeable the
same Trinity forever” (= Karena itu tidak ada
apapun yang diciptakan atau lebih rendah / tunduk dalam Tritunggal, ataupun
yang ditambahkan, seakan-akan tadinya belum ada, tetapi dimasukkan belakangan.
Juga Anak tidak pernah tidak ada bagi Bapa, dan Roh tidak pernah tidak ada bagi
Anak, tetapi di sana ada Tritunggal yang sama yang tidak berubah
selama-lamanya) - Philip Schaff, ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 799.
Memang Philip Schaff sendiri mencurigai bahwa ada orang
lain yang menambahi ‘The Declaration of Faith’ ini. Jadi keorisinilannya ada yang meragukan. Tetapi ia
lalu berbicara tentang tulisan asli dari Gregory ini.
Philip Schaff: “Among his genuine
writings ... two books recently published in a Syriac translation, one
on the co-equality of the Father, Son, and Holy Spirit, ...” (= Di antara tulisan-tulisan
aslinya ... dua buku baru-baru ini dipublikasikan dalam terjemahan bahasa
Siria / Aram, buku yang satu tentang kesetaraan dari Bapa, Anak, dan Roh
Kudus, ...) - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 798.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Gregory
Thaumaturgus, Saint’:
“Greek Christian apostle of
Roman Asia and champion of orthodoxy in the 3rd-century Trinitarian (nature
of God) controversy. ... The Exposition of Faith,
Gregory’s principal work, was a theological apology for Trinitarian belief. The
Exposition incorporated his doctrinal instructions to Christian initiates,
expressed his arguments against heretical groups, and was the forerunner of
the Nicene Creed that was to appear in the early 4th century” [= Rasul Kristen Yunani dari Asia Romawi dan pembela dari
keorthodoxan dalam pertentangan / perdebatan tentang Tritunggal (sifat /
hakekat dari Allah) pada abad ke 3. ... ‘Exposisi dari Iman’, karya utama
dari Gregory, merupakan suatu pembelaan theologia untuk kepercayaan pada
Tritunggal. Exposisi ini memasukkan ajaran-ajaran doktrinalnya kepada
calon-calon orang Kristen, menyatakan argumentasi-argumentasinya terhadap
kelompok-kelompok sesat, dan merupakan pendahulu / penyiap jalan bagi
Pengakuan Iman Nicea yang akan muncul pada awal abad ke 4].
Catatan:
mungkin yang di sini disebut sebagai ‘Exposition of Faith’
(= Exposisi dari Iman) sama dengan apa yang disebut sebagai ‘Declaration of
Faith’ (= Pernyataan dari Iman) oleh
Philip Schaff di atas.
b. Theophilus
dari Antiokhia (mati tahun 181 M.).
Philip Schaff tentang Theophilus dari Antiokhia: “He was the first to use the term ‘triad’ for the holy Trinity,
and found this mystery already in the words: ‘Let us make man’ (Gen. 1:26);
for, says he, ‘God spoke to no other but to his own Reason and his own Wisdom,’
that is, to the Logos and the Holy Spirit hypostatized” [= Ia adalah yang pertama menggunakan istilah ‘triad’ untuk
Tritunggal yang kudus, dan sudah menemukan misteri ini dalam kata-kata ‘Baiklah
Kita menjadikan manusia’ (Kej 1:26); karena ia berkata, ‘Allah berbicara bukan
lain kepada AkalNya sendiri dan HikmatNya sendiri’, yaitu, kepada Logos dan Roh
Kudus yang dipribadikan / dianggap sebagai pribadi] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 733.
c. Melito
dari Sardis (abad ke 2 M.).
Philip Schaff tentang Melito dari Sardis: “We are not worshippers of senseless stone, but adore
one only God, who is before all and over all, and His Christ truly God the
Word before all ages” (= Kami bukan penyembah-penyembah
dari batu yang tolol / tak berguna / tak berarti, tetapi memuja hanya
satu Allah, yang ada sebelum semua dan di atas semua, dan KristusNya
betul-betul Allah Firman sebelum segala jaman) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 738.
Jelas bahwa bapa gereja ini menyembah dan memuja Kristus,
dan mempercayai Yesus sebagai Allah yang kekal.
d. Dionysius dari Roma (tahun 262 M.) dan Dionysius
dari Alexandria.
Yang pertama adalah seorang uskup
(paus) dari Roma, dan yang kedua adalah uskup dari Alexandria.
·
Tentang
Dionysius yang pertama, perhatikan komentar-komentar dari Philip Schaff di
bawah ini.
Philip Schaff: “Dionysius, A.D. 262, ... maintained at
once the HOMO-OUSION and eternal generation against Dionysius of Alexandria,
and the hypostatical distinction against Sabellianism, and sketched in bold and
clear outlines the Nicene standard view” [= Dionysius, 262 M., ... mempertahankan sekaligus istilah HOMO-OUSION (= dari zat yang sama) dan eternal generation terhadap Dionysius dari Alexandria, dan
perbedaan pribadi terhadap Sabellianisme, dan membuat sketsa / menguraikan
secara terperinci garis besar yang tegas dan jelas dari pandangan standard
Nicea] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 556.
Catatan: ‘eternal generation’ adalah doktrin yang mengatakan
bahwa Bapa memperanakkan Anak secara kekal, seperti matahari yang terus menerus
memancarkan sinarnya.
Philip Schaff: “The Roman bishop Dionysius (A.D. 262), a
Greek by birth, stood nearest the Nicene doctrine. He maintained distinctly, in
the controversy with Dionysius of Alexandria, at once the unity of essence
and the real personal distinction of the three members of the divine
triad, and avoided tritheism, Sabellianism,
and subordinatianism with the instinct of
orthodoxy, and also with the art of anathematizing already familiar to the
popes” [=
Uskup Roma Dionysius (262 M.), seorang Yunani oleh kelahiran, berdiri paling
dekat dengan doktrin Nicea. Ia mempertahankan dengan jelas, dalam perdebatan
dengan Dionysius dari Alexandria, sekaligus kesatuan hakekat dan perbedaan
yang bersifat pribadi yang nyata dari ketiga anggota-anggota dari triad /
tritunggal ilahi, dan menghindari ajaran tentang tiga Allah, Sabellianisme, dan subordinatianisme dengan naluri orthodox, dan juga dengan seni
pengutukan yang sudah akrab dengan paus-paus] - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 570.
Catatan:
*
Sabelianisme
adalah ajaran yang mengatakan bahwa Allah mempunyai 1 hakekat dan 1 pribadi,
tetapi 3 perwujudan.
*
Subordinatianisme adalah ajaran yang menganggap bahwa
tiga pribadi dalam Allah Tritunggal itu tidak setara tetapi yang satu lebih rendah
dari pada yang lain.
·
Pertentangan di antara
kedua Dionysius, diakhiri dengan ketundukan Dionysius dari Alexandria kepada
Dionysius dari Roma.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Dionysius,
Saint’:
“pope from July 22, 259, to
Dec. 26, 268. ... In response to charges of tritheism - i.e., separating the
members of the Trinity as three distinct deities - against Bishop Dionysius of Alexandria, the pope convened a
Roman synod (260) and demanded an explanation from Bishop Dionysius; this
became known as ‘the affair of the two Dionysii.’ Semantics was at the root of the
difficulty; Greek and Roman understandings of the same terms differed. The
discussions at the synod helped to prepare the way for the theology of the Nicene Creed (325). The bishop cleared himself
in his Refutation and Apology and accepted the pope’s authority” [= paus dari 22 Juli 259
sampai 26 Des 268. ... Dalam tanggapan terhadap tuduhan tentang tritheisme /
tiga Allah - yaitu memisahkan anggota-anggota dari Tritunggal sebagai tiga
keallahan yang berbeda - terhadap Uskup Dionysius dari Alexandria, sang paus
memanggil suatu sidang gereja Roma (260) dan menuntut suatu penjelasan dari
Uskup Dionysius; ini dikenal sebagai ‘perkara / urusan dari dua Dionysius’.
Bahasa Semantic merupakan akar dari kesukaran. Pengertian dari orang-orang
Yunani dan Romawi tentang istilah-istilah yang sama, berbeda. Diskusi pada
sidang gereja menolong untuk menyiapkan jalan untuk theologia dari Pengakuan
Iman Nicea (325). Sang Uskup membersihkan / membebaskan dirinya sendiri
dalam bukunya / tulisannya berjudul ‘Refutation
and Apology’ dan menerima otoritas dari paus].
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Dionysius of
Alexandria, Saint’:
“Dionysius was especially
noted for his attacks on the Sabellians,
who accused him of separating the persons of the Trinity (tritheism) and other
heresies. Protests were sent to Pope St. Dionysius in Rome,
who condemned those who denied any distinction between the persons of the
Trinity and those who acknowledged three separate persons. Dionysius of
Alexandria accepted the Pope's judgment and repudiated the Sabellians’ charges,
but he insisted that the Trinity consisted of three inseparable persons. His
position has since been vindicated by the church” [= Dionysius khususnya
terkenal karena serangan-serangannya pada Sabelianisme, yang menuduh dia
memisahkan pribadi-pribadi dari Tritunggal (Tritheisme / tiga Allah) dan
kesesatan-kesesatan yang lain. Protes-protes dikirim kepada Paus Santo
Dionysius di Roma, yang mengecam / mengutuk mereka yang menyangkal perbedaan
apapun antara pribadi-pribadi dari Tritunggal dan mereka yang mengakui tiga
pribadi yang terpisah. Dionysius dari Alexandria menerima penilaian /
penghakiman dari Paus dan menolak tuduhan-tuduhan dari penganut-penganut
Sabelianisme, tetapi ia berkeras bahwa Tritunggal terdiri dari tiga pribadi
yang tak terpisahkan. Posisi / pandangannya dipertahankan oleh gereja sejak
saat itu].
Jadi, kedua Dionysius ini akhirnya
mempunyai persetujuan pandangan, yang sesuai dengan Pengakuan Iman Nicea,
sekitar 65 tahun sebelum Sidang Gereja Nicea!
Dari contoh-contoh yang saya bicarakan di atas ini
terlihat jelas bahwa claim Saksi-Saksi
Yehuwa yang mengatakan bahwa sebelum Sidang Gereja Nicea tidak ada bapa-bapa
gereja yang mempercayai keilahian penuh dari Kristus, atau kesetaraan dari
pribadi-pribadi dalam Allah Tritunggal, atau adanya hanya satu hakekat / zat
dalam Allah Tritunggal, merupakan claim yang
seenaknya sendiri, sembarangan, salah, dan bersifat dusta!
Ini lagi-lagi membuktikan bahwa nama yang lebih tepat
untuk Saksi-Saksi Yehuwa adalah Saksi-Saksi (palsu) Yehuwa!
Philip Schaff: “the church dogma of the
Trinity arose; and it directly or indirectly ruled even the Ante-Nicene theology,
though it did not attain its fixed definition till in the Nicene age” (= dogma gereja tentang Tritunggal muncul; dan itu secara
langsung atau tidak langsung menguasai bahkan theologia sebelum Nicea,
sekalipun itu belum mencapai definisinya yang tetap sampai pada jaman Nicea) - ‘History of the Christian Church’, vol II, hal 565.
Philip Schaff: “The church always
believed in this Trinity of revelation, and confessed its faith by baptism into
the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost. ... But to bring
this faith into a clear and fixed knowledge, and to form the baptismal
confession into doctrine, was the hard and earnest intellectual work of three
centuries” (= Gereja selalu
percaya pada Tritunggal dari wahyu ini, dan mengaku imannya dengan baptisan
dalam nama dari Bapa, dan dari Anak, dan dari Roh Kudus. ... Tetapi membawa
iman / kepercayaan ini ke dalam suatu pengetahuan yang jelas dan tertentu /
pasti, dan membentuk pengakuan baptisan ke dalam doktrin / pengajaran,
merupakan pekerjaan intelektual yang berat dan sungguh-sungguh dari tiga abad) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 618.
email
us at : gkri_exodus@lycos.com