Bagaimana menaklukkan dan membongkar
fitnah/dusta/kepalsuan
Saksi-saksi palsu Yehuwa?
oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.
Saksi-Saksi
Yehuwa mengatakan: “dalam buku Egyptian Religion Siegfried Morenz berkata:
‘Tritunggal merupakan hal yang terutama menyita perhatian para teolog Mesir ...
Tiga allah digabung dan diperlakukan seperti satu pribadi tunggal, disapa
dalam bentuk tunggal. Dengan cara ini kekuatan rohani dari agama Mesir
memperlihatkan hubungan yang langsung dengan teologi Kristen.’ Jadi, di Alexandria,
Mesir, tokoh-tokoh gereja dari akhir abad ketiga dan permulaan abad keempat,
seperti Athanasius, memperlihatkan pengaruh ini pada waktu mereka
merumuskan ide-ide yang mengarah kepada Tritunggal. Pengaruh mereka sendiri
meluas, sehingga Morenz menganggap ‘teologi Aleksandria sebagai penghubung
antara warisan agama Mesir dan Kekristenan.” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada
Tritunggal?’, hal 11.
a) Bahwa doktrin Tritunggal berasal
dari agama-agama kafir Mesir, sudah saya bantah di atas, dan tidak perlu saya
ulangi di sini.
b) Hanya karena Athanasius berasal
dari Alexandria, Mesir, maka Saksi-Saksi Yehuwa lalu menuduh bahwa kepercayaan
/ doktrin Athanasius berasal dari agama-agama kafir Mesir? Saya kira
Saksi-Saksi Yehuwa lupa bahwa Arius, yang mencetuskan Arianisme, yang akhirnya
pada abad ke 19 ber-reinkarnasi menjadi Saksi Yehuwa, juga berasal dari kota
Alexandria, Mesir, yang sama!
c) Dengan cara yang sama saya juga
bisa mengatakan bahwa theologia dari Saksi Yehuwa pasti mengikuti agama kafir
dari bangsa Indian di Amerika, karena Charles Taze Russell, pendiri Saksi
Yehuwa, berasal dari Amerika!
d) Athanasius juga menulis sebuah buku
berjudul ‘On the Incarnation’ (= tentang inkarnasi). Apakah ia juga mendapatkan ini
dari theologia agama-agama kafir di Mesir? Agama kafir mana yang percaya
Allahnya berinkarnasi menjadi manusia dan mati menebus dosa manusia?
Saksi-Saksi Yehuwa: “Banyak dari kepercayaan kafir, yang diciptakan oleh orang-orang
Mesir dan diidealkan oleh Plato, dipertahankan sebagai sesuatu yang patut
dipercayai.’... Kita khususnya dapat mengingat pandangan Neo-Platonik
mengenai Realitas yang Paling Tinggi,’ yang ‘diwakili secara tiga serangkai.’
Apa hubungan antara filsuf Yunani Plato dengan Tritunggal?” - ‘Haruskah Anda Percaya
Kepada Tritunggal?’, hal 11.
Saksi-Saksi Yehuwa: “Platonisme. Plato, menurut perkiraan hidup dari
tahun 428 sampai 347 sebelum Kristus. Meskipun ia tidak mengajarkan Tritunggal
dalam bentuknya yang sekarang, filsafatnya membuka jalan untuk itu. Belakangan,
gerakan filsafat yang mencakup kepercayaan kepada kelompok-kelompok tiga
serangkai bermunculan, dan semua ini dipengaruhi oleh gagasan Plato mengenai
Allah dan alam. Nouveau Dictionnaire Universel (Kamus Universal Baru) bahasa
Perancis mengatakan mengenai pengaruh dari Plato: ‘Tritunggal menurut Plato, yang sebenarnya
hanyalah penyusupan kembali dari tritunggal-tritunggal yang lebih tua dan berasal dari
orang-orang zaman dulu, tampaknya merupakan tritunggal yang rasional dan filosofis
dari sifat-sifat yang melahirkan ketiga hypostase (zat) atau pribadi ilahi yang diajarkan
oleh gereja-gereja Kristen. ... Konsep filsuf Yunani mengenai trinitas ilahi ini ... dapat ditemukan dalam
semua agama kafir (kuno).’ The New Schaff-Herzog Encyclopedia of
Religious Knowledge
memperlihatkan pengaruh dari filsafat Yunani ini: ‘Doktrin mengenai Logos
dan Tritunggal menerima bentuknya dari Bapa-bapa Yunani, yang ... sangat
dipengaruhi, secara langsung atau tidak langsung, oleh filsafat Plato ... Bahwa
kesalahan dan kerusakan menyusup ke dalam Gereja dari sumber ini tidak dapat
disangkal.’ The Church of the First Three Centuries mengatakan: ‘Doktrin Tritunggal
dibentuk secara bertahap dan baru belakangan terhitung; ... ia berasal dari
sumber yang sama sekali tidak dikenal dalam Kitab-Kitab Suci Yahudi maupun
Kristen; ... ia tumbuh, dan dicangkokkan ke dalam Kekristenan, melalui
tangan Bapa-bapa pengikut Plato.’ Menjelang akhir abad ketiga M.,
‘Kekristenan’ dan filsafat Plato yang baru, berpadu secara tidak terpisahkan.
Sebagaimana dinyatakan Adolf Harnack dalam Outlines of the History of Dogma, doktrin gereja kemudian ‘berakar
dengan kuat di tanah Hellenisme (paham Yunani kafir). Dengan demikian ini
menjadi suatu misteri bagi bagian terbesar dari orang-orang Kristen.’ Gereja
mengaku bahwa doktrin-doktrin barunya didasarkan atas Alkitab. Namun Harnack
mengatakan: ‘Dalam kenyataan di kalangannya sendiri (gereja) mengesahkan
spekulasi Hellenik, pandangan dan kebiasaan takhyul dari ibadat kafir yang
bersifat misteri.’ Dalam buku A Statement of Reasons, Andrews Norton menyatakan tentang
Tritunggal: ‘Kita dapat menelusuri sejarah doktrin ini dan menemukan sumbernya,
bukan dalam wahyu Kristen, melainkan dalam filsafat Plato ... Tritunggal bukan
doktrin dari Kristus dan Rasul-Rasulnya, melainkan suatu fiksi dari sekolah
para pengikut Plato.” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 11-12.
Catatan: kata ‘hypostase’ oleh
Saksi-Saksi Yehuwa diterjemahkan ‘zat’. Ini salah, karena kata itu seharusnya
berarti ‘pribadi’.
a) Tuduhan / serangan Saksi-Saksi Yehuwa
saling bertentangan satu dengan yang lain; ini membuktikan kebodohan mereka.
Perhatikan kalimat ‘Doktrin mengenai Logos dan
Tritunggal menerima bentuknya dari Bapa-bapa Yunani, yang ... sangat
dipengaruhi, secara langsung atau tidak langsung, oleh filsafat Plato’.
Dalam tuduhan berkenaan dengan
bapa-bapa gereja di atas, Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan bahwa tidak ada
bapa-bapa gereja sebelum Nicea yang mempercayai Tritunggal, keilahian mutlak
dari Kristus, dan sebagainya Tetapi sekarang Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan
bahwa doktrin-doktrin ini menerima bentuknya dari bapa-bapa Yunani yang
dipengaruhi oleh filsafat Plato. Jadi bapa-bapa gereja percaya doktrin-doktrin
itu atau tidak? Bukankah serangan Saksi-Saksi Yehuwa bertentangan satu dengan
yang lain? Saya kira kalau Saksi-Saksi (palsu) Yehuwa ini mau berdusta mereka
harus berdusta dengan lebih pintar, dan tidak membuat dusta-dusta yang saling
kontradiksi seperti ini.
b) Kutipan-kutipan dari Encyclopedia
Britannica 2000, untuk menunjukkan apakah doktrin Allah Tritunggal memang
berasal dari Plato / Neo-Platonisme atau tidak.
Encyclopedia Britannica 2000
dengan topik ‘Plato’:
“ancient Greek philosopher,
the second of the great trio of ancient Greeks--Socrates,
Plato, and Aristotle--who between them laid the philosophical foundations of
Western culture. Building on the life and thought of Socrates, Plato developed
a profound and wide-ranging system of philosophy. His thought has logical,
epistemological, and metaphysical aspects;
but its underlying motivation is ethical. It sometimes relies upon
conjectures and myth, and it is occasionally mystical in tone; but
fundamentally Plato is a rationalist, devoted to the proposition that reason
must be followed wherever it leads. Thus the core of Plato's philosophy,
resting upon a foundation of eternal Ideas, or Forms, is a rationalistic
ethics”.
Encyclopedia Britannica 2000
dengan topik ‘Plato’, ‘The Academy and Sicily’:
“Of Plato's character and
personality little is known, and little can be inferred from his writings. But
it is worth recording that Aristotle, his most able pupil, described
Plato as a man "whom it is blasphemy in the base even to praise,"
meaning that Plato was so noble a character that bad men should not even speak
about him”.
Catatan: Aristotle, murid Plato yang
paling pandai, menggambarkan Plato sebagai seseorang ‘yang merupakan suatu penghujatan dalam diri orang-orang hina
bahkan pada waktu mereka memuji dia’, artinya, ‘Plato adalah begitu agung
sehingga orang-orang brengsek bahkan tak boleh berbicara apapun tentang dia’. Kata-kata ini bisa diterapkan
kepada Saksi-Saksi Yehuwa! Orang-orang brengsek ini tak pantas berbicara apapun
tentang Plato.
Encyclopedia Britannica 2000
dengan topik ‘Plato’, ‘Ethics, Plato’:
“Plato remarks that the highest
pleasure, in fact, comes from intellectual speculation. He also gives an
argument for the belief that the human soul is immortal;
therefore, even if just individuals seem to be living in poverty or illness, the
gods will not neglect them in the next life, and there they will have the
greatest rewards of all. In summary, then, Plato asserts that we should act
justly because in doing so we are ‘at one with ourselves and with the gods.’”.
Catatan: perhatikan kata ‘gods’ (= allah-allah) yang dipakai. Ini tidak mungkin menunjukkan kepercayaan
kepada Tritunggal, tetapi jelas merupakan Polytheisme! Memang, karena Plato
adalah orang Yunani yang hidup pada tahun 428 S.M. - 348 / 347 S.M., jauh
sebelum Kristus berinkarnasi, maka sukar dibayangkan adanya kemungkinan bahwa
ia bukan seorang Polytheist. Pada jaman sebelum Kristus, boleh dikatakan bahwa
semua orang di luar bangsa Israel / Yahudi, adalah polytheist.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Platonism’,
‘Mystery religion’:
“The philosophy of Plato
(c.
428-348 or 347 BC) by no means resulted from connections with a mystery cult.
Yet Plato did take up many ideas from earlier Greek religion, especially from the
Pythagorean brotherhood and from the Eleusinian communities, and often
described his philosophy in terms derived from the mysteries. For example, the
notion of searching and finding, so important in Eleusis, became an important
notion in Plato's philosophy: the philosopher should never cease or relax in
his quest for truth. A value was thus attached to the very act of searching.
Later mystery religions, in their turn, borrowed freely from the rich imagery
of Plato's dialogues and are thus deeply tinged with Platonism.
In
the Timaeus, which is an exposition of his
theory of the universe, Plato also developed his theory of the soul. The earth
is surrounded by the spheres of the seven planets; the eighth sphere is that of
the fixed stars. Beyond the eighth sphere is the realm of the divine. The
sphere of the fixed stars, moved by the divine, continuously turns to the right
at an even speed. This clockwise rotation affects the spheres of the planets,
although they have their proper movement, which runs to the left, or counterclockwise.
The sphere of mortality begins with the planets. The original home of each soul
is in one of the fixed stars. As a result of the movement of the spheres, the
soul falls through the planetary spheres to earth, where it is united with the
body. The soul must then try to liberate itself from the body and ascend to the
fixed star from which it fell. In later generations this picture was vividly worked out. The
soul, in the course of its fall through the planetary spheres, was thought to
acquire the qualities of the planets: sloth from Saturn, combativeness from
Mars, lust for power from Jupiter, voluptuousness from Venus, greed from
Mercury. After death, when the soul returned to the fixed star, it discarded
these qualities, just as the mystes, in certain initiations,
discarded his everyday garment before entering the sacred place.
Many other traditional religious
images were taken over by Plato, including the music of the spheres, the
migration of the soul, the soul's remembrance of its celestial origin,
and the idea of rewards for the righteous and punishment for the wicked. Later
mystery associations adopted these concepts, which Plato had expressed so
beautifully, and were deeply influenced by Plato's explanations”.
Catatan: pada bagian yang saya garis
bawahi itu menyatakan ajaran Plato tentang jiwa, yang katanya sudah ada sebelum
lahir, dan ada di bintang-bintang / planet-planet. Lalu jiwa itu jatuh ke bumi,
dan bersatu dengan Tubuh. Dan jiwa itu mendapatkan sifat-sifatnya dari bintang
/ planet dari mana ia berasal, misalnya:
·
kemalasan
dari Saturnus.
·
suka
melawan / bertempur dari Mars.
·
nafsu
untuk kekuasaan dari Yupiter.
·
menggairahkan
dari Venus.
·
tamak
dari Mercury.
Setelah mati, jiwa itu kembali
kepada bintang, dan membuang sifat-sifatnya ini.
Ajaran seperti ini sama sekali
tak mirip dengan ajaran ahli theologia, tetapi lebih mirip tahyul. Bahwa orang
yang mengajar seperti ini bisa menjadi asal usul dari doktrin Allah Tritunggal,
betul-betul merupakan sesuatu yang menggelikan.
Encyclopedia Britannica 2000
dengan topik ‘Plato’, ‘theism, the existence of God’:
“There have been many attempts to establish the existence of one
supreme and ultimate Being--whom in religion one speaks of as God--and some of
these have been given very precise forms in the course of time.
The influence of Plato and Aristotle.
The pattern for many of these was laid down in ancient Greece by
Plato. He taught about God mostly in mythical terms, stressing the goodness
of God (as in the Republic and Timaeus) and his care for man (as in the Phaedo); but in the Phaedrus, and much more explicitly in the Laws, he presented a more rigorous argument, based on the fact that
things change and are in motion. Not all change comes from outside; some of it
is spontaneous and must be due to "soul" and ultimately to a supreme
or perfect soul. Whether God so conceived quite gives the traditional theist
all that he wants, however, is not certain. For
God, in Plato, fashions the world on the pattern of immutable Forms and, above
all, on "the Good," which is "beyond being and knowledge"; i.e., it is transcendent and beyond the grasp of thought. But Plato's combination of the notion of the transcendent,
which is also supremely good, and the argument from change, provided the model
for much of the course that subsequent philosophical arguments were to take. Aristotle made the
argument from motion more precise, but
he coupled it with a doubtful astronomical view and a less theistic notion of
God, who, as the unmoved mover, is the ultimate source of all other movement,
not by expressly communicating it but by being a supreme object of aspiration,
all appetite and activity being in fact directed to some good. Aristotle thus
set the pattern for the more deistic view of God, whereas the theist, taken in
the strict sense, turns more for his start and inspiration to Plato”.
Catatan:
·
bagian
yang saya beri garis bawah tunggal, yang menyatakan ‘kebaikan
Allah’ dan ‘perhatianNya untuk umat manusia’ dipercaya baik oleh Kristen
maupun Saksi Yehuwa. Jadi, kalau Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan bahwa
kekristenan dipengaruhi oleh ajaran Plato, ini bisa menjadi boomerang bagi diri
mereka sendiri, karena ajaran Saksi Yehuwa juga mempunyai persamaan dengan
ajaran Plato.
·
dari
kutipan dari Encyclopedia Britannica 2000 di atas ini sebetulnya tak terlihat
apapun yang menunjukkan bahwa Plato merupakan sumber dari doktrin Allah
Tritunggal. Tetapi bagian yang saya beri garis bawah ganda itu, yang
kelihatannya menyatakan bahwa ‘Allah itu sangat jauh dari
kita dan melampaui pengetahuan / jangkauan akal kita’ mungkin dianggap oleh
Saksi-Saksi Yehuwa mengarah kepada doktrin Allah Tritunggal, yang oleh
orang-orang kristen dianggap melampaui akal dan tidak dapat dimengerti
sepenuhnya. Ada 2 hal yang ingin saya persoalkan:
*
Bahwa
Allah itu ‘sangat jauh dari kita, dan melampaui akal
kita’, jelas
dipercaya oleh Kristen, tetapi tidak oleh Saksi Yehuwa. Tetapi ini merupakan
sesuatu yang logis. Allah yang tak terbatas tidak mungkin bisa dimengerti
mutlak oleh pikiran manusia yang sangat terbatas. Jadi, tidak butuh seorang
seperti Plato untuk memberikan perumusan seperti itu. Dan hal-hal itu sudah
banyak diajarkan dalam Kitab Suci, misalnya dalam Ayub 11:7-9, yang jelas
sudah ada jauh sebelum Plato.
Ayub 11:7-9 - “(7) Dapatkah engkau memahami hakekat
Allah, menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa? (8) Tingginya seperti langit
- apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati - apa yang
dapat kauketahui? (9) Lebih panjang dari pada bumi ukurannya, dan lebih luas
dari pada samudera”.
Jadi, apa alasannya untuk
mengatakan bahwa hal ini didapatkan dari Plato, mengingat bagian Kitab Suci
yang lebih kuno dari Plato sudah memberikannya?
*
Kekristenan
bukan hanya mempercayai bahwa Allah itu jauh / transcendent, tetapi juga bahwa
Ia dekat / immanent. Mengapa? Karena kekristenan mempercayai sifat maha ada
dari Allah, dan ini secara explicit dinyatakan dalam Yer 23:23 - “Masakan Aku ini hanya Allah yang
dari dekat, demikianlah firman TUHAN, dan bukan Allah yang dari jauh
juga?”.
Encyclopedia Britannica 2000
dengan topik ‘Platonism’, ‘Neo-Platonism’:
“Neoplatonism: its nature and history. Neoplatonism is the modern name
given to the form of Platonism developed by Plotinus in the 3rd century AD and
modified by his successors.
It came to dominate the Greek philosophical schools and remained predominant
until the teaching of philosophy by pagans ended in the second half of the 6th
century AD. It represents the final form of pagan Greek philosophy. It was
not a mere syncretism (or combination of diverse beliefs) but a genuine, if
one-sided, development of ideas to be found in Plato and earlier
Platonism--though it incorporated important Aristotelian and Stoic elements as
well. There is no real evidence for Oriental influence. A certain Gnostic
(relating to intuitive knowledge acquired by privileged individuals and immune
to empirical verification) tone or colouring sometimes may be discerned in the
thought of Plotinus. But he was consciously a passionate opponent of
Gnosticism, and in any case there was often a large element of popular
Platonism in the Gnostic systems then current. Moreover, the theosophical works
of the late 2nd century AD known as the Chaldean Oracles, which were taken as inspired
authorities by the later Neoplatonists, seem to have been a hodgepodge of
popular Greek religious philosophy. Neoplatonism began as a complex (and in
some ways ambiguous) philosophy and grew vigorously in a variety of forms over
a long period; it is therefore not easy to generalize about it. But the leading
ideas in the thought of philosophers who can properly be described as
Neoplatonists seem always to have included the following:
1. There is a plurality
of levels of being, arranged in hierarchical descending
order, the last and lowest comprising the physical universe, which exists in
time and space and is perceptible to the senses.
2. Each level of being is derived
from its superior, a derivation that is not a process in time or space.
3. Each derived being is
established in its own reality by turning back toward its superior in a
movement of contemplative desire, which is implicit in the original creative
impulse of outgoing that it receives from its superior; thus the Neoplatonic
universe is characterized by a double movement of outgoing and return.
4. Each level of being is an image
or expression on a lower level of the one above it. The relation of archetype
and image runs through all Neoplatonic schemes.
5. Degrees of being are also
degrees of unity; as one goes down the scale of being there is greater
multiplicity, more separateness, and increasing limitation--until the atomic
individualization of the spatiotemporal world is reached.
6. The highest level of being,
and through it all of what in any sense exists, derives from the ultimate
principle, which is absolutely free from determinations and limitations and
utterly transcends any conceivable reality, so that it may be said to be
"beyond being." Because it has no limitations, it has no division, attributes, or qualifications; it cannot really be named, or even
properly described as being, but may be called "the One" to designate
its complete simplicity. It may also be called "the Good" as the
source of all perfections and the ultimate goal of return, for the impulse of
outgoing and return that constitutes the hierarchy of derived reality comes
from and leads back to the Good.
7. Since this supreme principle is
absolutely simple and undetermined (or devoid of specific traits), man's
knowledge of it must be radically different from any other kind of knowledge.
It is not an object (a separate, determined, limited thing) and no predicates
can be applied to it; hence it can be known only if it raises the mind to an
immediate union with itself, which cannot be imagined or described”.
Catatan:
·
dari 7 points di atas, yang
merupakan inti ajaran dari Neo-Platonisme, tak terlihat apapun yang menunjukkan
bahwa doktrin Allah Tritunggal diambil / didapatkan darinya!
·
banyak hal dari ajaran
Neo-Platonisme ini yang sama sekali asing bagi kekristenan, khususnya point ke
6, yang saya garis bawahi dan cetak dengan huruf besar, yang mengatakan bahwa
Allah itu tidak mempunyai attributes (=
sifat-sifat), dan tidak bisa sungguh-sungguh diberi nama. Ini bertentangan
dengan ajaran Kristen yang mempercayai bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, dan
bahwa Ia mempunyai nama, yaitu YHWH.
c) Loraine
Boettner berbicara tentang ‘tritunggal’ Plato.
Loraine Boettner: “or the triad set forth by
Plato, of goodness, intellect and will, - which are not examples of true and
proper tri-personality, not real persons who can be addressed and worshipped,
but only personifications of the faculties or attributes of God. None of these
systems have anything in common with the Christian doctrine of the Trinity
except the notion of ‘threeness’” (= atau
tritunggal yang diajukan / dinyatakan oleh Plato, dari kebaikan, intelek dan
kemauan / kehendak, - yang bukan merupakan contoh-contoh dari tiga kepribadian
yang benar, bukan benar-benar pribadi yang bisa dipanggil / disapa / diajak
bicara dan disembah, tetapi hanya personifikasi dari kemampuan atau sifat-sifat
dari Allah. Tidak ada dari sistim-sistim ini yang mempunyai persamaan apapun
dengan doktrin Kristen tentang Tritunggal kecuali gagasan tentang ‘ketigaan’) - ‘Studies in Theology’,
hal 81.
Dari kata-kata Loraine Boettner ini terlihat bahwa yang
dimaksud dengan ‘tritunggal’ dalam filsafat Plato, adalah ‘tritunggal
dari kebaikan, intelek, dan kehendak’.
Hanya orang yang bodoh dan sengaja mau membutakan diri dan menipu orang lain
yang bisa mengatakan bahwa ini merupakan asal usul dari Tritunggal dalam
Kristen
d) Tuduhan seperti itu sudah kuno, dan
sudah ada pada jaman dulu, dan jelas salah, tetapi tetap digunakan oleh
Saksi-Saksi Yehuwa.
Philip Schaff: “The Socinian and
rationalistic opinion, that the church doctrine of the Trinity sprang from
Platonism and Neo-Platonism is therefore radically false” (= Karena itu, pandangan Socinian dan rasionalistik, bahwa
doktrin gereja tentang Tritunggal tumbuh dari Platonisme dan Neo-Platonisme,
adalah salah sama sekali) - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 566.
e) Ada
hal-hal yang menunjukkan bahwa ajaran Kristen justru bertentangan dengan
filsafat Plato, sehingga tidak mungkin doktrin Allah Tritunggal berasal dari
filsafat Plato.
1. Pengecaman
gereja terhadap Origen dan ajarannya menunjukkan bahwa gereja tidak menyetujui
Plato / Neo-Platonisme.
Louis Berkhof: “Origen
... To fit himself for the work he made a thorough study of Neo-Platonism, ...
in later life he was condemned for heresy. ... Part of his teachings were
afterwards declared heretical, ... his theology bore the earmarks of
Neo-Platonism, ...” (= Origen ... Untuk menyesuaikan dirinya
sendiri untuk pekerjaan itu, ia melakukan study yang seksama / menyeluruh
tentang Neo-Platonisme, ... dalam akhir hidupnya ia dikecam sebagai bidat. ...
Sebagian dari ajaran-ajarannya belakangan dinyatakan sebagai sesat, ...
theologianya mengandung ciri-ciri dari Neo-Platonisme, ...) - ‘The History of Christian
Doctrines’, hal 71.
Catatan:
Kalau Origen, yang ajarannya mengandung Neo-Platonisme, justru dinyatakan oleh
gereja sebagai sesat / bidat, bagaimana mungkin Saksi-Saksi Yehuwa bisa menuduh
bahwa doktrin Allah Tritunggal berasal dari Neo-Platonisme?
Dalam serangan Saksi-Saksi Yehuwa menggunakan bapa-bapa
gereja, Saksi-Saksi Yehuwa mengakui bahwa Clement dan Origen adalah bapa-bapa gereja
yang adalah guru-guru agama yang terkemuka, dan kedua bapa gereja ini ternyata
mempunyai pandangan yang juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, tetapi
Saksi-Saksi Yehuwa menyerang filsafat Plato ini. Bukankah lucu? Jadi, bagi
Saksi-Saksi Yehuwa, Origen dan Clement dari Alexandria ini guru-guru agama
terkemuka atau bukan?
2. Pengaruh
dari filsafat Plato menyebabkan orang-orang tertentu pada abad ke 2 dan ke 3
menyangkal keilahian Kristus.
Loraine Boettner: “During the second and
third centuries the influence of Stoic and Platonic thought caused some to deny
the full Deity of Christ and to attempt to reduce Him to such dimensions as
were considered commensurate with a world of time and space” (= Dalam sepanjang abad kedua dan ketiga, pengaruh dari pemikiran
Stoa dan Plato menyebabkan beberapa orang menyangkal Keilahian penuh dari
Kristus dan berusaha untuk menurunkan Dia pada ukuran-ukuran sedemikian rupa
sehingga dianggap setaraf / sepadan dengan dunia dari waktu dan ruang) - ‘Studies in Theology’,
hal 127.
Kalau memang filsafat Plato merupakan asal usul dari
doktrin Allah Tritunggal, bagaimana mungkin itu justru menyebabkan orang
mempunyai pikiran seperti itu tentang Kristus?
f) Ada
kemiripan, tetapi juga banyak perbedaan.
Philip Schaff: “the Platonic Philosophy
... We can trace it especially in Clement of Alexandria and Origen, and even in
St. Augustine, who confessed that it kindled in him an incredible fire. ... The Platonic philosophy offered many points of
resemblance to Christianity. It is spiritual and idealistic, maintaining
the supremacy of the spirit over matter, of eternal ideas over all temporary
phenomenon, and the pre-existence and
immortality of the soul; it is theistic, making the supreme God above all
the secondary deities, the beginning, middle, and end of all things; it is
ethical, looking towards present and future rewards and punishment; it is
religious, basing ethics, politics, and physics upon the authority of the
Lawgiver and Ruler of the universe; it leads thus to the very threshold of the
revelation of God in Christ, though it knows not this blessed name not his
saving grace, and obscures its glimpses of truth by serious errors. Upon
the whole the influence of Platonism, ... has been and is to this day
elevating, stimulating, and healthy, calling the mind away from the vanities of
earth to the contemplation of eternal truth, beauty, and goodness. ... To not a
few of the noblest teachers of the church, from Justin the philosopher to
Neander the historian, Plato has been a schoolmaster who led them to Christ” [= Filsafat Platonik ... Kita dapat mengikuti jejaknya
khususnya dalam diri Clement dari Alexandria dan Origen, dan bahkan dalam diri
Santo Agustinus, yang mengaku bahwa itu menyalakan dalam dirinya suatu api yang
luar biasa. ... Filsafat Platonik
memberikan banyak titik-titik kemiripan dengan kekristenan. Itu bersifat
rohani dan idealis, mempertahankan keunggulan dari roh terhadap bahan / zat,
dari gagasan-gagasan kekal terhadap semua fenomena sementara, dan keberadaan lebih dulu (pre-existence) dan kekekalan dari jiwa; itu percaya kepada Allah / allah, membuat Allah
yang tertinggi di atas semua allah-allah sekunder, permulaan,
tengah-tengah, dan akhir dari segala sesuatu; itu bersifat etik, melihat kepada
pahala dan hukuman pada masa ini dan akan datang; itu religius, mendasarkan
etika, politik, dan fisika pada otoritas dari sang Pemberi hukum dan Pemerintah
/ Penguasa dari alam semesta; karena itu, itu membimbing kepada ambang pintu /
permulaan dari wahyu Allah dalam Kristus, sekalipun itu tidak tahu Nama yang
terpuji ini ataupun kasih karuniaNya yang menyelamatkan, dan mengaburkan
cercahan-cercahan kebenarannya dengan kesalahan-kesalahan yang serius.
Secara keseluruhan pengaruh dari Platonisme, ... sampai hari ini telah dan
masih mengangkat, merangsang / mendorong, dan sehat, memangil pikiran untuk
menjauhi kesia-siaan dunia kepada perenungan kebenaran yang kekal, keindahan
dan kebaikan. Bagi tidak sedikit dari guru-guru agung dari gereja, dari Justin
si ahli filsafat sampai Neander si ahli sejarah, Plato telah menjadi guru
sekolah yang membawa mereka kepada Kristus]
- ‘History
of the Christian Church’, vol II, hal
724,725.
Catatan:
Sekalipun kata-kata yang saya cetak dengan huruf besar itu menyatakan bahwa ada
banyak kemiripan antara filsafat Plato dengan kekristenan, tetapi bagian yang
saya beri garis bawah ganda itu:
·
mempercayai kekekalan dari
jiwa, bahwa sifat pre-existent dari
jiwa, yaitu bahwa jiwa itu sudah ada sebelum lahir. Ini jelas salah, dan
bertentangan dengan kekristenan.
·
mempercayai adanya Allah
yang tertinggi, yang lebih tinggi dari allah-allah sekunder yang lain. Ini
jelas tak cocok dengan doktrin Allah Tritunggal, dan sebaliknya, jauh lebih
cocok dengan ajaran Saksi Yehuwa, yang mempercayai Yesus sebagai allah kecil,
dan Yehuwa sebagai Allah besar, yang lebih tinggi dari Yesus!
g) Neo-Platonisme
merupakan suatu filsafat kafir, yang justru menentang kekristenan.
Philip Schaff: “More earnest and
dignified, but for this very reason more lasting and dangerous, was the
opposition which proceeded directly and indirectly from Neo-Platonism. This
system presents the last phase, ... of the Grecian philosophy; a fruitless
effort of dying heathenism to revive itself against the irresistible progress
of Christianity in its freshness and vigor. It was pantheistic
eclecticism and a philosophico-religious syncretism, which sought
to reconcile Platonic and Aristotelian philosophy with Oriental religion and
theosophy, polytheism with monotheism, ...” [= Lebih sungguh-sungguh dan bermartabat, tetapi karena alasan
ini lebih tahan lama dan berbahaya, adalah oposisi yang keluar secara langsung
dan tidak langsung dari Neo-Platonisme. Sistim ini memberikan / menyajikan
bentuk terakhir, ... dari filsafat Yunani; suatu usaha yang tak berbuah dari
kekafiran yang sekarat untuk menghidupkan dirinya sendiri terhadap kemajuan
yang tak tertahankan dari kekristenan dalam kesegaran dan kekuatan /
semangatnya. Itu (Neo-Platonisme) adalah pemilihan yang bersifat pantheistik
dan suatu syncretisme filsafat-agama, yang berusaha untuk mendamaikan
filsafat Plato dan Aristotle dengan agama Timur dan theosofy, polytheisme
dengan monotheisme] - ‘History of the
Christian Church’, vol II, hal 96-97.
Catatan:
·
Pantheisme
adalah ajaran yang mencampur-adukkan Allah dengan ciptaan / alam semesta.
·
Syncretisme
adalah penggabungan 2 atau lebih agama / kepercayaan.
·
Arti
hurufiah dari ‘Theosofy’ adalah ‘hikmat ilahi’.
·
Polytheisme
adalah kepercayaan terhadap banyak dewa / allah; Monotheisme adalah kepercayaan
terhadap satu Allah.
·
bagian yang saya beri garis
bawah itu jelas tak memungkinkan bahwa doktrin Allah Tritunggal berasal dari
Neo-Platonisme!
*
Kekristenan bukan merupakan
‘syncretisme filsafat-agama, yang berusaha untuk mendamaikan
filsafat Plato dan Aristotle dengan agama Timur dan theosofy’.
*
Juga kekristenan tidak
menggabungkan / mendamaikan Polytheisme dengan Monotheisme, tetapi menolak
Polytheisme maupun Monotheisme (yang mutlak), dan terletak di antara kedua
pandangan itu.
h) Kalau
mau bicara tentang kemiripan, maka filsafat Plato bukan hanya mempunyai
kemiripan dengan ajaran Kristen, tetapi juga dengan ajaran Saksi Yehuwa.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Arius’:
“Christian priest of Alexandria, Egypt, whose teachings gave
rise to a theological doctrine known as Arianism, which, in
affirming the created, finite nature of Christ, was denounced by the early
church as a major heresy. An ascetical, moral leader of a Christian
community in the area of Alexandria, Arius attracted a large following through
a message integrating Neoplatonism, which accented the absolute oneness of the
divinity as the highest perfection, with a literal, rationalist approach to the
New Testament texts. This point of view was publicized about 323 through
the poetic verse of his major work, Thalia ("Banquet"), and
was widely spread by popular songs written for labourers and travelers. The Council of Nicaea, in
May 325, declared Arius a heretic after he refused to sign the formula of faith
stating that Christ was of the same divine nature as God. Influential support
from colleagues in Asia Minor and from Constantia, the emperor Constantine I's
daughter, succeeded in effecting Arius' return from exile and his readmission
into the church after consenting to a compromise formula. Shortly before he was
to be reconciled, however, Arius collapsed and died while walking through the
streets of Constantinople”.
Catatan: terjemahan dari bagian yang
saya garis bawahi:
“Seorang pemimpin moral, pertapa, dari suatu masyarakat Kristen
di daerah Alexandria, Arius menarik banyak orang mengikutinya melalui suatu
berita yang menggabungkan Neo-Platonisme, yang menekankan kesatuan mutlak dari
keilahian sebagai kesempurnaan yang tertinggi, dengan suatu pendekatan
hurufiah, rasionil kepada text-text Perjanjian Baru”.
Ada 2 hal yang perlu
dipersoalkan dari bagian ini:
1. Ingat bahwa Ariuslah yang mencetuskan
Arianisme, yang akhirnya ber-reinkarnasi menjadi Saksi Yehuwa. Dan kutipan di
atas ini mengatakan bahwa Arius menggabungkan Neo-Platonisme dengan
pendekatan hurufiah, rasionil kepada text-text Perjanjian Baru. Jadi ini
menunjukkan bahwa Arius mempunyai pandangan Neo-Platonisme itu!
2. Penekanan kesatuan mutlak dari
keilahian sama sekali tak cocok dengan doktrin Allah Tritunggal dari
kekristenan, tetapi cocok dengan ajaran Arianisme / Saksi Yehuwa tentang Allah.
Dengan menuduh bahwa
kekristenan / doktrin Allah Tritunggal berasal dari Plato / Neo-Platonisme,
Saksi-Saksi Yehuwa seperti orang yang melihat selumbar di mata saudaranya
tetapi tidak melihat balok di matanya sendiri (Mat 7:1-5)!
i) Adanya
kemiripan tertentu antara filsafat Plato dan kekristenan, dan adanya
tokoh-tokoh Kristen tertentu yang dipengaruhi oleh filsafat Plato, tidak
membuktikan bahwa kekristenan berasal dari filsafat Plato.
Philip Schaff tentang Theopilus of Antioch, bapa gereja
yang mati pada tahun 181 M.:
“He admits elements of
truth in Socrates and Plato, but charges them with having stolen the same from
the prophets” (= Ia mengakui
elemen-elemen kebenaran dalam Socrates dan Plato, tetapi menuduh mereka telah
mencuri hal yang sama dari nabi-nabi) - ‘History of the Christian
Church’, vol II, hal 733.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Mereka yang percaya kepada
Tritunggal tidak ‘berpegang kepada Allah dalam pengetahuan yang saksama.’ (Roma
1:28, NW; Bode) Ayat itu juga berkata: ‘Allah menyerahkan mereka kepada
pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak
pantas.’ (Terjemahan Baru) Ayat 29-31
menyebutkan beberapa dari hal-hal yang ‘tidak pantas’ itu, seperti ‘pembunuhan,
perselisihan, tidak setia, tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan.’
Justru hal-hal itulah yang telah dipraktikkan oleh agama-agama yang menerima
Tritunggal. Sebagai contoh, para penganut Tritunggal sering menganiaya dan
bahkan membunuh orang-orang yang menolak doktrin Tritunggal. Dan mereka bahkan
telah bertindak lebih jauh. Mereka telah membunuh sesama penganut Tritunggal
dalam masa perang. Apa yang lebih ‘tidak pantas’ lagi daripada orang Katolik
membunuh orang Katolik, orang Ortodoks membunuh orang Ortodoks, orang Protestan
membunuh orang Protestan - semua dalam nama Allah Tritunggal yang sama?
... Jadi, diajarkannya doktrin-doktrin yang membingungkan tentang Allah telah
menimbulkan tindakan-tindakan yang melanggar hukum-hukum-Nya” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 30.
a) Tentang
penggunaan Ro 1:18-32.
Saksi-Saksi Yehuwa jelas memutar-balikkan, dan
menafsirkan secara out of context (=
keluar dari kontextnya), Ro 1:18-32 ini.
Ro 1:18-32 - “(18) Sebab murka
Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang
menindas kebenaran dengan kelaliman. (19) Karena apa yang dapat mereka ketahui
tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka.
(20) Sebab apa yang tidak nampak dari padaNya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan
keilahianNya, dapat nampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan,
sehingga mereka tidak dapat berdalih. (21) Sebab sekalipun mereka mengenal
Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur
kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh
menjadi gelap. (22) Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi
mereka telah menjadi bodoh. (23) Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak
fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung,
binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar. (24)
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada keinginan hati mereka akan
kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan tubuh mereka. (25) Sebab mereka
menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk
dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin. (26)
Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab
isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak
wajar. (27) Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar
dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap
yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan
karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk
kesesatan mereka. (28) Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui
Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk,
sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas: (29) penuh dengan rupa-rupa
kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki,
pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan. (30) Mereka adalah
pengumpat, pemfitnah, pembenci Allah, kurang ajar, congkak, sombong, pandai
dalam kejahatan, tidak taat kepada orang tua, (31) tidak berakal, tidak setia,
tidak penyayang, tidak mengenal belas kasihan. (32) Sebab walaupun mereka
mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah, yaitu bahwa setiap orang yang
melakukan hal-hal demikian, patut dihukum mati, mereka bukan saja melakukannya
sendiri, tetapi mereka juga setuju dengan mereka yang melakukannya”.
Ro 1:28 - “Dan karena
mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan
mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang
tidak pantas:”.
Ro 1:28 (TDB): “Karena
mereka tidak berkenan mengakui Allah berdasarkan
pengetahuan yang saksama, maka Allah menyerahkan mereka kepada
keadaan mental yang tercela, untuk melakukan perkara-perkara yang tidak patut”.
Saya tidak mengerti dari mana Saksi-Saksi Yehuwa menyulap
ayat ini sehingga menjadi seperti itu. Suruh mereka menunjukkan dari bahasa
Yunaninya, dari mana kata-kata yang mereka tambahkan itu (yang saya cetak
dengan huruf besar) berasal!
Bandingkan dengan macam-macam terjemahan di bawah ini:
KJV: ‘did not like to
retain God in their knowledge’ (= tidak senang untuk mempertahankan Allah dalam pengetahuan mereka).
RSV: ‘did not see fit to
acknowledge God’
(= tidak menganggap pantas untuk mengakui Allah).
NIV: ‘did not think it
worthwhile to retain the knowledge of God’ (= tidak menganggapnya penting / berharga / berguna
untuk mempertahankan pengetahuan tentang Allah).
NASB: ‘did not see fit to
acknowledge God any longer’ (= tidak menganggapnya cocok untuk mengakui Allah lebih lama lagi).
Dari sini terlihat bahwa terjemahan Kitab Suci mereka
(NWT / TDB) jelas merupakan terjemahan yang memutar-balikkan kebenaran. Karena
itu layaklah mereka disebut sebagai Saksi-Saksi (palsu) Yehuwa!
Terjemahan Saksi-Saksi Yehuwa itu bukan hanya salah,
tetapi juga tidak sesuai dengan kontext, karena kontextnya menunjukkan
orang-orang yang sekalipun sebetulnya tahu bahwa Allah itu ada, tetapi tidak
mau menyembahNya, dan menyembah berhala sebagai gantinya (ay 21-25).
Kalau ini diterapkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa kepada
kekristenan, itu berarti mereka menuduh orang-orang kristen melakukan
penyembahan berhala. Sekalipun ini mungkin benar untuk Katolik, tetapi sama
sekali tidak benar untuk kristen!
Jadi, serangan Saksi-Saksi Yehuwa ini ngawur, seenaknya
sendiri, dan salah arah!
b) Saksi-Saksi
Yehuwa mengatakan bahwa para penganut Tritunggal membunuh orang-orang yang
menolak Tritunggal. Sekalipun ini memang pernah terjadi, dalam diri Mikhael
Servetus (27 Oktober 1553), tetapi saya juga akan menunjukkan yang sebaliknya,
yang mungkin jauh lebih sering terjadi, dimana orang-orang yang menolak doktrin
Allah Tritunggal menganiaya para penganut doktrin tersebut.
Albert H. Freundt Jr.: “The controversy was far from over. Soon Eusebius of Nicomedia
was influencing the emperor again. Arius was permitted to return; he presented Constantine
with a creed that looked like a retraction, but was not. In the meantime,
Athanasius had succeeded Alexander as Bishop in 328, and the antagonism of the
Arians was directed against him. Athanasius was ordered to reinstate Arius at
Alexandria, but he would not. Athanasius was exiled from his city - the first
of five banishments - but each time he was permitted to return. His firmness
was due in part to his belief that the Gospel was at stake in this issue, and
in part to his conviction that the state should not be allowed to dictate to
the Church” [= Pertentangan /
perdebatan itu jauh dari selesai. Segera Eusebius dari Nicomedia mempengaruhi
sang kaisar lagi. Arius diijinkan untuk kembali; ia menyajikan / memberikan
kepada Konstantine suatu kredo yang kelihatannya merupakan suatu penarikan
kembali pernyataannya yang terdahulu, tetapi sebetulnya tidaklah demikian.
Sementara itu, Athanasius telah menggantikan Alexander sebagai Uskup pada tahun
328, dan permusuhan dari para pendukung Arius diarahkan kepadanya. Athanasius
diperintahkan untuk menerima Arius kembali di Alexandria, tetapi ia tidak mau.
Athanasius dibuang dari kotanya - pembuangan yang pertama dari lima pembuangan
- tetapi setiap kali ia diijinkan untuk kembali. Keteguhannya disebabkan sebagian
oleh kepercayaannya bahwa Injil sedang dipertaruhkan dalam persoalan ini, dan
sebagian oleh keyakinannya bahwa negara tidak boleh diijinkan untuk mendikte
gereja] - ‘Early Christianity’, hal 49.
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Eusebius of Caesarea’:
“In the years following the
Council of Nicaea, the emperor was bent on achieving unity within the church,
and so the supporters of the Nicene Creed in its extreme form soon found themselves
forced into the position of dissidents. Eusebius took part in the expulsion of
Athanasius of Alexandria (335), Marcellus of Ancyra (c. 336), and Eustathius of
Antioch (c. 337)” [= Dalam tahun-tahun
sesudah Sidang Gereja Nicea, kaisar sudah memutuskan untuk mencapai kesatuan
dalam gereja, dan dengan demikian pendukung-pendukung dari Pengakuan Iman Nicea
dalam bentuknya yang extrim segera mendapatkan diri mereka sendiri dipaksa ke
dalam posisi dari orang-orang yang tak menyetujuinya. Eusebius mengambil bagian
dalam pengusiran dari Athanasius dari Alexandria (335), Marcellus dari Ancyra
(kira-kira tahun 336), dan Eustathius dari Antiokhia (kira-kira tahun 337)].
Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Lucifer’:
“Lucifer’s opposition to
Arianism was tested during the reign of the Roman emperor Constantius II.
Himself an Arian, the Emperor had the chief opponent of the heresy, Bishop St.
Athanasius the Great, of Alexandria, condemned at a church council at Arelate
(later Arles, Fr.), Gaul, in 353. Pope Liberius, disturbed by the council’s
bias, asked Lucifer to request a new and impartial imperial council. The result
was the Council of Milan (355), at which Athanasius, despite a vigorous defense
by Lucifer, was again condemned. Lucifer refused to endorse this decision and
was banished to the East, where he wrote five harsh polemical tracts against
the emperor” [= Perlawanan Lucifer
terhadap Arianisme diuji pada masa pemerintahan kaisar Roma Constantius II.
Sebagai seorang Arian, sang kaisar mempunyai lawan utama dari bidat itu, Uskup
Athanasius yang Agung, dari Alexandria, dikecam pada Sidang Gereja di Arelate
(belakangan, Arles, Perancis), Gaul, pada tahun 353. Paus Liberius, terganggu
oleh sikap condong sebelah dari Sidang Gereja itu, meminta Lucifer untuk
memohon suatu Sidang Gereja kekaisaran yang baru dan tidak memihak. Hasilnya
adalah Sidang Gereja Milan (355), dimana Athanasius, sekalipun dibela dengan
hebat / bersemangat oleh Lucifer, dikecam lagi. Lucifer menolak untuk
mengesahkan / mendukung keputusan ini, dan dibuang ke Timur, dimana ia menulis
5 traktat polemik yang keras terhadap / menentang sang kaisar].
Encyclopedia Britannica 2000
dengan topik ‘George of Cappadocia’:
“opponent of and
controversial successor (357) to Bishop Athanasius the Great of Alexandria,
whom the Roman emperor Constantius II had exiled for attacking Arianism. As an
extreme Arian, George was detestable both to the orthodox and to the
Semi-Arians. A violent and avaricious man, he insulted, persecuted, and
plundered orthodox and pagan alike. The death on Nov. 3, 361, of his protector,
Constantius, made him vulnerable to insurrection, and he was murdered by an
Alexandrian mob” [= penentang dan pengganti
yang kontroversial (357) dari Uskup Athanasius yang Agung dari Alexandria, yang
telah dibuang / diasingkan oleh kaisar Roma Constantius II karena menyerang
Arianisme. Sebagai seorang pendukung Arianisme yang extrim, George adalah
menjijikkan baik bagi orang-orang yang orthodox maupun bagi para pendukung
Semi-Arianisme. Sebagai seorang yang bengis dan serakah / tamak, ia menghina,
menganiaya, dan menjarah orang-orang orthodox dan orang-orang kafir. Kematian
dari pelindungnya, Constantius, pada tanggal 3 Nopember 361, membuatnya terbuka
terhadap pemberontakan, dan ia dibunuh oleh suatu gerombolan Alexandria].
c) Harus
diakui bahwa dalam kekristenan ada perang, saling bunuh dsb, tetapi itu adalah
kesalahan oknum, bukan kesalahan ajaran, dan itu sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kepercayaan terhadap Tritunggal! Perang agama terjadi karena
perbedaan kepercayaan, bukan karena persamaan kepercayaan.
d) Pada jaman kepemimpinan dari Joseph
Franklin Rutherford, Saksi-Saksi Yehuwa juga gegeran!
Buku Saksi-Saksi Yehuwa yang
berjudul ‘Saksi-Saksi Yehuwa Pemberita Kerajaan Allah’, hal 66-69, juga
menceritakan adanya perpecahan ini dengan kata-kata sebagai berikut:
“Tidak semua orang mendukung presiden
yang baru. ... Beberapa orang, terutama yang berada di kantor pusat, secara
terang-terangan tidak suka kepada Saudara Rutherford. ... Empat anggota dari
dewan direksi Lembaga bertindak sedemikian jauh sampai berusaha keras untuk
merebut kendali dari tangan Rutherford. ... Situasi ini mencapai puncak pada
musim panas 1917, dengan diterbitkannya The Finished Mystery, jilid ketujuh dari Studies
in the Scriptures.
... Pada kesempatan yang sama pula, suatu pengumuman yang mengejutkan diberikan
- keempat direktur yang menentang telah diberhentikan dan Saudara Rutherford
telah mengangkat empat orang lain untuk mengisi kekosongan. ... Hal itu laksana
sebuah bom yang meledak! Keempat direktur yang diberhentikan menggunakan
kesempatan itu untuk melancarkan perdebatan selama lima jam di hadapan keluarga
Betel mengenai pengelolaan urusan-urusan Lembaga. Sejumlah orang dari keluarga
Betel bersimpati dengan para penentang itu. Pertentangan ini berlanjut selama
beberapa minggu, dan para perusuh mengancam untuk ‘menggulingkan tirani yang
ada’, demikian menurut mereka. Namun, Saudara Rutherford memiliki dasar yang
kuat untuk tindakan yang telah diambilnya. Apakah itu? Ternyata, walaupun
keempat direktur yang menentang tersebut telah ditunjuk oleh Saudara Russell,
penunjukan ini tidak pernah diteguhkan dengan pemilihan suara dari
anggota-anggota badan hukum ini pada pertemuan tahunan Lembaga. Karena itu, keempat
orang tersebut sama sekali bukan anggota sah dari dewan direksi! ... Pada
tanggal 8 Agustus, para mantan direksi yang tidak puas beserta para pendukung
mereka meninggalkan keluarga Betel; mereka diminta pergi karena kerusuhan yang
telah mereka buat. Mereka segera menyebarkan tentangan melalui pidato kepada
umum dan kampanye penulisan surat yang ekstensif ke seluruh Amerika Serikat,
Kanada, dan Eropa. Akibatnya, setelah musim panas tahun 1917, sejumlah sidang
dari Siswa-Siswa Alkitab terbagi dalam dua golongan - mereka yang loyal kepada
Lembaga dan mereka yang menjadi mangsa empuk dari mulut manis para penentang.
... Apa yang terjadi kemudian dengan para penentang itu dan pendukung-pendukung
mereka? Setelah pertemuan tahunan bulan Januari 1918, para penentang itu
memisahkan diri, bahkan memilih untuk merayakan sendiri Peringatan (Perjamuan
Malam Tuhan), pada tanggal 26 Maret 1918. Persatuan apa pun yang mereka nikmati
hanya berumur pendek, dan tidak lama kemudian mereka terbagi menjadi berbagai
sekte. Dalam kebanyakan kasus jumlah mereka menurun dan kegiatan mereka
berkurang atau berhenti sama sekali. Jelaslah, setelah kematian Saudara
Russell, Siswa-Siswa Alkitab menghadapi ujian yang nyata berkenaan loyalitas.
... Menjelang tahun 1918 Siswa-Siswa Alkitab telah berhasil melewati ujian dari
dalam” -
‘Saksi-Saksi Yehuwa Pemberita Kerajaan Allah’, hal 66-69.
Lalu mengapa mereka tidak
menerapkan penafsiran sesat mereka tentang Ro 1:28 di atas kepada diri mereka
sendiri?
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan:
a) Ini
tuduhan bodoh dan bersifat memfitnah dari Saksi-Saksi (palsu) Yehuwa yang asal
bicara!
Doktrin Allah Tritunggal sama sekali tidak ada urusannya
dengan penyembahan terhadap Maria. Buktinya penyembahan terhadap Maria hanya
ada dalam kalangan Gereja Roma Katolik dan Gereja-gereja Orthodox (Yunani,
Syria, dsb), tetapi tidak ada dalam kalangan gereja-gereja Protestan,
Pentakosta, dan Kharismatik, padahal semua gereja-gereja ini juga mempercayai
doktrin Allah Tritunggal!
b) Memang,
Sidang Gereja Efesus pada tahun 431 M., mempertahankan istilah ‘Bunda Allah’ untuk
Maria. Tetapi kita perlu mengetahui latar belakang, yang menyebabkan Sidang
Gereja Efesus itu mempertahankan istilah ‘Bunda Allah’ untuk Maria. Pada saat itu ada suatu golongan sesat yang
disebut Nestorianisme, dengan tokohnya yang bernama Nestorius, yang berpendapat
bahwa Kristus itu terdiri dari 2 pribadi. Mereka menolak istilah ‘Bunda Allah’ (Yunani:
THEOTOKOS) bagi Maria, karena mereka berpendapat bahwa Maria bukan melahirkan
Allah, tetapi hanya melahirkan manusia biasa yang lalu menjadi ‘tempat’ dimana
Allah diam / tinggal. Mereka lalu mengusulkan istilah ‘Bunda Kristus’ (Yunani:
CHRISTOTOKOS) bagi Maria. Sidang Gereja Efesus secara benar mempertahankan
istilah ‘Bunda Allah’, karena satu pribadi yang dilahirkan oleh Maria itu
bukan hanya betul-betul manusia, tetapi juga betul-betul adalah Allah.
Jadi
perlu dicamkan bahwa Sidang Gereja Efesus mempertahankan istilah ‘Bunda Allah’
untuk Maria, bukan dengan tujuan untuk meninggikan Maria, tetapi untuk
menekankan keilahian Yesus, dan juga untuk menekankan kesatuan Allah dan
manusia dalam satu pribadi Yesus!
Tetapi memang, dari istilah ‘Bunda Allah’ untuk Maria
ini, orang-orang Katolik lalu mulai menghormati dan menyembah dan berdoa kepada
Maria.
Loraine Boettner:
·
“Hence the term today has come to have a far different meaning
from that intended by the early church. It no longer has reference to the
orthodox doctrine concerning the person of Christ, but instead is used to exalt
Mary”
(= Jadi istilah itu pada saat ini telah mempunyai arti yang sangat berbeda
dengan yang dimaksudkan oleh gereja mula-mula. Itu tidak lagi mempunyai
hubungan dengan doktrin orthodox tentang pribadi Kristus, tetapi sebaliknya
digunakan untuk meninggikan Maria) - ‘Roman
Catholicism’, hal 134.
·
“The correct statement of the person of Christ in this regard is:
As His human nature had no father, so His divine nature had no mother” (= Pernyataan yang benar
tentang pribadi Kristus dalam hal ini adalah: Sebagaimana hakekat manusiaNya
tidak mempunyai ayah, demikian juga hakekat ilahiNya tidak mempunyai ibu) - ‘Roman Catholicism’, hal 135.
Bahwa
orang-orang Katolik jaman sekarang menyalah-gunakan istilah ‘Bunda Allah’
itu dan menggunakannya untuk meninggikan Maria, itu sama sekali bukan kesalahan
dari doktrin Allah Tritunggal atau keilahian Yesus, atau Sidang Gereja Efesus.
Sama
saja kalau saya membuat sebuah pisau dengan tujuan untuk memotong buah /
daging, dan lalu seseorang mengambil pisau itu dan menggunakannya untuk
membunuh orang, tentu saja baik saya maupun pisau itu tidak bisa disalahkan!
c) Alkitab memang
tidak pernah mengatakan secara explicit bahwa ‘Maria adalah Bunda Allah’,
tetapi Alkitab mengatakan secara explicit bahwa Maria adalah ‘Ibu Tuhan’.
Luk 1:39-43
- “(39) Beberapa waktu kemudian
berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di
Yehuda. (40) Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada
Elisabet. (41) Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang
di dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus, (42) lalu
berseru dengan suara nyaring: ‘Diberkatilah engkau di antara semua perempuan
dan diberkatilah buah rahimmu. (43) Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku
datang mengunjungi aku?”.
Perhatikan
bahwa dalam text ini dikatakan bahwa Elisabet ‘penuh dengan Roh Kudus’
pada saat itu, sehingga kata-kata yang ia ucapkan pasti juga merupakan dorongan
dari Roh Kudus, sehingga pasti benar. Dan ia menyebut Maria dengan istilah ‘ibu Tuhanku’!
Pasti yang dimaksud dengan ‘Tuhan’ di sini adalah Yesus, yang pada
saat itu ada dalam kandungan Maria. Yesus memang adalah Tuhan, dan juga adalah
Allah (bdk. Yoh 20:28)! Karena itu tidak salah untuk mengatakan bahwa Maria
adalah Bunda Allah atau Bunda Tuhan, asal kita tidak memaksudkan bahwa Maria
betul-betul melahirkan Allah, dan bahwa sebelum saat itu Allah itu tidak ada.
Maria disebut Bunda Allah atau Bunda Tuhan, hanya untuk menunjukkan bahwa yang
Yesus yang ia lahirkan itu adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh
manusia dalam satu Pribadi.
d) Alkitab memang
tidak pernah mengatakan bahwa Maria adalah perantara / pengantara antara Allah
dengan makhluk ciptaanNya / manusia. Ajaran Gereja Roma Katolik yang menyatakan
bahwa Maria adalah Pengantara merupakan ajaran sesat dan tidak Alkitabiah, dan
harus ditolak. Gereja Protestan tidak mengajarkan yang seperti itu.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Ribuan kali dalam seluruh Alkitab, Allah disebutkan sebagai
satu Pribadi. Bila Ia berfirman, ini adalah sebagai satu Pribadi yang
tidak terbagi. Alkitab benar-benar sangat jelas dalam hal ini. Seperti
Allah katakan: ‘Aku ini (Yehuwa), itulah namaKu; Aku tidak akan memberikan
kemuliaanKu kepada yang lain.’ (Yesaya 42:8) ‘Akulah Yahweh Allahmu ... Engkau
tidak boleh memiliki allah-allah lain kecuali aku.’ ... - Keluaran 20:2,3, JB.
Untuk apa semua penulis Alkitab yang diilhami Allah akan berbicara mengenai Allah
sebagai satu Pribadi jika Ia sebenarnya adalah tiga Pribadi? Apa gunanya
hal itu, selain dari menyesatkan orang? Tentu, jika Allah terdiri dari tiga
Pribadi, Ia akan menyuruh para penulis Alkitab-Nya untuk membuat hal itu
benar-benar jelas sehingga tidak mungkin ada keraguan mengenai hal itu. ...
Sebaliknya, apa yang dinyatakan dengan sangat jelas oleh para penulis Alkitab
ialah bahwa Allah adalah satu Pribadi - Pribadi yang unik, tidak
terbagi-bagi yang tidak setara dengan siapapun juga: ‘Akulah (Yehuwa) dan tidak
ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah.’ (Yesaya 45:5) ‘Engkau sajalah yang
bernama (Yehuwa), Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.’ - Mazmur 83:19.” - ‘Haruskah Anda Percaya
Kepada Tritunggal?’, hal 13.
a) Alkitab tidak pernah menyatakan bahwa Allah itu satu
Pribadi.
Lagi-lagi Saksi-Saksi Yehuwa
ini memberikan suatu dusta! Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa ‘Allah adalah satu Pribadi’! Alkitab memang banyak kali
(tetapi tidak ribuan kali seperti yang dikatakan Saksi-Saksi Yehuwa), baik
secara explicit maupun secara implicit, mengatakan bahwa Allah itu satu. Tetapi
Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Allah itu adalah satu Pribadi.
Perlu juga diketahui bahwa
banyak orang anti Tritunggal yang justru menyerang ajaran ini dengan mengatakan
bahwa istilah ‘Tritunggal’, ‘pribadi’, dan ‘zat’ / ‘hakekat’ itu tidak ada dalam Kitab
Suci. Ini sudah jelas menunjukkan bahwa Kitab Suci tidak berbicara secara
explicit tentang jumlah pribadi dalam diri Allah.
Perhatikan ayat-ayat d bawah
ini:
·
Ul
6:4 - “Dengarlah, hai
orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!”.
·
Mark 12:32
- “Lalu kata ahli Taurat itu kepada
Yesus: ‘Tepat sekali, Guru, benar kataMu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak
ada yang lain kecuali Dia”.
·
1Kor
8:4 - “Tentang hal makan
daging persembahan berhala kita tahu: ‘tidak ada berhala di dunia dan tidak ada
Allah lain dari pada Allah yang esa.’”.
·
1Tim
2:5 - “Karena Allah
itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia,
yaitu manusia Kristus Yesus”.
·
Yak 2:19
- “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu
Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan
mereka gemetar”.
Saudara bisa melihat sendiri,
bahwa tidak ada ayat yang mengatakan Allah itu satu Pribadi! Kalau masih
tidak puas, cari saja sendiri dalam seluruh Kitab Suci, apakah saudara bisa
mendapatkan bahwa Kitab Suci pernah mengatakan bahwa Allah itu satu pribadi!
Sekarang saya ingin
membalikkan serangan Saksi-Saksi Yehuwa kepada diri mereka sendiri. Kalau Allah
memang adalah 1 Pribadi, mengapa Ia tidak menyuruh para penulis AlkitabNya
untuk menuliskan hal itu secara explicit, sehingga tidak akan timbul
kesalah-mengertian tentang hal itu?
b) Pada waktu Alkitab mengatakan bahwa
Allah itu satu (seperti dalam Ul 6:4
Mark 12:32 1Kor 8:4
1Tim 2:5
Yak 2:19), kita harus menafsirkan Allah itu satu dalam hal apa.
Kalau kita menafsirkan bahwa Allah itu satu Pribadi, lalu bagaimana kita
menjelaskan ayat-ayat:
1. Yang
menggunakan kata ganti orang bentuk jamak untuk Allah?
2. Yang
menggunakan kata-kata bentuk jamak lain untuk Allah, baik kata kerja, kata
sifat, dan sebagainya?
3. Yang
kelihatannya membedakan Allah yang satu dengan Allah yang lain (seakan-akan ada
lebih dari 1 Allah)?
4. Yang
menunjukkan keilahian Yesus dan Roh Kudus.
5. Yang
menunjukkan bahwa antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus ada pembicaraan, saling
mengasihi, saling mengutus dan sebagainya.
Saya tidak memberikan contoh ayat di sini, tetapi akan
saya berikan dalam pembahasan dibelakang, pada point dimana saya menunjukkan
adalah semacam ‘kejamakan dalam diri
Allah’.
Karena tidak mungkin ditafsirkan bahwa Allah itu satu Pribadi,
maka kita harus memikirkan Allah itu satu dalam hal apa. Setelah
memikirkannya dengan melakukan perbandingan ayat-ayat di seluruh Alkitab yang
berkenaan dengan hal ini, maka para ahli theologia menggunakan istilah hakekat
/ zat (essence). Jadi Allah itu satu hakekat, tetapi tiga pribadi.
Harus diakui bahwa pada waktu kita mengatakan Allah itu
satu zat / hekekat, tidak ada satu ayatpun yang secara explicit mendukung hal
itu. Ini merupakan suatu kesimpulan dari seluruh Alkitab. Seandainya bisa
ditemukan satu ayat saja dalam Alkitab yang mengatakan bahwa Allah itu bukan
satu hakekat / zat, maka doktrin tentang satu hakekat ini harus dibuang. Tetapi
tidak ada ayat seperti itu dalam Alkitab.
c) Kitab Suci memang tidak secara
explicit menyatakan bahwa Allah mempunyai 3 pribadi. Alkitab menyatakannya
secara implicit, tetapi sangat jelas, bagi orang yang tidak sengaja membutakan
dirinya. Ini akan kita lihat belakangan, dalam pembuktian doktrin Allah
Tritunggal dengan menggunakan Kitab Suci.
Saksi-Saksi Yehuwa mengatakan: “Tiada sangsi lagi, doktrin Tritunggal telah mengencerkan pengertian orang tentang
kedudukan Allah yang sesungguhnya. Hal itu menghalangi orang untuk dengan
seksama mengenal Penguasa Universal, Allah Yehuwa, dan untuk menyembah Dia menurut
syarat-syarat-Nya. Seperti dikatakan teolog Hans Kung: ‘Untuk apa seseorang
ingin menambahkan sesuatu kepada gagasan tentang keesaan dan keunikan Allah
yang hanya dapat mengencerkan atau
meniadakan keesaan dan keunikan itu?’ Namun itulah yang telah
dilakukan dengan percaya kepada Tritunggal” - ‘Haruskah Anda Percaya Kepada Tritunggal?’, hal 30.
a) Saya
menolak kata ‘meniadakan’ yang digunakan oleh Saksi-Saksi Yehuwa / Hans Kung.
Seandainya kata ini benar, maka kekristenan akan percaya kepada tiga Allah
(Tritheisme), bukan kepada Tritunggal.
b) Kalau
mau dipaksakan untuk menggunakan kata ‘mengencerkan’, maka perlu diingat bahwa yang ‘mengencerkan’ itu adalah
Alkitab sendiri (atau, Allah sendiri, melalui firmanNya dalam Alkitab), yang
lalu diterima oleh kekristenan.
Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu satu (Ul 6:4 1Kor 8:4 1Tim 2:5 Yak 2:19), tetapi Alkitab tidak mau orang menyimpulkan bahwa
Allah itu tunggal secara mutlak, seperti yang dipercaya oleh Saksi-Saksi Yehuwa.
Karena itu Alkitab ‘mengencerkan’ hal itu, dengan menunjukkan adanya ‘kejamakan dalam diri Allah’
(tentang hal ini lihat penjelasan di belakang dalam point ‘adanya kejamakan dalam diri Allah’).
Bisa saja muncul bidat yang menyimpulkan dari ayat-ayat
Alkitab yang menunjukkan adanya kejamakan dalam diri Allah itu bahwa Allah itu
tiga. Untuk menghindarkan hal ini, maka Alkitab juga mengencerkan ‘kejamakan
dalam diri Allah’ itu dengan ayat-ayat yang menunjukkan ketunggalan Allah.
Apa tujuannya ‘pengenceran-pengenceran’ seperti ini? Tujuannya supaya orang mempercayai Allah
bukan sebagai ‘Allah yang tunggal mutlak’, dan bukan juga sebagai ‘tiga Allah’, tetapi sebagai ‘Tritunggal’, atau tiga dalam pribadiNya dan satu dalam hakekatNya!
c) Kekristenan
tidak ‘mengencerkan’ ajaran tentang keesaan dan keunikan Allah, tetapi
Saksi-Saksi Yehuwalah yang ‘mengentalkan’ ajaran tersebut, sehingga menimbulkan ajaran bahwa Allah
itu tunggal secara mutlak, yang merupakan ajaran yang tidak pernah
dimaksudkan oleh Alkitab.
email
us at : gkri_exodus@lycos.com