Nabi Elisa
oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.
1) Elisa menderita sakit yang
menyebabkan kematiannya (ay 14a).
Barnes (hal 263) mengatakan bahwa
peristiwa ini terjadi sedikitnya 63 tahun setelah Elisa dipanggil menjadi nabi,
sehingga pada saat ini mungkin ia berusia di atas 90 tahun. Clarke mengatakan
bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun ke 10 dari pemerintahan Yoas, dan karena
itu Elisa melayani sebagai nabi selama 65 tahun. Keil & Delitzsch (hal 378)
mengatakan bahwa Elisa menjadi nabi sedikitnya selama 50 tahun, dan saat ini
mencapai usia 80 tahun. Pulpit Commentary sama dengan Keil & Delitzsch.
Yang manapun yang benar dari pandangan-pandangan di atas, tetap menunjukkan
bahwa peristiwa ini terjadi pada saat Elisa sudah sangat tua. Karena itu
penyakitnya mungkin merupakan penyakit yang muncul sekedar karena ia sudah
sangat tua. Bagaimanapun juga, ini tetap menunjukkan bahwa orang beriman /
saleh tetap bisa sakit, dan karena itu penyakit tidak harus merupakan hukuman /
hajaran Tuhan!
2) Raja
Yoas mengunjungi Elisa yang sakit (ay 14b).
Pulpit Commentary: “The visit of a king to a prophet,
in the way of sympathy and compliment, would be a very unusual occurrence at
any period of the world’s history. In the East, and at the period of which the
historian is treating, it was probably unprecedented. Prophets waited upon
kings, not kings upon prophets. If a king came to a prophet’s house, it was
likely to be an errand of vengeance (ch. 6:32), not on one of kindness and
sympathy. The act of Joash certainly implies a degree of tenderness and
consideration on his part very uncommon at the time” [= Kunjungan seorang raja kepada seorang nabi, untuk menunjukkan simpati
dan penghargaan, merupakan suatu peristiwa yang sangat luar biasa dalam jaman
manapun dari sejarah dunia. Di Timur, dan pada jaman yang dibicarakan oleh sang
sejarawan, mungkin itu merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Nabi-nabi melayani raja-raja, bukan raja-raja melayani nabi-nabi. Jika seorang
raja datang ke rumah seorang nabi, mungkin itu bertujuan untuk melakukan
pembalasan (6:32), bukan untuk kebaikan dan simpati. Tindakan Yoas jelas
menunjukkan suatu tingkat kelembutan dan perhatian pada pihaknya yang merupakan
sesuatu yang sangat tidak biasa pada saat itu] - hal 263.
Padahal Yoas
termasuk raja yang jahat. Ini ditunjukkan oleh ay 11 - ‘Ia melakukan apa yang jahat di mata Tuhan’.
3) Yoas menangis dan berkata: ‘Bapaku, bapaku! Kereta Israel dan orang-orangnya yang berkuda!’ (ay 14c).
a) Kata-kata ini diambil dari
kata-kata Elisa sendiri pada waktu kepergian Elia / kenaikan Elia ke surga
(2Raja 2:12). Maksud dari kata-kata ini adalah: Kereta dan kuda merupakan
alat pertahanan Israel yang terbaik. Dengan kehilangan Elia, kami kehilangan
pelindung yang besar, kekuatan dari Israel.
Yoas pasti telah membaca / mendengar
kata-kata Elisa pada waktu kepergian Elia itu, dan sekarang ia mengucapkan
kata-kata itu untuk Elisa sendiri. Ada penafsir yang mengatakan bahwa dalam
kata-kata Yoas itu ada tambahan pengertian sebagai berikut: “Pada waktu
Elia naik ke surga, ada engkau (Elisa) yang menggantikannya, tetapi sekarang
pada saat engkau mati, engkau tidak meninggalkan siapapun untuk menggantikanmu”.
b) Kesan apa yang bisa didapatkan dari
ratapan raja Yoas ini?
·
Ada yang
menganggap bahwa ratapan ini keluar bukan karena kasih atau rasa hormat, tetapi
karena egoisme.
Matthew Poole
tentang menangisnya Yoas: “not for any true love and respect to him, for then he would have
followed his counsel, in forsaking the calves, and returning to the Lord; but
for his own and the kingdom’s inestimable loss in him” [= bukan karena kasih dan hormat yang sejati kepadanya, karena kalau
demikian ia pasti sudah mengikuti nasihatnya, dalam meninggalkan lembu-lembu
(patung lembu yang dibuat oleh Yerobeam), dan kembali kepada Tuhan; tetapi
untuk kehilangan yang tak ternilai bagi dirinya sendiri dan kerajaannya dalam
diri Elisa] - hal 745.
·
ada yang menganggap bahwa ratapan Yoas ini menunjukkan
bahwa ia menilai tinggi / menghargai pekerjaan / pelayanan / jerih payah Elisa
selama ini.
Keil &
Delitzsch: “This lamentation of
the king at the approaching death of the prophet shows that Joash knew how to
value his labours” (= Ratapan sang raja pada
mendekatnya kematian sang nabi ini menunjukkan bahwa Yoas tahu bagaimana
menilai jerih payah / pekerjaan Elisa) - hal 376.
Bahkan,
seandainya ratapan itu dikeluarkan karena egoisme, seperti penafsiran Matthew
Poole di atas, ratapan itu tetap menunjukkan bahwa Yoas menilai tinggi
pekerjaan / pelayanan dari Elisa.
Keil &
Delitzsch lalu menambahkan:
“And on account of this faith which
was manifested in his recognition of the prophet’s worth, the Lord gave the
king another gracious assurance through the dying Elisha, which was confirmed
by means of symbolical action” (= Dan karena iman
ini, yang dinyatakan dalam pengakuannya tentang nilai sang nabi, Tuhan
memberikan sang raja keyakinan yang lain melalui Elisa yang sekarat, yang
diteguhkan melalui tindakan simbolis) - hal 376-377.
·
Ratapan
ini menunjukkan ketergantungan total dari Yoas kepada Elisa, sehingga ia
menjadi takut dan kecil hati pada saat Elisa mau mati.
Pulpit Commentary: “He had stood beside the bedside of
Elisha in a state of utter dismay. It had seemed to him as if he already saw
the downfall of his kingdom, as if all other resources were useless if the man
of God, who had so often guided kings and people to victory, was taken away” (= Ia berdiri disamping ranjang Elisa dalam keadaan takut / kecil hati
secara total. Baginya kelihatannya seakan-akan ia telah melihat kejatuhan
kerajaannya, seakan-akan semua sumber-sumber yang lain tidak berguna jika hamba
Allah, yang telah begitu sering membimbing raja-raja dan bangsa Israel kepada
kemenangan, diambil) - hal 271.
Penerapan:
Kalau saudara
sedang menghadapi orang tua / suami yang sekarat, padahal selama ini ialah yang
saudara andalkan untuk menghidupi diri saudara, apakah saudara juga akan
bersikap seperti Yoas? Atau kalau perusahaan tempat saudara bekerja, mau gulung
tikar, padahal selama ini saudara mendapatkan nafkah dari perusahaan itu,
apakah saudara juga akan bersikap seperti Yoas?
1) Elisa menyuruh Yoas untuk memanah
(ay 15-17).
Ada hal-hal yang
perlu diperhatikan:
a) Elisa meletakkan tangannya di atas
tangan raja (ay 16b).
Keil &
Delitzsch: “He then placed his
hands upon the king’s hands, as a sign that the power which was to be given to
the bow-shot came from the Lord through the mediation of the prophet” (= Lalu ia meletakkan tangannya pada tangan sang raja, sebagai suatu
tanda bahwa kuasa yang diberikan kepada penembakan panah itu datang dari Tuhan
melalui perantaraan sang nabi) - hal 377.
b) Ia menyuruh memanah ke Timur (ay
17a).
·
Aram /
Syria terletak di sebelah Timur Laut dari Israel. Anak panah itu ditembakkan ke
Timur, dan karena itu anak panah ini tidak mengarah ke Aram / Syria, tetapi ke
wilayah Israel yang diduduki oleh Aram, yaitu Gilead dan Basan (bdk. 10:33).
·
Adam
Clarke mengatakan bahwa penembakan panah merupakan simbol dari permusuhan /
peperangan.
Adam Clarke: “It was an ancient custom to shoot
an arrow or cast a spear into a country which an army intended to invade.
Justin says that, as soon as Alexander the Great had arrived on the coasts of
Iona, he threw a dart into the country of the Persians” (= Merupakan tradisi kuno untuk menembakkan anak panah atau melemparkan
tombak ke negari yang akan diserang oleh suatu pasukan tentara. Justin berkata
bahwa begitu Alexander yang Agung tiba di pantai Iona, ia melemparkan anak
panah ke negeri orang-orang Persia itu) - hal 524.
Adam Clarke: “The dart, spear, or arrow thrown,
was an emblem of the commencement of hostilities. Virgil ... represents Turnus
as giving the signal of attack by throwing a spear: ... Then hurled a dart, the
signal of the war” (= Penembakan / pelemparan panah
atau tombak merupakan simbol dari permulaan permusuhan. Virgil ... mewakili
Turnus dengan memberi tanda penyerangan dengan melemparkan tombak: ... Lalu
melemparkan anak panah, tanda dari perang) - hal 524.
c) Elisa berkata: “Itulah anak panah kemenangan dari pada TUHAN, anak panah kemenangan
terhadap Aram. Engkau akan mengalahkan Aram di Afek sampai habis lenyap” (ay 17b).
RSV/NIV/NASB
menterjemahkan: ‘victory’ (=
kemenangan), tetapi KJV menterjemahkan: ‘deliverance’
(= pembebasan).
Tadi, dengan
ketakutan dan keputus-asaannya, Yoas menunjukkan bahwa ia bergantung sepenuhnya
kepada Elisa. Elisa tidak menghendaki hal itu. Ia menghendaki supaya Yoas bukan
bergantung kepadanya, tetapi kepada Tuhan. Karena itulah ia berkata ‘anak panah kemenangan dari pada TUHAN’.
Penerapan:
·
kalau selama ini saudara bergantung kepada seseorang
dalam persoalan uang, dan orang itu akan diambil oleh Tuhan, maka sadarlah
bahwa saudara seharusnya bergantung kepada Tuhan, dan bukan kepada orang itu.
Tuhanlah sumber berkat, bukan orang itu. Kalau selama ini Tuhan memelihara
saudara melaluui orang itu, itu tidak berarti bahwa Tuhan tidak bisa menggunakan
orang / cara yang lain untuk memelihara saudara.
·
kalau saudara adalah seorang hamba Tuhan, dan saudara
tahu bahwa jemaat saudara bergantung kepada saudara, apakah yang saudara
lakukan? Apakah saudara senang dengan sikap jemaat itu, dan menikmati apa yang
tidak seharusnya ditujukan kepada saudara? Itu sama dengan mencuri kemuliaan
Tuhan! Karena itu, saudara seharusnya memberi tahu dia, untuk meletakkan
pengharapannya kepada Tuhan saja, dan bukan kepada saudara!
Apa maksud semua
ini?
Keil &
Delitzsch: “The arrow that was
shot off was to be a symbol of the help of the Lord against the Syrians to
their destruction” (= Anak panah yang ditembakkan itu
merupakan simbol dari pertolongan Tuhan menghadapi orang-orang Aram yang ingin
menghancurkan mereka) - hal 377.
Pulpit Commentary: “The defence of Israel would not
fail because he - a mere weak instrument by whom God had been pleased to work -
was taken from the earth” (= Pertahanan Israel tidak akan
jatuh karena ia - semata-mata suatu alat yang lemah oleh siapa Allah berkenan
bekerja - diambil dari bumi) - hal 264.
Pulpit Commentary: “He wants to teach him that, though
the prophet dies, the prophet’s God remains. The workmen pass away, but the
work of God goes on” (= Ia ingin mengajar Yoas bahwa
sekalipun sang nabi mati, tetapi Allah dari sang nabi tetap tinggal) - hal 270.
2) Elisa menyuruh Yoas untuk
memukulkan / memanahkan anak-anak panah itu ke tanah, tetapi Yoas hanya
melakukan 3 x, dan ini menggusarkan Elisa (ay 18-19).
a) Elisa menyuruh memukulkan atau
memanahkan anak-anak panah itu?
Banyak penafsir yang menafsirkan bahwa ‘memukulkan
panah ke tanah’
(ay 18) artinya adalah ‘memanah ke tanah’. Keil & Delitzsch setuju dengan tafsiran ini, dan
sekalipun kata kerja yang digunakan dalam ay 17b (‘Panahlah!’) berbeda dengan kata kerja yang
digunakan dalam ay 18b (‘Pukulkanlah’), tetapi Keil & Delitzsch tetap beranggapan bahwa
ay 18 menunjukkan bahwa anak panah itu ditembakkan / dipanahkan ke tanah.
Alasan dari Keil & Delitzsch adalah bahwa kata kerja dalam ay 18b
tersebut, kalau digunakan terhadap anak panah, harus diartikan ‘memanah’, bukan ‘memukul’ (bdk. 2Raja 9:24
1Raja 22:34).
b) Yoas hanya memukulkan / memanah 3
x, lalu berhenti. Dan hal ini membuat Elisa menjadi gusar (ay 18b-19a).
1. Mengapa
Elisa menjadi gusar?
a. Karena semua itu merupakan tindakan
simbolis, yang juga merupakan nubuat, tentang kemenangan Israel atas Aram.
Adam Clarke: “The bow, the arrows, and the
smiting on the ground, were all emblematical things, indicative of the
deliverance of Israel from Syria” (= Busur, anak-anak
panah, dan pemukulan tanah, semua merupakan hal-hal yang bersifat simbolis,
yang menunjuk pada pembebasan Israel dari Aram) - hal 524.
b. Adanya penjelasan dalam ay 17b
tadi, bahwa ini merupakan anak panah kemenangan dari Tuhan terhadap Aram,
menyebabkan Yoas seharusnya sudah mengerti bahwa semua itu merupakan
tindakan simbolis. Karena itu seharusnya ia memukulkan / menembakkan anak panah
itu lebih banyak. Tetapi ia hanya melakukan 3 x.
Keil & Delitzsch: “As the king was told that the
arrow shot off signified a victory over the Syrians, he ought to have shot all
the arrows, to secure a complete victory over them” (= Karena raja itu telah diberitahu bahwa penembakan anak panah itu
menandakan kemenangan terhadap Aram, ia seharusnya menembakkan semua anak
panah, untuk memastikan kemenangan atas mereka) - hal 377.
c. Karena Elisa tetap mempunyai beban
untuk negaranya sekalipun ia sudah mau mati! Bandingkan dengan dengan banyak
orang yang sekalipun masih segar bugar tetapi tidak mempunyai beban untuk
gereja!
Pulpit Commentary: “A lesson of perseverance and
effort to the very end. Elisha, though stricken with a mortal disease, does not
give himself up to inaction, or cease to take an interest in the affairs of
this life. ... he could not be content without utilizing the visit to the
utmost. He rouses the king from his despair (ver. 14); inspires in him hope,
courage, energy; promises him success, ... We may learn from this that, while
we live, we have active duties to perform” [= Suatu pelajaran untuk bertekun dan berusaha sampai saat terakhir.
Elisa, sekalipun terkena penyakit yang hebat / mematikan, tidak menyerah pada
ketidak-aktifan, atau berhenti untuk mempunyai perhatian terhadap urusan-urusan
hidup ini. ... ia tidak bisa merasa puas tanpa memanfaatkan kunjungan raja itu
semaximal mungkin. Ia membangkitkan sang raja dari keputus-asaannya
(ay 14); memberinya pengharapan, keberanian, tenaga; menjanjikannya
kesuksesan, ... Dari peristiwa ini kita harus belajar bahwa sementara kita
hidup, kita mempunyai kewajiban-kewajiban aktif untuk dilakukan] - hal 268.
Pulpit Commentary: “we may still be agents for good -
we may advise, exhort, incite, rebuke evil (ver. 19), and be active ministers of
good, impressing men more than we ever did before, when we speak from the verge
of the grave, and having our ‘strength made perfect in weakness.’” [= kita bisa tetap menjadi agen-agen untuk kebaikan - kita bisa
menasehati, mendesak, mendorong, menghardik kejahatan (ay 19), dan menjadi
pelayan-pelayan kebaikan yang aktif, mempengaruhi / menanamkan kesan kepada
orang-orang, lebih dari yang pernah kita lakukan sebelumnya, pada waktu kita
berbicara dari tepi kubur, dan mempunyai ‘kekuatan yang disempurnakan dalam
kelemahan’] - hal 268.
Pulpit Commentary: “Though all men have to die, death
is not the same to all men” (= Sekalipun semua orang harus
mati, kematian tidak sama bagi semua orang) - hal 274.
Pulpit Commentary: “Elisha, though dying, still took
an interest in the future of his country” (= Elisa, sekalipun
sedang sekarat, tetap mempunyai perhatian pada masa depan dari negerinya) - hal 274.
2. Mengapa Yoas hanya memukul /
memanah 3 x?
a. Ini menunjukkan bahwa ia tidak /
kurang beriman pada tindakan simbolis itu, dan mungkin menganggapnya sebagai
tindakan kekanak-kanakan.
Pulpit Commentary: “Joash struck with the arrows
against the floor three times, and then paused, thinking he had done enough. He
did not enter into the spirit of the symbolical act, which represented the
smiting and slaying of enemies. Perhaps he had not much faith in the virtue of
the symbolism, which he may even, with the arrogance of a proud and worldly
minded man, have thought childish” (= Yoas memukul
dengan anak-anak panah ke tanah 3 x, dan lalu berhenti, mengira bahwa ia telah
melakukan cukup banyak. Ia belum masuk ke dalam pemikiran dari tindakan
simbolis itu, yang menggambarkan pemukulan dan pembantaian musuh-musuhnya.
Mungkin ia tidak terlalu percaya pada nilai / manfaat dari tindakan simbolis
ini, dan bahkan mungkin, dengan kesombongan dari seorang yang sombong dan
berpikiran duniawi, ia menganggapnya sebagai kekanak-kanakan) - hal 265.
b. Ini menunjukkan bahwa ia kurang mau
berusaha.
Pulpit Commentary: “Elisha was angered at the
lukewarmness of Joash, and his lack of faith and zeal. ... It is far more
consonant with the entire narrative to suppose that he stopped from mere
weariness, and want of strong faith and zeal. If he had been earnestly desirous
of victory, and had had faith in the symbolical action as divinely directed, he
would have kept on smiting till the prophet told him it was enough, or at any
rate would have smitten the ground five or six times instead of three. ... He
abstained (as Keil says) because ‘he was wanting in the proper zeal for
obtaining the full promise of God.’” [= Elisa marah
terhadap kesuaman dari Yoas, dan kekuranganya dalam iman dan semangat. ... Jauh
lebih sesuai dengan seluruh cerita untuk menganggap bahwa ia berhenti karena
bosan / lesu, dan kurang akan iman dan semangat yang kuat. Seandainya ia
mempunyai keinginan yang sungguh-sungguh akan kemenangan, dan mempunyai iman
pada tindakan simbolis itu sebagai sesuatu yang diarahkan oleh Allah, ia akan
terus memukul sampai sang nabi memberitahunya bahwa itu sudah cukup, atau
setidaknya ia akan memukul tanah sampai 5 atau 6 kali dan bukannya hanya 3
kali. ... Ia berhenti (seperti yang dikatakan Keil) karena ‘ia tidak mempunyai
semangat yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan janji yang penuh dari Allah’] - hal 265.
Pulpit Commentary: “Joash was slow to learn the double
lesson of God’s unlimited power and the necessity for human effort which this
simple illustration taught. ... ‘God helps those who help themselves.’ The
chief lesson of this incident is - Want of faith a hindrance to success in
Christian work” (= Yoas lambat dalam mempelajari
pelajaran ganda tentang kuasa Allah yang tak terbatas dan perlunya usaha
manusia yang diajarkan oleh ilustrasi yang sederhana ini. ... ‘Allah menolong
mereka yang menolong diri mereka sendiri’. Pelajaran utama dari kejadian ini
adalah: Kurangnya / tidak adanya iman merupakan halangan bagi kesuksesan dalam
pelayanan Kristen) - hal 270-271.
Pulpit Commentary: “How many call themselves God’s
servants, how many expect the reward of the faithful servant, who are doing
absolutely nothing for the Lord! Jesus has given one very precious promise to
his people: ‘Lo, I am with you alway, even unto the end of the world;’ but it
is to those who in some way are seeking to fulfill that command, ‘Go ye
therefore, and preach the gospel to every creature.’ The truth is, the promise
depends upon the work, and the work depends upon the promise. We cannot expect
God’s blessings if we are not doing his work. And we cannot do his work if we
do not meditate much on his promises” (= Betapa banyak
orang yang menyebut diri mereka sendiri pelayan-pelayan Allah, betapa banyak
yang mengharapkan upah / pahala dari pelayan yang setia, tetapi sama sekali
tidak melakukan apa-apa bagi Tuhan! Yesus telah memberikan satu janji yang
sangat berharga untuk umatNya: ‘Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai kepada akhir jaman’; tetapi itu merupakan janji kepada mereka yang
dengan cara tertentu berusaha untuk melaksanakan perintah: ‘Karena itu
pergilah, dan beritakanlah Injil kepada segala makhluk’. Kebenarannya adalah:
janji tergantung pada pekerjaan, dan pekerjaan tergantung pada janji. Kita
tidak bisa mengharapkan berkat Allah jika kita tidak melakukan pekerjaanNya.
Dan kita tidak bisa melakukan pekerjaanNya jika kita tidak banyak merenungkan
janji-janjiNya) - hal 271.
c. Ini menunjukkan bahwa ia kurang
bertekun.
Pulpit Commentary: “Want of faith leads to low
expectation and feeble efforts. True faith in God’s presence and power, instead
of making us inactive and careless, is the greatest stimulus to activity. It
rouses us to put forth all our energies. It makes us patient under
difficulties. It causes us to persevere even when we see no immediate result” (= Kurangnya / tidak adanya iman menyebabkan pengharapan yang rendah dan
usaha yang lemah. Iman yang sejati dalam kehadiran dan kuasa Allah, bukannya
membuat kita tidak akitif dan ceroboh, tetapi sebaliknya merupakan pendorong
terbesar pada aktivitas. Itu merangsang kita untuk mengerahkan seluruh tenaga kita.
Itu membuat kita sabar dalam kesukaran. Itu menyebabkan kita untuk bertekun
bahkan pada saat kita tidak melihat hasil secara langsung) - hal 272.
Pulpit Commentary: “After twelve years’ labour in the
island of Tahiti, in the Pacific, the mission seemed to be an utter failure.
All but one of the missionaries left the South Sea Islands. At home the
directors of the London Missionary Society seriously discussed the abandoning
of the mission. But two members of the committee, men of strong faith in God and
the gospel, strenuously opposed this, and proposed a season of special prayer
for a blessing on its work. This was agreed to; letters of encouragement were
written to the missionaries; and while the ship that bore these letters was on
her way to Tahiti, another ship was bearing to England the rejected idols of
the people. How had this happened? Some of the missionaries who had left the
island were led in some way to return. One morning one of them went out into
the fields for meditation, when he heard, with a thrill of joy, the voice of a
native raised in prayer to God - the first token that their teaching had been
blessed in Tahiti. Soon they heard of others. A Christian Church was formed.
The priests publicly burned their idols; and thus, after a night of toil of
sixteen years, the dawn at last broke .... What a rebuke to the weak faith
of the directors who had proposed to abandon the mission! What a lesson to
every minister and missionary, to every Sunday-school teacher, to every
Christian worker, not to stay their hand, even when they see no results of
their labour!” (= Setelah jerih payah selama 12
tahun di pulau Tahiti, missi di sana kelihatannya gagal total. Semua
misionaris, kecuali satu, meninggalkan South Sea Islands. Di rumah,
direktur-direktur dari London Missionary Society mendiskusikan secara serius
untuk menghentikan missi ini. Tetapi dua anggota dari komisi tersebut, yaitu
orang-orang yang mempunyai iman yang kuat terhadap Allah dan Injil, mati-matian
menentang hal ini, dan mengusulkan doa khusus supaya Tuhan memberkati pelayanan
ini. Ini disetujui; surat-surat untuk menguatkan semangat ditulis untuk para
misionaris di sana; dan sementara kapal yang membawa surat-surat itu ada dalam
perjalanan ke Tahiti, sebuah kapal yang lain membawa ke Inggris patung-patung
berhala yang sudah dibuang oleh orang-orang Tahiti. Bagaimana hal ini terjadi?
Beberapa misionaris yang telah meninggalkan pulau itu dipimpin untuk kembali
dengan cara tertentu. Suatu pagi satu dari mereka pergi ke padang untuk
bermeditasi, pada waktu ia mendengar, dengan suatu getaran sukacita, suara dari
penduduk asli berdoa kepada Allah - tanda pertama bahwa pengajaran mereka telah
diberkati di Tahiti. Segera mereka mendengar suara dari yang lainnya. Sebuah
Gereja Kristen dibentuk. Imam-imam membakar di muka umum berhala-berhala
mereka; dan demikianlah setelah ‘malam’ yang panjang dari kerja keras selama 16
tahun, akhirnya fajar menyingsing ... Betapa hebatnya ini menegur iman yang
lemah dari para direktur yang telah mengusulkan untuk menghentikan missi itu.
Betapa hebatnya ini mengajar kepada setiap pelayan dan misionaris, kepada
setiap guru Sekolah Minggu, kepada setiap pekerja Kristen, untuk tidak
menghentikan tangannya, bahkan pada waktu mereka tidak melihat hasil dari jerih
payah mereka!) - hal 272-273.
Pulpit Commentary: “Work done for God never dies. ...
Never give up as hopeless a single soul. Stay not thine hand. You can’t do much
for them, perhaps, but God can. ... Leave no work unfinished for which God
gives you the strength and the means. Perhaps we have been shooting too few
arrows, making too little efforts in God’s cause” (= Pekerjaan / pelayanan yang dilakukan bagi Allah tidak pernah mati.
... Jangan menyerah dan menganggap satu jiwapun sebagai tidak ada harapan.
Jangan menghentikan tanganmu. Mungkin engkau tidak bisa berbuat banyak untuk
mereka, tetapi Allah bisa. ... Jangan tinggalkan pekerjaan / pelayanan apapun
dalam keadaan belum selesai untuk mana Allah memberimu kekuatan dan cara untuk
melakukan. Mungkin kita menembakkan terlalu sedikit anak panah, membuat terlalu
sedikit usaha dalam perkara / kegiatan Allah) - hal 273.
d. Ada satu penafsir yang menganggap
bahwa ini menunjukkan bahwa ia kurang berdoa / meminta kepada Tuhan.
Pulpit Commentary: “(1) Very trivial actions
often reveal a great deal of character. (2) We often have not from God
because we ask not. These shootings of the arrows were at once prayers for
victories from God, and pledges of victories. Joash, as it were, asked for only
three victories, and he only got three. Had he asked for more, he would have
got more. ... It is never in God we are straitened in our prayers; it is only
in ourselves. (3) It displeases God that we do not ask more from him. His
controversy with us is not that we ask too much, but that we do not ask enough.
Joash missed the full blessing by stopping in his asking” [= (1) Tindakan-tindakan remeh sering menyatakan banyak hal tentang
karakter seseorang. (2) Kita sering tidak mendapat dari Allah karena kita tidak
meminta. Penembakan-penembakan panah ini sekaligus merupakan doa-doa untuk
meminta kemenangan dari Allah, dan janji-janji kemenangan. Yoas seakan-akan
hanya meminta 3 kemenangan, dan ia hanya mendapatkan 3 kemenangan. Seandainya
ia meminta lebih banyak, ia akan mendapatkan lebih banyak. ... Pembatasan
doa-doa kita tidak terletak dalam diri Allah tetapi dalam diri kita sendiri.
(3) Merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan Allah kalau kita tidak meminta
lebih banyak dari Dia. PertentanganNya dengan kita bukanlah karena kita meminta
terlalu banyak, tetapi karena kita tidak meminta cukup banyak. Yoas tidak
menerima berkat sepenuhnya karena ia berhenti dalam permintaannya] - hal 277.
e. Allah menetapkan demikian.
Adam Clarke: “perhaps it was of the Lord that he
smote only thrice, as he had determined to give Israel those three victories
only over the Syrians. Elisha’s being wroth because there were only three
instead of five or six shots does not prove that God was wroth, or that he had
intended to give the Syrians five or six overthrows” (= mungkin Tuhanlah yang menyebabkan ia memukul hanya 3 x, karena Ia
telah menentukan untuk memberi Israel hanya 3 kemenangan atas Aram. Kemarahan
Elisa karena hanya ada 3 dan bukannya 5 atau 6 penembakan panah tidak
membuktikan bahwa Allah marah, atau bahwa Ia tadinya bermaksud untuk memberikan
orang-orang Aram 5 atau 6 x perobohan / kekalahan) - hal 524.
Catatan: Kata-kata ini salah, karena sekalipun
semua ada dalam penetapan dan pengaturan Tuhan, tetapi manusia tetap punya
tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Dan Allah tetap bisa murka / tidak
senang pada waktu kita melakukan rencanaNya, tetapi tidak mentaati FirmanNya.
Contoh: Yudas sudah ditentukan untuk mengkhianati Yesus, tetapi pada waktu Ia
melakukan hal itu, ia tetap dihukum, karena ia hidup tak sesuai dengan Firman
Tuhan (Luk 22:22). Demikian juga dengan Firaun pada waktu menolak melepaskan
Israel dari Mesir.
c) Akibat tindakan Yoas yang hanya
memukulkan / menembakkan anak panah 3 x itu, berkat / kemenangan yang dialami
oleh Yoas / Israel juga hanya 3 x. Padahal, seandainya ia memukulkan /
menembakkan anak panah itu 5 atau 6 kali, Yoas / Israel akan memukul Aram
sampai habis lenyap (ay 19). Nubuat Elisa ini tergenapi dalam ay 22-25.
Perhatikan khususnya ay 25b - “Tiga kali Yoas
mengalahkan dia dan mendapat kembali kota-kota Israel”.
Barnes’ Notes: “The unfaithfulness of man limits
the goodness of God. Though Joash did the Prophet’s bidding, it was without any
zeal or fervour; and probably without any earnest belief in the efficacy of what
he was doing. ... God had been willing to give the Israelites complete victory
over Syria (v. 17); but Joash by his non-acceptance of the divine promise in
its fulness had checked the outflow of mercy; and the result was that the
original promise could not be fulfilled” [= Ketidak-setiaan
manusia membatasi kebaikan Allah. Sekalipun Yoas melakukan perintah sang nabi,
tetapi ia melakukannya tanpa semangat atau kegairahan; dan mungkin tanpa
kepercayaan yang sungguh-sungguh tentang kemujaraban dari apa yang sedang ia
lakukan. ... Allah mau memberi kepada Israel kemenangan yang lengkap terhadap
Aram (ay 17); tetapi oleh penolakannya terhadap janji ilahi dalam kepenuhannya
Yoas telah menghalangi aliran belas kasihan itu; dan akibatnya adalah bahwa
janji yang orisinil tidak bisa tergenapi] - hal 264.
Keil &
Delitzsch: “When, therefore, he
left off after shooting only three times, this was a sign that he was wanting
in the proper zeal for obtaining the divine promise, i.e. in true faith in the
omnipotence of God to fulfil His promise. Elisha was angry at this weakness of
the king’s faith, and told him that by leaving off so soon he had deprived
himself of a perfect victory over the Syrians” (= Karena itu, ketika ia berhenti setelah memanah hanya 3 x, ini
merupakan suatu tanda bahwa ia tidak mempunyai semangat yang benar untuk
mendapatkan janji ilahi, yaitu iman yang benar kepada kemahakuasaan Allah untuk
menggenapi janjiNya. Elisa marah pada kelemahan dari iman raja ini, dan
memberitahunya bahwa dengan berhenti terlalu cepat ia sendiri telah membuang
kemenangan yang sempurna terhadap orang-orang Aram) - hal 377.
1) Elisa
mati (ay 20).
Pulpit Commentary: “Elisha’s sickness had proved to be
indeed unto death, ... He who had been the means of restoring to life to
others, whose very bones were made the instrument of reviving the dead, was not
able to protect himself from the universal law. He left the world by the same
gate as ordinary mortals. ... The certainty of removal by death from the scene
of their labours should animate those who are still in the vigour of their
powers to work while it is to-day (John 9:4), and should lead those who enjoy
the presence and services of good men to prize and honour these servants of God
while they are here” [= Terbukti bahwa penyakit Elisa
menyebabkan kematian, ... Ia yang telah menjadi alat / jalan untuk
mengembalikan kehidupan kepada orang lain, yang tulang-tulangnya dijadikan alat
untuk menghidupkan orang mati, tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari
hukum universal ini. Ia meninggalkan dunia ini melalui pintu yang sama seperti
orang-orang lain. ... Kepastian akan disingkirkan dari kancah pekerjaan oleh
kematian harus menggerakkan mereka yang masih mempunyai kekuatan untuk bekerja
sementara masih termasuk hari ini (Yoh 9:4), dan harus membimbing mereka yang
menikmati kehadiran dan pelayanan dari orang-orang yang baik, untuk menghargai
pelayan-pelayan Allah sementara mereka ada di sini] - hal 277.
2) Mujijat
kebangkitan mayat yang terkena tulang Elisa (ay 21).
a) Para penafsir mengatakan bahwa
kuburan orang Yahudi tidaklah digali di dalam tanah seperti kuburan kita,
tetapi merupakan semacam gua, yang mulutnya ditutup dengan batu. Mereka tidak
menggunakan peti mati, tetapi hanya membalut mayat itu dengan kain kapan.
Karena itulah mayat yang dilemparkan secara tergesa-gesa ke kubur Elisa itu
bisa menyentuh tulang-tulang Elisa.
b) Tujuan dari mujijat ini.
1. Bukan
untuk menunjukkan bahwa Elisa lebih hebat dari Elia.
Perlu diingat bahwa dalam kasus ini
bukan Elisa yang melakukan pembangkitan mayat itu, tetapi Tuhan sendiri,
sekalipun Tuhan menggunakan tulang-tulang Elisa.
2. Bukan
supaya orang kristen percaya pada kekuatan dari relics!
Adam Clarke: “This is the first, and I believe
the last, account of a true miracle performed by the bones of a dead man; and
yet on it and such like the whole system of miraculous working relics has been
founded by the popish Church” (= Ini adalah cerita
yang pertama, dan saya percaya yang terakhir, tentang mujijat yang benar yang
dilakukan oleh tulang-tulang dari orang mati; tetapi pada cerita ini dan yang
seperti ini seluruh sistim dari ‘relics yang melakukan mujijat’ telah
didasarkan oleh Gereja Roma Katolik) - hal 525.
Pulpit Commentary: “Worship of relics was not a Jewish
superstition; and thus there was no danger of those ill results which followed
on the alleged miracles wrought by the bodies of Christian martyrs” (= Penyembahan terhadap relics bukanlah merupakan tahyul Yahudi; dan
karena itu tidak ada bahaya tentang akibat-akibat buruk yang menyusul /
mengikuti mujijat-mujijat yang dikatakan dibuat oleh tubuh-tubuh dari
martir-martir Kristen) - hal 268.
Pulpit Commentary: “The miracle of Elisha’s bones is
no argument for relic-worship. Relic-worship implies a belief that a virtue
exists in the remnants of a deceased saint’s body, which enables them of
themselves to exercise a miraculous power. Elisha’s bones were never thought to
possess any such property. They were not exhumed, placed in cases, or exhibited
to the faithful to be touched with the hand or kissed by the lips. It was
understood that God had been pleased to work one miracle by them; it was never
supposed that they might be expected to work any more. They were therefore
suffered to remain in the tomb wherein they had been from the first deposited.
It was not till the time of Julian that any importance was attached to them;
though then we must conclude that they had become objects of reverential
regard, since the Apostate took the trouble to burn them” [= Mujijat tulang Elisa bukanlah suatu argumentasi untuk penyembahan
relics. Penyembahan relics secara tidak langsung menunjukkan suatu kepercayaan
bahwa ada suatu kebaikan dalam sisa-sisa dari tubuh orang kudus yang mati, yang
memampukan mereka, dari diri mereka sendiri, untuk menggunakan kuasa yang
bersifat mujijat. Tulang Elisa tidak pernah dianggap mempunyai khasiat seperti
itu. Tulang-tulang itu tidak digali, diletakkan dalam kotak, atau dipamerkan
kepada orang-orang yang setia / beriman untuk disentuh dengan tangan atau
dicium dengan bibir. Memang dimengerti bahwa Allah telah berkenan untuk
mengerjakan satu mujijat oleh tulang-tulang itu; tetapi tidak pernah dianggap
bahwa tulang-tulang itu diharapkan untuk mengerjakannya lagi. Karena itu
tulang-tulang itu dibiarkan berada dalam kubur dimana mereka dari semula
ditempatkan. Baru pada jaman Julian suatu kepentingan dilekatkan kepada
tulang-tulang itu; sekalipun kita harus menyimpulkan bahwa tulang-tulang itu
telah menjadi obyek penghormatan, karena orang-orang yang murtad (?) bersusah payah untuk membakarnya] - hal 269.
3. Supaya orang menghormati Elisa,
mengingat dan berpegang pada ajarannya, dan mempercayai nubuatnya, khususnya
dalam persoalan kemenangan terhadap Aram.
Keil &
Delitzsch: “The design of this
miracle ... was not to show how even in the grave Elisha surpassed his master
Elijah in miraculous power ... but to impress the seal of divine attestation
upon the prophecy of the dying prophet concerning the victory of Joash over the
Syrians” (= Tujuan dari mujijat ini ...
bukanlah untuk menunjukkan bahwa bahkan dalam kubur Elisa melampaui tuannya
yaitu Elia dalam kuasa untuk melakukan mujijat ... tetapi untuk mencamkan
pengesahan pada nubuat dari nabi yang sekarat itu mengenai kemenangan Yoas
terhadap Aram) - hal 378.
Barnes’ Notes: “The primary effect of the miracle
was, no doubt, greatly to increase the reverence of the Israelites for the
memory of Elisha, to lend force to his teaching, and especially to add weight
to his unfulfilled prophecies, as to that concerning the coming triumphs of
Israel over Syria” (= Tidak diragukan bahwa akibat
utama dari mujijat itu adalah meningkatkan secara hebat rasa hormat dari
orang-orang Israel dalam kenangan tentang Elisa, memberikan kekuatan pada
ajarannya, dan khususnya menambah bobot dari nubuat-nubuatnya yang belum
tergenapi, berkenaan dengan kemenangan yang akan datang dari Israel terhadap
Aram) - hal 264.
Pulpit Commentary: “I. For the honour of the prophet;
... Those who witnessed or heard of the miracle in Elisha’s tomb were led to
venerate the memory of the prophet, to whom so great a testimony had been
given; and might thence be moved to pay greater attention and stricter
obedience to what they knew of his teaching. II. For the encouragement of the
nation. The death of Elisha was no doubt felt as a national calamity. Many,
besides the king, must have seen in it the loss to the nation of one who was
more to it than ‘chariots and horsemen’ (ver. 14). Despondency, we may be sure,
weighed down the spirits of numbers who might think that God, in withdrawing
his prophet, had forsaken his people. It was a great thing to such persons that
they should have a clear manifestation that, though the prophet was gone, God
still continued present with his people, was still among them, ready to help,
potent to save” [= I. Untuk kehormatan sang
nabi; ... Mereka yang menyaksikan atau mendengar tentang mujijat dalam kubur
Elisa dibimbing untuk memuliakan kenangan tentang sang nabi, bagi siapa kesaksian
yang begitu besar telah diberikan; dan dari sana bisa memberi perhatian yang
lebih besar dan ketaatan yang lebih ketat pada apa yang mereka ketahui sebagai
ajarannya. II. Untuk menguatkan semangat bangsa itu. Tidak diragukan bahwa
kematian Elisa dirasakan sebagai bencana nasional. Selain raja, ada banyak
orang yang melihat hal itu sebagai kehilangan bagi bangsa itu seseorang yang
lebih dari ‘kereta dan orang-orang yang berkuda’ (ay 14). Kepatahan semangat
pasti menghancurkan semangat banyak orang yang mungkin berpikir bahwa Allah,
dengan menarik nabinya, telah meninggalkan umatNya. Merupakan hal yang besar
bagi orang-orang seperti itu bahwa mereka mendapatkan pernyataan yang jelas
bahwa, sekalipun sang nabi sudah tiada, Allah tetap hadir dengan umatNya, tetap
ada di antara mereka, siap menolong, berkuasa untuk menyelamatkan] - hal 268.
Pulpit Commentary: “Though Elisha was not taken to
heaven as Elijah was without tasting of death, he had yet great honour put upon
him in his death. God set the seal on his prophetic work by making life-giving
power to issue even from his grave. The miracle suggests to us the fact that
from every good man’s grave there issues in an important sense a life-giving
power. The influence of men does not die with him. On the contrary, it is often
greater after their deaths than during their lives. ... Many a man, e.g., has
been brought to his senses at the graveside of a father or mother, whose
counsels, perhaps, he disregarded in life” (= Sekalipun Elisa
tak diangkat ke surga tanpa merasakan kematian seperti Elia, ia tetap
mendapatkan kehormatan yang besar dalam kematiannya. Allah memeteraikan
pekerjaan nubuatannya dengan membuat kuasa pemberi kehidupan keluar dari
kuburnya. Mujijat ini menunjukkan kepada kita fakta bahwa dari setiap kubur
orang yang baik keluar dalam arti yang penting suatu kuasa pemberi hidup.
Pengaruh dari manusia tidak mati dengannya. Sebaliknya, itu seringkali menjadi
lebih besar setelah kematiannya dari pada dalam sepanjang hidupnya. ... Banyak
orang, sebagai contoh, telah disadarkan di sisi kuburan ayah atau ibunya, yang
mungkin nasihatnya ia abaikan dalam hidupnya) - hal 277.
Kita harus belajar untuk bergantung kepada Tuhan, dan bukan
kepada orang melalui siapa Tuhan memberikan berkatnya kepada kita, apakah orang
itu adalah hamba Tuhan, orang tua kita, boss, suami, dan sebagainya.
-AMIN-
email us at : gkri_exodus@lycos.com